Minggu, 23 September 2018

MAKALAH DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) DAN METODE SOAP Diabetes Melitus


MAKALAH


DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) DAN
METODE SOAP

Diabetes Melitus

Image result for logo unpad png 

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakoterapi Terapan
pada Program Studi Profesi Apoteker

  

AGUSTIANI MASLIYANA
261112180006




UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS FARMASI
2018

A.      Contoh Kasus
Tuan SP (54 Tahun, TB: 167 cm, BB: 91 kg, BMI: 32,63 kg/m2), seorang pekerja kantoran, sehingga jarang berolahraga dan lebih sering menghabiskan waktu diakhir pekan dengan tidur dirumah. Enam bulan terakhir tuan SP mengeluh sering buang air kecil terutama dimalam hari, tetap merasa lapar meskipun telah makan banyak dan mudah lelah. Hasil pemeriksaan tuan SP: tekanan darah 130/80 mmHg, glukosa plasma sewaktu 221 mg/dL, glukosa plasma 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral 226 mg/dL, glukosa plasma puasa 146 mg/dL dan HbA1c 7 % . Dokter meminta tuan SP untuk melalukukan modifikasi gaya hidup dan kembali melakukan pemeriksaan kembali setelah 1 bulan. Setelah 1 bulan tuan SP tidak melakukan kontrol dan baru kembali memeriksakan diri setelah 8 bulan. Tuan SP sering merasa kesemutan hingga pandangan menjadi kabur saat bekerja. Hasil pemeriksaan tuan SP menunjukkan kenaikan, dengan tekanan darah 140/90 mmHg, glukosa plasma sewaktu 255 mg/dL, glukosa plasma 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral 262 mg/dL, glukosa plasma puasa 174 mg/dL dan HbA1c 7,9%. Dari hasil pemeriksaan pasien mengaku tidak melakukan modifikasi gaya hidup karena terlalu sibuk dan lelah bekerja, tetap tidak bisa mengurangi porsi makan dan tidak punya waktu berolahraga. Penelusuran riwayat keluarga pasien diketahui Ayah tuan SP meninggal 6 tahun yang lalu karena menderita Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) selama 10 tahun, dan saat ini adik pasien sedang menjalani terapi DMT2. Dokter meresepkan Metformin 2 x 850 mg dan Hidroklortiazid (HCT) 1 x 25 mg. 

B.       Penyelesaian
Penyelesaian kasus  dengan menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Assesment, dan Plan) pada kasus ini adalah sebagai berikut:
1.         Subjective
Nama                            : Tuan SP
Usia                               : 54 tahun
Jenis Kelamin               : Laki-laki
Keluhan/Gejala             : Sejak 6 Bulan sebelumnya mulai merasakan sering buang air kecil terutama dimalam hari, tetap merasa lapar meskipun telah makan banyak dan mudah lelah.
Delapan bulan kemudian sering merasa kesemutan hingga pandangan menjadi kabur saat bekerja.
Riwayat Sosial              : Seorang pekerja kantoran, jarang berolahraga dan lebih sering menghabiskan waktu diakhir pekan dengan tidur dirumah.
Riwayat Keluarga         : Ayah tuan SP meninggal 6 tahun yang lalu karena menderita DMT2 selama 10 tahun, dan saat ini adik pasien sedang menjalani terapi DMT2.

2.         Objective
Pemeriksaan Fisik                : Tinggi Badan: 167 cm; Berat Badan: 91 kg; Body Mass Index = 32,63 kg/m2

Data Laboratorium
Saat Pertama
Nilai Uji
Nilai Normal
Tekanan Darah
130/800 mmHg
120/80 mmHg
Glukosa Plasma Sewaktu
221 mg/dL
< 200 mg/dL
Glukosa Plasma 2 Jam Setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
226 mg/dL
< 200 mg/dL
Glukosa Plasma Puasa
148 mg/dL
< 126 mg/dL
HbA1c
7 %
< 6,5 %
8 Bulan Kemudian

Tekanan Darah
140/90 mmHg
120/80 mmHg
Glukosa Plasma Sewaktu
255 mg/dL,
< 200 mg/dL
Glukosa Plasma 2 Jam Setelah TTGO
262 mg/dL
< 200 mg/dL
Glukosa Plasma Puasa
174 mg/dL
< 126 mg/dL
HbA1c
7,9 %
< 6,5 %

3.         Assassment
Berdasarkan data diatas, pasien diketahui menderita Hipertensi Stage I dengan tekanan darah 140/90 mmHg atau melebihi batas normal (Gambar 1.).

Gambar 1. Klasifikasi Tekanan Darah (JNC 8)

Data subjektif dan pemeriksaan fisik pasien juga menunjukkan diagnosa DMT2 karena mengeluhkan gejala yang sesuai dengan presentasi klinis pada diabetes melitus (Gambar 2.), penigkatan kadar glukosa plasma yang meningkat secara bertahap, memiliki riwayat keluarga yang menderita DMT2 dan mengalami obesitas (Gambar 3.) dengan BMI 32,63 kg/m2.

Gambar 2. Presentasi Klinik Khas Diabetes Melitus

Gambar 3. Klasifikasi Body Mass Index

Penetapan diagnosa DMT2 pada pasien juga didukung dengan data objektif pasien, yakni pemeriksaan glukosa plasma sewaktu, glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral, glukosa plasma puasa dan HbA1c berada diatas normal (Gambar 4.) serta adanya keluhan klasik seperti sering buang air kecil terutama dimalam hari dan rasa lapar yang berlebihan.

Gambar 4. Kriteria untuk Diagnosis Diabetes Mellitus

Riwayat sosial pasien pada data subjektif menunjukkan bahwa pasien memiliki pola hidup yang tidak sehat karena lebih sering menghabiskan waktu diakhir pekan dengan tidur dirumah dan jarang berolahraga. Kurangnya latihan fisik atau olahraga juga merupakan salah satu faktor terjadinya DMT2. Jika seseorang dalam hidupnya kurang melakukan latihan fisik ataupun olahraga maka cadangan glikogen ataupun lemak akan tetap tersimpan di dalam tubuh, hal inilah yang memicu terjadinya berbagai macam penyakit degenratif salah satu contohnya diabetes melitus tipe II.
Faktor lain yang memberikan andil sangat besar pada prevalensi penyakit DMT2 adalah faktor keturunan atau genetik. Riwayat keluarga pasien menunjukkan ayah pasien meninggal 6 tahun yang lalu karena menderita DM tipe 2 selama 10 tahun, dan saat ini adik pasien sedang menjalani terapi DM tipe 2. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa orang yang memiliki riwayat keluarga menderita DM lebih berisiko daripada orang yang tidak memiliki riwayat DM. Terjadinya diabetes melitus tipe II akan meningkat dua sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami penyakit ini, risiko untuk mengalami diabetes tipe II pada kembar identik 75-90%, yang menandakan bahwa faktor genetik (keturunan) berperan sangat penting.
Pada kasus ini, pasien pada awalnya prehipertensi dan menunjukkan diagnosa DMT2 berdasarkan keluhan klasik dan hasil pemeriksaan glukosa plasma yang berada diatas normal. Dokter meminta pasien untuk melakukan modifikasi gaya hidup dan kembali melakukan pemeriksaan kembali setelah 1 bulan. Namun, setelah 1 bulan pasien tidak melakukan kontrol dan baru kembali memeriksakan diri setelah 8 bulan karena pasien mulai merasakan keluhan lain yakni sering mengalami kesemutan hingga pandangan menjadi kabur saat bekerja. Hasil pemeriksaan pasien menunjukkan kenaikan, sehingga pasien mengalami hipertensi stage I dan DMT2 yang disebabkan pasien tidak melakukan modifikasi gaya hidup karena terlalu sibuk dan lelah bekerja serta tidak bisa mengurangi porsi makan dan tidak punya waktu berolahraga. Dokter kemudian meresepkan Metformin 2 x 850 mg dan HCT 1 x 25 mg.
Bedasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa pasien tidak patuh terhadap pengobatan non farmakologi yang direkomendasikan oleh dokter sebagai lini pertama dalam pengobatan pasien untuk menormalkan glukosa plasma pasien yang telah melebihi batas normal dan status tekanan darah pasien yang telah memasuki stage prehipertensi. Namun karena ketidakpatuhan pasien dalam terapi non farmakologi dan dalam melakukan pemeriksaan lanjutan maka target dalam pengobatan lini pertama tidak tercapai. Kemudian dokter memberikan terapi farmakologi dengan meresepkan pasien Metformin 2 x 850 mg dan HCT 1 x 25 mg untuk menormalkan glukosa plasma pasien yang mengalami peningkatan dari sebelumnya dan menormalkan tekanan darah pasien yang memasuki hipertensi stage I.

Penilaian terhadap Drug Related Promblems yang terjadi pada kasus tuan SP berdasarkan PCNE yakni:
Primary Domain
Kode V4
                          Masalah
P2. Drug choice problem
Pasien mendapatkan obat yang salah
P2.1

Obat yang tidak tepat:
Perawatan hipertensi yang direkomendasikan pada pasien diabetes sebaiknya menggunakan:  ACE Inhibitor, Angiotensin Reseptor Blocker (ARB), dan / atau Calcium Channel Blockers (CCB)
P3. Dosing problem
Pasien mendapatkan jumlah obat yang lebih dari yang dibutuhkan
P3.2

Dosis dan atau frekuensi terlalu tinggi:
Dosis awal Metformin yang sebaiknya diberikan yakni 2-3 kali sehari 500 mg.
Terapi hipertensi pada pasien DMT2 dengan diuretik tiazid sebaiknya dengan dosis rendah.
P5. Interactions
Ada interaksi obat dengan obat
P5.2
Interaksi yang terbukti terjadi:
Interaksi Metformin dan HCT:
1.    HCT akan meningkatkan tingkat atau efek metformin dengan kompetisi obat (kationik) pada klirens tubulus ginjal. Minor / Signifikansi Tidak Diketahui.
2.    HCT menurunkan efek metformin dengan antagonisme farmakodinamik. Minor / Signifikansi Tidak Diketahui. Dosis thiazide > 50 mg / hari dapat meningkatkan glukosa darah.
P6. Others
Kurangnya pengetahuan terhadap masalah kesehatan dan penyakit (dapat menyebabkn masalah di masa datang)
P6.2


Kurangnya pemahaman pasien mengenai Diababetes Melitus dan Hipertensi yang diderita dan kemungkinan resiko yang akan timbul jika pasien tidak patuh terhadap pengobatan membuat tujuan terapi pasien tidak tercapai dan meningkatkan resiko komplikasi pada pasien.

4.         Plan
Tujuan terapi yang ingin dicapai dalam pengobatan tuan SP adalah menormalkan glukosa plasma dan tekanan darah pasien, memperbaiki kualitas hidup pasien dan mengurangi risiko komplikasi akut pada pasien. Tujuan secara umum dalam penatalaksanaan DM yakni mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati serta menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat diabetes melitus. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.
Manajemen DM harus bersifat perorangan. Pelayanan yang diberikan berbasis pada perorangan dimana kebutuhan obat, kemampuan dan keinginan pasien menjadi komponen penting dan utama dalam menentukan pilihan dalam upaya mencapai target terapi. Pertimbangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain: usia penderita dan harapan hidupnya, lama menderita DM, riwayat hipoglikemia, penyakit penyerta, adanya komplikasi kardiovaskular, serta komponen penunjang lain (ketersediaan obat dan kemampuan daya beli).
Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olahraga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier.
Bersamaan dengan itu, apa pun langkah penatalaksanaan yang diambil, satu faktor yang tak boleh ditinggalkan adalah penyuluhan atau konseling pada penderita diabetes oleh para praktisi kesehatan, khususnya apoteker menyangkut penatalaksanaan DM.
a.    Terapi Non Farmakologi
1)   Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, serta Intervensi non-farmakologis, farmakologis serta target pengobatan.
2)   Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri. Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan pengurangan natrium secara individual.
3)   Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik, yakni: Karbohidrat: 60-70%, Protein: 10-15% dan Lemak: 20-25%.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup.
4)   Olahraga
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya.

b.    Terapi Farmakologi
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olah raga) belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya. Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat).
Tatalaksana farmakologi DMT2 pada kasus tuan SP dilakukan berdasarkan algoritma DMT2 dengan tetap melakukan modifikasi gaya hidup (Gambar 5.).

Gambar 5. Algoritma Diabetes Melitus Tipe 2

1)   Metformin
Satu-satunya biguanide yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) dan saat ini tersedia di Amerika Serikat adalah metformin. Metformin telah disetujui di Amerika Serikat pada tahun 1995, meskipun telah digunakan secara luas di Kanada dan Eropa sejak 1959. Agen ini diduga menurunkan glukosa darah dengan meningkatkan sensitivitas insulin di kedua jaringan otot hepar dan perifer; Formin telah terbukti mengurangi kadar HbA1c sebesar 1,5% hingga 2% dan tingkat glukosa plasma puasa sebesar 60 hingga 80 mg/dL (3,33-4,44 mmol/L) bila digunakan sebagai monoterapi. Respons terhadap metformin dapat bervariasi sesuai dengan titik awal pasien. Efek yang lebih besar dapat dilihat pada pasien dengan tingkat HbA1c awal yang lebih tinggi (misalnya, lebih dari 10%) dibandingkan pada pasien yang memulai terapi dengan nilai yang relatif lebih rendah (misalnya, kurang dari 8%). Efektif dalam mengurangi glukosa plasma puasa serta kadar glukosa darah pasca makan. Metformin tidak mempengaruhi pelepasan insulin dari sel-sel β pankreas, sehingga hipoglikemia bukanlah efek samping yang umum. Sementara onset aksi dimulai dalam beberapa hari, efek terapeutik maksimum dari agen ini mungkin tidak diamati sampai setelah 2 minggu terapi.
Pemilihan metformin sebagai monoterapi pada kasus pasien SP juga didasarkan pada algoritma Perkeni (Gambar 6.) karena HbA1c pasien pada awalnya < 7,5%. Namun karena ketidakpatuhan pasien dalam memodifikasi gaya hidup sebagai terapi awal dan pasien tidak melakukan pemeriksaan kembali paling lambat dalam 3 bulan, maka terjadi kegagalan pada terapi non farmakologi pasien. Sehingga mengakibatkan kadar HbA1c pasien > 7% dan diperlukannya mono terapi dengan metformin sebagai lini pertama.

Gambar 6. Konsensus Perkeni 2015: Algoritma Pengelolaan DMT2 di Indonesia

Pada kasus tuan SP, dosis metformin yang diberikan oleh dokter yakni 2 x 850 mg, yang sebaiknya dilakukan penyesuaian dosis menjadi sehari 3 kali 500 mg. Hal ini dilakukan karena dosis terapi umumnya bersifat individual dan dapat dimulai dahulu dengan dosis rendah 500 mg per hari yang kemudian ditingkatkan secara bertahap setelah 2–3 minggu dengan penambahan 500 mg per minggu atau 850 mg per dua minggu sampai kontrol gula darah tercapai atau tidak melebihi dosis maksimum 2.550 mg per hari atau dengan pemberian metformin 500 mg berupa sediaan lepas lambat. Selain itu, lama kerja dari Metformin adalah 6-8 jam/hari dengan frekuensi penggunaan perhari adalah 1-3. Sehingga direkomendasikan untuk digunakan dengan aturan pakai 3 x sehari 500 mg, diminum saat atau sesudah makan.
Pertimbangan lain dalam pemilihan metformin sebagai terapi pasien karena tergolong obat dengan efek samping minimal dengan keuntungan yang lebih banyak seperti biaya yang rendah dan menurunkan resiko penyakit kardiovaskular. Efek samping utama yang terkait dengan terapi metformin adalah gastrointestinal, termasuk penurunan nafsu makan, mual, dan diare. Efek samping ini dapat diminimalkan melalui penyesuaian dosis secara bertahap dan akan mereda dalam 2 minggu. Penghentian karena efek samping hanya terjadi pada 3% hingga 5% pasien.
Biguanides seperti metformin dianggap menghambat oksidasi asam laktat mitokondria, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadi asidosis laktat. Insidensi asidosis laktik dalam praktek klinis jarang terjadi. Pasien dengan risiko terbesar untuk mengembangkan asidosis laktik adalah mereka dengan penyakit hati atau penggunaan alkohol berat, infeksi berat, gagal jantung, dan syok. Oleh karena itu penting untuk mengevaluasi fungsi hati sebelum inisiasi metformin.
Modifikasi gaya hidup, termasuk pendidikan, nutrisi, dan olahraga, sangat penting untuk mengelola penyakit dengan sukses. Banyak pasien berasumsi bahwa sekali terapi farmakologis dimulai, modifikasi gaya hidup tidak lagi diperlukan. Praktisi harus mendidik pasien mengenai kesalahpahaman ini. Karena diabetes tipe 2 adalah penyakit progresif, kadar glukosa darah pada akhirnya akan meningkatkan terapi insulin dan modifikasi gaya hidup yang diperlukan terapi.

2)   Lisinopril
Pada kasus tuan SP, untuk menormalkan tekanan darah hingga sasaran dokter memberikan terapi HCT 1 x 25 mg. Penggunaan HCT pada kasus ini sebaiknya digantikan dengan obat golongan ACE Inhibitor seperti Lisinopril dengan dosis awal pada kasus hipertensi yakni 1 x 10 mg sehari.
Tekanan darah yang tidak terkontrol memainkan peran utama dalam perkembangan kejadian makrovaskular dan nefropati pada pasien dengan DM. ADA merekomendasikan bahwa gol tekanan darah untuk pasien dengan DM kurang dari 130/80 mm Hg. Selain itu, ada beberapa prinsip umum mengenai perawatan hipertensi pada pasien diabetes. Inhibitor Angiotensin-converting enzyme (ACE), bloker reseptor angiotensin II, dan calcium channel blockers direkomendasikan sebagai terapi awal karena efeknya yang menguntungkan pada fungsi ginjal. Diuretik tiazid dosis rendah juga dapat digunakan sebagai terapi lini pertama atau kedua. Penggunaan diuretik tiazid yang paling umum untuk pasien dengan DM adalah kombinasi sinergis dengan agen lain. β-Blocker juga dapat digunakan sebagai terapi lini kedua atau first-line. Sementara β-blocker dapat menutupi gejala hipoglikemia, umumnya diyakini bahwa manfaat β-blocker melebihi risiko rendah hipoglikemia pada pasien dengan DM tipe 2. Untuk mencapai tujuan tekanan darah, sebagian besar pasien memerlukan terapi kombinasi dengan dua atau tiga obat antihipertensi.
Oleh karena itu pada kasus tuan SP, penanganan hipertensi yang sebelumnya menggunakan HCT sebaiknya digantikan dengan ACE Inhibitor, seperti Lisinopril yang memiliki insidens batuk lebih rendah dibandingkan Kaptopril agar tidak mengganggu pekerjaan pasien. Jika dokter menginginkan pasien tetap melanjutkan terapi dengan diuretik tiazid sebagai terapi lini pertama sebaiknya HCT (monoterapi) diberikan pada dosis yang rendah yakni 2 x sehari 12,5 mg atau pada dosis 6,25 mg 2 x sehari kombinasi sinergis dengan agen lain.    

c.    Monitoring
Terapi Metformin dan Lisinopril yang direkomendasikan pada tuan SP memiliki interaksi obat sehingga perlu dilakukan monitoring pada pengobatan pasien. Interaksi yang terjadi adalah lisinopril meningkatkan toksisitas metformin dengan mekanisme interaksi yang tidak spesifik. Penggunaan lisinopril bersama dengan metformin dapat meningkatkan risiko hipoglikemia dan asidosis laktik.
Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan DMT2 harus dipantau secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah, Pemeriksaan HbA1C, Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan Glycated Albumin (GA).
Pada kasus tuan SP pasien harus melakukan pemeriksaan ulang setelah terapi non farmakologi dan farmakologi selama 1 bulan. Perlu dilakukan penyesuaian pengobatan jika target terapi terhadap kadar glukosa plasma dan tekanan darah pasien tidak tercapai ataupun telah tercapai. Monitoring perlu dilakukan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang diberikan dan mematau perkembangan penyakit pasien.
Perawatan DM tipe 2 telah berubah selama dekade terakhir dengan penambahan sejumlah obat baru dan rekomendasi ADA untuk mempertahankan kontrol glikemik yang lebih ketat. The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes sebagai berikut:

Parameter
Kadar Ideal Yang Diharapkan
Kadar Glukosa Darah Puasa
80-120 mg/dL
Kadar Glukosa Plasma Puasa
90-130 mg/dL
Kadar Glukosa Darah Saat Tidur (Bedtime blood glucose)
100-140 mg/dL
Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur
(Bedtime plasma glucose)
110–150mg/dL
Kadar Insulin
<7 %
Kadar HbA1c
<7mg/dL
Kadar Kolesterol HDL
>45mg/dL (pria)
Kadar Kolesterol HDL
>55mg/dL (wanita)
Kadar Trigliserida
<200mg/dL
Tekanan Darah
<130/80mmHg




DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2015. Classification and Diagnosis of Diabetes. Diabetes Care. 38(1): 8-16.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2015. Pusat Informasi Obat Nasional (PIO Nas). http://pionas.pom.go.id/. Diakses pada Kamis, 14 September 2018 Pukul 18:32.
Chisholm-Burns, M.A., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.L., Rotschefer, J.C. & Dipiro, J.T. 2008. Pharmacotherapy Principles & Practice. The McGraw-Hill Companies, Inc. USA.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Depkes RI. Jakarta.
International Diabetes Federation (IDF). 2013. IDF Diabetes Atlas Sixth Edition. International Diabetes Federation (IDF).
Muhadi. 2016. JNC 8: Evidence-based Guideline Penanganan Pasien Hipertensi Dewasa. CDK-236. 43(1): 54-59.
Nathan, D.M., Buse, J.B., Davidson, M.B., Heine, R.J., Holman, R.R., Sherwin, R., et al. 2009. Medical Management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes: A Consensus Algorithm For The Initiation and Adjustment of Therapy. A Consensus Statement of The American Diabetes Association and the European Association for The Study of Diabetes. Diabetes Care. 32(1):193–203. doi: 10.2337/dc08-9025.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular.
Redaksi ISO Indonesia. 2014. Informasi Spesialis Obat Indonesia Volume 49 – 2014 s/d 015. PT. ISFI Penerbitan. Jakarta.
Riwu, M. Anas, S. & Keri, L. 2015. Korelasi Faktor Usia, Cara Minum, dan Dosis Obat Metformin terhadap Risiko Efek Samping pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. 4(3): 151-161. ISSN: 2252–6218.
Rudijanto, A et al. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Schwartz, S., Fonseca, V., Berner, B., Cramer, M., Chiang, Y.K., Lewin, A. 2006. Efficacy, Tolerability, and Safety of A Novel Once-Daily Extended-Release Metformin in Patients with Type 2 Diabetes. Diabetes Care. 29(4):759–64. doi: 10.2337/ diacare.29.04.06.dc05-1967.
Sudaryanto, A., Setiyadi, N.A. & Frankilawati, D.A.2014. Hubungan Antara Pola Makan, Genetik dan Kebiasaan Olahraga Terhadap Kejadian Diabetes Melitus Tipe II Di Wilayah Kerja Puskesmas Nusukan, Banjarsari. Prosiding SNST. 19-24.
Zazuli, Z., Azmi R. & I. Ketur, A. 2017. Drug‑Related Problems in Type 2 Diabetic Patients with Hypertension in Cimahi, West Java, Indonesia: A Prospective Study. International Journal of Green Pharmacy. 11(2): 298-304.

0 komentar:

Posting Komentar