TUGAS FARMASI KLINIK DASAR
Osteoporosis
Akhmad Andy Sandra
723901S.12.054
AKADEMI FARMASI SAMARINDA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah usia lanjut dan
osteoporosis semakin menjadi perhatian dunia, termasuk Indonesia. Hal ini
dilatarbelakangi oleh meningkatnya usia harapan hidup. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan penyakit menua yang menyertainya, antara lain osteoporosis.
Osteoporosis merupakan satu
penyakit metabolic tulang yang ditandai oleh menurunnya massa tulang,oleh
karena berkurangnya massa matriks dan mineral tulang disertai dengan kerusakan
mikro arsitektur dari jaringan tulang, dengan akibat menurunnya kekuatan tulang,
sehingga terjadi kecendrungan tulang patah (Kawiyana, 2009)
Pengobatan osteoporosis yang sudah
lanjut dengan komplikasi patah tulang merupakan hal yang sangat sulit dan
memerlukan waktu lama serta biaya yang cukup besar. Di Amerika dari 300.000 kasus fraktur
osteoporosis pada tahun 1991 dibutuhkan dana $5 milyar. Dan diperkirakan akan
membutuhkan dana mencapai $30-40 milyar pada tahun 2020. Di Indonesia tahun 2000
dengan 227.850 fraktur osteoporosis dibutuhkan dana $2,7 milyar dan perkiraan
pada tahun 2020 dengan 426.300 fraktur osteoporosis dibutuhkan dana $3,8
milyar. Dapat dibayangkan biaya pada tahun 2050 (FK UI). Jadi osteoporosis
lebih-lebih yang sudah terjadi komplikasi menimbulkan morbiditas dan mortalitas
yang cukup serius.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Epidemiologi
Osteoporosis dapat menyerang pria
maupun wanita. Berdasarkan penelitian dari American College of Reumatologi
Communications and Marketing Committee, mengemukakan bahwa osteoporosis lebih
umum terjadi pada lansia dan orang berkulit puih. Dalam hal ini pria memiliki
resiko yang sama dengan wanita. Osteoporosis juga dapat terjadi pada semua usia
dan pada semua suku. Usia di atas 50 tahun memiliki lebih tinggi terkena
osteoporosis. Pada kelompok usis tersebut satu dari dua wanita dan satu dari
enam pria sering menderita fraktr terkait osteoporosis. Orang berkulit putih
dan orang Asia memiliki resiko yang lebih besar menderita osteoporosis dan
fraktur terkait osteoporosis. Orang berkulit hitam juga dapat terkena
osteoporosis tetapi memiliki resiko lebih rendah dibandingkan dengan penduduk
Asia dan orang berkulit putih (Tandra, 2009)
Catatan dari
International Osteoporosis Foundation adalah tiap wanita mempunyai resiko
fraktur akibat osteoporosis sebesar 40% dalam hidupnya dan bagi pria angka
resikonya adalah 30%. Angka lain yang mengejutkan adalah sekitar 20 persen
orang usia lanjut mengalami patah tulang akan meninggal dunia tiap tahun.
Ramalan di tahun 2020 adalah setengan dari orang berusia 50 tahun di Amerika
Serikat akan beresiko mengalami patah tulang karena osteoporosis. Setelah tahun
2050, diperkirakan aka nada 6,3 juta patah tulang panggul setiap tahun di
seluruh dunia, dimana lebih dari setengahnya terdapat di Asia (Tandra, 2009).
Berdasarkan hasil
analisa data yang dilakukan Puslitbang Gizi Depkes RI tahun 2004 pada 14
provinsi menunjukkan bahwa masalah osteoporosis di Indonesia telah mencapai
tingkat yang perlu diwaspadai yaitu 19,7%. Tingkat kecenderungan ini 6 kali
lebih besar dibandingkan Belanda. Lima provinsi dengaan resiko osteoporosis
lebih tinggi yakni Sumatera Selatan (27,7%), Jawa Tengah (24,02%), DI
Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara (22,8%), Jawa Timur (21,42%), dan Kalimantan
Timur (10,5%) (Depkes RI, 2004).
Hasil analisa data
resiko osteoporosis pada tahun 2005 dengan jumlah sampel 65.727 orang (22.799
laki-laki dan 42.928 orang perempuan) yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi
Depkes RI dan sebuah perusahaan nutrisi pada 16 wilayah di Indonesia secara
selected people (Sumatera Utara & NAD, Sumatera Barat, Riau, Kep.Riau,
Jambi, Sumatera Selatan & Bangka Belitung & Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta,
Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali & NTB
& NTT, Kalimantan, Sulawesi & Maluku & Papua) dengan metode
pemeriksaan DMT (Densitas Massa Tulang) menggunakan alat diagnostic clinical
bone sonometer, menunjukkan angka prevalensi
osteopenia (osteoporosis dini) sebesar 41,7% dan prevalensi osteoporosis
sebesar 10,3%. Ini berarti 2 dari 5 penduduk Indonesia memiliki resiko untuk
terkena osteoporosis usia <5 tahun pada pria cenderung lebih tinggi
disbanding wanita, sedangkan >55 tahun peningkatan osteopenia pada wanita
enam kali lebih besar dari pria dan peningkatan osteoporosis pada wanita dua
kali lebih besar dari pria (Depkes RI, 2008)
Sekarang bahwa osteoporosis merupakan
penyakit endemik manusia usia lanjut. Dinyatakan dari tahun 1990 sampai 2025
terjadi kenaikan jumlah penduduk Indonesia yang osteoporosis mencapai 41.4%
yang mengancam terjadi patah tulang (14,7-20%) pertahun dan kecacatan dalam
kehidupan. Diperkirakan angka fraktur tulang panggul di dunia meningkat dari
1,7 juta/tahun 1990 menjadi 6,3 juta/tahun pada tahun 2025 (Suryati, 2009).
2.2 Patofisiologi
1.
Definisi
Osteoporosis
berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang,
dan porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis
adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa
massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur
tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan
tulang (Tandra, 2009).
Menurut
WHO pada International Consensus Development Conference, di Roma, Itali,
1992 Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang
yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas
jaringan tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan
tulang dengan risiko terjadinya patah tulang (Suryati, 2006).
Menurut
National Institute of Health (NIH), 2001 Osteoporosis adalah kelainan
kerangka, ditandai dengan kekuatan tulang yang mengkhawatirkan dan dipengaruhi
oleh meningkatnya risiko patah tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan
gabungan dari dua faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang. Dimana
keadaan tersebut tidak memberikan keluhan klinis, kecuali apabila terjadi
fraktur (thief in the night) (Junaidi, 2007).
Menurut
Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1142/Menkes/SK/VII/2008, osteoporosis adalah
suatu penyakit yang ditandai berkurangnya massa tulang dan adanya perubahan
mikro-arsitektur jaringan tulang yang berakibat menurunnya kekuatan tulang dan
meningkatnya kerapuhan tulang, sehingga tulang mudah patah. Definisi lain,
osteoporosis adalah kondisi dimana tulang menjdai tipis, rapuh, keropos dan
mudah patah akibat berkurangnya masssa tulang yang terjadi dalam waktu lama.
Secara statistic, osteoporosis didefinisikan sebagai keadaan dimana Densitas
Mineral Tulang (DMT) berada di bawah nilai rujukan menurut umur atau standar
deviasi berada di bawah nilai rata-rata rujukan pada usia dewasa muda.
Osteoporosis adalah penyakit
tulang sistemik. Dan fraktur osteoporosis dapat terjadi pada tiap tempat.
Meskipun fraktur yang berhubungan dengan kelainan ini meliputi thorak dan
tulang belakang (lumbal), radius distal dan femur proksimal. Definisi tersebut
tidak berarti bahwa semua fraktur pada tempat yang berhubungan dengan
osteoporosis disebabkan oleh kelainan ini. Interaksi antara geometri tulang dan
dinamika terjatuh atau kecelakaan (trauma), keadaan lingkungan sekitar, juga
merupakan faktor penting yang menyebabkan fraktur. Ini semua dapat berdiri sendiri
atau berhubungan dengan rendahnya densitas tulang.6 (Scottish Intercolligiate
Guideline Network, 2003)
Osteoporosis
merupakan suatu penyakit yang tergolong silent-disease atau tidak
memiliki gejala yang tampak sehingga untuk deteksi kondisi pasien harus
dilakukan diagnosis laboratorium. Kondisi patologis tersebut biasanya baru
diketahui setelah seseorang mengalami kejadian patah tulang atau terjadi
kelainan struktur tulang sehingga penanganan dini sulit dilakukan. Penanganan
dini sangat penting dilakukan untuk mencegah resiko yang lebih buruk. Sebelum
terjadinya patah tulang ataupun perubahan struktur tulang, kondisi pasien masih
dapat kembali seperti semula atau kembali normal.
2.
Etiologi
Osteoporosis dibagi menjadi dua
golongan besar menurut penyebabnya, yaitu:
a.
Osteoporosis
primer yaitu osteoporosis yang bukan disebabkan oleh suatu
penyakit (proses alamiah). Osteoporosis primer berhubungan dengan berkurangnya
massa tulang dan atau terhentinya produksi hormon (khusus perempuan yaitu
estrogen) disamping bertambahnya usia (DepKes RI,2008). Dapat terjadi pada
berbagai usia, dihubungkan dengan faktor resiko meliputi, merokok, aktifitas,
berat badan, alkohol, ras putih kulit Asia,riwayat keluarga, postur tubuh dan
asupan kalsium yang rendah.
Osteoporosis primer
terdiri dari:
-
Osteoporosis primer tipe I. sering
disebut dengan istilah osteoporosis pasca menopause yang terjadi pada wanita
usia 50-65 tahun, fraktur biasanya pada vertebra (ruas tulang belakang), iga
atau tulang radius.
-
Osteoporosis tipe II. Sering disebut
dengan istilah osteoporosis senile, yang terjadi pada usia lanjut. Hal ini
kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan
usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang (osteoklas) dan
pembentukan tulang baru (osteoblas) (Junaidi,2007). Pasien biasanya berusia ≥70
tahun, pria dan wanita mempunyai kemungkinan yang sama terserang, fraktur
biasanya pada tulang paha. Selain fraktur maka gejala yang pelu diwaspadai
adalah kifosis dorsalis, makin pendek dan
nyeri tulang berkepanjangan.
b.
Osteoporosis
sekunder yaitu osteoporosis yang disebabkan oleh berbagai kondisi
klinis/penyakit, seperti infeksi tulang tumor tulang pemakaian obat-obatan
tertentu dan immobilitas yang lama. Merupakan osteoporosis yang disebabkan oleh
penyakit atau penggunaan obat tertentu. Penyebab paling umum osteoporosis
sekunder adalah defisiensi vitamin D dan terapi glukokortikoid (Dipiro et al,
2005). Defisiensi vitamin D akan menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di
usus, sehingga kalsium dalam darah akan turun, sehingga untuk memenuhi kalsium
darah akan diambil kalsium dari tulang yang dapat menyebabkan kerapuhan tulang.
Mekanisme obat yang dapat memicu osteoporosis dapat
digolongkan menjadi 3 kelompok besar yakni aktivasi osteolklast dan
meningkatkan pergantian tulang. Kedua, menekan aktivitas osteoblast dan yang
ketiga menghambat mineralisasi tulang. Beberapa obat yang memicu osteoporosis:
1. Kortikosteroid
Penggunaan
kortikosteroid jangka panjang menjadi penyebab sekunder yang paling banyak
ditemui, khususnya penggunaan sistemik. Pemberian lebih dari 7,5 mg prednison
selama 2-3 bulan dapat menyebabkan terjadinya kehilangan massa tulang yang
cukup berarti (Mike, 2000). Glukokortikoid banyak digunakan dan efektif dalam
mengobati penyakit paru, rematoid, gangguan saluran cerna, kondisi dermatologi,
dan autoimun. Resiko kehilangan tulang yang terbesar terjadi dalam enam hingga
12 bulan pertama terapi jangka panjang. Pada tahap inisiasi penggunaan terapi steroid
tersebut penurunan massa tulang mencapai 12%. Hal ini terjadi sejalan dengan
meningkatnya dosis, tetapi biasanya terjadi pada dosis harian yang normal.
Banyak penelitian telah mengevaluasi komorbiditas terkait dengan steroid yang
memicu osteoporosis, sekitar 30% hingga 50% pasien yang memakai secara sistemik
dalam jangka waktu panjang, akhirnya mengalami fracture (Hulisz, 2006).
2. Obat-obat antikonvulsi
Antikonvulsant
tertentu dapat menyebabkan kehilangan tulang. Obat yang paling sering dikaitkan
dengan osteoporosis yakni fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, dan primidone.
Obat antiepilepsi (AED) semua ampuh menginduksi isoenzim CYP-450. Dalam salah
satu penelitian terhadap masyarakat dengan populasi wanita lanjut usia, keropos
tulang hampir dua kali lipat pada mereka yang menggunakan AED dibandingkan
dengan yang tidak menggunakan.
Mekanisme
yang terjadi pada penggunaan AED yang menyebabkan osteoporosis yakni dengan
adanya penginduksian enzim hati CYP-450, yang menyebabkan metabolisme yang
cepat vitamin D, dan mungkin estrogen. AED juga terkait dengan penurunan
penyerapan kalsium, hiperparatiroid sekunder, dan meningkatnya pergantian
tulang. Pada tingkat terapetik, fenitoin dan karbamazepin telah menunjukkan
efek langsung pada penghambatan sel osteoblas tulang. Mekanisme yang mungkin
terkait dengan fenitoin adalah penghambatan sekresi osteocalcin –hormon yang
mengatur kalsium pada tulang. AED mungkin menunjukkan kombinasi dari efek ini,
dan dampaknya terhadap kehilangan tulang dapat menjadi aditif jika diberikan
kombinasi (Hulisz, 2006).
3.
Heparin
Unfractionated
Heparin (UFH) atau heparin alami juga
merupakan obat pemicu osteoporosis. Komplikasi ini biasanya terlihat pada
penggunaan terapi jangka panjang dengan dosis tinggi. Telah diperkirakan bahwa
keropos tulang terjadi setelah enam bulan terapi heparin dengan dosis harian
lebih besar dari 15.000 unit.
Mekanisme
seluler yang tepat dimana heparin menyebabkan keropos tulang, belum sepenuhnya
dipahami. Heparin menyebabkan resorpsi tulang dengan merangsang peningkatan
osteoklas dan menekan fungsi osteoblas, yang menyebabkan massa tulang menurun.
Mekanisme lainnya yakni menipisnya sel mast dalam sumsum tulang dan peningkatan
fungsi hormon paratiroid (PTH), suatu regulator penting dari kalsium dalam
tubuh. PTH meningkatkan pelepasan kalsium dan fosfor dari tulang ke dalam darah
(Hulisz, 2006).
4.
Progestin
Salah
satu obat yang terkait dengan osteoporosis adalah progestin. Progestin adalah
jenis hormon yang biasa digunakan dalam berbagai bentuk kontrasepsi, serta dalam
produk sulih hormon, dan digunakan pada wanita dari berbagai usia. Progestin
paling sering dikaitkan dengan keropos tulang yakni medroksiprogesteron asetat
(MPA). Ini adalah bentuk injeksi kontrol kelahiran yang dikenal sebagai
Depo-Provera dan juga merupakan bagian dari kombinasi hormon pengganti yang
dikenal sebagai Premphase, dan Prempro. Resiko terjadinya keropos tulang
setelah dua tahun penggunaan berkelanjutan. Sejak Depo-Provera umumnya
digunakan pada anak perempuan remaja. Pada remaja, MPA dapat digunakan selama
dua tahun jika tidak ada pilihan lain yang sesuai. Namun, jika mungkin
dianjurkan untuk menggunakan bentuk lain atau sebaiknya digunakan dengan
kombinasi pil kontrasepsi oral.
5.
Hormon tiroid
Kondisi
hipertiroid maupun terapi menggunakan hormon tiroid sangat berpengaruh terhadap
kecepatan penurunan massa tulang. Pada anak-anak, jumlah hormon tiroid yang
tinggi dapat memicu pertumbuhan karena hormon tiroid juga berperan dalam
produksi energi tubuh. Akan tetapi, kelebihan asupan hormon tiroid pada orang
dewasa dapat menyebabkan hipertiroid yang mengakibatkan hilangnya massa tulang.
Pada kondisi hipertiroid, tubuh memberikan feedback negatif agar
konsentrasi TSH menjadi menurun. Akibat dari kondisi ini adalah semakin
cepatnya proses pemodelan kembali tulang dan massa tulang semakin menurun. Hal
ini terjadi karena reseptor TSH juga terdapat pada sel prekursor osteoblas dan
osteoklas. Pada kondisi dengan konsentrasi TSH terlalu kecil, resorpsi tulang berjalan
lebih cepat sehingga terjadi pengeroposan tulang.
6.
Obat lainnya
Ada beberapa obat lain yang dapat menginduksi
osteoporosis diantaranya; metotrexate, antasida yang mengandung aluminium,
fluoride, furosemid, litium, siklosporin, dan vitamin A. Umumnya resiko terjadi
osteoporosis karena pemberian dalam dosis tinggi. Misalnya penggunaan
methotrexate pada pasien onkologi. Mekanismenya masih belum sepenuhnya
dipahami, tetapi diduga melibatkan ketidakseimbangan reseorpsi dan formasi
tulang.
Antasida yang mengandung aluminium dapat menyebabkan
osteoporosis karena dapat menghambat aktivitas dari osteoblas serta menghambat
penyerapan mineral lain dari saluran cerna. Fluoride juga dapat menyebabkan
osteoporosis karena menghambat penyerapan kalsium dari saluran cerna. Fluoride
sendiri bersifat mengikat kalsium sehingga sering ditambahkan dalam pasta gigi.
Kalsium yang terikat dengan fluoride tidak dapat diabsorpsi dari saluran cerna
sehingga lama kelamaan konsentrasi kalsium dalam darah menurun dan massa tulang
menjadi menurun.
Litium
menginduksi osteoporosis dengan meningkatkan konsentrasi paratiroid hormon
dalam darah. Paratiroid hormon berperan dalam resorpsi tulang sehingga
konsentrasi kalsium dalam darah meningkat. Furosemid merupakan suatu obat
diuretikum, akibatnya eksresi kalsium melalui urin menjadi lebih tinggi dan
konsentrasi kalsium dalam darah menjadi rendah. Konsentrasi kalsium yang rendah
ini akan menginduksi pelepasan paratiroid hormon sehingga proses resorpsi
tulang terjadi. Siklosporin diduga menyebabkan osteoporosis dengan meningkatkan
aktivitas bone turnover. Konsumsi vitamin A yang berlebihan juga dapat
memicu aktivitas osteoklas yang berlebihan sehingga proses resorpsi tulang
semakin meningkat.
Selain penggolongan diatas,
terdapat juga penyebab osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui
(osteoporosis juvenile idiopatik). Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa
muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang
normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang (Junaidi,
2007).
3.
Patogenesis
Terjadinya
osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel
osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas. Keadaan ini
mengakibatkan penurunan massa tulang (Kawiyana, 2009). Osteoklas adalah sel
multinuklear yang mengerosi dan meresorpsi tulang yang sebelumnya terbentuk.
Osteoklas sekarang dianggap berasal dari stem sel hemopoitik melalui monosit.
Mereka tampak memfagositosis tulang, mencernakannya dalam sitoplasmanya; itulah
sebabnya mengapa tulang sekitar osteoklas aktif mempunyai sifat berkerut atau
pinggir yang seperti terkunyah (Ganong, 1983). Sel osteoklas adalah sel tulang
yang bertanggung jawab terhadap proses resorpsi tulang, berasal dari sel
hematopoitik/fagosit mononuclear. Osteoblast adalah sel pembentuk tulang yang
mengsekresi kolagen, membentuk matriks sekitar mereka sendiri yang kemudian
mengalami kalsifikasi (Ganong, 1983).
Tulang
adalah jaringan hidup. Tulang melindungi sumsum tulang belakang, organ tubuh
paling aktif yang bertugas memproduksi darah. Tulang terus menerus mengalami
proses peremajaan yang disebut pembentukan tulang kembali (bone remodelling),
yang melibatkan sel yang ada pada sumsum tulang belakang. Kekuatan tulang
berasal dari dua sumber bagian luar yang padat yang beratnya 80% dari massa
tulang dan bagian dalam yang halus seperti spons yang disebut trabekular (20%
dari massa tulang) dan jaringan dasar tulang mengandung sel-sel tulang
(osteosit) yang terdiri dari osteoklas (penghancur) dan osteoblas (pembentuk)
(Gomez, 2006).
Pada
wanita menopause tingkat oksigen turun sehingga siklus remodeling tulang
berubah dan pengurangan jaringan tulang dimulai karena salah satu fungsi
estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal, sehingga
ketika tingkat estrogen turun, tingkat resorbsi tulang menjadi lebih tinggi
daripada formasi tulang yang mengakibatkan berkurangnya massa tulang (Lane,
2001).
Ada
pendapat yang menyatakan, pembentukan kembali tulang terjadi setelah tulang menjadi
tua atau lemah atau mengalami keretakan yang mengurangi kekuatan tulang
tersebut. Sepotong tulang yang mengalami kerusakan kecil ini dilarutkan atau
diserap kembali oleh sel bernama osteoklas, yang didatangkan ke area tersebut
oleh zat penarik tertentu yang dihasilkan oleh sel bernama osteosit yang dapat
mengidentifikasi kerusakan tulang. Setelah melarutkan potongan tulang yang
rusak, osteoklas menghilang dan sel pembentuk tulang (osteoblas) yang terbuat
dari precursor di sumsum tulang belakang. Osteoblas membentuk tulang baru untuk
menggantikan tulang yang dilarutkan oleh osteoklas ( Cosman, 2009).
Selama
masih muda, banyaknya tulang yang diserap kembali seimbang dengan banyaknya tulang
yang dibentuk. Keseimbangan ini terganggu saat tua khususnya saat menopause dan
bertambahnya usia. Sel yang memecah
tulang (osteoklas) dengan cepat melubangi tulang. Osteoblas tidak bisa
mengimbanginya dan di setiap unit mikroskopis pembentukan kembali akan ada
sedikit tulang yang keropos. Selanjutnya, saat terus menggali lubang yang dalam
ini, osteoklas dapat benar-benar melubangi sebagian keeping tulang yang
memiliki struktur saling berhubungan (trabekula). Akibat lubang kecil ini,
seluruh struktur mikroskopis tulang terganggu (Cosman, 2009).
Pada
semua tipe osteoporosis, awalnya terjadi perubahan yang menyolok pada tulang
spongiosa, dimana jaringan pengapuran yang normal menjadi tipis dan renggang.
Cortex tulang menjadi tipis dan keropos akhirnya pada beberapa individu tulang
menjdai lunak pada osteomalasia, menjadi fragile, menjadi mengecil yang mudah
menjadi fraktur patologik.
4.
Prognosis
Prognosisnya baik dalam
pencegahan osteoporosis setelah menopause jika terapi farmakologi dengan
estrogen atau raloxifen dimulai sedini mungkin dan bila terapi dipertahankan dengan
baik dalam jangka waktu yang panjang (bertahun-tahun). Penggunaan bifosfonat
dapat memperbaiki keadaan osteoporosis pada penderita, serta mampu mengurangi
risiko terjadinya patah tulang.
Patah pada tulang pinggul dapat
mengakibatkan menurunnya mobilitas pada pasien. Pada penelitian Hannan et al (2001) dilaporkan bahwa nilai
mortalitas pada subjek penelitian (571 orang dengan usia 50 tahun atau lebih)
dalam 6 bulan setelah mengalami patah pada tulang pinggul adalah sekitar 13.5%
dan sejumlah penderita membutuhkan bantuan secara sepenuhnya dalam mobilitas
mereka setelah mengalami patah tulang pinggul.
Patah tulang belakang memiliki
pengaruh lebih rendah terhadap mortalitas, serta dapat mengakibatkan nyeri
kronis yang berat dan sulit untuk dikontrol. Meskipun jarang terjadi, patah
tulang belakang yang parah dapat mengakibatkan bungkuk (kyphosis) yang kemudian
dapat menekan organ dalam tubuh dan mengganggu sistem pernafasan dari
penderita.
Walaupun penderita osteoporosis
mempunyai kadar mortalitas yang meninggi karena adanya komplikasi fraktur,
jarang fatal. Fraktur tulang pinggul bisa menyebabkan penurunan mobilitas dan
tambahan dari resiko komplikasi multiple. Kadar mortalitas sampai 6 bulan
setelah fraktur tulang pinggul adalah sebanyak 13,5% dan proporsi yang hampir
sama pada penderitan yang mengalami fraktur tulang pinggul yang memerlukan
bantuan untuk mobilisasi. Namun fraktur tulang vertebra yang multiple bisa
menyebabkan kiposis. Selain dari resiko kematian dan komplikasi yang lain,
fraktur soteporotic bisa menyebabkan pengurangan kualitas hidup (Hannan, 2001).
2.3 Presentasi
Klinis
1. Gejala dan Tanda
Osteoporosis dikenal sebagai silent
disease karena pengeroposan tulang terjadi secara progresif selama beberapa
tahun tanpa disertai dengan adanya gejala. Beberapa gejala yang terjadi umumnya
baru muncul setelah mencapai tahap osteoporosis lanjut. Gejala-gejala umum yang
terjadi pada kondisi osteoporosis adalah : fraktur tulang, postur yang bungkuk
(Toraks kifosis atau Dowager's hump), berkurangnya tinggi badan, nyeri pada
punggung, nyeri leher dan nyeri tulang (Setyohadi, 2007)
Fraktur
yang terjadi pada leher femur dapat mengakibatkan hilangnya kemampuan mobilitas
penderita baik yang bersifat sementara maupun menetap. Fraktur pada distal
radius akan menimbulkan rasa nyeri dan terdapat penurunan kekuatan genggaman,
sehingga akan menurunkan kemampuan fungsi gerak.Sedangkan tanda dan gejala
fraktur vertebra adalah nyeri punggung, penurunan gerak spinal dan spasme otot
di daerah fraktur. Semua keadaan di atas menyebabkan adanya keterbatasan dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari (Setyohadi, 2007).
Pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala,
bahkan sampai puluhan tahun tanpa keluhan. Jika kepadatan tulang sangat
berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, akan timbul nyeri dan
perubahan bentuk tulang. Jadi, seseorang dengan osteoporosis biasanya akan
memberikan keluhan atau gejala sebagai berikut:
Gejala:
1. Nyeri
2. Immobilitas
3. Depresi,
ketakutan dan rasa rendah diri karena keterbatasan fisik.
Tanda:
1. Pemendekan tinggi badan, kifosis atau lordosis
1. Pemendekan tinggi badan, kifosis atau lordosis
2. Fraktur
tulang punggung, panggul dan pergelangan tangan
3.
Kepadatan tulang rendah pada pemeriksaan radiografi
(Hannan, 2001)
2. Diagnosa :
Hingga saat ini deteksi
osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Osteoporosis merupakan
penyakit yang hening (silent), kadang-kadang tidak memberikan tanda-tanda atau
gejala sebelum patah tulang terjadi. Diagnose penyakit osteoporosis
kadangkadang baru diketahui setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang
pinggul, tulang pergelangan tangan atau patah tulang lainnya pada orang tua, baik
pria atau wanita. Biasanya dari waktu ke waktu massa tulangnya terus berkurang,
dan terjadi secara luas dan tidak dapat diubah kembali.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
No.1142/Menkes/SK/VII/2008, pelaksanaan diagnosis adalah sebagai berikut:
1.
Anamnesis
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diwaspadai kemungkinan
osteoporosis ialah:
a. Adanya
faktor resiko (factor prediposisi)
b. Terjadi
patah tulanh secara tiba-tiba karena trauma yang ringan atau tanpa trauma
c. Timbul
rasa nyeri yang hebat sehingga pasien tidak dapat melakukan pergerakan
d. Tunbuh
makin pendek dan bongkok (kifosis dorsal bertambah)
Anamnesis
dapat dilengkapi dengan menggunakan formulir test semenit resiko osteoporosis
yang dikeluarkan oleh IOF (International Osteoporosis Foundation)
2.
Pemeriksaan Fisik
Dilakukan
dengan mengamati penurunan tinggi badan dan postur tubuh.
3.
Pemeriksaan penunjang
a.
Pemeriksaan laboratorium
Kadar
serum puasa kalsium, fosfat fosfatase alkali.
Bila
ada indikasi dianjurkan juga untuk melakukan pemeriksaan fungsi tiroid, hati
dan ginjal.
Pengukuran
ekskresi kalsium urin 24 jam berguna untuk menentukan pasien malabsorpsi
kalsium (total ekskresi 24 jam <100 mg) dan untuk pasien yang jumlah
ekskresi kalsium sangat tinggi (>250 mg/24 jam) yang bila diberi suplemen
kalsium atau vitamin D atau metabolismenya mungkin berbahaya.
Bila
dari hasil klinis, darah dan urin diduga adanya hiperparatiroidisme,maka perlu
diperiksa kadar hormone paratiroid (PHT). Bila ada dugaan k earah malabsorpsi
maka perlu diperiksa kadar 25 OH D.
b.
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan
radiologi umumnya terlihat jelas apabila telah terjadi osteoporosis lanjut atau
jika hasil BMD yang diperoleh dari hasil pemeriksaan dengan menggunakan alat
densitometer menunjukkan positif tinggi.
c.
Pemeriksaan densitometer (ultrasound)
Pemeriksaaan
densitometer untuk mengukur kepadatan tulang (BMD) berdasarkan standar deviasi
(SD) yang terbaca oleh alat tersebut . densitometer merupakan alat test terbaik
untuk mendiagnosis seseorang penderita osteopeni atau osteoporosis, namun tes
ini tidak dapat menentukan cepatnya proses kehilangan massa tulang. Jika
densitometer ultrasound menunjukkan nilai rendah (T-score dibawah -2,5)
sebaiknya disarankan menggunakan densitometer X-ray. Penilaian osteoporosis
dengan densitometer:
-
Normal: nilai densitas atau kandungan
mineral tulang tidak lebih dari 1 selisih pokok di bawah rata-rata orang
dewasa, atau kira-kira 10% di bawah rata-rata orang dewasa atau lebih tinggi
(T-score lebih besar atau sama dengan -1 SD).
-
Osteopenia (massa tulang rendah): nilai
densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 1 selisih pokok di bawah
rata-rata orang dewasa, tapi tidak lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah
rata-rata orang dewasa, (T-score antara -1 SD sampai -2,5 SD).
-
Osteoporosis: nilai densitas atau
kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah nilai ratarata
orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata atau kurang (T-score di bawah -2,5
SD).
-
Osteoporosis lanjut: nilai densitas
atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah rata-rata
orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata ini atau lebih, dan disertai adanya
satu atau lebih patah tulang osteoporosis (T-score di bawah -2,5 SD dengan
adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis).
c.
Diagnosa
Banding
1. Osteomalasia
Osteomalasia adalah penyakit metabolisme tulang yang
ditandai oleh kurangnya mineral dari tulang pada orang dewasa, berlangsung
kronis dan dapat terjadi deformitas skeletal yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin D. penurunan densitas tulang secara umum (pseudofraktur) merupakan pita
translusen yang sempit, pada tepi kortikal dan merupakan tanda diagnostic untuk
osteomalasia.
2. Penyakit
Cushing
Steroid
menghambat sintesis kolagen tulang, dan mencegah transfomasi sel-sel precursor
menjadi osteoblast. Disamping itu steroid jugA sangat mereduksi sintesis
protein. Gambaran histomorfometrik akan menunjukkan penurunan tingkat aposisi
mineral dan penipisan dinding tulang yang diduga karena umur osteoblast yang
semakin pendek.
3. Multiple
myeloma
Multiple
myeloma merupakan tumor ganas pada sumsum tulang,dimana terjadi infiltrasi pada
daerah yang memproduksi sumsum tulang ddan proliferasi sel-sel plasma yang
ganas. Tulang tengkorak, tulang belakang,pelvis, iga, scapula dan tulang aksial
proksimal merupakan yang terkena secara primer dan mengalami destruksi sumsum.
Saat timbul gejala sekitar 80-90%
diantaranya telah mengalami kelainan tulang.
4.
Hiperparatiroidisme
Hiperparatiroidisme terdapat dalam bentuk primer dan
sekunder. Bentuk primer adalah karena fungsi yang berlebihan dari kelenjar
paratiroid. Namun sejak dikenalnya hemodialis, penyebab yang lebih umum untuk
hiperparatiroidisme adalah bentuk sekundernya yaitu karena penyakit ginjal
kronis. Penyakit tulang yang terlihat pada pasien ini biasanya disebut
osteodystrophy ginjal.
(Wirakusumah, 2007).
2.4 Sasaran dan strategi
terapi
Sasaran pengobatan simptomatis
adalah mengurangi rasa nyeri dan berusaha untuk menghambat proses resorspsi
tulang dan meningkatkan proses formasi tulang untuk meningkatkan kekuatan
tulang serta meningkatkan sampai di atas ambang fraktur (MenKes RI, 2008)
Sasaran terapi osteoporosis bagi
individu dengan kategori usia hingga 20-30 tahun adalah mencapai kepadatan
tulang yang optimal. Sedangkan untuk individu dengan kategori usia diatas 30
tahun, sasarannya adalah mempertahankan kepadatan mineral tulang (bone mineral density / BMD) dan
meminimalkan keropos pada tulang yang diakibatkan karena pertambahan usia (age-related) atau karena keadaan
post-menopause.
Pencegahan terjadinya
osteoporosis penting dilakukan pada individu dengan keadaan osteopenia (keadaan
dimana kepadatan mineral tulang dibawah nilai normal), karena individu yang
telah mengalami osteopenia dapat memiliki kemungkinan berlanjut menjadi
osteoporosis bila tak ditangani sedini mungkin. Sedangkan untuk penderita
osteoporosis dengan risiko patah tulang, sasaran terapinya adalah meningkatkan
kepadatan mineral tulang, menghindari terjadinya keropos tulang lebih lanjut
dan menjaga agar tidak sampai terjadi patah tulang atau menghindari
kegiatan-kegiatan yang memiliki risiko tinggi menyebabkan patah tulang,
contohnya olahraga berat.
Bagi individu yang mengalami patah
tulang berkaitan dengan osteoporosis, sasaran terapi adalah untuk mengontrol
rasa nyeri, memaksimalkan proses rehabilitasi untuk mengembalikan kualitas
hidup dan kemandirian pasien, serta mencegah terjadinya patah tulang kembali
atau bahkan kematian (Wells, 2006).
Terapi
farmakologi dan non farmakologi osteoporosis memiliki tujuan :
1.
mencegah terjadinya fraktur dan
komplikasi
2.
pemeliharaan dan meningkatkan densitas
mineral tulang
3.
mencegah pengeroposan tulang
4.
mengurangi morbiditas dan mortalitas
yang berhubungan dengan osteoporosis
(Chisholm-burns et al, 2008)
2.5 Tata laksana terapi
Berdasarkan Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
No.1142/Menkes/SK/VII/2008, secara umum penatalaksanaan
Osteoporosis dapat dilihat pada bagan berikut:
1.
Terapi
Non Farmakologi / Non-medikamentosa
a. Nutrisi
Pasien osteoporosis sebaiknya
mendapatkan nutrisi yang cukup dan pemeliharaan berat badan yang ideal. Diet
kalsium penting untuk memelihara densitas tulang. Nutrisi tersebut dapat berupa
vitamin D yang bisa didapatkan dari brokoli, kacang-kacangan, ikan teri, ikan
salmon, susu, kuning telur, hati dan sardine serta paparan sinar matahari
(Gomez, 2009).
b. Olahraga
Olahraga seperti berjalan, jogging,
menari dan panjat tebing dapat bermanfaat dalam mencegah kerapuhan dan fraktur
tulang. Hal tersebut dapat memelihara kekuatan tulang (Chisholm-burns et.al , 2008). Prinsip latihan fisik
untuk kesehatan tulang adalah latihan pembebanan, gerakan dinamis dan ritmis,
serta latihan daya tahan (endurans) dalam bentuk aerobic low impact.
Senam osteoporosis untuk mencegah dan mengobati terjadinya pengeroposan tulang.
Daerah yang rawan osteoporosis adalah area tulang punggung, pangkal paha dan
pergelangan tangan (Anonim, 2011).
2.
Terapi
Farmakologi
A.
Terapi
medis
Biasanya
pada tahap patah tulang terjadi rasa sakit yang hebat, bila tidak dapat
digunakan pereda sakit biasa maka dapat diberikan suntikan hormone kalsitonin.
Bila rasa sakit mulai mereda, tablet pereda sakit seperti paracetamol atau
codein atau kombinasi keduanya seperti
co-dydramol, co-codramol atau co-proxamol cukup memadai bagi banyak pasien
sehingga bisa melakukan aktivitas sehari-hari (Wirakusumah, 2007).
B.
Terapi
Hormon
1)
Estrogen (Hormon Replacement Therapy/HRT)
Mekanisme kerja
Estrogen menurunkan aktivitas osteoklas, menghambat PTH
secara periferal, meningkatkan konsentrasi kalsitriol dan absorpsi kalsium di
usus, dan menurunkan ekskresi kalsium oleh ginjal. Penggunaan estrogen dalam
jangka waktu lama tanpa diimbangi progesteron meningkatkan risiko kanker
endometrium pada wanita yang uterusnya utuh.
Kontraindikasi
Estrogen ini kontraindikasi dengan wanita hamil dan
menyusui, kanker estrogen-independent
(Anonim, 2008).
HRT atau terapi hormone
pengganti menggunakan hormone estrogen atau kombinasi dengan estrogen dengan
progesterone. Selama menopause produksi hormone ini di indung telur menurun
sehingga perlu terapi tambahan. Efek sampingnya terjadi kemungkinan kanker endmetrium
karena hormone tersebut dapat merangsang pertumbuhan dinding sel rahim yang
bila terlalu pesat dapat berkembang menjadi kanker ganas. Karena itu, maka
sering dikombinasi dengan progesterone. Efek samping lain adalah pembesaran
payudara, kembung, retensi cairan, mual, muntah, sakit kepala, gangguan
pencernaan dan gangguan emosi (Wirakusumah, 2007).
Syarat pemeberian obat hormone estrogen hanya pada keadaan
ini:
a. Diberikan
dalam dosis kecil, misalnya estrogen 0,3-0,625 mg
b. Dikombinasikan
dengan progesterone
c. Lebih
baik untuk wanita muda yang mengalami menopause dini karena rahimnya sudah
diangkat (Tandra, 2009)
Efek
samping dari penggunaan hormone estrogen adalah:
a. Mual,
sebah
b. Sakit
kepala
c. Payudara
terasa kencang atau mengeras
d. Nafsu
seks berubah
e. Berat
badan meningkat
f. Varises,
bisa menyebabkan nyeri otot tungkai dan kaki
g. Gangguan
fungsi hati (Tandra, 2009)
Beberapa
prinsip pemberian estrogen yang dapat dijadikan patokan:
a. Mulailah
selalu dengan estrogen lemah (estriol) dengan dosis rendah yang efektif
b. Pemberian
estrogen dilakukan secara siklik
c. Usahan
selalu pemberian estrogen dikombinasi dengan progesterone
d. Perlunya
diberikan pengawasan ketat selama pemberian (6-12 bulan)
e. Apabila
selama pemberian estrogen tersebut terjadi perdarahan atopik, maka perlu dilakukan
dilatasi dan kuretase.
f. Dilakukan
kerjasama dengan bagian Penyakit Dalam apabila dalam masa pengobatan atau
sebelum masa pengobatan ditemukan adanya keluhan nyeri dada, hipertensi kronik,
hiperlidemia, dan diabetes mellitus atau peningkatan kadar gula darah (Gomez,
2009).
2) Kalsitonin
Mekanisme kerja
Bersama dengan hormon
paratiroid, kalsitonin berperan dalam mengatur homeostasis Ca dan metabolisme
Ca tulang. Kalsitonin dilepaskan dari kelenjar tiroid ketika terjadi
peningkatan kadar kalsium serum.
Efek samping
Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi kalsitonin
yaitu mual, muntah, flushing (Anonim,
2008).
Kalsitonin turut menjaga
kestabilan struktur tulang dengan mengakibatkan kerja sel osteoblast dan
menekan kinerja sel osteoklas. Kalsitonin juga membantu mengurangi rasa sakit
yang mungkin timbul pada keadaan patah tulang. Kalsitonin dapat diberikan dalam
bentuk suntikan setiap dua hari sekali selama dua atau tiga minggu. Hormone ini
dapat menimbulkan efek samping rasa mual dan muka merah, mungkin pula diare dan
muntah (Wirakusumah, 2007) Kalsitonin diberikan sebagai terapi alternatif pada
wanita yang tidak dapat atau tidak merespon terhadap estrogen
3) SERM / Selective Estrogen Receptor Modulator (Raloxifen)
Raloxifene
merupakan agonis estrogen pada jaringan tulang tetapi merupakan antagonis pada
payudara dan uterus. Raloxifen meningkatkan BMD tulang belakang dan pinggul
sebesar 2-3% dan menurunkan fraktur tulang belakang. Fraktur non-vertebral
tidak dapat dicegah dengan raloxifene.
Mekanisme
kerja
Raloxifene
merupakan reseptor estrogen selektif yang mengurangi resorpsi tulang dan
menurunkan pembengkokan tulang.
Data
farmakokinetik
1.
Absorpsi
Raloxifene
diabsorpsi secara cepat setelah pemberian oral dengan sekitar 60% dosis oral
absorpsi.
2.
Distribusi
Volume
distribusi nyata sebesar 2348L/kg dan tidak tergantung dosis. sekitar 95%
raloxifene dan konjugat monoglukoronid
terikat pada protein plasma.
3.
Metabolisme
Raloxifene mengalami metabolisme lintas
pertama menjadi konjugat glukoronid dan tidak dimetabolisme melalui jalur
sitokrom P450.
4.
Ekskresi
Raloxifene terutama diekskresikan pada
feses dan urin.
Kontraindikasi
Wanita
menyusui, wanita yang sedang hamil atau akan hamil, wanita dengan kejadian
aktif atau memiliki sejarah tromboembelik vena, termasuk thrombosis vena dalam
(Sukandar, 2009).
4)
Testosteron
Penurunan
konsentrasi testosteron tampak pada penyakit gonad, gangguan pencernaan dan
terapi glukokortikoid. Berdasarkan penelitian terapi testosteron ini dapat
meningkatkan BMD dan mengurangi hilangnya massa tulang pada pasien osteoporosis
laki-laki (Dipiro et.al , 2005).
Testosteron merupakan hormone yang dihasilkan
pria. Penggunaan hormon testosterone pada wanita dengan osteoporosis
pasca-menopause mampu menghambat kehilangan massa tulang. Efek samping dapat
berupa penambahan rambut berlebih pada dada, kaki dan tangan. Timbulnya
jerawat, muka dan perbesaran suara seperti pria (Wirakusumah, 2007).
5) Hormon
paratiroid (Teriparatide)
Terapi anabolik ini hanya untuk
terapi menjaga dan memelihara bentuk tulang. Teriparatide merupakan produk
rekombinan yang mewakili 34 asam amino pertama dalam PTH manusia. Teriparatide
meningkatkan formasi tulang, perubahan bentuk tulang dan jumlah osteoblast
beserta aktivitasnya sehingga massa tulang akan meningkat. Teriparatide
disarankan oleh FDA kepada wanita postmenopouse dan laki-laki yang memiliki
resiko tinggi terjadi fraktur. Efikasi dari teriparatide ini dapat meningkatkan
BMD. PTH analog sangat penting dalam pengelolaan pasien osteoporosis yang
memiliki risiko tinggi patah tulang karena PTH merangsang pembentukan tulang
baru. Kontraindikasi teriparatide ini yaitu pada pasien hiperkalsemia, penyakit
metabolik tulang lainnya dan kanker otot (Dipiro et.al , 2005).
Hasil penelitian terbaru
membuktikan bahwa obat teriparatide berperan lebih baik dibanding alendronate
dalam meningkatkan kepadatan tulang dan mengurangi patah tulang belakang pada
pasien dengan osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid (glucocorticoid-induced
osteoporosis) (Anonim, 2010)
Oleh karena pertimbangan efek
samping dan biaya, teriparatide disediakan untuk pasien dengan resiko tinggi
fraktur terkait osteoporosis yang tidak dapat atau tidak akan dapat atau gagal
menjalani terapi bifosfonate (Sukandar, 2009).
C.
Terapi
Non-hormonal
1)
Bifosfonat
Mekanisme kerja obat
Biofosfonat bekerja terutama pada tulang. Kerja farmakologi
utamanya adalah inhibisi resorpsi tulang normal dan abnormal. Tidak ada bukti
bahwa biofosfonat dimetabolisme. Biofosfonat utnuk menoptimalkan manfaat klinis
harus dengan dosis yang tepat dan meminimalkan resiko efeksamping terhadap
saluran pencernaan. Semua bifosfonat sedikit diabsorpsi (bioavaibilitas 1-5%).
Efek samping
Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi biofosfonat
yaitu mual, nyeri abdomen dan dyspepsia (Anonim, 2008).
Bifosfonat merupakan golongan
obat sintesis yang saat ini sangat dikenal pada pengobatan osteoporosis. Efek
utama obat ini adalah menonaktifkan sel-sel penghancur tulang (osteoklast)
sehingga penurunan massa tulang dapat dihindari. Obat ini bekerja sebagai anti
resorpsi tulang, menghambat pemecahan tulang oleh osteoklas. Dalam satu tahun
pemakaian bifosfonat didaptkan penambahan kepadatan tulang sampai 5% da
kecendrungan patah tulang menurun sampai 50%. Teapi bifosfonat diperlukan bila:
a.
Hasil pemeriksaan BMD ditemukan T-score kurang dari -2,5
b.
Mengalami patah tulang
c.
Ada resiko terjadi osteoporosis,
misalnya sangat kurus atau minum obat kortikosteroid
d.
Wanita sudah menopause
Generasi
bifosfonate adalah sebagai berikut:
a. Generasi
I : Etidronat,
Klodronat
b. Generasi
II : Tiludronat,
Pamidronat, Alendronat
c. Generasi
III : Risedronat,
Ibandronat, Zoledronat (Kawiyana, 2009)
2)
Kalsium
Mekanisme kerja obat
Kalsium berfungsi sebagai integritas sistem saraf dan otot,
untuk kontraktilitas jantung normal dan koagulasi darah. Kalsium berfungsi
sebagai kofaktor enzim dan mempengaruhi aktivitas sekresi kelenjar endokrin dan
eksokrin
Data farmakokinetik
1.
Absorpsi
Absorpsi kalsium dari saluran
pencernaan dengan difusi pasif dan transpor aktif. Kalsium harus dalam bentuk
larut dan terionisasi agar bisa diabsorpsi. Vitamin D diperlukan untuk absorpsi
lasium dan meningkatkan mekanisme absorpsi. Absorpsi meningkat dengan adanya
makanan. Ketersediaan oral pada orang dewasa berkisar dari 25% hingga 35% jika
diberikan dengan sarapan standar. Absorpsi dari susu sekitar 29% dalam kondisi
yang sama.
2.
Distribusi
Kalsium
secara cepat didistribusikan ke jaringan skelet. Kalsium menembus plasenta dan
mencapai kosentrasi yang lebih tinggi pada darah fetah dibanding darah ibu.
Kalsium juga didistribusikan dalam susu.
3.
Ekskresi
Kalsium
dieksresikan melalui feses, urin dan keringat.
Kontraindikasi
Kalsium
dikontraindikasikan pada pasien dengan hiperkalsemia dan fibrilasi ventrikuler
Efek
samping
Efek
samping yang terjadi ketika mengkonsumsi kalsium yaitu gangguan
gastrointestinal ringan, bradikardia, aritmia, dan iritasi pada injeksi
intravena (Anonim, 2008).
3)
Vitamin D
Mekanisme kerja obat
Vitamin D merupakan vitamin larut lemak yang diperoleh dari
sumber alami (minyak hati ikan) atau dari konversi provitamin D
(7-dehidrokolesterol dan ergosterol). Pada manusia, suplai alami vitamin D
tergantung pada sinar ultraviolet untuk konversi 7-dehidrokolesterol menjadi
vitamin D3 atau ergosterol
menjadi vitamin D2.
Setelah pemaparan terhadap sinar uv , vitamin D3 kemudian diubah
menjadi bentuk aktif vitamin D (Kalsitriol) oleh hati dan ginjal. Vitamin D
dihidroksilasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi 25-hidroksi-vitamin D3
(25-[OH]- D3 atau kalsifediol). Kalsifediol dihidroksilasi terutama
di ginjal menjadi 1,25-dihidroksi-vitamin D (1,25-[OH]2-D3 atau
kalsitriol) dan 24,25-dihidroksikolekalsiferol. Kalsitriol dipercaya merupakan bentuk
vitamin D3 yang paling aktif dalam menstimulasi transport kalsium
usus dan fosfat.
Kontraindikasi
Vitamin D dikontraindikasikan dengan hiperkalsemia, bukti
adanya toksistas vitamin D, sindrom malabsorpsi, hipervitaminosis D,
sensitivitas abnormal terhadap efek vitamin D, penurunan fungsi ginjal.
Efek samping
Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi vitamin D ini
yaitu sakit kepala, mual, muntah, mulut kering dan konstipasi.
(Sukandar, 2009)
4)
Fitosteron
Isoflavonoid (protein kedelai) dan
lignan (flaxseed) merupakan bentuk estrogen dimana efeknya terhadap tulang
dapat disebabkan aktivitas agonis reseptor estrogen tulang atau efek terhadap
osteoblas dan osteoklas. beberapa studi isoflavon menggunakan dosis yang lebih
besar dilaporkan dapat menurunkan penanda resorpsi tulang dan sedikit
meningkatkan densitas (Anonim, 2008).
5)
Tiazid
Diuretik tiazid meningkatkan
reabsorbsi kalsium. Berdasarkan penelitian pasien yang mengkonsumsi diuretik
tiazid memiliki massa tulang lebih besar dan fraktur yang lebih sedikit.
Diuretik tiazid ini diberikan ketika pasien osteoporosis dengan glukokortikoid
yang lebih besar dari 300mg dari jumlah kalsium yang dikeluarkan dalam urin
selama lebih dari 24 jam (Dipiro et.al ,
2005).
D. Terapi Herbal
Hasil
penelitian di Inggris yang dilaporkan dalam American Journal of Clininal
Nutrition edisi April 2000 menyimpulkan bahwa wanita yang mengkonsumsi the
ternyata memiliki ukuran kerapatan mineral tulang (BMD) lebih tinggi dibanding
mereka yang tidak minum teh secara berkala. Senyawa aktif yang terkandung di
dalam teh berperan menyerupai hormone estrogen yang membantu melindungi tulang
terhadap kerapuhan tulang (Maharani, 2010)
Beberapa
resep herbal yaitu dengan kedelai bermutu baik, seledri, buah adas, biji bunga
matahari,kacang panjang.
2.6
Evaluasi dan
pemilihan produk obat terkait yang ada di pasaran
Pengobatan
simptomatis untuk rasa nyeri yang mungkin timbul saat terjadinya fraktur perlu
pemberian turunan morfin (analgetik narkotik) untuk menangani rasa sakit yang
kuat. Namun rasa sakitnya tidak tertahankan, dapat diberikan tambahan
kalsitonin dalam bentuk parenteral. Kalsitonin yang normalnya diproduksi
kelenjar tiroid, memiliki sifat meredakan rasa sakit yang cukup ampuh. Bila
rasa sakit telah berkurang dapat dilakukan pemberian parasetamol ataupun
kombinasinya dengan kodein (Wirakusumah, 2007)
-
Sediaan analgetik narkotik : Morphin
HCl, Kodein Fosfat, Fentanil, Tramadol.
-
Sediaan analgetik perifer (parasetamol)
: Parasetamol, Faragesic, Tramol, Afidol, dll.
Pengobatan utama dahulu banyak
digunakan adalah dengan estrogen. Estrogen pada banyak wanita menopause
dinyatakan mempertahankan kekuatan tulang. Namun karena penggunaan estrogen
dapat mengakibatkan berbagai efek samping, maka wanita mengkhawatirkan efek samping tersebut
sehingga pengobatan lebih diprioritaskan pada bifosfonat. Terapi dengan
estrogen kebanyakan menggunakan tablet harian. Namun bagi yang mempunyai penyakit
hati empedu dapat digunaka estrogen bentuk koyo. Bagi yang telah mengalami
operasi pengangkatan rahim dapat diberikan estrogen dalam bentuk implant
(Gomez, 2009)
Pengobatan osteoporosis
berdasarkan Algoritma terapi menurut Dipiro (2005), dibagi menjadi dua yaitu:
1. Pengobatan
tanpa pengukuran BMD (Bone Mineral Density)
Pertimbangan
terapi tanpa pengukuran BMD :
·
Pria dan wanita dengan peningkatan
risiko kerapuhan tulang
·
Pria dan wanita yang menggunakan
glukokortikoid dalam jangka waktu lama
Terapi
dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan Biphosphonate
pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal, teriparatide,
bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian
Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide
2.
Pengobatan dengan pengukuran BMD (Bone
Mineral Density)
Dari
hasil pengukuran BMD, jika T-score >-1, maka nilai BMD termasuk normal,
tetapi tetap diperlukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan
pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene,
Calcitonin (Dipiro et.al , 2005).
Jika
T-score -1 s/d -2,5, maka termasuk dalam osteopenia. Dapat dilakukan monitoring
DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan, maka pilihan pengobatannya
adalah Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin
Jika
T-score <-2,0 dilakukan pemeriksaan lanjut untuk osteoporosis sekunder,
yaitu dengan pengukuran PTH, TSH, 25-OH vitamin D, CBC, panel kimia, tes
kondisi spesifik. Kemudian dilakukan terapi berdasarkan penyebab, bila ada,
yaitu dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan Biphosphonate maka pilihan
pengobatannya adalah Biphosphonate parenteral, Teriparatide, Raloxifene dan
Kalsitonin.
Dari
hasil pengukuran Osteoporosis dengan
skor T < -2,5, terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intoleransi
dengan Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin
nasal, teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut
setelah pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah
teriparatide.
Bifosfonat
yang digunakan secara oral sulit diserap oleh usus , sehingga untuk hasil
optimal harus digunakan dalam keadaan lambung kosong dan tidak makan atau
minum apapun dalam waktu satu jam.
Karena hal ini, maka tersedia bentuk parenteral berupa injeksi yang
memungkinkan penyerapan yang lebih baik (Gomez, 2009).
Kalsitonin
yang berupa salkatonin (sintetik dari kalsitonin salmon) tidak dapat diminum
secara oral, hanya ada dalam bentuk suntikan dan semprotan hidung (nasal
spray). Pasien biasanya lebih memilih suntikan subkutan dibanding dengan nasal
spray yang harus digunakan tiap hari (Gomez, 2009).
Adapun
pilihan obat terkait osteoporosis yang beredar di pasaran adalah:
1.
Kalsium
Oral : Kalsium gluconate, kalsium laktat, kalsium d-redoxon,
kalsium Sandoz, Peppermint,
Parenteral : Kalsium glukonat injeksi
2.
Bifosfonat
Oral : Alendronate (Fosamax), Risendronate (Actonel,
Osteonate), Ibandronate ( Bonviva)
Parenteral : Pamidronate (Aredia), Zoledronate (Zometa)
3.
Kalsitonin
Injeksi : Calsynar, Miacalic
Nasal : Calsynar Nasal Spray, Miacalcic Nasal Spray
4.
Estrogen
Oral : Esthero, Kliogest, Ogen
5.
Testosterone
Oral : Andriol
6.
SERM
Oral : Raloxifene, Evista.
7.
Hormon paratiroid
Oral : teriparatide
8.
Vitamin D
Oral : Calcit,Calporosis D 500, Ecatrol, Oscal
BAB III
KESIMPULAN
1.
Osteoporosis adalah tulang yang
keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah
atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan
kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang.
2.
Osteoporosis berdasarkan penyebabnya
adalah osteoporosis primer, osteoporosis sekunder dan osteoporosis idiopatik.
3.
Osteoporosis pada
awalnya tidak menimbulkan gejala, bahkan sampai puluhan tahun tanpa keluhan. Gejala
akan timbul setelah terjadi kolaps atau hancur sehingga akan timbul nyeri dan
perubahan bentuk tulang.
4.
Diagnosa pada osteoprorosis meliputi:
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan
fisik
c. Pemeriksaan
penunjang : pemeriksaaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan
densitometer.
5.
Pelaksanaan terapi osteoporosis
meliputi:
a. Terapi
non farmakologi
b. Terapi
farmakologi : terapi medis, terapi hormonal, terapi non-hormonal.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi,
Edisi 8 2008/2009. Info Master:Jakarta.
Anonim.
2009. ISO Farmakoterapi.Ikatan Sarjana FAmasi Indonesia. PT ISFI Penerbitan :
Jakarta.
Anonim.
2010. Teriparatide
Padatkan Tulang Lebih Baik . Majalah Farmacia Edisi Januari 2010 Vol.9 No.6, http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=1540
Chisholm-burns et all. 2008. Pharmacotherapy principles and practice.
McGraw-Hill Companies, Inc : USA
Cosman, F. 2005. Osteoporosis. B-First : Yogyakarta.
Depkes.
2004. Kecendrungan Osteoporosis di
Indonesia 6 kali lebih Tinggi Dibanding Negeri Belanda. http://www.depkes.go.id
Dipiro, et all. 2005. Pharmacotheraphy
a Pathophysiologic Approach 1 Fifth Edition. McGraw-Hill Companies, Inc :
USA
Ganong
W.F. 1983. Fisiologi kedokteran. Edisi kesepuluh. EGC Penerbit Buku Kedokteran
: Jakarta
Gomez,
J. 2006. Awas Pengeroposan Tulang! :
Bagaimana Menghindari dan Menghadapinya. Arcan : Jakarta.
Hannan, et all. 2001. Fracture:
risk factors and risk-adjusted hospital outcomes. JAMA.
Hulisz,H. 2006. Drug Induced Osteoporosis,Effect of
Medications on Bone Density. Associate Proffesor of Family Medicin : New
York.
Junaidi, I. 2007. Osteoporosis. PT. Bhuana Insan Popular : Jakarta.
Kawiyana, I Ketut Siki. 2009.
Osteoporosis: Patogenesis, Diagnosis dan Penanganan Terkini. FK UNUD :
Denpasar.
Lane.
2011. Lebih Lengkap Tentang Osteoporosis
: Petunjuk untuk Penderita dan Langkah-langkah Penggunaan bagi Keluarga.
Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Maharani,
S. 2010. Herbal sebagai Obat Bagi
Penderita Penyakit Mematikan. A+ book: Jogjakarta.
Menteri
Keseharan Republik Indonesia. 2008. Keputusan
Menteri Kesehatan RI No.
No.1142/Menkes/SK/VII/2008 tentang Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Jakarta.
Mike,
Mass. 2000. Corticosteroid-Induced Osteoporosis. Jacksonville
Medicine
Setyohadi,
B. 2007. Osteoporosis, dalam Buku Ajar
Penyakit Dalam. FKUI : Jakarta.
Suryati,
N. 2006. Faktor Spesifik Penyebab
Osteoporosis pada Sekelompok Wanita di RSIJ. Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan Vol.2
Tandra,
H. 2009. Segala Sesuatu yang Harus Anda
Ketahui Tentang Osteoporosis. PT. Gramedia Pustaka : Jakarta.
Wirakusumah,
E.S. 2007. Mencegah Osteoporosis.
Penebar Plus : Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar