Senin, 25 Juni 2018

TUGAS FARMASI KLINIK DASAR Osteoporosis


TUGAS FARMASI KLINIK DASAR

Osteoporosis

 

Akhmad Andy Sandra

723901S.12.054
                     

AKADEMI FARMASI SAMARINDA

2013

BAB I

PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang

Masalah usia lanjut dan osteoporosis semakin menjadi perhatian dunia, termasuk Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya usia harapan hidup. Keadaan ini menyebabkan peningkatan penyakit menua yang menyertainya, antara lain osteoporosis.

Osteoporosis merupakan satu penyakit metabolic tulang yang ditandai oleh menurunnya massa tulang,oleh karena berkurangnya massa matriks dan mineral tulang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang, dengan akibat menurunnya kekuatan tulang, sehingga terjadi kecendrungan tulang patah (Kawiyana, 2009)

Pengobatan osteoporosis yang sudah lanjut dengan komplikasi patah tulang merupakan hal yang sangat sulit dan memerlukan waktu lama serta biaya yang cukup besar.  Di Amerika dari 300.000 kasus fraktur osteoporosis pada tahun 1991 dibutuhkan dana $5 milyar. Dan diperkirakan akan membutuhkan dana mencapai $30-40 milyar pada tahun 2020. Di Indonesia tahun 2000 dengan 227.850 fraktur osteoporosis dibutuhkan dana $2,7 milyar dan perkiraan pada tahun 2020 dengan 426.300 fraktur osteoporosis dibutuhkan dana $3,8 milyar. Dapat dibayangkan biaya pada tahun 2050 (FK UI). Jadi osteoporosis lebih-lebih yang sudah terjadi komplikasi menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang cukup serius.



BAB II

TINJAUAN PUSTAKA



2.1Epidemiologi

Osteoporosis dapat menyerang pria maupun wanita. Berdasarkan penelitian dari American College of Reumatologi Communications and Marketing Committee, mengemukakan bahwa osteoporosis lebih umum terjadi pada lansia dan orang berkulit puih. Dalam hal ini pria memiliki resiko yang sama dengan wanita. Osteoporosis juga dapat terjadi pada semua usia dan pada semua suku. Usia di atas 50 tahun memiliki lebih tinggi terkena osteoporosis. Pada kelompok usis tersebut satu dari dua wanita dan satu dari enam pria sering menderita fraktr terkait osteoporosis. Orang berkulit putih dan orang Asia memiliki resiko yang lebih besar menderita osteoporosis dan fraktur terkait osteoporosis. Orang berkulit hitam juga dapat terkena osteoporosis tetapi memiliki resiko lebih rendah dibandingkan dengan penduduk Asia dan orang berkulit putih (Tandra, 2009)

     Catatan dari International Osteoporosis Foundation adalah tiap wanita mempunyai resiko fraktur akibat osteoporosis sebesar 40% dalam hidupnya dan bagi pria angka resikonya adalah 30%. Angka lain yang mengejutkan adalah sekitar 20 persen orang usia lanjut mengalami patah tulang akan meninggal dunia tiap tahun. Ramalan di tahun 2020 adalah setengan dari orang berusia 50 tahun di Amerika Serikat akan beresiko mengalami patah tulang karena osteoporosis. Setelah tahun 2050, diperkirakan aka nada 6,3 juta patah tulang panggul setiap tahun di seluruh dunia, dimana lebih dari setengahnya terdapat di Asia (Tandra, 2009).

     Berdasarkan hasil analisa data yang dilakukan Puslitbang Gizi Depkes RI tahun 2004 pada 14 provinsi menunjukkan bahwa masalah osteoporosis di Indonesia telah mencapai tingkat yang perlu diwaspadai yaitu 19,7%. Tingkat kecenderungan ini 6 kali lebih besar dibandingkan Belanda. Lima provinsi dengaan resiko osteoporosis lebih tinggi yakni Sumatera Selatan (27,7%), Jawa Tengah (24,02%), DI Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara (22,8%), Jawa Timur (21,42%), dan Kalimantan Timur (10,5%) (Depkes RI, 2004).

     Hasil analisa data resiko osteoporosis pada tahun 2005 dengan jumlah sampel 65.727 orang (22.799 laki-laki dan 42.928 orang perempuan) yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes RI dan sebuah perusahaan nutrisi pada 16 wilayah di Indonesia secara selected people (Sumatera Utara & NAD, Sumatera Barat, Riau, Kep.Riau, Jambi, Sumatera Selatan & Bangka Belitung & Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali & NTB & NTT, Kalimantan, Sulawesi & Maluku & Papua) dengan metode pemeriksaan DMT (Densitas Massa Tulang) menggunakan alat diagnostic clinical bone  sonometer, menunjukkan angka prevalensi osteopenia (osteoporosis dini) sebesar 41,7% dan prevalensi osteoporosis sebesar 10,3%. Ini berarti 2 dari 5 penduduk Indonesia memiliki resiko untuk terkena osteoporosis usia <5 tahun pada pria cenderung lebih tinggi disbanding wanita, sedangkan >55 tahun peningkatan osteopenia pada wanita enam kali lebih besar dari pria dan peningkatan osteoporosis pada wanita dua kali lebih besar dari pria (Depkes RI, 2008)

Sekarang bahwa osteoporosis merupakan penyakit endemik manusia usia lanjut. Dinyatakan dari tahun 1990 sampai 2025 terjadi kenaikan jumlah penduduk Indonesia yang osteoporosis mencapai 41.4% yang mengancam terjadi patah tulang (14,7-20%) pertahun dan kecacatan dalam kehidupan. Diperkirakan angka fraktur tulang panggul di dunia meningkat dari 1,7 juta/tahun 1990 menjadi 6,3 juta/tahun pada tahun 2025 (Suryati, 2009).



2.2 Patofisiologi

1.      Definisi

Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang (Tandra, 2009).

Menurut WHO pada International Consensus Development Conference, di Roma, Itali, 1992 Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dengan risiko terjadinya patah tulang (Suryati, 2006).

Menurut National Institute of Health (NIH), 2001 Osteoporosis adalah kelainan kerangka, ditandai dengan kekuatan tulang yang mengkhawatirkan dan dipengaruhi oleh meningkatnya risiko patah tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan gabungan dari dua faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang. Dimana keadaan tersebut tidak memberikan keluhan klinis, kecuali apabila terjadi fraktur (thief in the night) (Junaidi, 2007).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1142/Menkes/SK/VII/2008, osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai berkurangnya massa tulang dan adanya perubahan mikro-arsitektur jaringan tulang yang berakibat menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang, sehingga tulang mudah patah. Definisi lain, osteoporosis adalah kondisi dimana tulang menjdai tipis, rapuh, keropos dan mudah patah akibat berkurangnya masssa tulang yang terjadi dalam waktu lama. Secara statistic, osteoporosis didefinisikan sebagai keadaan dimana Densitas Mineral Tulang (DMT) berada di bawah nilai rujukan menurut umur atau standar deviasi berada di bawah nilai rata-rata rujukan pada usia dewasa muda.

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik. Dan fraktur osteoporosis dapat terjadi pada tiap tempat. Meskipun fraktur yang berhubungan dengan kelainan ini meliputi thorak dan tulang belakang (lumbal), radius distal dan femur proksimal. Definisi tersebut tidak berarti bahwa semua fraktur pada tempat yang berhubungan dengan osteoporosis disebabkan oleh kelainan ini. Interaksi antara geometri tulang dan dinamika terjatuh atau kecelakaan (trauma), keadaan lingkungan sekitar, juga merupakan faktor penting yang menyebabkan fraktur. Ini semua dapat berdiri sendiri atau berhubungan dengan rendahnya densitas tulang.6 (Scottish Intercolligiate Guideline Network, 2003)

Osteoporosis merupakan suatu penyakit yang tergolong silent-disease atau tidak memiliki gejala yang tampak sehingga untuk deteksi kondisi pasien harus dilakukan diagnosis laboratorium. Kondisi patologis tersebut biasanya baru diketahui setelah seseorang mengalami kejadian patah tulang atau terjadi kelainan struktur tulang sehingga penanganan dini sulit dilakukan. Penanganan dini sangat penting dilakukan untuk mencegah resiko yang lebih buruk. Sebelum terjadinya patah tulang ataupun perubahan struktur tulang, kondisi pasien masih dapat kembali seperti semula atau kembali normal.



2.      Etiologi

Osteoporosis dibagi menjadi dua golongan besar menurut penyebabnya, yaitu:

a.    Osteoporosis primer yaitu osteoporosis yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit (proses alamiah). Osteoporosis primer berhubungan dengan berkurangnya massa tulang dan atau terhentinya produksi hormon (khusus perempuan yaitu estrogen) disamping bertambahnya usia (DepKes RI,2008). Dapat terjadi pada berbagai usia, dihubungkan dengan faktor resiko meliputi, merokok, aktifitas, berat badan, alkohol, ras putih kulit Asia,riwayat keluarga, postur tubuh dan asupan kalsium yang rendah.

 Osteoporosis primer terdiri dari:

-            Osteoporosis primer tipe I. sering disebut dengan istilah osteoporosis pasca menopause yang terjadi pada wanita usia 50-65 tahun, fraktur biasanya pada vertebra (ruas tulang belakang), iga atau tulang radius.

-            Osteoporosis tipe II. Sering disebut dengan istilah osteoporosis senile, yang terjadi pada usia lanjut. Hal ini kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblas) (Junaidi,2007). Pasien biasanya berusia ≥70 tahun, pria dan wanita mempunyai kemungkinan yang sama terserang, fraktur biasanya pada tulang paha. Selain fraktur maka gejala yang pelu diwaspadai adalah kifosis dorsalis, makin pendek  dan nyeri tulang berkepanjangan.

b.   Osteoporosis sekunder yaitu osteoporosis yang disebabkan oleh berbagai kondisi klinis/penyakit, seperti infeksi tulang tumor tulang pemakaian obat-obatan tertentu dan immobilitas yang lama. Merupakan osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit atau penggunaan obat tertentu. Penyebab paling umum osteoporosis sekunder adalah defisiensi vitamin D dan terapi glukokortikoid (Dipiro et al, 2005). Defisiensi vitamin D akan menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di usus, sehingga kalsium dalam darah akan turun, sehingga untuk memenuhi kalsium darah akan diambil kalsium dari tulang yang dapat menyebabkan kerapuhan tulang.

Mekanisme obat yang dapat memicu osteoporosis dapat digolongkan menjadi 3 kelompok besar yakni aktivasi osteolklast dan meningkatkan pergantian tulang. Kedua, menekan aktivitas osteoblast dan yang ketiga menghambat mineralisasi tulang. Beberapa obat yang memicu osteoporosis:

1.    Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid jangka panjang menjadi penyebab sekunder yang paling banyak ditemui, khususnya penggunaan sistemik. Pemberian lebih dari 7,5 mg prednison selama 2-3 bulan dapat menyebabkan terjadinya kehilangan massa tulang yang cukup berarti (Mike, 2000). Glukokortikoid banyak digunakan dan efektif dalam mengobati penyakit paru, rematoid, gangguan saluran cerna, kondisi dermatologi, dan autoimun. Resiko kehilangan tulang yang terbesar terjadi dalam enam hingga 12 bulan pertama terapi jangka panjang. Pada tahap inisiasi penggunaan terapi steroid tersebut penurunan massa tulang mencapai 12%. Hal ini terjadi sejalan dengan meningkatnya dosis, tetapi biasanya terjadi pada dosis harian yang normal. Banyak penelitian telah mengevaluasi komorbiditas terkait dengan steroid yang memicu osteoporosis, sekitar 30% hingga 50% pasien yang memakai secara sistemik dalam jangka waktu panjang, akhirnya mengalami fracture (Hulisz, 2006).

2.    Obat-obat antikonvulsi

Antikonvulsant tertentu dapat menyebabkan kehilangan tulang. Obat yang paling sering dikaitkan dengan osteoporosis yakni fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, dan primidone. Obat antiepilepsi (AED) semua ampuh menginduksi isoenzim CYP-450. Dalam salah satu penelitian terhadap masyarakat dengan populasi wanita lanjut usia, keropos tulang hampir dua kali lipat pada mereka yang menggunakan AED dibandingkan dengan yang tidak menggunakan.

Mekanisme yang terjadi pada penggunaan AED yang menyebabkan osteoporosis yakni dengan adanya penginduksian enzim hati CYP-450, yang menyebabkan metabolisme yang cepat vitamin D, dan mungkin estrogen. AED juga terkait dengan penurunan penyerapan kalsium, hiperparatiroid sekunder, dan meningkatnya pergantian tulang. Pada tingkat terapetik, fenitoin dan karbamazepin telah menunjukkan efek langsung pada penghambatan sel osteoblas tulang. Mekanisme yang mungkin terkait dengan fenitoin adalah penghambatan sekresi osteocalcin –hormon yang mengatur kalsium pada tulang. AED mungkin menunjukkan kombinasi dari efek ini, dan dampaknya terhadap kehilangan tulang dapat menjadi aditif jika diberikan kombinasi (Hulisz, 2006).

3.    Heparin

Unfractionated Heparin (UFH) atau heparin alami juga merupakan obat pemicu osteoporosis. Komplikasi ini biasanya terlihat pada penggunaan terapi jangka panjang dengan dosis tinggi. Telah diperkirakan bahwa keropos tulang terjadi setelah enam bulan terapi heparin dengan dosis harian lebih besar dari 15.000 unit.

Mekanisme seluler yang tepat dimana heparin menyebabkan keropos tulang, belum sepenuhnya dipahami. Heparin menyebabkan resorpsi tulang dengan merangsang peningkatan osteoklas dan menekan fungsi osteoblas, yang menyebabkan massa tulang menurun. Mekanisme lainnya yakni menipisnya sel mast dalam sumsum tulang dan peningkatan fungsi hormon paratiroid (PTH), suatu regulator penting dari kalsium dalam tubuh. PTH meningkatkan pelepasan kalsium dan fosfor dari tulang ke dalam darah (Hulisz, 2006).

4.    Progestin

Salah satu obat yang terkait dengan osteoporosis adalah progestin. Progestin adalah jenis hormon yang biasa digunakan dalam berbagai bentuk kontrasepsi, serta dalam produk sulih hormon, dan digunakan pada wanita dari berbagai usia. Progestin paling sering dikaitkan dengan keropos tulang yakni medroksiprogesteron asetat (MPA). Ini adalah bentuk injeksi kontrol kelahiran yang dikenal sebagai Depo-Provera dan juga merupakan bagian dari kombinasi hormon pengganti yang dikenal sebagai Premphase, dan Prempro. Resiko terjadinya keropos tulang setelah dua tahun penggunaan berkelanjutan. Sejak Depo-Provera umumnya digunakan pada anak perempuan remaja. Pada remaja, MPA dapat digunakan selama dua tahun jika tidak ada pilihan lain yang sesuai. Namun, jika mungkin dianjurkan untuk menggunakan bentuk lain atau sebaiknya digunakan dengan kombinasi pil kontrasepsi oral.

5.    Hormon tiroid

Kondisi hipertiroid maupun terapi menggunakan hormon tiroid sangat berpengaruh terhadap kecepatan penurunan massa tulang. Pada anak-anak, jumlah hormon tiroid yang tinggi dapat memicu pertumbuhan karena hormon tiroid juga berperan dalam produksi energi tubuh. Akan tetapi, kelebihan asupan hormon tiroid pada orang dewasa dapat menyebabkan hipertiroid yang mengakibatkan hilangnya massa tulang. Pada kondisi hipertiroid, tubuh memberikan feedback negatif agar konsentrasi TSH menjadi menurun. Akibat dari kondisi ini adalah semakin cepatnya proses pemodelan kembali tulang dan massa tulang semakin menurun. Hal ini terjadi karena reseptor TSH juga terdapat pada sel prekursor osteoblas dan osteoklas. Pada kondisi dengan konsentrasi TSH terlalu kecil, resorpsi tulang berjalan lebih cepat sehingga terjadi pengeroposan tulang.

6.    Obat lainnya

Ada beberapa obat lain yang dapat menginduksi osteoporosis diantaranya; metotrexate, antasida yang mengandung aluminium, fluoride, furosemid, litium, siklosporin, dan vitamin A. Umumnya resiko terjadi osteoporosis karena pemberian dalam dosis tinggi. Misalnya penggunaan methotrexate pada pasien onkologi. Mekanismenya masih belum sepenuhnya dipahami, tetapi diduga melibatkan ketidakseimbangan reseorpsi dan formasi tulang.

Antasida yang mengandung aluminium dapat menyebabkan osteoporosis karena dapat menghambat aktivitas dari osteoblas serta menghambat penyerapan mineral lain dari saluran cerna. Fluoride juga dapat menyebabkan osteoporosis karena menghambat penyerapan kalsium dari saluran cerna. Fluoride sendiri bersifat mengikat kalsium sehingga sering ditambahkan dalam pasta gigi. Kalsium yang terikat dengan fluoride tidak dapat diabsorpsi dari saluran cerna sehingga lama kelamaan konsentrasi kalsium dalam darah menurun dan massa tulang menjadi menurun.

Litium menginduksi osteoporosis dengan meningkatkan konsentrasi paratiroid hormon dalam darah. Paratiroid hormon berperan dalam resorpsi tulang sehingga konsentrasi kalsium dalam darah meningkat. Furosemid merupakan suatu obat diuretikum, akibatnya eksresi kalsium melalui urin menjadi lebih tinggi dan konsentrasi kalsium dalam darah menjadi rendah. Konsentrasi kalsium yang rendah ini akan menginduksi pelepasan paratiroid hormon sehingga proses resorpsi tulang terjadi. Siklosporin diduga menyebabkan osteoporosis dengan meningkatkan aktivitas bone turnover. Konsumsi vitamin A yang berlebihan juga dapat memicu aktivitas osteoklas yang berlebihan sehingga proses resorpsi tulang semakin meningkat.



 Selain penggolongan diatas, terdapat juga penyebab osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui (osteoporosis juvenile idiopatik). Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang (Junaidi, 2007).



3.      Patogenesis

     Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas. Keadaan ini mengakibatkan penurunan massa tulang (Kawiyana, 2009). Osteoklas adalah sel multinuklear yang mengerosi dan meresorpsi tulang yang sebelumnya terbentuk. Osteoklas sekarang dianggap berasal dari stem sel hemopoitik melalui monosit. Mereka tampak memfagositosis tulang, mencernakannya dalam sitoplasmanya; itulah sebabnya mengapa tulang sekitar osteoklas aktif mempunyai sifat berkerut atau pinggir yang seperti terkunyah (Ganong, 1983). Sel osteoklas adalah sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses resorpsi tulang, berasal dari sel hematopoitik/fagosit mononuclear. Osteoblast adalah sel pembentuk tulang yang mengsekresi kolagen, membentuk matriks sekitar mereka sendiri yang kemudian mengalami kalsifikasi (Ganong, 1983).

Tulang adalah jaringan hidup. Tulang melindungi sumsum tulang belakang, organ tubuh paling aktif yang bertugas memproduksi darah. Tulang terus menerus mengalami proses peremajaan yang disebut pembentukan tulang kembali (bone remodelling), yang melibatkan sel yang ada pada sumsum tulang belakang. Kekuatan tulang berasal dari dua sumber bagian luar yang padat yang beratnya 80% dari massa tulang dan bagian dalam yang halus seperti spons yang disebut trabekular (20% dari massa tulang) dan jaringan dasar tulang mengandung sel-sel tulang (osteosit) yang terdiri dari osteoklas (penghancur) dan osteoblas (pembentuk) (Gomez, 2006).

Pada wanita menopause tingkat oksigen turun sehingga siklus remodeling tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang dimulai karena salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal, sehingga ketika tingkat estrogen turun, tingkat resorbsi tulang menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang yang mengakibatkan berkurangnya massa tulang (Lane, 2001).

Ada pendapat yang menyatakan, pembentukan kembali tulang terjadi setelah tulang menjadi tua atau lemah atau mengalami keretakan yang mengurangi kekuatan tulang tersebut. Sepotong tulang yang mengalami kerusakan kecil ini dilarutkan atau diserap kembali oleh sel bernama osteoklas, yang didatangkan ke area tersebut oleh zat penarik tertentu yang dihasilkan oleh sel bernama osteosit yang dapat mengidentifikasi kerusakan tulang. Setelah melarutkan potongan tulang yang rusak, osteoklas menghilang dan sel pembentuk tulang (osteoblas) yang terbuat dari precursor di sumsum tulang belakang. Osteoblas membentuk tulang baru untuk menggantikan tulang yang dilarutkan oleh osteoklas ( Cosman, 2009).

Selama masih muda, banyaknya tulang yang diserap kembali seimbang dengan banyaknya tulang yang dibentuk. Keseimbangan ini terganggu saat tua khususnya saat menopause dan bertambahnya usia. Sel yang  memecah tulang (osteoklas) dengan cepat melubangi tulang. Osteoblas tidak bisa mengimbanginya dan di setiap unit mikroskopis pembentukan kembali akan ada sedikit tulang yang keropos. Selanjutnya, saat terus menggali lubang yang dalam ini, osteoklas dapat benar-benar melubangi sebagian keeping tulang yang memiliki struktur saling berhubungan (trabekula). Akibat lubang kecil ini, seluruh struktur mikroskopis tulang terganggu (Cosman, 2009).

Pada semua tipe osteoporosis, awalnya terjadi perubahan yang menyolok pada tulang spongiosa, dimana jaringan pengapuran yang normal menjadi tipis dan renggang. Cortex tulang menjadi tipis dan keropos akhirnya pada beberapa individu tulang menjdai lunak pada osteomalasia, menjadi fragile, menjadi mengecil yang mudah menjadi fraktur patologik.



4.      Prognosis

Prognosisnya baik dalam pencegahan osteoporosis setelah menopause jika terapi farmakologi dengan estrogen atau raloxifen dimulai sedini mungkin dan bila terapi dipertahankan dengan baik dalam jangka waktu yang panjang (bertahun-tahun). Penggunaan bifosfonat dapat memperbaiki keadaan osteoporosis pada penderita, serta mampu mengurangi risiko terjadinya patah tulang.

Patah pada tulang pinggul dapat mengakibatkan menurunnya mobilitas pada pasien. Pada penelitian Hannan et al (2001) dilaporkan bahwa nilai mortalitas pada subjek penelitian (571 orang dengan usia 50 tahun atau lebih) dalam 6 bulan setelah mengalami patah pada tulang pinggul adalah sekitar 13.5% dan sejumlah penderita membutuhkan bantuan secara sepenuhnya dalam mobilitas mereka setelah mengalami patah tulang pinggul.

Patah tulang belakang memiliki pengaruh lebih rendah terhadap mortalitas, serta dapat mengakibatkan nyeri kronis yang berat dan sulit untuk dikontrol. Meskipun jarang terjadi, patah tulang belakang yang parah dapat mengakibatkan bungkuk (kyphosis) yang kemudian dapat menekan organ dalam tubuh dan mengganggu sistem pernafasan dari penderita.

Walaupun penderita osteoporosis mempunyai kadar mortalitas yang meninggi karena adanya komplikasi fraktur, jarang fatal. Fraktur tulang pinggul bisa menyebabkan penurunan mobilitas dan tambahan dari resiko komplikasi multiple. Kadar mortalitas sampai 6 bulan setelah fraktur tulang pinggul adalah sebanyak 13,5% dan proporsi yang hampir sama pada penderitan yang mengalami fraktur tulang pinggul yang memerlukan bantuan untuk mobilisasi. Namun fraktur tulang vertebra yang multiple bisa menyebabkan kiposis. Selain dari resiko kematian dan komplikasi yang lain, fraktur soteporotic bisa menyebabkan pengurangan kualitas hidup (Hannan, 2001).



2.3 Presentasi Klinis

1.      Gejala dan Tanda

Osteoporosis dikenal sebagai silent disease karena pengeroposan tulang terjadi secara progresif selama beberapa tahun tanpa disertai dengan adanya gejala. Beberapa gejala yang terjadi umumnya baru muncul setelah mencapai tahap osteoporosis lanjut. Gejala-gejala umum yang terjadi pada kondisi osteoporosis adalah : fraktur tulang, postur yang bungkuk (Toraks kifosis atau Dowager's hump), berkurangnya tinggi badan, nyeri pada punggung, nyeri leher dan nyeri tulang (Setyohadi, 2007)

Fraktur yang terjadi pada leher femur dapat mengakibatkan hilangnya kemampuan mobilitas penderita baik yang bersifat sementara maupun menetap. Fraktur pada distal radius akan menimbulkan rasa nyeri dan terdapat penurunan kekuatan genggaman, sehingga akan menurunkan kemampuan fungsi gerak.Sedangkan tanda dan gejala fraktur vertebra adalah nyeri punggung, penurunan gerak spinal dan spasme otot di daerah fraktur. Semua keadaan di atas menyebabkan adanya keterbatasan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari (Setyohadi, 2007).

Pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala, bahkan sampai puluhan tahun tanpa keluhan. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, akan timbul nyeri dan perubahan bentuk tulang. Jadi, seseorang dengan osteoporosis biasanya akan memberikan keluhan atau gejala sebagai berikut:

Gejala:

1.      Nyeri

2.      Immobilitas

3.      Depresi, ketakutan dan rasa rendah diri karena keterbatasan fisik.

Tanda:
1. Pemendekan tinggi badan, kifosis atau lordosis

2. Fraktur tulang punggung, panggul dan pergelangan tangan

3. Kepadatan tulang rendah pada pemeriksaan radiografi

   (Hannan, 2001)



2.      Diagnosa :

Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Osteoporosis merupakan penyakit yang hening (silent), kadang-kadang tidak memberikan tanda-tanda atau gejala sebelum patah tulang terjadi. Diagnose penyakit osteoporosis kadangkadang baru diketahui setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul, tulang pergelangan tangan atau patah tulang lainnya pada orang tua, baik pria atau wanita. Biasanya dari waktu ke waktu massa tulangnya terus berkurang, dan terjadi secara luas dan tidak dapat diubah kembali.

     Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. No.1142/Menkes/SK/VII/2008, pelaksanaan diagnosis adalah sebagai berikut:

1.        Anamnesis

Beberapa tanda dan gejala yang perlu diwaspadai kemungkinan osteoporosis ialah:

a.    Adanya faktor resiko (factor prediposisi)

b.    Terjadi patah tulanh secara tiba-tiba karena trauma yang ringan atau tanpa trauma

c.    Timbul rasa nyeri yang hebat sehingga pasien tidak dapat melakukan pergerakan

d.   Tunbuh makin pendek dan bongkok (kifosis dorsal bertambah)

Anamnesis dapat dilengkapi dengan menggunakan formulir test semenit resiko osteoporosis yang dikeluarkan oleh IOF (International Osteoporosis Foundation)

2.        Pemeriksaan Fisik

Dilakukan dengan mengamati penurunan tinggi badan dan postur tubuh.

3.        Pemeriksaan penunjang

a.     Pemeriksaan laboratorium

Kadar serum puasa kalsium, fosfat fosfatase alkali.

Bila ada indikasi dianjurkan juga untuk melakukan pemeriksaan fungsi tiroid, hati dan ginjal.

Pengukuran ekskresi kalsium urin 24 jam berguna untuk menentukan pasien malabsorpsi kalsium (total ekskresi 24 jam <100 mg) dan untuk pasien yang jumlah ekskresi kalsium sangat tinggi (>250 mg/24 jam) yang bila diberi suplemen kalsium atau vitamin D atau metabolismenya mungkin berbahaya.

Bila dari hasil klinis, darah dan urin diduga adanya hiperparatiroidisme,maka perlu diperiksa kadar hormone paratiroid (PHT). Bila ada dugaan k earah malabsorpsi maka perlu diperiksa kadar 25 OH D.

b.         Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi umumnya terlihat jelas apabila telah terjadi osteoporosis lanjut atau jika hasil BMD yang diperoleh dari hasil pemeriksaan dengan menggunakan alat densitometer menunjukkan positif tinggi.

c.          Pemeriksaan densitometer (ultrasound)

Pemeriksaaan densitometer untuk mengukur kepadatan tulang (BMD) berdasarkan standar deviasi (SD) yang terbaca oleh alat tersebut . densitometer merupakan alat test terbaik untuk mendiagnosis seseorang penderita osteopeni atau osteoporosis, namun tes ini tidak dapat menentukan cepatnya proses kehilangan massa tulang. Jika densitometer ultrasound menunjukkan nilai rendah (T-score dibawah -2,5) sebaiknya disarankan menggunakan densitometer X-ray. Penilaian osteoporosis dengan densitometer:

-          Normal: nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau kira-kira 10% di bawah rata-rata orang dewasa atau lebih tinggi (T-score lebih besar atau sama dengan -1 SD).

-          Osteopenia (massa tulang rendah): nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 1 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, tapi tidak lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, (T-score antara -1 SD sampai -2,5 SD).

-          Osteoporosis: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah nilai ratarata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata atau kurang (T-score di bawah -2,5 SD).

-          Osteoporosis lanjut: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata ini atau lebih, dan disertai adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis (T-score di bawah -2,5 SD dengan adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis).



c.         Diagnosa Banding

1.    Osteomalasia

Osteomalasia adalah penyakit metabolisme tulang yang ditandai oleh kurangnya mineral dari tulang pada orang dewasa, berlangsung kronis dan dapat terjadi deformitas skeletal yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D. penurunan densitas tulang secara umum (pseudofraktur) merupakan pita translusen yang sempit, pada tepi kortikal dan merupakan tanda diagnostic untuk osteomalasia.



2.    Penyakit Cushing

Steroid menghambat sintesis kolagen tulang, dan mencegah transfomasi sel-sel precursor menjadi osteoblast. Disamping itu steroid jugA sangat mereduksi sintesis protein. Gambaran histomorfometrik akan menunjukkan penurunan tingkat aposisi mineral dan penipisan dinding tulang yang diduga karena umur osteoblast yang semakin pendek.

3.    Multiple myeloma

Multiple myeloma merupakan tumor ganas pada sumsum tulang,dimana terjadi infiltrasi pada daerah yang memproduksi sumsum tulang ddan proliferasi sel-sel plasma yang ganas. Tulang tengkorak, tulang belakang,pelvis, iga, scapula dan tulang aksial proksimal merupakan yang terkena secara primer dan mengalami destruksi sumsum. Saat timbul gejala sekitar 80-90%  diantaranya telah mengalami kelainan tulang.

4.    Hiperparatiroidisme

Hiperparatiroidisme terdapat dalam bentuk primer dan sekunder. Bentuk primer adalah karena fungsi yang berlebihan dari kelenjar paratiroid. Namun sejak dikenalnya hemodialis, penyebab yang lebih umum untuk hiperparatiroidisme adalah bentuk sekundernya yaitu karena penyakit ginjal kronis. Penyakit tulang yang terlihat pada pasien ini biasanya disebut osteodystrophy ginjal.

     (Wirakusumah, 2007).



2.4   Sasaran dan strategi terapi

Sasaran pengobatan simptomatis adalah mengurangi rasa nyeri dan berusaha untuk menghambat proses resorspsi tulang dan meningkatkan proses formasi tulang untuk meningkatkan kekuatan tulang serta meningkatkan sampai di atas ambang fraktur (MenKes RI, 2008)

Sasaran terapi osteoporosis bagi individu dengan kategori usia hingga 20-30 tahun adalah mencapai kepadatan tulang yang optimal. Sedangkan untuk individu dengan kategori usia diatas 30 tahun, sasarannya adalah mempertahankan kepadatan mineral tulang (bone mineral density / BMD) dan meminimalkan keropos pada tulang yang diakibatkan karena pertambahan usia (age-related) atau karena keadaan post-menopause.

Pencegahan terjadinya osteoporosis penting dilakukan pada individu dengan keadaan osteopenia (keadaan dimana kepadatan mineral tulang dibawah nilai normal), karena individu yang telah mengalami osteopenia dapat memiliki kemungkinan berlanjut menjadi osteoporosis bila tak ditangani sedini mungkin. Sedangkan untuk penderita osteoporosis dengan risiko patah tulang, sasaran terapinya adalah meningkatkan kepadatan mineral tulang, menghindari terjadinya keropos tulang lebih lanjut dan menjaga agar tidak sampai terjadi patah tulang atau menghindari kegiatan-kegiatan yang memiliki risiko tinggi menyebabkan patah tulang, contohnya olahraga berat.

Bagi individu yang mengalami patah tulang berkaitan dengan osteoporosis, sasaran terapi adalah untuk mengontrol rasa nyeri, memaksimalkan proses rehabilitasi untuk mengembalikan kualitas hidup dan kemandirian pasien, serta mencegah terjadinya patah tulang kembali atau bahkan kematian (Wells, 2006).

Terapi farmakologi dan non farmakologi osteoporosis memiliki tujuan :

1.   mencegah terjadinya fraktur dan komplikasi

2.   pemeliharaan dan meningkatkan densitas mineral tulang

3.   mencegah pengeroposan tulang

4.   mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan osteoporosis

(Chisholm-burns et al, 2008)



2.5   Tata laksana terapi

Berdasarkan Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. No.1142/Menkes/SK/VII/2008, secara umum penatalaksanaan Osteoporosis dapat dilihat pada bagan berikut:






1.        Terapi Non Farmakologi / Non-medikamentosa

a.    Nutrisi

Pasien osteoporosis sebaiknya mendapatkan nutrisi yang cukup dan pemeliharaan berat badan yang ideal. Diet kalsium penting untuk memelihara densitas tulang. Nutrisi tersebut dapat berupa vitamin D yang bisa didapatkan dari brokoli, kacang-kacangan, ikan teri, ikan salmon, susu, kuning telur, hati dan sardine serta paparan sinar matahari (Gomez, 2009).

b.    Olahraga

Olahraga seperti berjalan, jogging, menari dan panjat tebing dapat bermanfaat dalam mencegah kerapuhan dan fraktur tulang. Hal tersebut dapat memelihara kekuatan tulang (Chisholm-burns et.al , 2008). Prinsip latihan fisik untuk kesehatan tulang adalah latihan pembebanan, gerakan dinamis dan ritmis, serta latihan daya tahan (endurans) dalam bentuk aerobic low impact. Senam osteoporosis untuk mencegah dan mengobati terjadinya pengeroposan tulang. Daerah yang rawan osteoporosis adalah area tulang punggung, pangkal paha dan pergelangan tangan (Anonim, 2011).



2.        Terapi Farmakologi

A.    Terapi medis

Biasanya pada tahap patah tulang terjadi rasa sakit yang hebat, bila tidak dapat digunakan pereda sakit biasa maka dapat diberikan suntikan hormone kalsitonin. Bila rasa sakit mulai mereda, tablet pereda sakit seperti paracetamol atau codein atau kombinasi keduanya  seperti co-dydramol, co-codramol atau co-proxamol cukup memadai bagi banyak pasien sehingga bisa melakukan aktivitas sehari-hari (Wirakusumah, 2007).



B.     Terapi Hormon

1)   Estrogen (Hormon Replacement Therapy/HRT)

Mekanisme kerja

Estrogen menurunkan aktivitas osteoklas, menghambat PTH secara periferal, meningkatkan konsentrasi kalsitriol dan absorpsi kalsium di usus, dan menurunkan ekskresi kalsium oleh ginjal. Penggunaan estrogen dalam jangka waktu lama tanpa diimbangi progesteron meningkatkan risiko kanker endometrium pada wanita yang uterusnya utuh.

Kontraindikasi

Estrogen ini kontraindikasi dengan wanita hamil dan menyusui, kanker estrogen-independent (Anonim, 2008).

HRT atau terapi hormone pengganti menggunakan hormone estrogen atau kombinasi dengan estrogen dengan progesterone. Selama menopause produksi hormone ini di indung telur menurun sehingga perlu terapi tambahan. Efek sampingnya terjadi kemungkinan kanker endmetrium karena hormone tersebut dapat merangsang pertumbuhan dinding sel rahim yang bila terlalu pesat dapat berkembang menjadi kanker ganas. Karena itu, maka sering dikombinasi dengan progesterone. Efek samping lain adalah pembesaran payudara, kembung, retensi cairan, mual, muntah, sakit kepala, gangguan pencernaan dan gangguan emosi (Wirakusumah, 2007).

Syarat pemeberian obat hormone estrogen hanya pada keadaan ini:

a.    Diberikan dalam dosis kecil, misalnya estrogen 0,3-0,625 mg

b.    Dikombinasikan dengan progesterone

c.    Lebih baik untuk wanita muda yang mengalami menopause dini karena rahimnya sudah diangkat (Tandra, 2009)



Efek samping dari penggunaan hormone estrogen adalah:

a.    Mual, sebah

b.    Sakit kepala

c.    Payudara terasa kencang atau mengeras

d.   Nafsu seks berubah

e.    Berat badan meningkat

f.     Varises, bisa menyebabkan nyeri otot tungkai dan kaki

g.    Gangguan fungsi hati (Tandra, 2009)



Beberapa prinsip pemberian estrogen yang dapat dijadikan patokan:

a.    Mulailah selalu dengan estrogen lemah (estriol) dengan dosis rendah yang efektif

b.    Pemberian estrogen dilakukan secara siklik

c.    Usahan selalu pemberian estrogen dikombinasi dengan progesterone

d.   Perlunya diberikan pengawasan ketat selama pemberian (6-12 bulan)

e.    Apabila selama pemberian estrogen tersebut terjadi perdarahan atopik, maka perlu dilakukan dilatasi dan kuretase.

f.     Dilakukan kerjasama dengan bagian Penyakit Dalam apabila dalam masa pengobatan atau sebelum masa pengobatan ditemukan adanya keluhan nyeri dada, hipertensi kronik, hiperlidemia, dan diabetes mellitus atau peningkatan kadar gula darah (Gomez, 2009).



2)      Kalsitonin

Mekanisme kerja

Bersama dengan hormon paratiroid, kalsitonin berperan dalam mengatur homeostasis Ca dan metabolisme Ca tulang. Kalsitonin dilepaskan dari kelenjar tiroid ketika terjadi peningkatan kadar kalsium serum.

Efek samping

Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi kalsitonin yaitu mual, muntah, flushing (Anonim, 2008).

Kalsitonin turut menjaga kestabilan struktur tulang dengan mengakibatkan kerja sel osteoblast dan menekan kinerja sel osteoklas. Kalsitonin juga membantu mengurangi rasa sakit yang mungkin timbul pada keadaan patah tulang. Kalsitonin dapat diberikan dalam bentuk suntikan setiap dua hari sekali selama dua atau tiga minggu. Hormone ini dapat menimbulkan efek samping rasa mual dan muka merah, mungkin pula diare dan muntah (Wirakusumah, 2007) Kalsitonin diberikan sebagai terapi alternatif pada wanita yang tidak dapat atau tidak merespon terhadap estrogen



3)       SERM / Selective Estrogen Receptor Modulator (Raloxifen)

Raloxifene merupakan agonis estrogen pada jaringan tulang tetapi merupakan antagonis pada payudara dan uterus. Raloxifen meningkatkan BMD tulang belakang dan pinggul sebesar 2-3% dan menurunkan fraktur tulang belakang. Fraktur non-vertebral tidak dapat dicegah dengan raloxifene.

Mekanisme kerja

Raloxifene merupakan reseptor estrogen selektif yang mengurangi resorpsi tulang dan menurunkan pembengkokan tulang.

Data farmakokinetik

1.        Absorpsi

       Raloxifene diabsorpsi secara cepat setelah pemberian oral dengan sekitar 60% dosis oral absorpsi.

2.        Distribusi

       Volume distribusi nyata sebesar 2348L/kg dan tidak tergantung dosis. sekitar 95% raloxifene dan konjugat monoglukoronid  terikat pada protein plasma.

3.        Metabolisme

       Raloxifene mengalami metabolisme lintas pertama menjadi konjugat glukoronid dan tidak dimetabolisme melalui jalur sitokrom P450.

4.        Ekskresi

       Raloxifene terutama diekskresikan pada feses dan urin.

Kontraindikasi

Wanita menyusui, wanita yang sedang hamil atau akan hamil, wanita dengan kejadian aktif atau memiliki sejarah tromboembelik vena, termasuk thrombosis vena dalam (Sukandar, 2009).



4)   Testosteron

      Penurunan konsentrasi testosteron tampak pada penyakit gonad, gangguan pencernaan dan terapi glukokortikoid. Berdasarkan penelitian terapi testosteron ini dapat meningkatkan BMD dan mengurangi hilangnya massa tulang pada pasien osteoporosis laki-laki (Dipiro et.al , 2005).

Testosteron merupakan hormone yang dihasilkan pria. Penggunaan hormon testosterone pada wanita dengan osteoporosis pasca-menopause mampu menghambat kehilangan massa tulang. Efek samping dapat berupa penambahan rambut berlebih pada dada, kaki dan tangan. Timbulnya jerawat, muka dan perbesaran suara seperti pria (Wirakusumah, 2007).



5)      Hormon paratiroid (Teriparatide)

Terapi anabolik ini hanya untuk terapi menjaga dan memelihara bentuk tulang. Teriparatide merupakan produk rekombinan yang mewakili 34 asam amino pertama dalam PTH manusia. Teriparatide meningkatkan formasi tulang, perubahan bentuk tulang dan jumlah osteoblast beserta aktivitasnya sehingga massa tulang akan meningkat. Teriparatide disarankan oleh FDA kepada wanita postmenopouse dan laki-laki yang memiliki resiko tinggi terjadi fraktur. Efikasi dari teriparatide ini dapat meningkatkan BMD. PTH analog sangat penting dalam pengelolaan pasien osteoporosis yang memiliki risiko tinggi patah tulang karena PTH merangsang pembentukan tulang baru. Kontraindikasi teriparatide ini yaitu pada pasien hiperkalsemia, penyakit metabolik tulang lainnya dan kanker otot (Dipiro et.al , 2005).

Hasil penelitian terbaru membuktikan bahwa obat teriparatide berperan lebih baik dibanding alendronate dalam meningkatkan kepadatan tulang dan mengurangi patah tulang belakang pada pasien dengan osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid (glucocorticoid-induced osteoporosis) (Anonim, 2010)

Oleh karena pertimbangan efek samping dan biaya, teriparatide disediakan untuk pasien dengan resiko tinggi fraktur terkait osteoporosis yang tidak dapat atau tidak akan dapat atau gagal menjalani terapi bifosfonate (Sukandar, 2009).



C.    Terapi Non-hormonal

1)   Bifosfonat

Mekanisme kerja obat

Biofosfonat bekerja terutama pada tulang. Kerja farmakologi utamanya adalah inhibisi resorpsi tulang normal dan abnormal. Tidak ada bukti bahwa biofosfonat dimetabolisme. Biofosfonat utnuk menoptimalkan manfaat klinis harus dengan dosis yang tepat dan meminimalkan resiko efeksamping terhadap saluran pencernaan. Semua bifosfonat sedikit diabsorpsi (bioavaibilitas 1-5%).

Efek samping

Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi biofosfonat yaitu mual, nyeri abdomen dan dyspepsia (Anonim, 2008).

Bifosfonat merupakan golongan obat sintesis yang saat ini sangat dikenal pada pengobatan osteoporosis. Efek utama obat ini adalah menonaktifkan sel-sel penghancur tulang (osteoklast) sehingga penurunan massa tulang dapat dihindari. Obat ini bekerja sebagai anti resorpsi tulang, menghambat pemecahan tulang oleh osteoklas. Dalam satu tahun pemakaian bifosfonat didaptkan penambahan kepadatan tulang sampai 5% da kecendrungan patah tulang menurun sampai 50%. Teapi bifosfonat diperlukan bila:

a.         Hasil pemeriksaan BMD ditemukan  T-score kurang dari -2,5

b.        Mengalami patah tulang

c.         Ada resiko terjadi osteoporosis, misalnya sangat kurus atau minum obat kortikosteroid

d.        Wanita sudah menopause

Generasi bifosfonate adalah sebagai berikut:

a.     Generasi I                    : Etidronat, Klodronat

b.    Generasi II                  : Tiludronat, Pamidronat, Alendronat

c.     Generasi III                 : Risedronat, Ibandronat, Zoledronat  (Kawiyana, 2009)



2)   Kalsium

Mekanisme kerja obat

Kalsium berfungsi sebagai integritas sistem saraf dan otot, untuk kontraktilitas jantung normal dan koagulasi darah. Kalsium berfungsi sebagai kofaktor enzim dan mempengaruhi aktivitas sekresi kelenjar endokrin dan eksokrin

Data farmakokinetik

1.         Absorpsi

Absorpsi kalsium dari saluran pencernaan dengan difusi pasif dan transpor aktif. Kalsium harus dalam bentuk larut dan terionisasi agar bisa diabsorpsi. Vitamin D diperlukan untuk absorpsi lasium dan meningkatkan mekanisme absorpsi. Absorpsi meningkat dengan adanya makanan. Ketersediaan oral pada orang dewasa berkisar dari 25% hingga 35% jika diberikan dengan sarapan standar. Absorpsi dari susu sekitar 29% dalam kondisi yang sama.

2.         Distribusi

Kalsium secara cepat didistribusikan ke jaringan skelet. Kalsium menembus plasenta dan mencapai kosentrasi yang lebih tinggi pada darah fetah dibanding darah ibu. Kalsium juga didistribusikan dalam susu.



3.         Ekskresi

Kalsium dieksresikan melalui feses, urin dan keringat.

Kontraindikasi

Kalsium dikontraindikasikan pada pasien dengan hiperkalsemia dan fibrilasi ventrikuler

Efek samping

Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi kalsium yaitu gangguan gastrointestinal ringan, bradikardia, aritmia, dan iritasi pada injeksi intravena (Anonim, 2008).



3)   Vitamin D

Mekanisme kerja obat

Vitamin D merupakan vitamin larut lemak yang diperoleh dari sumber alami (minyak hati ikan) atau dari konversi provitamin D (7-dehidrokolesterol dan ergosterol). Pada manusia, suplai alami vitamin D tergantung pada sinar ultraviolet untuk konversi 7-dehidrokolesterol menjadi vitamin D3 atau ergosterol  menjadi  vitamin D2. Setelah pemaparan terhadap sinar uv , vitamin D3 kemudian diubah menjadi bentuk aktif vitamin D (Kalsitriol) oleh hati dan ginjal. Vitamin D dihidroksilasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi 25-hidroksi-vitamin D3 (25-[OH]- D3 atau kalsifediol). Kalsifediol dihidroksilasi terutama di ginjal menjadi 1,25-dihidroksi-vitamin D (1,25-[OH]2-D3 atau kalsitriol) dan 24,25-dihidroksikolekalsiferol. Kalsitriol dipercaya merupakan bentuk vitamin D3 yang paling aktif dalam menstimulasi transport kalsium usus dan fosfat.

Kontraindikasi

Vitamin D dikontraindikasikan dengan hiperkalsemia, bukti adanya toksistas vitamin D, sindrom malabsorpsi, hipervitaminosis D, sensitivitas abnormal terhadap efek vitamin D, penurunan fungsi ginjal.

Efek samping

Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi vitamin D ini yaitu sakit kepala, mual, muntah, mulut kering dan konstipasi.

(Sukandar, 2009)



4)   Fitosteron

Isoflavonoid (protein kedelai) dan lignan (flaxseed) merupakan bentuk estrogen dimana efeknya terhadap tulang dapat disebabkan aktivitas agonis reseptor estrogen tulang atau efek terhadap osteoblas dan osteoklas. beberapa studi isoflavon menggunakan dosis yang lebih besar dilaporkan dapat menurunkan penanda resorpsi tulang dan sedikit meningkatkan densitas (Anonim, 2008).



5)   Tiazid

Diuretik tiazid meningkatkan reabsorbsi kalsium. Berdasarkan penelitian pasien yang mengkonsumsi diuretik tiazid memiliki massa tulang lebih besar dan fraktur yang lebih sedikit. Diuretik tiazid ini diberikan ketika pasien osteoporosis dengan glukokortikoid yang lebih besar dari 300mg dari jumlah kalsium yang dikeluarkan dalam urin selama lebih dari 24 jam (Dipiro et.al , 2005).



D.    Terapi Herbal

Hasil penelitian di Inggris yang dilaporkan dalam American Journal of Clininal Nutrition edisi April 2000 menyimpulkan bahwa wanita yang mengkonsumsi the ternyata memiliki ukuran kerapatan mineral tulang (BMD) lebih tinggi dibanding mereka yang tidak minum teh secara berkala. Senyawa aktif yang terkandung di dalam teh berperan menyerupai hormone estrogen yang membantu melindungi tulang terhadap kerapuhan tulang (Maharani, 2010)

Beberapa resep herbal yaitu dengan kedelai bermutu baik, seledri, buah adas, biji bunga matahari,kacang panjang.



2.6           Evaluasi dan pemilihan produk obat terkait yang ada di pasaran

Pengobatan simptomatis untuk rasa nyeri yang mungkin timbul saat terjadinya fraktur perlu pemberian turunan morfin (analgetik narkotik) untuk menangani rasa sakit yang kuat. Namun rasa sakitnya tidak tertahankan, dapat diberikan tambahan kalsitonin dalam bentuk parenteral. Kalsitonin yang normalnya diproduksi kelenjar tiroid, memiliki sifat meredakan rasa sakit yang cukup ampuh. Bila rasa sakit telah berkurang dapat dilakukan pemberian parasetamol ataupun kombinasinya dengan kodein (Wirakusumah, 2007)

-          Sediaan analgetik narkotik : Morphin HCl, Kodein Fosfat, Fentanil, Tramadol.

-          Sediaan analgetik perifer (parasetamol) : Parasetamol, Faragesic, Tramol, Afidol, dll.

Pengobatan utama dahulu banyak digunakan adalah dengan estrogen. Estrogen pada banyak wanita menopause dinyatakan mempertahankan kekuatan tulang. Namun karena penggunaan estrogen dapat mengakibatkan berbagai efek samping, maka wanita  mengkhawatirkan efek samping tersebut sehingga pengobatan lebih diprioritaskan pada bifosfonat. Terapi dengan estrogen kebanyakan menggunakan tablet harian. Namun bagi yang mempunyai penyakit hati empedu dapat digunaka estrogen bentuk koyo. Bagi yang telah mengalami operasi pengangkatan rahim dapat diberikan estrogen dalam bentuk implant (Gomez, 2009)

Pengobatan osteoporosis berdasarkan Algoritma terapi menurut Dipiro (2005), dibagi menjadi dua yaitu:



1.    Pengobatan tanpa pengukuran BMD (Bone Mineral Density)

Pertimbangan terapi  tanpa pengukuran BMD :

·            Pria dan wanita dengan peningkatan risiko kerapuhan tulang

·            Pria dan wanita yang menggunakan glukokortikoid dalam jangka waktu lama

Terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal, teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide



2.    Pengobatan dengan pengukuran BMD (Bone Mineral Density)

        Dari hasil pengukuran BMD, jika T-score >-1, maka nilai BMD termasuk normal, tetapi tetap diperlukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin (Dipiro et.al , 2005).

        Jika T-score -1 s/d -2,5, maka termasuk dalam osteopenia. Dapat dilakukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin

        Jika T-score <-2,0 dilakukan pemeriksaan lanjut untuk osteoporosis sekunder, yaitu dengan pengukuran PTH, TSH, 25-OH vitamin D, CBC, panel kimia, tes kondisi spesifik. Kemudian dilakukan terapi berdasarkan penyebab, bila ada, yaitu dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan Biphosphonate maka pilihan pengobatannya adalah Biphosphonate parenteral, Teriparatide, Raloxifene dan Kalsitonin.

        Dari hasil pengukuran  Osteoporosis dengan skor T < -2,5, terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal, teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide.



        Bifosfonat yang digunakan secara oral sulit diserap oleh usus , sehingga untuk hasil optimal harus digunakan dalam keadaan lambung kosong dan tidak makan atau minum  apapun dalam waktu satu jam. Karena hal ini, maka tersedia bentuk parenteral berupa injeksi yang memungkinkan penyerapan yang lebih baik (Gomez, 2009).

        Kalsitonin yang berupa salkatonin (sintetik dari kalsitonin salmon) tidak dapat diminum secara oral, hanya ada dalam bentuk suntikan dan semprotan hidung (nasal spray). Pasien biasanya lebih memilih suntikan subkutan dibanding dengan nasal spray yang harus digunakan tiap hari (Gomez, 2009).

                        Adapun pilihan obat terkait osteoporosis yang beredar di pasaran adalah:



1.        Kalsium

Oral : Kalsium gluconate, kalsium laktat, kalsium d-redoxon, kalsium Sandoz, Peppermint,

Parenteral : Kalsium glukonat injeksi

2.        Bifosfonat

Oral : Alendronate (Fosamax), Risendronate (Actonel, Osteonate), Ibandronate ( Bonviva)

Parenteral : Pamidronate (Aredia), Zoledronate (Zometa)

3.        Kalsitonin

Injeksi : Calsynar, Miacalic

Nasal : Calsynar Nasal Spray, Miacalcic Nasal Spray

4.        Estrogen

Oral : Esthero, Kliogest, Ogen

5.        Testosterone

Oral : Andriol

6.        SERM

Oral : Raloxifene, Evista.

7.        Hormon paratiroid

Oral : teriparatide

8.        Vitamin D

Oral : Calcit,Calporosis D 500, Ecatrol, Oscal



  



BAB III

KESIMPULAN



1.      Osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang.

2.      Osteoporosis berdasarkan penyebabnya adalah osteoporosis primer, osteoporosis sekunder dan osteoporosis idiopatik.

3.      Osteoporosis pada awalnya tidak menimbulkan gejala, bahkan sampai puluhan tahun tanpa keluhan. Gejala akan timbul setelah terjadi kolaps atau hancur sehingga akan timbul nyeri dan perubahan bentuk tulang.

4.      Diagnosa pada osteoprorosis meliputi:

a.       Anamnesis

b.      Pemeriksaan fisik

c.       Pemeriksaan penunjang : pemeriksaaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan densitometer.

5.      Pelaksanaan terapi osteoporosis meliputi:

a.       Terapi non farmakologi

b.      Terapi farmakologi : terapi medis, terapi hormonal, terapi non-hormonal.





DAFTAR PUSTAKA



Anonim. 2008. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 8 2008/2009.  Info Master:Jakarta.

Anonim. 2009. ISO Farmakoterapi.Ikatan Sarjana FAmasi Indonesia. PT ISFI Penerbitan : Jakarta.

Anonim. 2010. Teriparatide Padatkan Tulang Lebih Baik . Majalah Farmacia Edisi Januari 2010 Vol.9 No.6, http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=1540

Chisholm-burns et all. 2008. Pharmacotherapy principles and practice. McGraw-Hill Companies, Inc : USA

Cosman, F. 2005. Osteoporosis. B-First : Yogyakarta.

Depkes. 2004. Kecendrungan Osteoporosis di Indonesia 6 kali lebih Tinggi Dibanding Negeri Belanda. http://www.depkes.go.id

Dipiro, et all. 2005.  Pharmacotheraphy a Pathophysiologic Approach 1 Fifth Edition. McGraw-Hill Companies, Inc : USA

Ganong W.F. 1983.  Fisiologi kedokteran. Edisi kesepuluh. EGC Penerbit Buku Kedokteran : Jakarta

Gomez, J. 2006. Awas Pengeroposan Tulang! : Bagaimana Menghindari dan Menghadapinya. Arcan : Jakarta.

Hannan, et all. 2001. Fracture: risk factors and risk-adjusted hospital outcomes.  JAMA.

Hulisz,H. 2006. Drug Induced Osteoporosis,Effect of Medications on Bone Density. Associate Proffesor of Family Medicin : New York.

Junaidi, I. 2007. Osteoporosis. PT. Bhuana Insan Popular : Jakarta.

Kawiyana, I Ketut Siki. 2009. Osteoporosis: Patogenesis, Diagnosis dan Penanganan Terkini. FK UNUD : Denpasar.

Lane. 2011. Lebih Lengkap Tentang Osteoporosis : Petunjuk untuk Penderita dan Langkah-langkah Penggunaan bagi Keluarga. Raja Grafindo Persada : Jakarta.

Maharani, S. 2010. Herbal sebagai Obat Bagi Penderita Penyakit Mematikan. A+ book: Jogjakarta.

Menteri Keseharan Republik Indonesia. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. No.1142/Menkes/SK/VII/2008 tentang Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Jakarta.

Mike, Mass. 2000. Corticosteroid-Induced Osteoporosis. Jacksonville Medicine

Setyohadi, B. 2007. Osteoporosis, dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. FKUI : Jakarta.

Suryati, N. 2006. Faktor Spesifik Penyebab Osteoporosis pada Sekelompok Wanita di RSIJ. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol.2

Tandra, H. 2009. Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Tentang Osteoporosis. PT. Gramedia Pustaka : Jakarta.

Wirakusumah, E.S. 2007. Mencegah Osteoporosis. Penebar Plus : Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar