Senin, 05 Maret 2018

TUGAS FARMASI FISIKA Emulsi


TUGAS FARMASI FISIKA
Emulsi







Disusun Oleh:
Agustiani Masliyana             1543057049
Akhmad Andy Sandra          1543057052


 

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
JAKARTA
TEORI / PRINSIP DASAR
I.     Emulsi

A.  Definisi Emulsi

Emulsi adalah suatu sediaan yang mengandung dua zat cair yang tidak tercampur, air dan minyak cairan yang satu terdispersi menjadi butir-butir kecil dalam  cairan yang lain. Dispersi ini tidak stabil, butir-butir ini akan bergabung dan membentuk  dua lapisan air dan minyak yang terpisah. Dalam fase air dapat mengandung zat-zat terlarut seperti pengawet, zat pewarna, dan perasa. Air yag digunakan sebaiknya adalah akuades. Zat perasa dan pengawet yang berada dalam fase air yang mungkin larut dalam minyak harus dalam konsentrasi cukup untuk memenuhi yang diinginkan.

Pada emulsi biasanya terdapat tiga bagian utama, yaitu: pertama, bagian zat yang terdispersi, biasanya terdiri dari butir-butir minyak. Kedua, medium pendispersi yang dikenal sebagai fase bertahap, biasanya terdiri dari air. Bagian ketiga adalah emulgator yang berfungsi sebagai penstabil koloid untuk menjaga agar butir-butir minyak tetap terdispersi dalam air. Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk zat pengemulsi diantaranya emulgator, emulsifier, stabilizer atau agen pengemulsi. Bahan ini dapat berupa sabun, deterjen, protein atau elektrolit. Jenis emulsi tergantung dari zatnya dan emulgator yang dipakai misalnya emulsi minyak dalam air emulgator yang baik adalah sabun atau logam-logam alkali (Anief, 1999).

Ada beberapa penulis yang mendefinikan emulsi, misalnya:

1.      Alexander : Emulsi adalah suatu dispersi yang sangat halus dan suatu cairan kedalam suatu cairan yang lain.

2.      Clayton : Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri 2 fase cair, yang satu terdispersi dalam yang lain sebagai globul (butir-butir kecil).

3.      Mc. Bain : Emulsi adalah suatu tetes-tetes kecil cairan yang terdispersi dalam cairan yang lain dan dapat dilihat dibawah mikroskop.

4.      P. Becher: Emulsi adalah suatu sistem heterogen terdiri dari 2 cairan yang tidak bercampur, yang satu terdispersi didalam yang lain dalam bentuk tetes-tetes kecil yang mempunyai diameter pada umumnya> 0,1 um.  
B.  Tujuan Pembuatan Emulsi

Secara farmasetik, proses emulsifikasi memungkinkan ahli farmasi dapat membuat suatu preparat yang stabil dan rata dari campuran dua cairan yang tidak saling bisa bercampur. Untuk emulsi yang diberikan secara oral, tipe emulsi m/a memungkinkan pemberian obat yang harus dimakan tersebut mempunyai rasa yang lebih enak walaupun yang diberikan sebenarnya minyak yang tidak enak rasanya, dengan menambahkan pemanis dan pemberi rasa pada pembawa airnya, sehingga mudah dimakan dan ditelan sampai ke lambung. Ukuran partikel yang diperkecil dari bola-bola minyak dapat mempertahankan minyak tersebut agar lebih dapat dicernakan dan lebih mudah diabsorpsi (Ansel, 1989). 

C.  Tipe Emulsi
Salah satu fase cair dalam suatu emulsi terutama bersifat polar (contoh: air), sedangkan lainnya relatif nonpolar (contoh: minyak). Emulsi obat untuk pemberian oral biasanya dari tipe emulsi minyak dalam air (m/a) dan membutuhkan penggunaan suatu zat pengemulsi m/a. Tetapi tidak semua emulsi yang dipergunakan termasuk tipe m/a. Makanan tertentu seperti mentega dan beberapa saus salad merupakan emulsi tipe air dalam minyak (a/m) (Martin, 1993).

Berdasarkan jenisnya, emulsi dibagi dalam empat golongan, yaitu:

1.    Emulsi jenis minyak dalam air (m/a)

Bila fase minyak didispersikan sebagai bola-bola ke seluruh fase kontinu air, sistem tersebut dikenal sebagai suatu emulsi minyak dalam air (m/a).

2.    Emulsi jenis air dalam minyak (a/m)

Bila fase minyak bertindak sebagai fase kontinu, emulsi tersebut dikenal sebagai produk air dalam minyak (a/m).

3.    Emulsi jenis minyak dalam air dalam minyak (m/a/m)

Emulsi minyak dalam air dalam minyak (m/a/m), juga dikenal sebagai emulsi ganda, dapat dibuat dengan mencampurkan suatu pengemulsi m/a dengan suatu fase air dalam suatu mikser dan perlahan-lahan menambahkan fase minyak untuk membentuk suatu emulsi minyak dalam air.

4.    Emulsi jenis air dalam minyak dalam air(a/m/a)

Emulsi a/m/a juga dikenal sebagai emulsi ganda, dapat dibuat dengan mencampurkan suatu pengemulsi a/m dengan suatu fase minyak dalam suatu mikser dan perlahan-lahan menambahkan fase air untuk membentuk suatu emulsi air dalam minyak. Emulsi a/m tersebut kemudian didispersikan dalam suatu larutan air dari suatu zat pengemulsi m/a, seperti polisorbat 80 (Tween 80), sehingga membentuk emulsi air dalam minyak dalam air. Pembuatan emulsi a/m/a ini untuk obat yang ditempatkan dalam tubuh serta untuk memperpanjang kerja obat, untuk makanan-makanan serta untuk kosmetik (Martin, 1993).
Tipe emulsi (a) m/a; (b) a/m; (c) a/m/a; (d) m/a/m dapat dilihat pada Gambar 1.1. berikut (Martin, 1993).




Gambar 1.1. Tipe emulsi (a) m/a; (b) a/m; (c) a/m/a; (d) m/a/m
Beberapa metode yang biasa digunakan untuk menentukan tipe dari suatu emulsi meliputi:

·      Metode pewarnaan

Sejumlah kecil zat warna yang larut dalam air, seperti metilen biru atau briliant blue FCF bisa ditaburkan pada permukaan suspensi. Jika air merupakan fase luar, yakni jika emulsi tersebut bertipe m/a, zat warna tersebut akan melarut didalamnya dan berdifusi merata ke seluruh bagian dari air tersebut. Jika emulsi tersebut bertipe a/m, partikel-partikel zat warna akan tinggal bergerombol pada permukaan (Martin, 1993).

·      Metode pengenceran fase

Jika emulsi tersebut bercampur dengan sempurna dengan air, maka ia termasuk bertipe m/a dan apabila tidak dapat diencerkan adalah tipe a/m (Anief, 1994).

·      Metode konduktivitas listrik

Pengujian ini menggunakan sepasang elektroda yang dihubungkan dengan suatu sumber listrik luardan dicelupkan dalam emulsi. Lampu akan menyala bila elektroda dicelupkan dalam cairan emulsi bila tipenya m/a dan lampu akan mati bila emulsi tipenya a/m (Martin, 1993).

·      Metode fluoresensi

Minyak dapat berfluoresensi di bawah sinar UV, emulsi m/amenunjukkan pola titik-titik, sedangkan emulsi a/mberfluoresensi seluruhnya (Lachman, 1994).

 Faktor-faktor yang menentukan apakah akan terbentuk emulsi A/M atau M/A tergantung pada dua sifat kritis:

1.    Terbentuknya butir tetesan

2.    Terbentuknya rintangan antarmuka.
Rasio fase volume, yaitu jumlah relatif minyak dan air, menentukan jumlah relatif butir tetesan, dan menaikkan kemungkinan terjadinya benturan, makin besar jumlah butir tetesan, makin besar kesempatan untuk benturan. Biasanya fase ekstern dalam jumlah volume yang besar. Tipe emulsi ditentukan oleh sifat-sifat emulgator, dan dapat disusun aturan sebagai berikut:

1.    Bila emulgator hanya dapat larut atau lebih suka air (sabun natrium) maka akan terbentuk tipe emulsi M/A. Tetapi bila emulgator hanya dapat larut atau lebih suka minyak (sabun kalsium) akan terbentuk tipe emulsi A/M.

2.    Bagian polar dari molekul emulgator umumnya lebih baik untuk melindungi koalesen daripada bagian rantai hidrokarbon. Maka itu memungkinkan membuat  emulsi M/A dengan fase intern yang volumenya relatif tinggi. Sebaliknya emulsi  A/M akan terbatas, dan apabila jumlah air cukup banyak akan mudah terjadi inversi. Sebagai contoh sistem air-minyak untuk membentuk emulsi A/M dapat terjadinya baik bila jumlah air di bawah 40%, bila lebih yang stabil adalah bentuk emulsi M/A. Di samping itu untuk emulsi A/M dengan 20% dan 30% air akan terjadi bila air ditambahkan pada minyak dengan diaduk. Hal itu perlu untuk kadar air > 10%. Jangan dicampur dulu minyak dan air kemudian baru diaduk, karena akan sering gagal. Cara tersebut baik untuk tipe M/A. Tipe emulsi yang terbentuk juga dipengaruhi oleh viskositas pada tiap fase, emulsi yang stabil.
Apabila mencampurkan campuran, dua zat cair yang tak tercampurkan akan terjadi salah satu cairan terbagi menjadi butir-butir (tetesan) yang kecil dalam cairan yang lain. Apabila pencampuran berhenti, maka butir-butir cairan tersebut akan mengumpul menjadi satu, dan terjadi suatu pemisahan. Kegagalan dalam usaha mencampur dua cairan tersebut disebabkan kohesif antarmolekul dari masing-masing cairan terpisah adalah lebih besar daripada kekuatan adhesif antara dua cairan. Kekuatan kohesif ini disebabkan adanya tegangan antarmuka pada batas antara dua cairan tersebut. Dengan mencampurkan, tegangan antarmuka dapat mudah dipecah, sehingga terjadi butir-butir tetes yang halus. Dengan mengusahakan penurunan atau pembebasan efek tegangan antarmuka secara permanen, maka akan terbentuk emulsi yang stabil. Terlihat bahwa efek kekuatan ini (tegangan antarmuka) dapat dibedakan dengan tiga cara:
a.    Dengan penambahan substansi yang menurunkan tegangan antarmuka antara dua cairan yang tak tercampur.

b.    Dengan penambahan substansi yang menempatkan diri (menyusun) melintang di antara permukaan dari dua cairan,

c.    Dengan  penambahan  zat  yang  akan  membentuk  lapisan  film  di  sekeliling  butir-butir  fase  disfers,  jadi  secara  mekanis  melindungi  mereka  dari  penggabungan tetes-tetes (Anief, 1999). 
Tipe emulsi yang dihasilkan adalah o/w atau w/o, terutama bergantung pada sifat zat pengemulsi. Karakteristik ini dikenal sebagai keseimbangan hidrofil-liofil, yakni sifat polar-nonpolar  dari  pengemulsi.  Kenyataannya  apakah  suatu  surfaktan  adalah  suatu  pengemulsi, zat pembasah, deterjen, atau zat penstabil bias diramalkan dari pengetahuan keseimbangan hidrofil-lipofil. Dalam suatu zat pengemulsi, seperti natrium stearat, C17H35COONa,  rantai  hidrokarbon  nonpolar,  C17H35 adalah  lipofilik  atau  suka-minyak  gugus karboksil, COONa,   adalah   hidrofilik   atau   bagian   suka-air   keseimbangan   dari sifat hidrofilik  dan  sifat  lipofilik  dari  suatu  pengemulsi  (atau  kombinasi  dari  pengemulsi)  menentukan apakah akan dihasilkan suatu emulsi o/w atau w/o. 
Kehadiran  zat  yang  dikenal  sebagai  agen  pengemulsi  dapat  digunakan  sebagai  penyusunan  emulsi  stabil  yang  mengandung  proporsi  yang  lebih  besar  dari  fasa  dispersi. Sistem tersebut memiliki sifat yang agak mirip dengan liofilik, misalnya viskositas tinggi, konsentrasi yang relatif tinggi, dan stabilitas untuk elektrolit. Kelebihan elektrolit garam merupakan  suatu emulsifier  dan  sebagainya  menyebabkan  kestabilan,  agen  pengemulsi dibagi  menjadi dua kategori: 
1.    Senyawa  rantai  panjang  dengan  kelompok  kutub,  seperti  sabun  dan  panjang  rantai  asam  sulfonat  dan  sulfat,  semua  yang  menghasilkan  penurunan yang  sangat  besar  di  air-minyak  tegangan  antarmuka.  Bisa  dikatakan  di  sini  bahwa  deterjen,  yang  digunakan  sebagai  pembersihan,  tindakan  sabun umumnya  dianggap  berasal  dari  kemampuannya  untuk  emulsi  lemak.  Ketika  minyak  zaitun  dan  air  sangat  sedikit  terguncang  bersama  emulsi  kation  yang  terjadi,  tetapi  penambahan  sejumlah  kecil  hasil  hidroksida  natrium  dalam  pembentukan  emulsi  stabil,  sabun  natrium  dibentuk  oleh  hidrolisis  atau  melalui  reaksi  dengan  jejak  panjang  rantai  asam, bertindak sebagai emulsifier tersebut. Tampaknya  ada  konsentrasi  optimum  tertentu  dari  sejumlah  sabun,  jumlah  yang  kurang  atau  lebih  dari  sabun  ini  tidak  menyebabkan  stabilisasi  yang  efektif. 

2.    Zat-zat  yang  bersifat  liofilik,  seperti  protein,  misalnya  kasein dalam susu, dan gusi, dan ketiga, bubuk berbagai larut, sulfat contoh dasar dari besi, tembaga, sulfat memimpin halus yang terpisah dan oksida besi, dan lampu hitam, yang menstabilkan sejumlah emulsi. Sabun dari logam alkali mendukung pembentukan emulsi minyak dalam air, tetapi logam-logam alkali, dan seng, besi dan aluminium memberikan air dalam sistem minyak. Demikian pula, sulfat dasar menstabilkan emulsi minyak dalam air, sedangkan yang lainnya dapat terbentuk ketika karbon yang kecil yang terpisah adalah agen pengemulsi. Ada beberapa kasus di mana suatu zat larut mampu membawa emulsifikasi, yodium misalnya dalam sistem eter-air (Glasston, 1960). 

D.  Teori Emulsifikasi

Bila dua buah cairan yang saling tidak bercampur dimasukkan bersama dalam suatu wadah, maka akan terbentuk dua lapisan yang terpisah. Hal ini disebabkan karena gaya kohesi antara molekul-molekul dari tiap cairan yang memisah lebih besar daripada gaya adhesi antara kedua cairan (Martin, 1993). Proses pengadukan akan menyebabkan suatu fasa terdispersi dalam fasa yang lain dan akan memperluas permukaan globul sehingga energi bebasnya semakin besar. Fenomena inilah yang menyebabkan sistem ini tidak stabil secara termodinamika. Stabilisasi sistem emulsi dapat dicapai dengan suatu zat pengemulsi (emulsifying agent). Fasa mana yang akan menjadi fasa terdispersi dan fasa pendispersi yang akan terbentuk tergantung dari komposisinya dalam sistem. Fasa yang memiliki komposisi lebih banyak daripada yang lainnya akan menjadi fasa pendispersi (Lund, 1994).

Usaha stabilisasi globul-globul kecil fasa terdispersi dalam emulsi dapat dilakukan dengan cara mencegah kontak antara sesama globul dengan menggunakan zat pengemulsi/emulgator. Ada beberapa mekanisme kerja zat pengemulsi dalam pembentukan emulsi, yaitu menurunkan tegangan antara muka air dan minyak, pembentukan lapisan ganda listrik, dan pembentukan film antar muka yang menjadi halangan mekanik untuk mencegah koalesensi, pembentukan lapisan rangkap elektrik yang menjadi halangan elektrik pada waktu partikel berdekatan sehingga tidak akan bergabung, dan melapisi lapisan minyak dengan partikel mineral.

E.   Stabilisasi Butir-butir Tetesan

Dalam emulsi, butir-butir tetesan (fase dispers) dapat distabilkan dengan cara:

1. Penurunan tegangan antarmuka.

Bila dalam suatu tabung reaksi dengan luas penampang 1 cm2 kita masukkan 1 ml air 1 ml minyak, maka kontak antara kedua cairan tersebut (yang disebut antarmuka) adalah 1 cm2. Bila kita umpamakan, dengan suatu pengadukan yang intensif/kuat minyak tersebut dapat ispersi dalam air dalam bentuk tetes-tetes yang berdiameter 1 rim. Dalam keadaan demikian dispers tersebut akan terdiri dan 1,909 x 109 butir sferis. Maka permukaan total antarmuka minyak menjadi 6 x 104 cm2.

Penaikan yang sangat tinggi dan luas antarmuka air-minyak tersebut akan menjadi yebab atau salah satu penyebab sehingga emulsi yang didapat menjadi tidak stabil.

Kalau kita melihat gaya-gaya yang ada antara molekul-molekul dalam suatu cairan, maka molekul walaupun dia mobile, mempunyai gaya tank antar molekul yang serupa. Gaya ini disebut gaya kohesi. Gaya ini juga yang menyebabkan satu cairan tetap berada dalam wadahnya, karena molekul-molekulnya berada dalam keseimbangan.

Keadaan permukaannya berbeda (antara udara-cairan) karena molekul-molekul dipermukaan tersebut tidak dikelilingi oleh molekul sejenisnya.




Molekul-molekul air saling melakukan gaya tarik-menarik (gaya kohesif) hanya dengan molekul sejenis saja dan tidak hanya sedikit dengan molekul fase gas. Jadi gaya yang berada dipermukaan ini tidak seimbang. Hasil dari gaya tersebut (resultante) adalah kearah dalam dan mempunyai tendensi menarik molekul dipermukaan kedalam cairan, sehingga terjadi kontraksi permukaan.

Gaya yang harus dipergunakan secara paralel pada permukaan tersebut untuk melawan dorongan kearah dalam, dinamakan tegangan muka dan cairan.ini dinyatakan dalam:

Newton per meter (N/rn) atau Dyne/cm (dalam sistem cgs)

1 dyne/cm = 1 mN/rn

Secara fisika, tegangan muka dapat diterangkan sbb:



Umpamakan dalam suatu segiempat ABCD yang dibuat dan benang metal yang tipis sisi CD yang panjangnya 1 dapat bergerak/mobile. Jika segiempat tersebut kita rnasukkan kedalam larutan sabun lalu dikeluarkan, maka akan terbentuk lapisan film yang sangat tipis pada segiempat ABCD tersebut.

Jika panjang AB = 1 dan panjang AD = d, maka luas lapisan film = 2.l.d (dikalikan 2 karena mempunyai permukaan rangkap). Jika pada sisi CD (yang mobil) digerakkan dengan suatu gaya F sepanjang Ad, sehingga segi empat sekarang menjadi ABC’D’, maka kerja yang dilaksanakan tuk memindahkan/penggeseran sisi CD tersebut adalah:

W = F. d

Jika  adalah gaya yang ada tiap unit panjang, maka gaya:

F = 2. . 1 (kali 2 karena 2 muka)

sehingga persamaan 1) menjadi:

W = F. d

     = 2. . 1. d

Jika pertambahan permukaan/surface = 2.1. d = s maka:




maka tegangan muka, , dapat diartikan sebagai kerja (dalam Joule) yang diperlukan untuk mendapatkan 1 m2 permukaan/surface. Atau tegangan muka dapat juga diartikan sebagai perubahan energi bebas permukaan tiap unit permukaan yang dihasilkan.

Situasi yang ada pada antarmuka cairan-cairan dalam suatu emulsi mirip dengan yang ada pada antarmuka cairan-gas. Dalam hal emulsi maka molekul-molekul yang ada pada permukaan cairan-cairan juga tidak seimbang.

Dengan demikian yang ada adalah tegangan antarmuka yang selalu mempunyai tendensi mengurangi permukaan atau luas kontak antara 2 cairan tersebut. Menurut Antonoff, tegangan muka 2 cairan tersebut.



Dari persamaan sebelumnya, menjadi:




Kerja emulsifikasi berbanding langsung dengan hasil tegangan antarmuka dengan adanya penaikan permukaan kontak antara 2 cairan. Dengan kata lain makin tinggi tegangan antarmuka maka makin besar juga kerja untuk menghasilkan suatu dispersi yang baik. Atau energi bebas permukaan (sama dengan kerja) menjadi makin tinggi bila tegangan antarmuka kedua cairan juga tinggi.


Karena semua sistem yang membutuhkan energi yang tinggi secara termodinamika tidak stabil dan secara spontan akan berusaha menernukan keadaan energi yang minimum. Demikian juga sistem dispersi seperti emulsi dimana tegangan antarmukanya tinggi akan berusaha menemukan keadaan energi yang paling rendah dengan cara mengurangi permukaannya dengan cara berfusi atau penggabungan antara tetes-tetes, sampai terjadinya pemisahan yang sempurna dari fase-fasenya (keadaan energi minimum). Maka supaya sistem emulsi mempunyai stabilitas yang cukup, harga tegangan antarmuka antara 2 cairan harus diturunkan atau harus rendah.

Dalam praktek, dapat digunakan sebagai patokan sebagai berikut:

AB> 10 mN/m : Emulsi sulit dibuat

AB = 5-10 mN/m : Emulsi mudah dibuat

AB << 1 mN/m : Emulsi terjadi searea spontan

Untuk itu bila kita bisa menambahkan zat yang bisa mengurangi tegangan antarmuka 2 cairan maka akan menambah kestabilan butir- butir tetes fase dispers.  E = AB. s, maka AB << akibatnya E <<.

2. Terbentuknya lapisan ganda listrik

Partikel-partikel cairan atau padatan dan sistem dispersi pada umumnya pembawa muatan listrik pada permukaannya. Muatan listrik tersebut dapat berbeda-beda asalnya:

·    Karena ionisasi pada permukaan dan zat yang terdispersi karena terdapat dalam miliu air.

·    Adsorpsi pada permukaan ion-ion yang berasal dan miliu (misalnya adsorpsi molekul SAA ionik)





Contoh : R-COONa dalam air akan terhidrolisa menjadi R-COO- dan Na+ Apapun asal dari muatan listrik, disekitar partikel dapat diskemakan sbb : (misalkan partikel bermuatan negatif)



Dengan tidak adanya gerakan termik (gerakan Brown) ion-ion yang berlawanan yang at pada larutan akan menetralkan segera muatan partikel dengan cara penempelan. .gan adanya gerakan Brown, sebagian dan muatan saa yang dapat langsung dinetralkan igan cara adsorpsi ion yang berlawanan (counter- ion).

Dalam lapisan difuse dan partikel, terdapat kelebihan ion-ion yang berlainan dengan partikel, namun juga terdapat ion-ion yang bermuatan sama. Ini dikarenakan adanya energi etik yang dihasilkan oleh gerakan Brown yang lebih besar dan pada gaya tolah antara ion-ion ig bermuatan sama yang ada pada tempat tersebut.

Lapisan stern dan lapisan difuse bersama-sama membentuk lapisan difuse rangkap. Dari gambar diatas, kalau dinyatakan dalam potensial listrik, dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Perbedaan potensial antara permukaan partikel dan titik penetralan (pada garis cc’). Potensial ini disebut potensial Nernst, yaitu muatan total dan partikel.

2. Penurunan agak tajam dan potensial dalam lapisan stern yang disebabkan adanya penetralan sebagian dan counter-ion.

3. Penurunan secara progresif dan potensial dalam lapisan difuse sampai mencapai penetralan (pada garis c-c’). Perbedaan antara lapisan stern (b b’) dan titik penetralan (c-c’) disebut zeta potensial, atau potensial elektrokinetika dan partikel.

Teori lapisan ganda listrik atau baji terarah ini menjelaskan bagaimana butir-butir tetes distabilkan sehingga tidak terjadi pengumpulan partikel karena saling tolak-menolak.

3. Terbentuknya film antarmuka

Teori ini menjelaskan adanya lapisan film yang kaku dipermukaan antara fase dispers dan medium dispers karena adanya bahan tambahan, sehingga secara mekanis akan menghalangi itak antara partikel. Cara terbentuknya film antarmuka bisa berlainan tergantung dan emulgator yang dipergunakan.

Ada beberapa teori emulsifikasi yang menjelaskan bagaimana zat pengemulsi bekerja dalam menjaga stabilitas dari dua zat yang tidak saling bercampur, yaitu adsorpsi monomolekuler, adsorpsi multimolekuler dan adsorpsi partikel padat.

1)   Adsorpsi Monomolekuler

Zat yang aktif pada permukaan dapat mengurangi tegangan antarmuka karena adsorpsinya pada batas m/a membentuk lapisan-lapisan monomolekuler (Martin, 1993). Hal ini dianggap bahwa lapisan monomolekular dari zat pengemulsi melingkari suatu tetesan dari fase dalam pada emulsi.Teori tersebut berdasarkan anggapan bahwa zat pengemulsi tertentu mengarahkan dirinya di sekitar dan dalam suatu cairan yang merupakan gambaran kelarutannya pada cairan tertentu (Ansel, 1989).

Penggunaan emulsi kombinasi dalam pembuatan emulsi saat ini lebih sering dibandingkan penggunaan zat tunggal. Kemampuan campuran pengemulsi untuk mengemas lebih kuat menambah kekuatan lapisan itu, dan karenanya menambah kestabilan emulsi tersebut. Umumnya pengemulsi mungkin membentuk struktur gel yang agak rapat pada antarmuka, dan menghasilkan suatu lapisan antarmuka yang stabil. Kombinasi dari natrium setil sulfat dan kolesterol mengakibatkan suatu lapisan yang kompleks yang menghasilkan emulsi yang sangat baik. Natrium setil sulfat dan oleil alkohol tidak membentuk lapisan yang tersusun dekat atau lapisan yang kompak dan akibatnya kombinasi tersebut menghasilkan suatu emulsi yang jelek. Pada setil alkohol dan natrium oleat menghasilkan lapisan yang tertutup erat, tetapi kekompleksan diabaikan sehingga menghasilkan suatu emulsi yang jelek. Pengertian dari suatu lapisan tipis monomolekular yang terarah dari zat pengemulsi tersebut pada permukaan fase dalam dari suatu emulsi, adalah dasar paling penting untuk mengerti sebagian besar teori emulsifikasi (Martin, et al., 1993).

Gambaran kombinasi zat pengemulsi pada batas minyak-air suatu emulsi digambarkan pada Gambar 1.2. Dan gambaran tetesan air dalam suatu emulsi minyak-air, terlihat arah dari sebuah molekul Tween dan sebuah molekul Span pada batas antarmuka suatu emulsi minyak-air dapat dilihat pada Gambar 1.3.
Gambar 1.2.Gambaran kombinasi dari zat pengemulsi pada batas minyak-air dari suatu emulsi (Schulman dan Cockbain (1940) diambil dari Martin, 1993)
Gambar 1.3. Gambaran tetesan air dalam suatu emulsi minyak-air, terlihat arah dari sebuah molekul Tween dan sebuah molekul Span pada batas antarmuka suatu emulsi minyak-air (Boyd dan Colloid (1972) diambil dari Martin, et al., 1993).
Gambar 1.3 diatas menunjukkan gambaran skematis dari tetesan air dalam suatu emulsi minyak-air, terlihat arah dari sebuah molekul Tween dan sebuah molekul Span pada batas antarmuka suatu emulsi minyak-air. Pengemulsi campuran seringkali lebih efektif daripada pengemulsi tunggal. Kemampuan campuran pengemulsi untuk mengemas lebih kuat menambah kekuatan lapisan itu, dan karenanya menambah kestabilan emulsi tersebut. Umumnya pengemulsi mungkin membentuk struktur gel yang rapat pada antarmuka, dan menghasilkan suatu lapisan antarmuka yang stabil. Tween hidrofilik dikombinasi dengan Span lipofilik menghasilkan emulsi m/a atau a/m yang diinginkan. Pada bagian hidrokarbon dari molekul Span 80 (Sorbitan mono-oleat) berada dalam air dan radikal sorbitan berada dalam bola minyak. Bila Tween 40 (polioksietilen sorbitan monopalmitat) ditambahkan, ia mengarah pada batas sedemikian rupasehingga sebagian dari ekor Tween 40 ada dalam fase minyak, dan dari rantai tersebut, bersama-sama dengan cincin sorbitan dan rantai polioksietilen, berada dalam fase air. Diselidiki bahwa rantai hidrokarbon dari molekul Tween 40 berada dalam bola minyak antara rantai-rantai Span 80, dan penyusunan ini menghasilkan atraksi (gaya tarik-menarik) Van Der Waals yang efektif. Dalam cara ini, lapisan antarmuka diperkuat dan kestabilan dari emulsi m/a ditingkatkan melawan pengelompokkan partikel (Martin, 1993).

Tipe emulsi yang dihasilkan, m/a atau a/m, terutama bergantung pada sifat zat pengemulsi. Karakteristik ini dikenal sebagai kesimbangan hidrofil-lipofil (hydrophile-lipophile balance, HLB), yakni sifat polar-nonpolar dari pengemulsi. Kenyataannya, apakah suatu surfaktan adalahsuatu pengemulsi, zat pembasah, detergen, atau zat penstabil dapat diperkirakan dari harga kesimbangan hidrofil-lipofil (Martin, 1993).

2)   Adsorpsi Multimolekuler

Koloid lipofilik ini dapat dianggap seperti zat aktif permukaan karena tampak pada batas antarmuka minyak-air. Tetapi zatini berbeda dari zat aktif permukaan sintetis dalam dua hal, yaitu tidak menyebabkan penurunan tegangan antarmuka dan membentuk suatu lapisan multimolekulerpada antarmuka dan bukan suatu lapisan monomolekuler. Zat ini bekerja sebagai bahan pengemulsi terutama karena efek yang kedua, karena lapisan-lapisan yang terbentuk tersebut kuat dan mencegah terjadinya penggabungan. Efek tambahan yang mendorong emulsi tersebut menjadi stabil adalah meningkatnya viskositas dari medium dispers. Karena zatpengemulsi yang terbentuk akan membentuk lapisan-lapisan multilayer disekeliling tetesan yang bersifat hidrofilik, maka zat pengemulsi ini cenderung untuk membentuk emulsi m/a (Martin, 1993).

3)   Adsorpsi Partikel Padat

Partikel-partikel padat yang terbagi halus yang dibasahi sampai derajat tertentu oleh minyak dan air dapat bekerja sebagai zat pengemulsi. Ini diakibatkan oleh keadaannya yang pekat antarmuka dimana dihasilkan suatu lapisan berpartikel sekitar tetesan dispers sehingga dapat mencegah terjadinya penggabungan. Serbuk yang mudah dibasahi oleh air akan membentuk emulsi tipe m/a, sedangkan serbuk yang mudah dibasahi dengan minyak membentuk emulsi a/m (Martin, 1993).

F.   Zat Pengemulsi

Tahap awal dalam pembuatan suatu emulsi adalah pemilihan zat pengemulsi. Zat pengemulsi harus mempuyai kualitas tertentu. Salah satunya, ia harus dapat dicampurkan dengan bahan formulatif lainnya dan tidak boleh terurai dalam preparat (Ansel, 1989). Zat pengemulsi (emulgator) merupakan komponen yang paling penting agar memperoleh emulsa yang stabil. Semua emulgator bekerja dengan membentuk film (lapisan) di sekeliling butir-butir tetesan yang terdispersi dan film ini berfungsi agar mencegah terjadinya koalesen dan terpisahnya cairan dispers sebagai fase terpisah (Anief, 1996). Daya kerja emulsifier (zat pengemulsi) terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat baik padaminyak maupun air (Winarno, 1992).

Zat pengemulsi dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu emulsifier alami dan emulsifier buatan.

·      Emulsifier Alami

Umumnya dapat diperoleh dari tanaman, hewan atau mikroba yang diperoleh dengan cara eksudat, ekstraksi dan fermentasi. Eksudat diperoleh dari cairan atau getah pada tanaman. Misalnya gum arab, gum pati, dan gum tragakan. Hasil ekstraksi biasanya paling banyak diperoleh dari rumput laut. Sedangkan hasil fermentasi banyak diperoleh dari mikroorganisme baik. Salah satu gum yang penting dari hasil fermentasi ini adalah xanthangum. Dimana xanthan gum merupakan polisakarida dengan bobot molekul tinggi hasil fermentasi karbohidrat dari Xanthomonas campetris yang dimurnikan, dikeringkan dan digiling. Bakteri ini secara alami hidup di tanaman kubis.

·      Emulsifier Buatan

Di samping emulsifier alami telah dilakukan sintesis elmusifier buatan seperti ester dari polioksietilena sorbitan dengan asam lemak yang dikenal sebagai Tween yang dapat membentuk emulsi m/a. Sabun juga merupakan emulsifier buatan yang terdiri dari garam natrium dengan asam lemak. Sabun dapat menurunkan tegangan permukaan air dan meningkatkan daya pembersih air (Winarno, 1992).

Zat pengemulsi yang lazim digunakan untuk pembentukan emulsi dibagi menjadi 4 kelompok yaitu elektrolit, surfaktan, koloid hidrofil, dan partikel padat halus. Pemilihan zat pengemulsi dalam suatu formulasi emulsi biasanya didasarkan pada pertimbangan stabilitas selama penyimpanan, jenis emulsi yang akan dihasilkan, dan harga zat pengemulsi tersebut dari segi ekonomisnya (Agoes, 1990).

1.    Elektrolit

Zat pengemulsi yang termasuk kelompok elektrolit merupakan zat pengemulsi yang kurang efektif. Beberapa elektrolit anorganik sederhana seperti KCNS jika ditambahkan ke dalam air dalam konsentrasi rendah akan memungkinkan terbentuknya dispersi encer minyak dalam air (M/A) yang lebih dikenal sebagai oil hydrosol. Ion CNS- menimbulkan potensial negatif minyak pada antar muka.

2.    Surfaktan

Senyawa ini memiliki mekanisme kerja menurunkan tegangan antar muka minyak dan air dengan membentuk lapisan film monomolekuler pada permukaan globul fase terdispersi. Ada beberapa jenis surfaktan berdasarkan muatan ionnya, yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, dan surfaktan non ionik.

Surfaktan anionik merupakan surfaktan yang memiliki gugus hidrofil anion, contohnya Na-lauril sulfat, Na-oleat, dan Na-stearat. Surfaktan kationik merupakan surfaktan yang memiliki gugus hidrofil kation, contohnya Zehiran klorida dan setil trimetil amonium bromida. Surfaktan non ionik merupakan surfaktan yang gugus hidrofilnya non ionik, contohnya Tween 80 dan Span 80.

Kelarutan Surfaktan dalam air

Tergantung hidrofili dari surfaktan, maka surfaktan mempunyai kelarutan yang berlainan. Sifat kelarutan atau terdispersinya dalam air dapat juga dipergunakan untuk memperkirakan harga HLB surfaktan, yaitu bila:

                                                                                                   HLB

1. Tak terdispersi dalam air                                                       1 - 4

2. Terdispersi dengan kasar                                                       3 - 6

3. Seperti susu dengan penggojogan kuat                                  6 - 8

4. Dispersi seperti susu dan stabil                                              8 - 10

5. Terjadi dispersi yang translusid                                             10 - 13

6. Terjadi larutan jernih                                                             > 13

3.    Koloid Hidrofil

Zat pengemulsi ini diadsorpsi pada antar muka minyak-air dan membentuk lapisan film multimolekuler di sekeliling globul terdispersi. Beberapa contoh kelompok ini adalah protein, gom, amilum dan turunan dari zat sejenis dekstrin, metil selulosa, dan beberapa polimer sintetik seperti polivinil alkohol.

4.    Partikel Padat Halus Tidak Larut

Zat pengemulsi ini akan teradsorpsi pada antar muka minyak-air dan akan membentuk lapisan film mono dan multimolekuler oleh adanya partikel halus yang teradsorpsi pada antar muka minyak-air. Contohnya adalah bentonit dan veegum.

G.  Kestabilan Emulsi

Sifat emulsi ditentukan oleh sistem gaya yang terbentuk oleh komposi sinya, jenis bahan yang membentuk emulsi dan interaksi antara bahan-bahan tersebut. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan emulsi menurut Griffin, (1954) dapat dibedakan menjadi lima yaitu ukuran partikel, jenis dan jumlah pengemulsi, perbedaan densitas antara kedua fase, pergerakan partikel, serta viskositas fase eksternal. Penggabungan partikel dapat dihambat dengan menambahkan bahan pengemulsi yang mempunyai aksi pelindung koloid dan meningkatkan viskositas fase eksternal.

Zat aktif permukaan diarahkan pada suatu cara khusus pada antar muka. Bagian hidrofilik berada dalam fase air sedangkan bagian lipofiliknya berada dalam fase minyak. Selanjutnya zat aktif permukaan berorientasi pada antarmuka adalah berkurangnya sedikit demi sedikit tegangan permukaan dengan berjalannya waktu seiring dengan penambahan zat aktif permukaan sampai dicapai suatu harga konstan. Sifat ini melukiskan bahwa molekul-molekul zat aktif permukaan berdifusi melalui air sampai mencapai antarmuka dimana molekul-molekul tersebut diadsorbsi membentuk sistem yang stabil (Lachman, 1994).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan emulsi adalah sebagai berikut:

1) Perbedaan berat jenis antara kedua fase,

2) Kohesi fase terdispersi,

3) Persentase padatan didalam emulsi,

4) Temperatur luar yang ekstrim,

5) Ukuran butiran fase terdispersi,

6) Viskositas fase kontinyu,

7) Muatan fase terdispersi,

8) Distribusi ukuran butiran fase terdispersi,

9) Tegangan interfasial antara kedua fase (Nguyen, 2010).

Kestabilan dari emulsi farmasi berciri tidak adanya penggabungan fase dalam, tidak adanya krim, dan memberikan penampilan, bau, warna dan sifat-sifat fisik lainnya yang baik. Beberapa peneliti mendefinisikan ketidak stabilan suatu emulsi hanya dalam hal terbentuknya penimbunan dari fase dalam dan pemisahannya dari produk. Krim yang diakibatkan oleh flokulasi dan konsentrasi bola-bola fase dalam, kadang-kadang tidak dipertimbangkan sebagai suatu tanda ketidakpastian. Tetapi suatu emulsi adalah suatu sistem yang dinamis, dan flokulasi serta krim yang dihasilkan mengambarkan tahap-tahap potensial terhadap terjadinya penggabungan fase dalam yang sempurna.

Fenomena penting lainnya dalam pembuatan dan penstabilan dari emulsi adalah inversi fase, yang dapat membantu atau merusak dalam teknologi emulsi. Inversi fase meliputi perubahan tipe emulsi dari o/w menjadi w/o atau sebaliknya. Begitu terjadi inversi fase setelah pembuatan, secara logis hal ini dapat dipertimbangkan sebagai suatu pertanda dari ketidak stabilan (Martin, 1993).

Semakin tinggi viskositas dari suatu sistem emulsi, semakin rendah laju rata-rata pengendapan yang terjadi, sehingga mengakibatkan kestabilan semakin tinggi. Viskositas berkaitan erat dengan tahanan yang dialami molekul untuk mengalir pada sistem cairan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat alir suatu emulsi, diantaranya untuk ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel. Emulsi dengan globula berukuran halus lebih tinggi viskositasnya dibandingkan dengan emulsi yang globulanya tidak seragam.

Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarik-menarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem emulsi. Apabila gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka partikel-partikel dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak bergabung.

1.    Tegangan Permukaan

Tiap molekul dalam suatu zat cair bergerak dan selalu dipengaruhi oleh molekul molekul tetangganya. Suatu molekul yang berada di tengah-tengah sejumlah zat cair mengalami gaya tarik-menarik molekul tetangganya yang hampir sama dalam semua jurusan. Molekul yang ada di permukaan zat cair tidak dikelilingi seluruhnya oleh molekul-molekul tetangganya dan hanya mengalami gaya tarik-menarik dari molekul-molekul disampingnya dan dibawahnya.

2.    Tegangan Antarmuka

Tegangan antarmuka adalah gaya per satuan panjang yang terjadi pada antarmuka antara dua fase cair yang tidak dapat tercampur. Tegangan antarmuka selalu lebih kecil dari tegangan muka, sebab gaya adhesif antara dua fase cair yang membentuk antarmuka lebih besar dari gaya adhesif antara fase cair dan fase gas yang membentuk antarmuka (Moecthar,1989).

3.    Hydrophilic Lipophilic Balance (HLB)

Griffin merancang suatu skala sebarang dari berbagai angka untuk dipakai sebagai suatu ukuran keseimbangan hidrofilik-lipofilik (HLB) dari zat-zat aktif permukaan. Dengan bantuan sistem angka ini, adalah mungkin untuk membentuk suatu jarak HLB untuk efisiensi optimum (terbaik) dari masing-masing golongan surfaktan. Skala HLB dapat ditunjukkan pada gambar 1.4. (Martin, 1993).

Dalam sistem HLB, disamping menentukan nilai untuk agen-agen pengemulsi, nilai-nilai juga berikan untuk zat minyak atau yang mirip minyak. Dalam menggunakan konsep HLB pada pembuatan sebuah emulsi, seseorang akan memilih agen pengemulsi yang memiliki nilai HLB yang sama atau hampir sama dengan fase minyak dari emulsi yang diinginkan. Sebagai contoh, minyak mineral memiliki nilai HLB 4 jika emulsi cair-dalam-minyak diinginkan dan nilai HLB 10,5 jika emulsi minyak-dalam-air akan dibuat. Untuk membuat sebuah emulsi yang stabil, agen pengemulsi yang dipilih harus memiliki nilai HLB yang mirip dengan nilai untuk minyak mineral. 



Tergantung pada tipe emulsi yang diinginkan. Jika diperlukan, dua atau lebih pengemulsi bisa dikombinasikan untuk mencapai nilai HLB yang lebih baik. Berdasarkan harga yang terdapat pada tabel diatas dapat ditentukan harga HLB secara teori dengan menggunakan rumus seperti yang ditunjukkan pada persamaan 1.1.

HLB = Σ(gugus hidrofil) - Σ(gugus lipofil) + 7     ................ Pers. 1.1

Harga HLB dapat ditentukan secara teoritis dan praktek. Harga HLB secara praktek dilakukan dengan menggunakan tensiometri cincin Du-Nouy dimana akan diperoleh harga tegangan permukaan yang telah diplotkan dengan logaritma konsentrasi dan diperoleh harga konsentrasi misel kritis (kmk). Dari harga kmk tersebut maka didapat harga HLB seperti yang ditunjukkan pada persamaan 1.2 (Swern, 1979).

HLB = 7 – 0,36 ln (Co/Cw)      ............................................ Pers. 1.2

Dimana: Co = harga CMC

Cw = 100 – Co  
Gambar 1.4. Suatu skala menunjukkan fungsi surfaktan berdasarkan nilai-nilai HLB

4.    Stabilitas Relatif Emulsi

Dasar teori stabilitas emulsi adalah keseimbangan antara gaya tolak dan gaya tarik menarik yang bekerja dalam sistem. Stabilitas emulsi akan mencapai maksimum apabila gaya tolak antara globula-globula fase tidak kontinyu mencapai maksimum. Sebaliknya gaya tarik-menarik mencapai minimum. Gaya tolak menolak berasal dari lapisan ganda dan gaya tarik menarik berasal dari gaya Van der Waals (Petrowski, 1976).

Kestabilan koloid ini disebabkan karena adanya gerak emulsi. Meskipun telah sampai ke dasar wadah, partikel koloid dapat naik kembali dan terus bergerak dalam mediumnya. Penyebab lainnya karena umumnya partikel koloid mengadsorpsi ion. Partikel koloid yang sama akan mengadsorpsi ion-ion yang sejenis, sehingga partikel-partikel koloid itu saling tolak-menolak karena pengaruh ion sejenis yang telah diadsorpsi (Wanibesak, 2011).

Gerak brown adalah gerak tidak beraturan atau gerak acak atau gerak zig-zag partikel koloid. Hal ini terjadi karena adanya benturan tidak teratur dari partikel koloid denga medium pendispersi. Dengan adanya gerak Brown ini maka partikel koloid terhindar dari pengendapan karena terus-menerus bergerak, sehingga koloid menjadi stabil. Gerak zig-zag partikel koloid disebut gerak Brown, sesuai dengan nama penemunya Robert Brown (Wanibesak, 2011).

5.    Ukuran Partikel

Ukuran dari partikel ini tergantung dari tipe dan konsentrasi dari pengemulsi, perlakuan mekanik seperti penggunaan koloid mill, homogenizer, cara dan waktu penyimpanan produk. Kebanyakan emulsi mempunyai ukuran droplet lebih kecil dari 0,25 μm diameternya. Untuk droplet paling besar mempunyai diameter sekitar 50 μm. Beberapa metoda yang dapat dilakukan untuk memperkirakan droplet adalah dengan menggunakan light scattering, sedimentasi atau dengan menggunakan lubang khusus untuk mengukur besar partikel (Fennema, 1985).

Semakin kecil ukuran partikel koloid, semakin cepat gerak Brown yang terjadi. Demikian pula, semakin besar ukuran partikel koloid, semakin lambat gerak Brown yang terjadi. Hal ini menjelaskan mengapa gerak Brown sulit diamati dalam larutan dan tidak ditemukan dalam campuran heterogen zat cair dengan suspensi zat padat (Wanibesak, 2011).

Pengecilan ukuran partikel dibutuhkan untuk meningkatkan kelarutan, meningkatkan homogenitas dan memudahkan dalam pencampuran serta kenyamanan dalam penggunaan. Mekanisme pengecilan ukuran partikel dapat dilakukan dengan cara:

a)    Impact: pengecilan ukuran partikel akibat tenaga tumbukan yang tiba-tiba yang tegak lurus pada permukaan partikel/aglomerat,

b)   Attrition: pengecilan ukuran partikel dengan mengaplikasikan tenaga paralel pada permukaan partikel,

c)    Compression: pengecilan ukuran partikel dengan mengaplikasikan tenaga secara perlahan (lebih kecil dibandingkan impact) pada permukaan partikel (pada bagian pusat dari partikel),

d)   Cutting: pengecilan ukuran partikel dengan mengaplikasikan pembagian /sharringpartikel (memotong partikel) (Sarmoko, 2010).

Penampakan emulsi ini pada dasarnya dipengaruhi oleh ukuran pertikel emusi dan perbedaan indeks bias antara fase terdispersi dan medium terdispersi. Pada prinsipnya emulsi yang tampak jernih hanya mungkin terbentuk bila indeks bias kedua fasenya sama atau ukuran partikel terdispersinya lebih kecil dari panjang gelombang cahaya sehingga terjadi refraksi, dapat dilihat pada tabel 1.1.




Tabel 1.1. Hubungan antara ukuran partikel emulsi dengan penampakannya

6.    Viskositas

Viskositas adalah ukuran yang menyatakan kekentalan suatu cairan atau fluida. Kekentalan merupakan sifat cairan yang berhubungan erat dengan hambatan untuk mengalir. Beberapa cairan ada yang dapat mengalir cepat, sedangkan lainnya mengalir cepat, sedangkan lainnya mengalir secara lambat. Cairan yang mengalir cepat seperti air, alkohol dan bensin mempunyai viskositas kecil. Sedangkan cairan yang mengalir lambat seperti gliserin, minyak castor dan madu mempunyai viskositas besar. Jadi viskositas tidak lain menentukan kecepatan mengalirnya suatu cairan.

Viskometer ostwald merupakan metode yang ditentukan berdasarkan hokum poiseuille. Penetapannya dilakukan dengan jalan mengukur waktu yang diperlukan untuk mengalirnya cairan dalam pipa kapiler. Viskositas dihitung sesuai persamaan poiseuille seperti yang ditunjukkan pada persamaan berikut ini: 

  


t ialah waktu yang diperlukan cairan bervolume V, yang mengalir melalui pipa kapailer dengan panjang l dan jari-jari r. Tekanan P merupakan perbedaan tekanan aliran kedua ujung pipa viscometer dan besarnya diasumsikan sebanding dengan berat cairan (Yazid, 2005).

H.  Ketidakstabilan Emulsi

Ketidakstabilan emulsi dapat disebabkan oleh banyak hal diantaranya; tidak sesuainya rasio antar fase minyak dan air, jumlah dan pemilihan emulsifier yang salah, ketidakmurnian di dalam fase air, minyak atau emulsifier, pemanasan yang berlebihan, pembekuan serta waktu dan kecepatan pencampuran yang tidak tepat atau cocok (Bennet, 1964).

Kemungkinan besar pertimbangan yang terpenting bagi emulsi di bidang farmasi dan kosmetika adalah stabilitas dari hasil jadi sediaan emulsi tersebut. Kestabilan dari sediaan emulsi ditandai dengan tidak adanya penggabungan fase dalam, tidak terjadi creaming, dan memiliki penampilan, bau, warna dan sifat-sifat fisik lainnya yang baik (Martin, 1993).

Ketidakstabilan dalam emulsi farmasi dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu flokulasi dan creaming, penggabungan dan pemecahan, dan inversi.

1.    Flokulasi dan Creaming

Pengkriman (creaming) mengakibatkan ketidakrataan dari distribusi obat dan tanpa pengocokan yang sempurna sebelum digunakan, berakibat terjadinya pemberian dosis yang berbeda. Tentunya bentuk penampilan dari suatu emulsi dipengaruhi oleh creaming, dan ini benar-benar merupakan suatu masalah bagi pembuatannya jika terjadi pemisahan dari fase dalam (Martin, 1993).

2.    Penggabungan dan Pemecahan

Creaming adalah proses yang bersifat dapat kembali, berbeda dengan proses cracking(pecahnya emulsi) yang bersifat tidak dapat kembali. Pada creaming, flokul fase dispers mudah didispersi kembali dan terjadi campuran homogen bila dikocok perlahan-lahan, karena bola-bola minyak masih dikelilingi oleh suatu lapisan pelindung dari zat pengemulsi(Anief, 1994). Sedang pada cracking, pengocokan sederhana akan gagal untuk membentuk kembali butir-butir tetesan dalam bentuk emulsi yang stabil, karena lapisan yang mengelilingi partikel-partikel tersebut telah dirusak dan minyak cenderung bergabung (Martin, 1993).

3.    Inversi

Fenomena penting lainnya dalam pembuatan dan penstabilan dari emulsi adalah inversi fase yang meliputi perubahan tipe emulsi dari m/a menjadi a/m atau sebaliknya (Martin, 1993).
I.     Penggunaan Emulsi

Penggunaan emulsi dibagi menjadi dua golongan, yaitu emulsi pemakaian dalam dan emulsi pemakaian luar.

1.    Emulsi untuk pemakaian dalam

Emulsi untuk pemakaian dalam meliputi pemakaian per oral. Emulsi untuk penggunaan oral biasanya mempunyai tipe m/a. Emulgator merupakan film penutup dari minyak obat agar menutupi rasa tidak enak. Flavor ditambahkan pada fase ekstern agar rasanya lebih enak. Emulsi juga berguna untuk menaikkan absorpsi lemak melalui dinding usus (Anief, 1994).

2.    Emulsi untuk pemakaian luar

Emulsi untuk pemakaian luar meliputi pemakaian pada injeksi intravena yang digunakan pada kulit atau membran mukosa yaitu lotion, krim dan salep. Produk ini secara luas digunakan dalam farmasi dan kosmetik untuk penggunaan luar. Emulsi parenteral banyak digunakan pada makanan dan minyak obat untuk hewan dan manusia (Anief, 1994). Misalnya, vitamin A diserap cepat melalui jaringan, bila diinjeksikan dalam bentuk emulsi. Terutama untuk lotion dermatologi dan lotion kosmetik serta krim karena dikehendaki produk yang dapat menyebar denganmudah dan dan sempurna pada daerah dimana produk inidigunakan (Martin, 1993).

J.     Pembuatan Emulsi

Dalam membuat emulsi dapat dilakukan dengan metode gom kering, metode gom basah dan metode botol.

1.    Metode gom kering

Korpus emulsi mula-mula dibuat dengan empat bagian lemak, dua bagian air dan satu bagian gom, selanjutnya sisa air dan bahan lain ditambahkan. Metode ini juga disebut metode 4:2:1. Cara mencampurnya adalah empat bagian minyak dan satu bagian gom diaduk dan dicampur dalam mortir yang kering dan bersih sampai tercampur benar, lalu ditambahkan dua bagian air sampai terjadi korpus emulsi. Tambahkan sirup dan tambahkan sisa air sedikit demi sedikit. Bila ada cairan alkohol sebaiknya ditambahkan setelah diencerkan sebab alkohol dapat merusak emulsi (Anief, 1994).

2.    Metode gom basah

Cara ini dilakukan sebagai berikut, dibuat musilago yang kental dengan sedikit air lalu ditambahkan minyak sedikit demi sedikit dengan diaduk cepat. Bila emulsi terlalu kental, tambahkan air sedikti demi sedikit agar mudah diaduk dan diaduk lagi ditambah sisa minyak. Bila semua minyak sudah masuk ditambah air sambil diaduk sampai volume yang dikehendaki. Cara ini digunakan terutama bila emulgator yang akan dipakai berupa cairan atau harus dilarutkan dulu dalam air (Anief, 1994).

3.    Metode botol

Untuk membuat emulsi dari minyak-minyak menguap dan mempunyai viskositas rendah. Caranya, serbuk gom arab dimasukkan ke dalam botol kering, lalu ditambahkan dua bagian air kemudian air campuran tersebut dikocok dengan kuat dalam keadaan wadah tertutup. Suatu volume air yang sama dengan minyak kemudian ditambahkan sedikit demi sedikit, terus mengocok campuran tersebut setiap kali ditambahkan air. Jika semua air telah ditambahkan, emulsi utama yang terbentuk bisa diencerkan sampai mencapai volume yang tepat dengan air atau larutan zat formulatif lain dalam air (Ansel, 1989).

K.    Alat untuk Membuat Emulsi

Semua alat pembuat emulsi mempunyai karakteristik sebagai berikut:

- Memperkecil ukuran partikel dan sekaligus menghomogenkan campuran.

- Hanya memperkecil ukuran partikel saja.

Dalam pelaksanaannya efektifitas memperkecil ukuran partikel atau efektifitas penghomogenannya bisa berlainan tergantung jenis alat yang dipergunakan.

1. Pengaduk (mixer)

Jenis pengaduk ini bermacam ragamnya tergantung dan banyak volume cairan, kekentalan, dsb. Alat ini mempunyai sifat menghomogenkan dan sekaligus memperkecil ukuran partikel walaupun efek menghomogenkan cairan lebih dominan.

Selain spesifikasi untuk tiap alatnya, harus dijaga sekali agar tidak terlalu banyak udara yang ikut terdispersi kedalarn cairan dan menjadi buih. Karena semua yang terdispersi akan mengkonsumsi / mempergunakan sebagian surfaktan sehingga terjadi gelembung atau busa. Adanya busa ini terutama akan mengganggu pembacaan volume bila dilakukan pemasukan kedalam wadah.

Pengecilan ukuran partikel terjadi karena benturan antara partikel dengan partikel yang lain serta antara partikel dengan dinding serta dengan pengaduknya.

Untuk menghindari ini bisa dilakukan antara lain:

a.       Dengan memasang 4 buffle dengan posisi 900 masing-masing mempunyai lebar ± 1/12 diameter tempat pencampuran.

b.      Dengan memasang sudip yang ditaruh didinding (untuk volume kecil).

c.       Pengaduk ditempatkan ketepi atau dimiringkan.

2. Homogenizer

Alat ini mempunyai karakteristik memperkecil ukuran partikel yang sangat efektif namun tidak menghomogenkan campuran. Pengecilan partikel terjadi karena cara kerja alat ini yaitu dengan menekan cairan, dipaksa melalui suatu celah yang sempit yang kemudian dibenturkan ke suatu dinding atau ditumbukkan pada ti-peniti metal yang ada dalam celah tersebut. Cara ini sangat efektif sehingga bisa didapatkan diameter partikel rata-rata < 1 um.

3. Colloid mill

Prinsip kerja alat ini adalah dengan menggilas partikel sehingga didapatkan ukuran yang kecil. Kalau dan prinsip kerja tersebut alat ini tidak efektif untuk menghomogenkan cairan, dalam prakteknya bagian rotor alat ini dilengkapi dengan sejenis baling-baling sehingga menghasilkan efektifitas pengadukan cairannya.

4. Ultra Turrax

Prinsip kerja alat ini adalah dengan cara memberikan gelombang ultrasonik melalui dengan frekwensi 20-50 kilocycles/ detik. Dengan adanya gelombang tersebut akan mengakibatkan partikel pecah menjadi ukuran yang lebih kecil. Alatinicocok untuk pembuatan emulsi yang cair atau dengan viskositas menengah.

L.     Pengawetan Emulsi

Emulsi seperti juga suspensi karena sifat bahan yang digunakan sering mudah ditumbuhi mikroba. Cara yang paling baik adalah dengan menggunakan bahan yang sedikit terkontaminasi mikroba atau dengan menambahkan preservative/pengawet. Pengawet sebaiknya mempunyai sifat : toksisitas rendah, stabil (dalam panas dan nanan, dapat campur dengan bahan lain, efektif sebagai antimikroba. Selain karena mikroba, emulsi dapat juga rusak karena oksidasi, maka pengawet emulsi pula berupa antioksidan.


M.    Kontrol Emulsi

Kontrol emulsi dimaksudkan untuk mengetahui sifat fisika dari emulsi dan dipergunakan untuk mengevaluasi kestabilan emulsi Dalam bidang produksi keseragaman sifat fisika tersebut terutama dan batch satu ke batch yang lain sangat penting. Pernakai tidak selalu mempergunakan sediaan dengan nomer batch yang sama apalagi untuk konsumen yang rutin mempergunakannya.

Kontrol emulsi ada beberapa cara:

1. Determinasi tipe emulsi

a. Metoda pengenceran : dalam tabung reaksi yang benisi air ditambahkan beberapa tetes emulsi. Bila terjadi campuran homogen atau emulsi terencerkan oleh air maka emulsi bertipe o/w dan sebaliknya.

b. Metoda pewarnaan : emulsi tipe o/w akan terwarnai oleh zat wama yang larut dalam air. Demikian sebaliknya untuk emulsi yang bertipe w/o dapat diwarnai oleh zat wama yang larut dalam minyak.

c. Konduktibilitas elektnik : pada umumnya air merupakan konduktor yang lebih baik dibanding minyak. Bila emulsi dapat menghantar aliran listrik maka emulsi tersebut bertipe o/w. Sebaliknya bila tidak menghantar listrik bertipe w/o. Jika suatu emulsi distabilkan dengan surfaktan nonionik kemungkinan konduktabilitasnya lemah sekali. Untuk mendeteksi dapat ditambahkan NaCl.

2. Distribusi granulometrik

Dengan mengetahui distribusi granulometrik dan partikel fase dispers dan diameter rata-rata nya, makainibisa untuk meng- evaluasi kestabilan emulsi vs waktu. Bila terjadi peristiwa koalesensi, diameter ratarata partikel akan berubah menjadi lebih besar. Pada umumnya sediaan emulsi berupa sediaan yang mempunyai konsentrasi yang tinggi, haliniakan menyulitkan penghitungan distribusi granulometriknya. Untuk mengatasi hal ini dilakukan pengenceran sediaan tersebut.

Ada beberapa cara untuk menetapkan distribusi granulometrik partikel pada emulsi:

a. Mikroskopik: Dengan menggunakan mikrometer baik secara visual dengan mata atau dengan bantuan komputer

b. Optik: dengan alat difraksi sinar

c. Elektronik: dengan Coulter Counter, namun ini sulit dilaksanakan untuk emulsi tipe w/o

d. Sentrifugasi : carainiberdasarkan rumus Stokes, dengan menghitung perbedaan bobot jenis tiap fraksi emulsi. Dengan cara ini dapat diketahui distribusi ukuran partikel nya.

3. Determinasi sifat rheologi

Kontrol sifat rheologi emulsi termasuk penting, karena perubahan konsistensi dapat disebabkan karena proses : fabrikasi atau penyimpanan, sehingga dapat mempengaruhi pamakaiannya. Misal : mudah tidaknya penggunaan pada parenteral, ketepatan pengambilan dosis, kemudahan dan regularitas pengi- sian, kemudahannya dalam penggunaan pada kulit untuk produk kosmetika dan sebagainya.

Dalam hal stabilitas fisika, perubahan viskositas akan mempengaruhi pengendapan ataupun terjadinya creaming. Tidak hanya viskositasnya saja namun setiap perubahan sifat rheologi akan mempengaruhi kestabilan emulsi.

Banyak faktor yang mempengaruhi sifat alir dan emulsi antara lain:

1. Fase intern:

a. Fraksi volume.

b. Interaksi partikel : flokulasi, koalesensi.

c. Ukuran partikel.

d. Viskositas fase intern.

e. Jenis kimia.

2. Fase ekstern:

Viskositas yang tergantung pula pada susunan kimia, adanya pengental, elektrolit, pH dan lain-lain.

3. Emulgator.

a. Jenis kimia.

b. Konsentrasi.

c. Ketebalan dan sifat rheologi dan film antarmuka kedua fase.

4. Test penyimpanan yang dipercepat

Test ini dimaksudkan untuk memperpendek waktu pengamatan suatu sediaan emulsi. Dalam prakteknya agar diperoleh gambaran yang Iebih mendekati keadaan yang sesungguhnya perlu dicari korelasi antara kondisi pengamatan yang dipercepat dengan pengamatan sesungguhnya dalam kondisi normal.

Ada beberapa cara test pada penyimpanan yang dipercepat:

1. Temperatur 40 – 60oC : dengan penyimpanan pada suhu yang relatif lebih tinggi, maka viskositasnya akan menurun tergantung sifat emulsi tersebut. Penurunan viskositas akan mempengaruhi kestabilan fisika emulsi.

2. Sentrifugasi dengan pengusingan pada kecepatan tertentu berarti akan menaikkan harga g (gravitasi) pada rumus Stokes. Dengan demikian terjadi pemisahan partikel yang lebih cepat pula.
3. Shock termik emulsi disimpan pada temperatur tinggi dan rendah secara bergantian pada waktu tertentu. Misal pada suhu 60°C selama 1 han kemudian dilanjutkan pada suhu 4°C selama sehari. Ini diulangi sampai masing-masing 4 kali, kemudian didiamkan pada temperatur kamar untuk kemudian dilakukan pembacaan hasil.



II. Metode Pengukuran Tegangan Permukaan

A.  Metode Cincin Du Nouy

Prinsip dari Metode cincin du Nouy bergantung pada kenyataan bahwa gaya yang diperlukan untuk melepaskan suatu cincin platina-iridium yang dicelupkan pada permukaan adalah sebanding dengan tegangan permukaan atau tegangan antarmuka. Gaya yang diperlukan untuk melepaskan cincin dengan cara ini diberikan oleh suatu kawat spiral dan dicatat dalam suatu dyne pada suatu penunjuk yang dikalibrasi, seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut ini.

Tegangan permukaan (γ) dapat ditentukan dengan menggunakan rumus seperti yang ditunjukkan sebagai berikut:

Sebetulnya, alat itu mengukur bobot zat cair yang ditarik dari bidang antarmuka sesaat sebelum cincin tersebut terpisah dari cairan. Suatu faktor koreksi dibutuhkan dalam persamaan seperti diatas, sebab teori yang sederhana tersebut tidak memperhitungkan variabel-variabel tertentu seperti jari-jari cincin, jari-jari kawat yang digunakan untuk membuat cincin dan volume zat cair yang terangkat dari permukaan. Kesalahan-kesalahan sebesar 25 persen dapat terjadi jika faktor koreksi tidak diperhitungkan dan digunakan (Moechtar, 1989). 

B.  Metode Kenaikan Kapiler

Cara ini berdasarkan kenyataan bahwa kebanyakan cairan dalam pipa kapiler mempunyai permukaan lebih tinggi daripada permukaan di luar pipa. Ini terjadi, bila cairan membasahi bejana, dalam hal ini cairan membentuk permukaan yang cekung (concave). Bila cairan tersebut membasahi bejana, cairan membentuk permukaan yang cembung. Pipa kapiler dengan jari-jari r dimasukkan dalam cairan yang membasahi gelas. Dengan membasahi dingding bagian dalam, zat cair ini naik, kenaikan ini disebabkan oleh gaya akibat adanya tegangan muka. Penentuan tegangan permukaan dengan menggunakan metode kenaikan kapiler dapat ditunjukkan pada persamaan berikut ini (Sukardjo, 1997).


Dimana:

r = jari-jari pipa kapiler

d = massa jenis larutan

g = gravitasi bumi
         
         h = tinggi cairan

C.  Metode Wilhelmy

Metode ini didasarkan pada gaya yang diperlukan untuk menarik pelat tipis dari permukaan cairan. Penetapannya diperlukan alat dari lempeng tipis terbuat dari kaca, platina atau mika dan sebuah neraca. Pelat digantungkan pada salah satu lengan neraca dan dimasukkan kedalam cairan yang akan diselidiki. Besarnya gaya tarik pada neraca yang digunakan untuk melepas pelat dari permukaan cairan.

Pada saat pelat terlepas berlaku hubungan, dapat ditunjukkan pada persamaan berikut: 


                                    

Sehingga tegangan permukaan dapat dihitung, seperti persamaan berikut ini (Yazid, 2005):
                                            
Dimana:

γ = tegangan permukaan

F = gaya tarik yang dicatat

W = berat lempeng (pelat)


l = lebar lempeng


2 = faktor karena ada dua permukaan pada lempeng 


DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G. dan Darijanto, S.T. 1990. Teknologi Farmasi Liquida dan Semi Solida. Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu Hayati, Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Ke-4. Cetakan Pertama. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Anief, M. 1994. Farmasetika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

               . 1996. Penggolongan Obat. Cetakan Kelima. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

               . 1999. Sistem Dispersi, Formulasi Suspensi dan Emulsi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Bennet, H. 1964. Practical Emulsion. Chemical Publishing Inc. Brooklin, New York.

Fennema, O.W. 1985. Principle of Food Science, Food Chemistry. 2nd (ed). Marcel Dekker Inc. New York.

Glasstone, S. 1960 . Textbook of Physical Chemistry. Second Edition. Macmillan and CO limited. London.

Griffin, W.C.1954. Calculation of HLB Values of Non Ionic Surfactans. J. Food Sci. 5:249.

Lachman, L. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Lund, W. 1994. The Pharmaceutical Codex Principles and Practice of  Pharmaceutics. 12th (ed). The Pharmaceutical Press. London.

Martin, A., Swarbick, J., dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik 2. Edisi III. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Moechtar. 1989. Farmasi Fisik: Bagian Larutan dan Dispersi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Petrowski, G.E. 1976. Emulsion Stability and It’s Relations to Food. Di dalam C.O. Chichester. Advance in Food Research. Academic Press. New York.

Sarmoko. 2010. Pengaruh penggunaan alat terhadap stabilitas emulsi. http://moko31.wordpress.com/2010/02/13/pengaruh-penggunaan-alat-terhadap-stabilitas-emulsi/. Diakses Pada Jumat, 18 November 2016 Pukul 14:37 WIB.

Sukardjo. 1997. Kimia Fisika. Rineka Cipta. Yogyakarta.

Swern, D. 1979. Bailey’s Industrial Oil And Fat Product Vol.1. Interscience Publication. New York.

Wanibesak, E. 2011. Sistem koloid. http://wanibesak.wordpress.com/2011/05/30/system-koloid/. Diakses Pada Jumat, 18 November 2016 Pukul 15:08 WIB.

Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.
Yazid, E. 2005. Kimia Fisika Untuk Paramedis. Penerbit Andi. Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar