TUGAS KIMIA
FARMASI MEDISINAL
Hubungan
Kualitatif Struktur Aktivitas
Disusun oleh:
Agustiani Masliyana (1543057049)
Akhmad Andy Sandra (1543057052)
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
JAKARTA
Hubungan Kualitatif Struktur Aktivitas
A.
Aktivitas Obat
Aktivitas senyawa
bioaktif disebabkan oleh interaksi antara molekul obat dengan bagian molekul
dari obyek biologis yaitu reseptor spesifik. Untuk dapat berinteraksi dengan
reseptor spesifik dan menimbulkan aktivitas spesifik, senyawa bioaktif harus
mempunyai struktur sterik dan distribusi muatan yang spesifik pula. Dasar dari aktivitas obat adalah proses-proses kimia yang kompleks mulai dari
saat obat diberikan sampai terjadinya respons biologis. Skema aktivitas obat
dapat dilihat pada gambar berikut.
Skema Aktivitas Obat
Fasa-fasa yang
mempengaruhi aktivitas obat adalah fasa farmasetik, fasa farmakokinetik dan
fasa farmakodinamik.
Fasa farmasetik meliputi fasa
I, dimana sediaan mengalami desinegrasi kemudian senyawa aktif mengalami
dispersi molekul dan melarut. Fasa ini menentukan ketersediaan farmasetik yaitu
ketersediaan senyawa aktif untuk dapat diabsorpsi oleh sistem biologis.
Fasa
farmakokinetik meliputi proses fasa II dan fasa III. Fasa II adalah proses absorbsi
molekul obat yang menghasilkan ketersediaan biologis obat, yaitu senyawa aktif
dalam cairan darah (pH=7,4) yang akan didistribusikan kejaringan atau organ
tubuh. Fasa III adalah fasa yang melibatkan proses distribusi, metabolisme dan
ekskresi obat yang menentukan kadar senyawa aktif pada kompartemen tempat
reseptor berada. Fasa I, II, dan III menentukan kadar obat aktif yang dapat
mencapai jaringan target.
Fasa
Farmakodinamik meliputi proses fasa IV dan fasa V. Fasa IV adalah tahap interaksi molekul
senyawa aktif dengan tempat aksi spesifik atau reseptor pada jaringan target,
yang dipengaruhi oleh ikatan kimia yang terlibat, seperti ikatan kovalen, ion,
van der Waal's, hidrogen, hidrofob, ion-dipol, keserasian bentuk dan ukuran
molekul obat dengan reseptor. Fasa V adalah induksi rangsangan, dengan melalui
proses biokimia, menyebabkan terjadinya respon biologis. Hubungan antara
rangsangan dan respons tidak tergantung pada sifat molekul obat. Rancangan obat
dapat dilakukan pada fasa I sampai IV.
Rancangan obat
terutama untuk mengembangkan molekul obat dengan sifat kimia fisika yang lebih
baik, yang berhubungan dengan efek biologis yang diinginkan, termasuk aspek
farmasetis, melalui proses modifikasi molekul. Pengembangan bentuk sediaan yang
lebih baik tidak melibatkan modifikasi molekul, meskipun demikian bentuk
sediaan dianggap sebagai aspek rancangan obat karena merupakan determinan yang
cukup penting untuk efikasi senyawa aktif.
1. Aktivitas pada Fasa Farmakokinetik
Untuk memberikan
efek biologis, obat dalam bentuk aktifnya harus berinteraksi dengan reseptor
atau tempat aksi atau sel target, dengan kadar yang cukup tinggi. Sebelum
mencapai reseptor, obat terlebih dulu harus melalui proses farmakokinetik.
Faktor – faktor
penentu dalam proses farmakokinetik adalah:
a.
Sistem kompartemen dalam cairan tubuh, seperti :
cairan intrasel, cairan ekstrasel (plasma darah, cairan interstitiel, cairan
serebrospinal) dan berbagai fasa lipofil dalam tubuh.
b.
Protein plasma, protein jaringan dan berbagai
senyawa biologis yang mungkin dapat mengikat obat.
c.
Distribusi obat dalam berbagai sistem
kompartemen biologis, terutama hubungan waktu dan kadar obat dalam berbagai
sistem tersebut, yang sangat menentukan kinetika obat.
d.
Dosis dan sediaan obat, transpor antar
kompartemen seperti proses absorbsi, bioaktivasi, biodegradasi dan eksresi,
yang menentukan lama obat dalam tubuh.
Bila
proses–proses absorpsi, distribusi dan eliminasi obat dalam sistem multikompartemen
biologis berdasarkan pada difusi pasif dan bila kapasitas kompartemen
tergantung pada nilai koefisien partisi obat, maka kadar obat dalam berbagai
kompartemen akan meningkat sesuai dengan dosis yang digunakan.
Bila proses distribusi dan eliminasi tergantung pada
interaksi obat dengan tempat aktif, seperti pembawa pada transpor aktif atau
enzim, atau bila kapasitas kompartemen ditentukan oleh jumlah tempat pengikatan
(binding sites, seperti ikatan obat
dengan protein plasma, maka akan terjadi fenomena kejenuhan.
Metabolisme obat mempunyai peran penting dalam proses
farmakokinetik. Sistem enzim metabolisme obat, terutama enzim oksidase dihati
serta enzim hidrolase dihati dan plasma, berperan dalam mengubah senyawa
lipofilik menjadi substrat untuk sistem konjugasi, dengan memasukkan gugus
polar seperti COOH dan OH fenolik. Selanjutnya senyawa mengalami konjugasi
menghasilkan konjugat glukuronida, sulfat dan glisin, yang bersifat sangat
mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan melalui ginjal atau hati.
Banyak senyawa asam atau basa yang mudah larut dalam air diekskresikan melalui
mekanisme transpor aktif. Senyawa lipofilik yang tahan terhadap proses
metabolisme akan diakumulasikan pada jaringan lemak.
2. Aktivitas yang Terjadi
pada Proses Farmakokinetik Lingkungan
Bahan yang
bersifat toksik terhadap manusia dan makhluk hidup lain termasuk dalam
rancangan obat, agar diperoleh senyawa yang masih tetap efektif terhadap
sasaran tetapi aman dan tidak toksik bagi lingkungan. Farmakokinetik lingkungan
mempelajari tentang interaksi antara makhluk hidup, manusia, hewan dan tumbuh –
tumbuhan dengan senyawa– senyawa kimia yang tersebar di lingkungan. Perjalanan
senyawa bioaktif dalam lingkungan melalui berbagai bentuk kehidupan melalui
berbagai bentuk kehidupan, sehingga perlu monitoring atau kontrol kadar senyawa
tersebut dalam usaha membentuk suatu lingkungan yang sehat.
Studi
farmakokinetik lingkungan meliputi:
a.
Ekosistem atau populasi dalam lingkungan. Bagian
utama sistem kompartemen lingkungan adala udara, tanah, air tanah dan air
permukaan, serta berbagai spesies tanaman dan hewan atau biomasa.
b.
Polutan. Tingkat akumulasi polutan atau senyawa
radioaktif perlu ditentukan dengan satuan unit per waktu, juga waktu paro (
dan kecepatan eliminasi biologisnya.
c.
Senyawa anorganik.
Untuk senyawa anorganik ditentukan waktu beradanya, lama senyawa
berubah, kadar senyawa dan kecepatan peningkatan senyawa dengan satuan unit
perwaktu, waktu eliminasi senyawa sampai tercapai keadaan keseimbangan dan
waktu paro senyawa.
3. Aktivitas oleh Induksi dari Efek
Aktivitas
biologis suatu obat diperoleh setelah senyawa berinteraksi dengan molekul
spesifik dalam objek biologis. Interaksi tersebut ditunjang dengan spesifitas
sifat fisika kimia senyawa yang tinggi, terutama sifat sterik dan distribusi
muatan. Biopolimer yang berfungsi mengatur proses – proses biokimia dalam tubuh
seperti enzim dan asam nukleat, merupakan calon tempat aksi obat. Bila
perubahan konformasi polimer penting untuk aktivitas obat, pendudukan tempat
aksi oleh obat akan menetukan lama tidaknya efek biologis obat tersebut.
Kekuatan
respons biologis obat tergantung pada:
a. Jumlah tempat reseptor yang diduduki.
b. Rata-rata lama pendudukan, yang tergantung pada kecepatan disosiasi
kompleks obat-reseptor.
c. Kemampuan atau kapasitas molekul obat untuk menginduksi perubahan
bentuk konfirmasi biopolimer, yang dibutuhkan sebagai pemicu rangsangan
timbulnya respon biologis.
4. Afinitas dan Aktivitas Instrinsik
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas
dapat menunjang afinitas interaksi obat – reseptor dan mempunyai efisiensi
untuk menimbulkan respons biologis sebagai akibat pembentukan kompleks obat
reseptor. Jadi respons biologis merupakan fungsi dari jumlah kompleks obat –
reseptor.
Parameter induksi efek pada reseptor spesifik adalah sebagai berikut:
a.
Afinitas molekul obat dengan reseptor, yang ditentukan oleh kekuatan ikatan
obat-reseptor.
b.
Komples obat – reseptor yang memungkinkan terjadinya perubahan dan
distribusi nuatan reseptor sehingga timbul rangsangan atau respons yang sesuai.
Kemampuan untuk meninmbulkan biologis disebut aktivitas intrinsik.
Afinitas adalah ukuran kemampuan obat untuk
mengikat reseptor . afinitas sangat bergantung pada struktur molekul obat dan
sisi reseptor. Aktivitas afinitas adalah ukuran kemampuan obat untuk dapat
memulai timbulnya respons biologis. Aktivitas intrinsik merupakan karakteristik
dari senyawa – senyawa agonis.
5. Aktivitas pada Percobaan in vivo dan in vitro
Aktivitas biologis pada percobaan in vivo adalah suatu
integrasi dan keseimbangan yang kompleks dari sifat kimia fisika senyawa, yang
ditentukan oleh berbagai kondisi biologis atau biokimia dan biofisika pada
berbagai fasa dari aktivitas obat. Hubungan struktur-aktivitas pada percobaan in
vivo sering tidak memuaskan karena banyaknya perbedaan dari tahap –
tahap yang terlibat dalam aktivitas obat. Dengan memperkecil jumlah tahap
– tahap, diharapkan dapat memperkecil jumlah persyaratan – persyaratan,
sehingga hubungan struktur-aktivitas menjadi lebih jelas.
Studi obat secara in vitro pada percobaan dengan menggunakan organ
yang terisolasi, pengaruh dari trasnpor, perubahan kimia, metabolisme dan
ekskresi obat menjadi minimal dan distribusi menjadi lebih sederhana, sehingga
diharapkan hubungan struktur-aktivitas menjadi lebih jelas. Dengan sistem uji in
vitro yang baik, akan didapat informasi mengenai sifat kimia obat yang
berperan terhadapt aktivitas, bagian struktur molekul obat yang berinteraksi
dengan reseptor (gugus fungsi) dan penyebab dari efek. Sifat kimia obat
merupakan bagian yang penting untuk terjadinya efek biologis.
6. Aktivitas dari Senyawa Multipoten
Beberapa
senyawa dalam satu turunan obat dapat menunjukkan aktivitas biologis yang
bermacam-macam. Hubungan antara komponen yang bervariasi dalam spektrum
aktivitas senyawa multipoten mempunyai kemungkinan bervariasi, yaitu:
a.
Komponen yang bervariasi dalam aktivitas biologis disebabkan oleh interaksi
obat dengan tipe reseptor yang berbeda.
b.
Komponen yang bervariasi dalam spektrum aktivitas kemungkinan disebabkan
oleh tipe molekul yang berbeda. Molekul obat sendiri dapat menimbulkan satu
efek sedang metabolitnya menimbulkan efek yang lain.
c.
Komponen yang bervariasi dalam spektrum aktivitas kemungkinan merupakan
aspek yang mendasar dari satu tipe unit aksi farmakologis.
d.
Hilangnya satu komponen aktivitas dalam spektrum aktivitas dari turunan
obat tertentu kemungkinan disebabkan oleh perbedaan distribusi, tidak oleh
pemisahan yang mendasar dari aktivitas komponen.
7. Efek Terapetik dan Senyawa Efek Samping
Spektrum efek
dari senyawa multipoten dapat dibedakan dalam efek terapetik dan efek samping
atau efek yang diinginkan dan efek yang tidak diinginkan. Kualifikasi efek
terapetik atau efek samping dapat relatif subyektif.
Untuk mencapai tujuan
pengembangan obat dapat dilakukan dengan menghilangkan salah satu komponen
aktivitas dari spektrum aktivitas obat atau memisahkan dua komponen aktivitas
dari satu obat menjadi dua senyawa yang berbeda, melalui manipulasi molekul.
B. Hubungan
Struktur – Aktivitas
Aktivitas
biologis suatu obat diperoleh setelah terjadi interaksi senyawa dengan molekul
spesifik dalam obyek biologis. Interaksi tersebut ditunjang dengan spesifitas
sifat kimia fisika senyawa yang tinggi. Aktivitas obat berhubungan dengan sifat
kimia fisika obat, dan merupakan fungsi dari struktur molekul obat. Hubungan
struktur kimia dan aktivitas biologis yang tidak baik dapat disebabkan oleh
kurang baiknya metode penelitian yang digunakan. Pengetahuan tentang hubungan
struktur kimia dan aktivitas biologis merupakan dasar penting dari penggunaan
rancangan obat.
1. Faktor yang Kurang
Mendukung Hubungan Struktur-Aktivitas
Faktor-faktor yang menyebabkan kurang baiknya hubungan struktur-aktivitas
antara lain adalah :
a.
Perbedaan keadaan pengukuran parameter kimia fisika dan aktivitas biologis
b.
Sennyawa yang digunakan ternyata bentuk pra-obat, yang terlebih dahulu
harus mengalami bioaktivasi menjadi metabolit aktif.
c.
Aktivitas obat dipengaruhi oleh banyak keadaan in vivo, seperti
distribusi obat yang melibatkan proses transpor, pengikatan oleh protein,
proses metabolisme yaitu bioaktivasi dan biodegradasi, serta proses ekskresi.
Untuk menimbulkan efek, obat harus dapat mencapai jaringan target dalam bentuk
aktifnya dengan kadar yang cukup, dan dapat berinteraksi secara serasi dengan
reseptor. Interaksi obat dengan reseptor spesifik memerlukan struktur molekul
obat yang spesifik, terutama distribusi muatan dan sifat steriknya.
d.
Senyawa mempunyai pusat atom asimetris, sehingga kemungkinan merupakan
campuran rasemat, dan masing – masing isomer mempunyai derajat aktivitas yang
berbeda. Kadang-kadang satu isomer bersifat agonis sedang isomer yang lain
bersifat antagonis kompetitif.
e.
Senyawa mempunyai aktivitas biologis yang mirip dengan senyawa lain tetapi
berbeda mekanisme aksinya.
f.
Pengaruh bentuk sediaan terhadap aktivitas. Formulasi farmasetis dapat
menyebabkan kegagalan studi hubungan struktur-aktivitas. Faktor seperti ukuran
partikel dan bentuk kristal obat dalam sediaan farmasi kemungkinan dapat mempengaruhi
potensi obat.
g.
Obat bersifat multipoten. Struktur kimia yang diperlukan untuk menimbulkan
aktivitas biologis yang berbeda mungkin serupa atau tumpang tindih, sedikit
atau banyak, dan ini pada umumnya terdapat pada senyawa multipoten.
h.
Perbedaan spesies, terutama obat yang memberikan perbedaan aktivitas yang
besar oleh adanya perbedaan spesies. Perbedaan ini pada umumnya terjadi pada
obat bersifat lipofilik yang kemungkinan disebabkan oleh perbedaan proses
perubahan metabolik (oksidatif atau hidrolitik) di hati dan proses ekskresi
obat diginjal.
2. Faktor yang Mendukung
Hubungan Struktur-Aktivitas
Faktor yang mendukung hubungan struktur-aktivitas yang baik, antara lain
adalah :
a. Hubungan
struktur-aktivitas empiris yang sifatnya Insidental. Untuk tipe obat tertentu
hukum empiris yang diperlukan untuk terjadinya aktivitas biologis dapat
digunakan untuk membuat turunan obat berdasarkan data percobaan yang tersedia.
b. Struktur obat simetrik. Beberapa tipe obat tertentu ada yang mengandung
dua gugus fungsi yang simetrik yang berhubungan dan mungkin diperlukan untuk
aktivitas atau mempunyai keuntungan tertentu. Meskipun demikian hal ini tidak
berarti bahwa harus diperlukan struktur simetri yang lengkap.
Jarak antara dua gugus fungsi identik dalam molekul obat mungkin
diperlukan untuk mendapatkan aktivitas yang optimal. Hal ini menunjukkan bahwa
reseptor mempunyai dua sisi aktif pada jarak yang tertentu. Jarak yang optimum
kemungkinan berhubungan dengan sifat hidrofil dan lipofil yang optimum.
3. Hubungan
Struktur-Aktivitas yang Sebenarnya
Aktivitas biologis merupakan refleksi sifat kimia fisika dari senyawa
bioaktif, sehingga hubungan struktur-aktivitas seharusnya ada hukum yeng
tertentu. Contoh pada seri homolog sederhana R(CH2)nCH3
dan R(CH2)nR’, lipofitas atau kemampuan untuk membentuk ikatan
hidrofob berubah secara teratur sesuai dengan jumlah n.
Aspek utama hubungan struktur-aktivitas secara umum didapatkan antar
senyawa dengan pusat asimetri yaitu diastereoisomer dan antar senyawa
enansiomer yang mempunyai sifat kimia fisika sangat mirip. Enansiomer
berhubungan erat dengan sifat kimia fisika. Mereka hanya berbeda sifat
steriknya, tetapi biasanya mempunyai sifat lipofil, polaritas dan distribusi
muatan yang sama. Perbandingan aktivitas enansiomer dengan campuran rasematnya
menunjukan hubungan yang khas.
a.
Hubungan sifat kimia fisika dan aktivitas
Perubahan
struktur dalam hal tertentu tidak mengubah aktivitas obat pada uji in vitro.
Hal ini terjadi bila gugus tersebut merupakan gugus nonkritik dan bukan gugus
fungsi.
b.
Hubungan struktur kimia dan aktivitas biologis obat dengan tempat aksi yang
sama.
1)
Hubungan langsung antara struktur dengan aktivitas berdasarkan interaksi
gugus-gugus senyawa-senyawa agonis pada tempat aksi yang sama.
2)
Hubungan struktur dengan aktivitas berdasarkan pada interaksi senyawa
antagonis dan senyawa agonis pada tempat aksi yang sama sehingga menghasilkan
hambatan kompetitif atau antagonis kompetitif.
3)
Obat-obat segolongan aktivitas farmakologisnya.
c.
Hubungan struktur-aktivitas tak langsung.
Hubungan
struktur-aktivitas dapat terjadi pada senyawa-senyawa yang berbeda tempat
aksinya. Bermacam-macam senyawa kemungkinan dapat berpengaruh pada tempat atau
tahap yang berbeda dalam rangkaian konversi enzim pada proses biosintesis atau
biodegrdasi. Senyawa antara pada rangkaian konversi enzim pada umumnya
mempunyai struktur kimia yang masih berhubungan erat dengan obat aktif.
d.
Hubungan struktur-aktivitas untuk stereoisomer.
Hubungan
struktur-aktivitas untuk stereoisomer dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1)
Pada campuran rasemik perbandingan aktivitas
(potensi) isomer-isomer kemungkinan berbeda spektrum aktivitasnya.
2)
Hubungan antara perbandingan aktivitas pasangan stereoisomer
dan aktivitas dari isomer yang lebih aktif dari pasangannya.
3)
Aktivitas campuran isomer optis dibandingkan
dengan aktivitas satu isomer murni.
C.
Pengukuran Kuantitatif Aktivitas Biologis
Ada tiga tipe pengukuran
kuantitatif pada efek obat terhadap hewan coba:
Ø
Efek individu, dengan
mengukur dosis efek individu terhadap hewan coba.
Contoh: pemberian obat hipnotik dengan dosis ditingkatkan secara
bertahap sampai terjadi efek tertidur.
Ø
Efek bertingkat, yaitu
mengukur efek obat terhadap tiap-tiap hewan coba dalam satu kelompok uji,
dengan dosis yang bervariasi.
Contoh: pemberian obat anabolik dengan dosis yang bervariasi dan
dilihat efeknya terhadap kenaikan berat badan hewan coba.
Ø
Efek kuantal, yaitu
mengukur respon “semua atau tidak” (all or one = respons kuantal) dari
suatu kelompok hewan coba, dengan menentukan persen respons. Disini pengamatan
hanyalah mengenai masalah terjadi atau tidak terjadinya efek pada tiap hewan
coba, seperti hewan yang mati atau yang menunjukkan gejala respons tertentu
misal gejala hipoglemik.
Contoh: menentukan dosis efektif median (ED50) dan dosis
letal median (LD50) dario suatu obat terhadap kelompok hewan coba.
1.
Dosis Efektif Median (ED50) dan Dosis Letal
Median (LD50)
Konsep yang sangat penting
mengenai efek terapi adalah adanya fenomena variasi biologis. Bila dosis obat
yang diberikan akan memeberikan respons “semua atau tidak”, didapatkan bahwa
kepekaan berbagai individu sangat berveriasi.
Variasi biologis sering
terjadi pada hewan dan keturunannya yang sejenis. Oleh karena itu dapat
diprakirakan bahwa ada variasi lebih besar pada populasi manusia yang lebih
heterogen. Variasi biologis dalam
aktivitas obat merupakan sebab yang penting mengapa pengobatan harus
individualistik dan treatmen diatur sesuai kebutuhan individu pasien. Hal
tersebut juga menjelaskan bahwa tidak ada generalisasi tentang keefektifan atau
keamanan obat dapat disimpulkan atas dasar uji coba klinik dengan jumlah sampel
yang kecil.
2.
Perkiraan ED50 atau LD50 dengan
Kertas Grafik Logaritma Probit
Litchfied dan Fertig (1941)
telah memperkenalkan cara grafik untuk menggambarkan kurva dosis-efek, yang
kemudian disederhanakan oleh Miller dan Tainter (1944) untuk menghitung
perkiraan nilai ED50 atau LD50 dengan menggunakan kertas
grafik logaritma probit. Sebagai absis adalah skala logaritma dari dosis dan
sebagai ordinat adalah skala probit atau lebih baik dengan skala persen
nonlinier terkoreksi yang sesuai dengan skala probit.
3.
Tetapan Afinitas pA2 dan pD’2
Aktivitas biologis pada
umumnya dinyatakan dalam pA2 dan pD’2, dan kedua nilai
tersebut sangat berguna untuk membandingkan kurva dosis-respons dari senyawa
yang berhubungan. pA2 didefinisikan untuk senyawa antagonis. pA2
diukur sebagai kadar molar senyawa antagonis [B] yang diperlukan untuk menggandakan
dosis senyawa agonis sebagai kompensasi terhadap aksi dari antagonis.
4.
Aktivitas Intrinsik dan pD2
pD2
didefinisikan untuk senyawa agonis, yaitu logaritma negatif molar dosis senyawa
agonis yang memberikan efek 50% atau setengah dari respons biologis maksimum
pada sistem reseptor-efektor. Dalam kasus ini kurva dosis-respons bersifat
linier. pD2 juga mengukur afinitas obat terhadap reseptor. Dengan
cara yang sama pD10 adalah dosis agonis yang dapat memberikan efek
sepersepuluh dari respons biologis maksimum.
Kesimpulan
Hubungan struktur-aktivitas obat
dalam tubuh secara umum didapatkan antar senyawa dengan pusat asimetri yaitu
diastereoisomer dan antar senyawa enansiomer yang mempunyai sifat kimia fisika
sangat mirip.
DAFTAR
PUSTAKA
Ariens EJ.
1971. Ed. Drug Design, vol. I, New
York, London: Academic Press.
Lien EJ.
1987. SAR, Side Effect and Drug Design, Ney
York and Basel, Marcel Dekker, Inc.
Siswandono
dan Bambang Soekardjo. 1998. Eds. Prinsip-Prinsip
Rancangan Obat. Surabaya: Airlangga University Press.
0 komentar:
Posting Komentar