MAKALAH
DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)
DAN
METODE SOAP
Diabetes Melitus
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakoterapi Terapan
pada
Program Studi Profesi Apoteker
AGUSTIANI MASLIYANA
261112180006
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS FARMASI
2018
A.
Contoh
Kasus
Tuan
SP (54 Tahun, TB: 167 cm, BB: 91 kg, BMI: 32,63 kg/m2), seorang
pekerja kantoran, sehingga jarang berolahraga dan lebih sering menghabiskan
waktu diakhir pekan dengan tidur dirumah. Enam bulan terakhir tuan SP mengeluh
sering buang air kecil terutama dimalam hari, tetap merasa lapar meskipun telah
makan banyak dan mudah lelah. Hasil pemeriksaan tuan SP: tekanan darah 130/80
mmHg, glukosa plasma sewaktu 221 mg/dL, glukosa plasma 2 jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral 226 mg/dL, glukosa plasma puasa 146 mg/dL dan HbA1c 7 % .
Dokter meminta tuan SP untuk melalukukan modifikasi gaya hidup dan kembali
melakukan pemeriksaan kembali setelah 1 bulan. Setelah 1 bulan tuan SP tidak
melakukan kontrol dan baru kembali memeriksakan diri setelah 8 bulan. Tuan SP
sering merasa kesemutan hingga pandangan menjadi kabur saat bekerja. Hasil
pemeriksaan tuan SP menunjukkan kenaikan, dengan tekanan darah 140/90 mmHg,
glukosa plasma sewaktu 255 mg/dL, glukosa plasma 2 jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral 262 mg/dL, glukosa plasma puasa 174 mg/dL dan HbA1c 7,9%. Dari
hasil pemeriksaan pasien mengaku tidak melakukan modifikasi gaya hidup karena
terlalu sibuk dan lelah bekerja, tetap tidak bisa mengurangi porsi makan dan
tidak punya waktu berolahraga. Penelusuran riwayat keluarga pasien diketahui
Ayah tuan SP meninggal 6 tahun yang lalu karena menderita Diabetes Melitus Tipe
2 (DMT2) selama 10 tahun, dan saat ini adik pasien sedang menjalani terapi DMT2.
Dokter meresepkan Metformin 2 x 850 mg dan Hidroklortiazid (HCT) 1 x 25
mg.
B.
Penyelesaian
Penyelesaian kasus dengan menggunakan metode SOAP
(Subjective, Objective, Assesment, dan Plan) pada kasus
ini adalah sebagai berikut:
1.
Subjective
Nama : Tuan SP
Usia : 54 tahun
Jenis
Kelamin : Laki-laki
Keluhan/Gejala : Sejak 6 Bulan sebelumnya mulai
merasakan sering buang air kecil terutama dimalam hari, tetap merasa lapar
meskipun telah makan banyak dan mudah lelah.
Delapan bulan kemudian sering
merasa kesemutan hingga pandangan menjadi kabur saat bekerja.
Riwayat
Sosial : Seorang pekerja kantoran, jarang berolahraga
dan lebih sering menghabiskan waktu diakhir pekan dengan tidur dirumah.
Riwayat
Keluarga : Ayah tuan SP meninggal
6 tahun yang lalu karena menderita DMT2 selama 10 tahun, dan saat ini adik
pasien sedang menjalani terapi DMT2.
2.
Objective
Pemeriksaan Fisik : Tinggi Badan: 167 cm; Berat
Badan: 91 kg; Body Mass Index = 32,63
kg/m2
Data Laboratorium
Saat Pertama
|
Nilai Uji
|
Nilai Normal
|
Tekanan Darah
|
130/800 mmHg
|
120/80 mmHg
|
Glukosa Plasma Sewaktu
|
221 mg/dL
|
< 200 mg/dL
|
Glukosa Plasma 2 Jam Setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO)
|
226 mg/dL
|
< 200 mg/dL
|
Glukosa Plasma Puasa
|
148 mg/dL
|
< 126 mg/dL
|
HbA1c
|
7 %
|
< 6,5 %
|
8 Bulan
Kemudian
|
||
Tekanan Darah
|
140/90 mmHg
|
120/80 mmHg
|
Glukosa Plasma Sewaktu
|
255 mg/dL,
|
< 200 mg/dL
|
Glukosa Plasma 2 Jam Setelah TTGO
|
262 mg/dL
|
< 200 mg/dL
|
Glukosa Plasma Puasa
|
174 mg/dL
|
< 126 mg/dL
|
HbA1c
|
7,9 %
|
< 6,5 %
|
3.
Assassment
Berdasarkan
data diatas, pasien diketahui menderita Hipertensi Stage I dengan tekanan darah
140/90 mmHg atau melebihi batas normal (Gambar 1.).
Data subjektif
dan pemeriksaan fisik pasien juga menunjukkan diagnosa DMT2 karena mengeluhkan
gejala yang sesuai dengan presentasi klinis pada diabetes melitus (Gambar 2.),
penigkatan kadar glukosa plasma yang meningkat secara bertahap, memiliki
riwayat keluarga yang menderita DMT2 dan mengalami obesitas (Gambar 3.) dengan
BMI 32,63 kg/m2.
Gambar 2.
Presentasi Klinik Khas Diabetes Melitus
Penetapan
diagnosa DMT2 pada pasien juga didukung dengan data objektif pasien, yakni pemeriksaan
glukosa plasma sewaktu, glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa
oral, glukosa plasma puasa dan HbA1c berada diatas normal (Gambar 4.) serta
adanya keluhan klasik seperti sering buang air kecil terutama
dimalam hari dan rasa lapar yang berlebihan.
Gambar 4. Kriteria
untuk Diagnosis Diabetes Mellitus
Riwayat sosial
pasien pada data subjektif menunjukkan bahwa pasien memiliki pola hidup yang
tidak sehat karena lebih sering menghabiskan waktu diakhir pekan
dengan tidur dirumah dan jarang berolahraga. Kurangnya
latihan fisik atau olahraga juga merupakan salah satu faktor terjadinya DMT2. Jika
seseorang dalam hidupnya kurang melakukan latihan fisik ataupun olahraga maka
cadangan glikogen ataupun lemak akan tetap tersimpan di dalam tubuh, hal inilah
yang memicu terjadinya berbagai macam penyakit degenratif salah
satu contohnya diabetes melitus tipe II.
Faktor lain yang memberikan andil sangat besar pada prevalensi penyakit
DMT2 adalah faktor keturunan atau genetik. Riwayat keluarga pasien menunjukkan
ayah pasien meninggal 6 tahun yang lalu karena menderita DM
tipe 2 selama 10 tahun, dan saat ini adik pasien sedang menjalani terapi DM
tipe 2. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa orang
yang memiliki riwayat keluarga menderita DM lebih berisiko daripada orang yang
tidak memiliki riwayat DM. Terjadinya diabetes melitus tipe II akan meningkat
dua sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami
penyakit ini, risiko untuk mengalami diabetes tipe II pada kembar identik
75-90%, yang menandakan bahwa faktor genetik (keturunan) berperan sangat
penting.
Pada kasus ini, pasien pada awalnya prehipertensi dan menunjukkan
diagnosa DMT2 berdasarkan keluhan klasik dan hasil pemeriksaan glukosa plasma
yang berada diatas normal. Dokter meminta pasien untuk melakukan
modifikasi gaya hidup dan kembali melakukan pemeriksaan kembali setelah 1
bulan. Namun, setelah 1 bulan pasien tidak melakukan kontrol dan baru kembali
memeriksakan diri setelah 8 bulan karena pasien mulai merasakan keluhan lain
yakni sering mengalami kesemutan hingga pandangan menjadi kabur saat bekerja. Hasil
pemeriksaan pasien menunjukkan kenaikan, sehingga pasien mengalami hipertensi
stage I dan DMT2 yang disebabkan pasien tidak melakukan modifikasi gaya hidup
karena terlalu sibuk dan lelah bekerja serta tidak bisa mengurangi porsi makan
dan tidak punya waktu berolahraga. Dokter kemudian meresepkan Metformin 2 x 850
mg dan HCT 1 x 25 mg.
Bedasarkan
penjelasan diatas dapat diketahui bahwa pasien tidak patuh terhadap pengobatan
non farmakologi yang direkomendasikan oleh dokter sebagai lini pertama dalam pengobatan pasien untuk menormalkan glukosa plasma pasien yang telah
melebihi batas normal dan status tekanan darah pasien yang telah memasuki stage
prehipertensi. Namun karena ketidakpatuhan pasien dalam terapi non farmakologi
dan dalam melakukan pemeriksaan lanjutan maka target dalam pengobatan lini
pertama tidak tercapai. Kemudian dokter memberikan terapi farmakologi dengan
meresepkan pasien Metformin 2 x 850 mg dan HCT 1 x 25 mg untuk
menormalkan glukosa plasma pasien yang mengalami peningkatan dari sebelumnya
dan menormalkan tekanan darah pasien yang memasuki hipertensi stage I.
Penilaian terhadap Drug Related Promblems yang terjadi pada kasus tuan SP berdasarkan PCNE yakni:
Primary Domain
|
Kode V4
|
Masalah
|
P2. Drug choice problem
Pasien
mendapatkan obat yang salah
|
P2.1
|
Obat
yang tidak tepat:
Perawatan
hipertensi yang direkomendasikan pada pasien diabetes sebaiknya
menggunakan: ACE Inhibitor,
Angiotensin Reseptor Blocker (ARB), dan / atau Calcium Channel Blockers (CCB)
|
P3. Dosing problem
Pasien mendapatkan jumlah obat yang lebih dari yang
dibutuhkan
|
P3.2
|
Dosis
dan atau frekuensi terlalu tinggi:
Dosis
awal Metformin yang sebaiknya diberikan yakni 2-3 kali sehari 500 mg.
Terapi
hipertensi pada pasien DMT2 dengan diuretik tiazid sebaiknya dengan dosis
rendah.
|
P5. Interactions
Ada
interaksi obat dengan obat
|
P5.2
|
Interaksi
yang terbukti terjadi:
Interaksi
Metformin dan HCT:
1. HCT
akan meningkatkan tingkat atau efek metformin dengan kompetisi obat (kationik)
pada klirens tubulus ginjal. Minor / Signifikansi Tidak Diketahui.
2. HCT
menurunkan efek metformin dengan antagonisme farmakodinamik. Minor /
Signifikansi Tidak Diketahui. Dosis thiazide > 50 mg / hari dapat
meningkatkan glukosa darah.
|
P6. Others
Kurangnya
pengetahuan terhadap masalah kesehatan dan penyakit (dapat menyebabkn masalah
di masa datang)
|
P6.2
|
Kurangnya
pemahaman pasien mengenai Diababetes Melitus dan Hipertensi yang diderita dan
kemungkinan resiko yang akan timbul jika pasien tidak patuh terhadap pengobatan
membuat tujuan terapi pasien tidak tercapai dan meningkatkan resiko
komplikasi pada pasien.
|
4.
Plan
Tujuan terapi
yang ingin dicapai dalam pengobatan tuan SP adalah menormalkan glukosa plasma
dan tekanan darah pasien, memperbaiki kualitas hidup pasien dan
mengurangi risiko komplikasi akut pada pasien. Tujuan secara umum dalam penatalaksanaan
DM yakni mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan
makroangiopati serta menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat diabetes melitus.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.
Manajemen
DM harus bersifat perorangan. Pelayanan yang diberikan berbasis pada perorangan
dimana kebutuhan obat, kemampuan dan keinginan pasien menjadi komponen penting
dan utama dalam menentukan pilihan dalam upaya mencapai target terapi.
Pertimbangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain: usia penderita
dan harapan hidupnya, lama menderita DM, riwayat hipoglikemia, penyakit
penyerta, adanya komplikasi kardiovaskular, serta komponen penunjang lain
(ketersediaan obat dan kemampuan daya beli).
Pada
dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama
pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam
penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan
tanpa obat berupa pengaturan diet dan olahraga. Apabila dengan langkah pertama ini
tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah
farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau
kombinasi keduanya. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat,
misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat,
atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder
atau Tersier.
Bersamaan
dengan itu, apa pun langkah penatalaksanaan yang diambil, satu faktor yang tak
boleh ditinggalkan adalah penyuluhan atau konseling pada penderita diabetes
oleh para praktisi kesehatan, khususnya apoteker menyangkut penatalaksanaan DM.
a. Terapi
Non Farmakologi
1) Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting
dari pengelolaan DM secara holistik. Pengetahuan tentang pemantauan
mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien, serta Intervensi non-farmakologis, farmakologis
serta target pengobatan.
2) Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Prinsip
pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori
dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan
mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan
kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi
insulin atau terapi insulin itu sendiri. Penyandang DM yang juga menderita hipertensi
perlu dilakukan pengurangan natrium secara individual.
3) Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan
penatalaksanaan diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi
yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan
gizi baik, yakni: Karbohidrat: 60-70%, Protein: 10-15% dan Lemak: 20-25%.
Penurunan berat badan telah dibuktikan
dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap
stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5%
berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu
parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan
dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup.
4)
Olahraga
Latihan jasmani merupakan salah satu
pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan
jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak
3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit
perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Prinsipnya,
tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur
akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Olahraga yang disarankan adalah yang
bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive,
Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut
nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita.
Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,
bersepeda, berenang, dan lain sebagainya.
b.
Terapi Farmakologi
Apabila
penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olah raga) belum
berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan
langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi
obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya. Terapi
farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat).
Tatalaksana farmakologi
DMT2 pada kasus tuan SP dilakukan berdasarkan algoritma DMT2 dengan tetap
melakukan modifikasi gaya hidup (Gambar 5.).
1) Metformin
Satu-satunya
biguanide yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) dan saat ini
tersedia di Amerika Serikat adalah metformin. Metformin telah disetujui di
Amerika Serikat pada tahun 1995, meskipun telah digunakan secara luas di Kanada
dan Eropa sejak 1959. Agen ini diduga menurunkan glukosa darah dengan
meningkatkan sensitivitas insulin di kedua jaringan otot hepar dan perifer;
Formin telah terbukti mengurangi kadar HbA1c sebesar 1,5% hingga 2% dan tingkat
glukosa plasma puasa sebesar 60 hingga 80 mg/dL (3,33-4,44 mmol/L) bila
digunakan sebagai monoterapi. Respons terhadap metformin dapat bervariasi
sesuai dengan titik awal pasien. Efek yang lebih besar dapat dilihat pada
pasien dengan tingkat HbA1c awal yang lebih tinggi (misalnya, lebih dari 10%)
dibandingkan pada pasien yang memulai terapi dengan nilai yang relatif lebih
rendah (misalnya, kurang dari 8%). Efektif dalam mengurangi glukosa plasma
puasa serta kadar glukosa darah pasca makan. Metformin tidak mempengaruhi
pelepasan insulin dari sel-sel β pankreas, sehingga hipoglikemia bukanlah efek
samping yang umum. Sementara onset aksi dimulai dalam beberapa hari, efek
terapeutik maksimum dari agen ini mungkin tidak diamati sampai setelah 2 minggu
terapi.
Pemilihan
metformin sebagai monoterapi pada kasus pasien SP juga didasarkan pada
algoritma Perkeni (Gambar 6.) karena HbA1c pasien pada awalnya < 7,5%. Namun
karena ketidakpatuhan pasien dalam memodifikasi gaya hidup sebagai terapi awal
dan pasien tidak melakukan pemeriksaan kembali paling lambat dalam 3 bulan,
maka terjadi kegagalan pada terapi non farmakologi pasien. Sehingga
mengakibatkan kadar HbA1c pasien > 7% dan diperlukannya mono terapi dengan
metformin sebagai lini pertama.
Gambar 6. Konsensus Perkeni 2015: Algoritma Pengelolaan DMT2
di Indonesia
Pada
kasus tuan SP, dosis metformin yang diberikan oleh dokter yakni 2 x 850 mg,
yang sebaiknya dilakukan penyesuaian dosis menjadi sehari 3 kali 500 mg. Hal
ini dilakukan karena dosis
terapi umumnya bersifat individual dan dapat dimulai dahulu dengan dosis rendah
500 mg per hari yang kemudian ditingkatkan secara bertahap setelah 2–3 minggu
dengan penambahan 500 mg per minggu atau 850 mg per dua minggu sampai kontrol
gula darah tercapai atau tidak melebihi dosis maksimum 2.550 mg per hari atau
dengan pemberian metformin 500 mg berupa sediaan lepas lambat. Selain itu, lama
kerja dari Metformin adalah 6-8 jam/hari dengan frekuensi penggunaan perhari
adalah 1-3. Sehingga direkomendasikan untuk digunakan dengan aturan pakai 3 x
sehari 500 mg, diminum saat atau sesudah makan.
Pertimbangan lain dalam pemilihan metformin
sebagai terapi pasien karena tergolong obat dengan efek samping minimal dengan
keuntungan yang lebih banyak seperti biaya yang rendah dan menurunkan resiko
penyakit kardiovaskular. Efek samping utama yang terkait dengan
terapi metformin adalah gastrointestinal, termasuk penurunan nafsu makan, mual,
dan diare. Efek samping ini dapat diminimalkan melalui penyesuaian dosis secara
bertahap dan akan mereda dalam 2 minggu. Penghentian karena efek samping hanya
terjadi pada 3% hingga 5% pasien.
Biguanides
seperti metformin dianggap menghambat oksidasi asam laktat mitokondria,
sehingga meningkatkan kemungkinan terjadi asidosis laktat. Insidensi asidosis
laktik dalam praktek klinis jarang terjadi. Pasien dengan risiko terbesar untuk
mengembangkan asidosis laktik adalah mereka dengan penyakit hati atau
penggunaan alkohol berat, infeksi berat, gagal jantung, dan syok. Oleh karena
itu penting untuk mengevaluasi fungsi hati sebelum inisiasi metformin.
Modifikasi
gaya hidup, termasuk pendidikan, nutrisi, dan olahraga, sangat penting untuk
mengelola penyakit dengan sukses. Banyak pasien berasumsi bahwa sekali terapi
farmakologis dimulai, modifikasi gaya hidup tidak lagi diperlukan. Praktisi
harus mendidik pasien mengenai kesalahpahaman ini. Karena diabetes tipe 2
adalah penyakit progresif, kadar glukosa darah pada akhirnya akan meningkatkan
terapi insulin dan modifikasi gaya hidup yang diperlukan terapi.
2) Lisinopril
Pada
kasus tuan SP, untuk menormalkan tekanan darah hingga sasaran dokter memberikan
terapi HCT 1 x 25 mg. Penggunaan HCT pada kasus ini sebaiknya digantikan dengan
obat golongan ACE Inhibitor seperti Lisinopril dengan dosis awal pada kasus
hipertensi yakni 1 x 10 mg sehari.
Tekanan
darah yang tidak terkontrol memainkan peran utama dalam perkembangan kejadian
makrovaskular dan nefropati pada pasien dengan DM. ADA merekomendasikan bahwa
gol tekanan darah untuk pasien dengan DM kurang dari 130/80 mm Hg. Selain itu,
ada beberapa prinsip umum mengenai perawatan hipertensi pada pasien diabetes.
Inhibitor Angiotensin-converting enzyme (ACE), bloker reseptor angiotensin II,
dan calcium channel blockers direkomendasikan sebagai terapi awal karena
efeknya yang menguntungkan pada fungsi ginjal. Diuretik tiazid dosis rendah
juga dapat digunakan sebagai terapi lini pertama atau kedua. Penggunaan
diuretik tiazid yang paling umum untuk pasien dengan DM adalah kombinasi
sinergis dengan agen lain. β-Blocker juga dapat digunakan sebagai terapi lini
kedua atau first-line. Sementara β-blocker dapat menutupi gejala hipoglikemia,
umumnya diyakini bahwa manfaat β-blocker melebihi risiko rendah hipoglikemia
pada pasien dengan DM tipe 2. Untuk mencapai tujuan tekanan darah, sebagian
besar pasien memerlukan terapi kombinasi dengan dua atau tiga obat
antihipertensi.
Oleh
karena itu pada kasus tuan SP, penanganan hipertensi yang sebelumnya
menggunakan HCT sebaiknya digantikan dengan ACE Inhibitor, seperti Lisinopril
yang memiliki insidens batuk lebih rendah dibandingkan Kaptopril agar tidak
mengganggu pekerjaan pasien. Jika dokter menginginkan pasien tetap melanjutkan
terapi dengan diuretik tiazid sebagai terapi lini pertama sebaiknya HCT (monoterapi)
diberikan pada dosis yang rendah yakni 2 x sehari 12,5 mg atau pada dosis 6,25
mg 2 x sehari kombinasi sinergis dengan agen lain.
c.
Monitoring
Terapi
Metformin dan Lisinopril yang direkomendasikan pada tuan SP memiliki interaksi
obat sehingga perlu dilakukan monitoring pada pengobatan pasien. Interaksi yang
terjadi adalah lisinopril meningkatkan toksisitas metformin dengan mekanisme
interaksi yang tidak spesifik. Penggunaan lisinopril bersama dengan metformin
dapat meningkatkan risiko hipoglikemia dan asidosis laktik.
Pada
praktek sehari-hari, hasil pengobatan DMT2 harus dipantau secara terencana
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah,
Pemeriksaan HbA1C, Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan Glycated Albumin
(GA).
Pada
kasus tuan SP pasien harus melakukan pemeriksaan ulang setelah terapi non
farmakologi dan farmakologi selama 1 bulan. Perlu dilakukan penyesuaian pengobatan
jika target terapi terhadap kadar glukosa plasma dan tekanan darah pasien tidak
tercapai ataupun telah tercapai. Monitoring perlu dilakukan untuk memastikan
kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang diberikan dan mematau perkembangan
penyakit pasien.
Perawatan
DM tipe 2 telah berubah selama dekade terakhir dengan penambahan sejumlah obat
baru dan rekomendasi ADA untuk mempertahankan kontrol glikemik yang lebih
ketat. The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang dapat
digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes sebagai berikut:
Parameter
|
Kadar Ideal Yang Diharapkan
|
Kadar Glukosa Darah Puasa
|
80-120 mg/dL
|
Kadar Glukosa Plasma Puasa
|
90-130 mg/dL
|
Kadar Glukosa Darah Saat Tidur
(Bedtime blood glucose)
|
100-140 mg/dL
|
Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur
(Bedtime plasma glucose)
|
110–150mg/dL
|
Kadar Insulin
|
<7 %
|
Kadar HbA1c
|
<7mg/dL
|
Kadar Kolesterol HDL
|
>45mg/dL (pria)
|
Kadar Kolesterol HDL
|
>55mg/dL (wanita)
|
Kadar Trigliserida
|
<200mg/dL
|
Tekanan Darah
|
<130/80mmHg
|
DAFTAR PUSTAKA
American
Diabetes Association. 2015. Classification and Diagnosis of Diabetes. Diabetes Care.
38(1): 8-16.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2015. Pusat
Informasi Obat Nasional (PIO Nas). http://pionas.pom.go.id/. Diakses
pada Kamis, 14 September 2018 Pukul 18:32.
Chisholm-Burns,
M.A., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.L.,
Rotschefer, J.C. & Dipiro, J.T. 2008. Pharmacotherapy Principles
& Practice. The McGraw-Hill Companies, Inc. USA.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. 2005. Pharmaceutical Care Untuk
Penyakit Diabetes
Mellitus. Depkes RI. Jakarta.
International
Diabetes Federation (IDF). 2013. IDF Diabetes Atlas Sixth Edition.
International Diabetes Federation (IDF).
Muhadi. 2016. JNC
8: Evidence-based Guideline Penanganan Pasien Hipertensi
Dewasa. CDK-236. 43(1): 54-59.
Nathan, D.M., Buse, J.B., Davidson, M.B.,
Heine, R.J., Holman, R.R., Sherwin, R., et
al. 2009. Medical Management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes: A
Consensus Algorithm For The Initiation and Adjustment of Therapy. A Consensus
Statement of The American Diabetes Association and the European Association for
The Study of Diabetes. Diabetes Care.
32(1):193–203. doi: 10.2337/dc08-9025.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular.
Redaksi
ISO Indonesia. 2014. Informasi Spesialis Obat Indonesia Volume 49 – 2014 s/d 015.
PT. ISFI Penerbitan. Jakarta.
Riwu, M. Anas, S. & Keri, L. 2015. Korelasi Faktor Usia, Cara Minum, dan Dosis Obat Metformin terhadap Risiko Efek Samping pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal
Farmasi Klinik Indonesia. 4(3): 151-161. ISSN: 2252–6218.
Rudijanto,
A et al. 2015. Konsensus Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Pengurus Besar Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia.
Schwartz, S., Fonseca, V., Berner, B., Cramer,
M., Chiang, Y.K., Lewin, A. 2006. Efficacy, Tolerability, and Safety of A Novel
Once-Daily Extended-Release Metformin in Patients with Type 2 Diabetes. Diabetes Care. 29(4):759–64. doi:
10.2337/ diacare.29.04.06.dc05-1967.
Sudaryanto, A., Setiyadi, N.A. &
Frankilawati, D.A.2014. Hubungan Antara Pola Makan, Genetik dan Kebiasaan
Olahraga Terhadap Kejadian Diabetes Melitus Tipe II Di Wilayah Kerja Puskesmas
Nusukan, Banjarsari. Prosiding SNST. 19-24.
Zazuli, Z., Azmi R. & I. Ketur, A.
2017. Drug‑Related Problems in Type 2 Diabetic Patients with Hypertension in
Cimahi, West Java, Indonesia: A Prospective Study. International Journal of Green Pharmacy. 11(2): 298-304.
0 komentar:
Posting Komentar