Sabtu, 01 April 2017

RANGKUMAN ANALISA OBAT


RANGKUMAN ANALISA OBAT

Disusun Oleh:

Agustiani Masliyana
Akhmad Andy Sandra
Hadi Nugroho
Intan Putri Permata Sani
Kurnia Telaumbanua
Priska Simananihuruk
Wahyu Trisetiana

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
JAKARTA
TITRASI ASAM BASA



Studi kuantitatif mengenai reaksi penetralan asam-basa paling nyaman apabila dilakukan dengan mengunakan prosedur yang disebut titrasi. dalam percobaan titrasi, suatu larutan yang konsentrasinya diketahui secara pasti, disebut dengan larutan standar (standard solution), ditambahkan secara bertahap ke larutan yang lain konsentrasinya tidak diketahui, sampai reaksi kimia antara kedua larutan tersebut berlangsun sampai sempurna jika kita mengetahui volume larutan standard dan larutan tidak diketahui yang digunakan dalam titrasi.

Titrasi asam basa melibatkan reaksi neutralisasi dimana asam akan bereaksi dengan basa dalam jumlah yang ekuivalen. Titran yang dipakai dalam titrasi asam basa selalu asam kuat atau basa kuat. Titik akhir titrasimudah diketahui dengan membuat kurva titrasi yaitu plot antara pH larutan sebagai fungsi dari volume titran yang ditambahkan.

Cara Melakukan Titrasi Asam Basa:

1.    Zat penitrasi (titran) yang merupakan larutan baku dimasukkan ke dalam buret yang telah ditera.

2.    Zat yang dititrasi (titrat) ditempatkan pada wadah (gelas kimia atau erlenmeyer). Ditempatkan tepat dibawah buret berisi titran

3.    Tambahkan indikator yang sesuai pada titrat, misalnya, indikator fenoftalien.

4.    Rangkai alat titrasi dengan baik. Buret harus berdiri tegak, wadah titrat tepat dibawah ujung buret, dan tempatkan sehelai kertas putih atau tissu putih di bawah wadah titrat.

5.    Atur titran yang keluar dari buret (titran dikeluarkan sedikit demi sedikit) sampai larutan di dalam gelas kimia menunjukkan perubahan warna dan diperoleh titik akhir titrasi. Hentikan titrasi!

 Sebelum melakukan titrasi, biasanya suatu larutan akan distandarkan terlebih dahulu,  Proses penentuan konsentrasi larutan satandar disebut menstandarkan atau membakukan. Larutan standar adalah larutan yang diketahui konsentrasinya, yang akan digunakan pada analisis volumetri.

Ada dua cara menstandarkan larutan yaitu:

1.    Pembuatan langsung larutan dengan melarutkan suatu zat murni dengan berat tertentu, kemudian diencerkan sampai memperoleh volume tertentu secara tepat. Larutan ini disebut larutan standar primer, sedangkan zat yang kita gunakan disebut standar primer. Larutan yang konsentrasinya tidak dapat diketahui dengan cara menimbang zat kemudian melarutkannya untuk memperoleh volum tertentu, tetapi dapat distandartkan dengan larutan standar primer, disebut larutan standar skunder.  

2.    Zat yang dapat digunakan untuk larutan standar primer, harus memenuhi persyaratan dibawah ini :

a.    Mudah diperoleh dalam bentuk murni ataupun dalam keadaan yang diketahui kemurniannya. Pengotoran tidak melebihi 0,01 sampai 0,02 %

b.    Harus stabil

c.    Zat ini mudah dikeringkan tidak higrokopis, sehingga tidak menyerap uap air, tidak meyerap CO2 pada waktu penimbangan.

Suatu reaksi dapat digunakan sebagai dasar analisis volumetri apabila memenuhi persyaratan berikut :

1.    Reaksi harus berlangsung cepat, sehingga titrasi dapat dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

2.    Reaksi harus sederhana dan diketahui dengan pasti, sehingga didapat kesetaraan yang pasti dari reaktan.

3.    Reaksi harus berlangsung secara sempurna.

4.    Mempunyai massa ekuivalen yang besar 



Prinsip Titrasi Asam Basa

Titrasi asam basa melibatkan asam maupun basa sebagai titer ataupun titrant. Titrasi asam basa berdasarkan reaksi penetralan. Kadar larutan asam ditentukan dengan menggunakan larutan basa dan sebaliknya.

Titran ditambahkan titer sedikit demi sedikit sampai mencapai keadaan ekuivalen (artinya secara stoikiometri titrant dan titer tepat habis bereaksi). Keadaan ini disebut sebagai “titik ekuivalen”.

Pada saat titik ekuivalent ini maka proses titrasi dihentikan, kemudian kita mencatat volume titer yang diperlukan untuk mencapai keadaan tersebut. Dengan menggunakan data volume titrant, volume dan konsentrasi titer maka kita bisa menghitung kadar titrant sebelum melakukan titrasi.

Ada dua cara umum untuk menentukan titik ekuivalen pada titrasi asam basa.

1.    Memakai pH meter untuk memonitor perubahan pH selama titrasi dilakukan, kemudian membuat plot antara pH dengan volume titrant untuk memperoleh kurva titrasi. Titik tengah dari kurva titrasi tersebut adalah “titik ekuivalent”.

2.    Memakai indicator asam basa.indikator sendiri adalah zat yang memiliki perbedaan warna mencolok pada asam atau basa.

Tabel 1.1 Indikator untuk asam dan basa

Nama
Jangka pH dalam mana terjadi perubahan warna
Warna asam
Warna basa
Kuning metil
2 – 3
Merah
Kuning
Dinitrofenol
2,4 - 4,0
Tak berwarna
Kuning
Jingga metil
3 – 4,5
Merah
Kuning
Merah metil
4,4 – 6,6
Merah
Kuning
Lakmus
6 -8
Merah
Biru
Fenophtalein
8 – 10
Tak berwarna
Merah
Timolftalein
10 -12
Kuning
Ungu
Trinitrobenzena
12 -13
Tak berwarna
jingga



Indikator ditambahkan pada titrant sebelum proses titrasi dilakukan. Indikator ini akan berubah warna ketika titik ekuivalen terjadi, pada saat inilah titrasi kita hentikan.

Pada umumnya cara kedua dipilih disebabkan kemudahan pengamatan, tidak diperlukan alat tambahan, dan sangat praktis.Indikator yang dipakai dalam titrasi asam basa adalah indicator yang perbahan warnanya dipengaruhi oleh pH. Penambahan indicator diusahakan sesedikit mungkin dan umumnya adalah dua hingga tiga tetes.Untuk memperoleh ketepatan hasil titrasi maka titik akhir titrasi dipilih sedekat mungkin dengan titik equivalent, hal ini dapat dilakukan dengan memilih indicator yang tepat dan sesuai dengan titrasi yang akan dilakukan. Keadaan dimana titrasi dihentikan dengan cara melihat perubahan warna indicator disebut sebagai “titik akhir titrasi”.

Dalam percobaan, Larutan standar biasanya kita teteskan dari suatu buret ke dalam suatu erlenmeyer yang mengandung zat yang akan ditentukan kadarnya sampai reaksi selesai. Selesainya suatu reaksi dapat dilihat karena terjadi perubahan warna Perubahan ini dapat dihasilkan oleh larutan standarnya sendiri atau karena penambahan suatu zat yang disebut indikator. Titik di mana terjadinya perubahan warna indikator ini disebut titik akhir titrasi. Secara ideal titik akhir titrasi seharusnya sama dengan titik akhir teoritis (titik ekuivalen). Dalam prakteknya selalu terjadi sedikit perbedaan yang disebut kesalahan titrasi.
          Untuk analisis titrimetri atau volumetri lebih mudah kalau kita memakai sistem ekivalen (larutan normal) sebab pada titik akhir titrasi jumlah ekivalen dari zat yang dititrasi = jumlah ekivalen zat penitrasi. Berat ekivalen suatu zat sangat sukar dibuat definisinya, tergantung dari macam reaksinya. Pada titrasi asam basa, titik akhir titrasi ditentukan oleh indikator. Indikator asam basa adalah asam atau basa organik yang mempunyai satu warna jika konsentrasi hidrogen lebih tinggi daripada sutau harga tertentu dan suatu warna lain jika konsentrasi itu lebih rendah. 

Pada saat titik ekuivalen maka mol-ekuivalent asam akan sama dengan mol-ekuivalent basa, maka hal ini dapat kita tulis sebagai berikut:

Mol-ekuivalen asam = mol-ekuivalen basa

Mol-ekuivalen diperoleh dari hasil perkalian antara Normalitas dengan volume maka rumus diatas dapat kita tulis sebagai:

NxV asam = NxV basa

Normalitas diperoleh dari hasil perkalian antara molaritas (M) dengan jumlah ion H+ pada asam atau jumlah ion OH pada basa, sehingga rumus diatas menjadi:

nxMxV asam = nxVxM basa

Keterangan: :
N = Normalitas

V = Volume.

Titrasi asam-basa juga terbagi atas beberapa jenis:

1.    Titrasi Asam Kuat – Basa Kuat

Titrasi asam kuat-basa kuat contohnya titrasi HCl dengan NaOH. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

Pada titrasi asam –basa dapat ditulis sesuai reksi diatas, Ion H+ bereaksi dengan OH- membentuk H2O sehingga hasil akhir titrasi pada titik ekuvalen PH adalah netral.  



2.    Titrasi Asam Kuat – Basa Lemah

Titrasi ini ini  Pada akhir titrasi terbentuk garam yang berasal dari asam lemah dan basa kuat. Contoh titrasi ini adalah asam hidroklorida sebagai asam kuat dan larutan amonia sebagai basa lemah:

NH3 (aq) + HCl (aq)  NH4Cl (aq)

Karena anda memiliki basa lemah, permulaan kurva sangat jelas berbeda. Bagaimanapun, sekali anda mendapatkan kelebihan asam, kurva pada dasarnya sama seperti sebelumnya.

Pada bagian permulaan kurva, pH menurun dengan cepat seiring dengan penambahan asam, tetapi kemudian kurva segera berubah dengan tingkat kecuraman yang berkurang. Hal ini karena terbentuk larutan penyangga – sebagai akibat dari kelebihan amonia dan pembentukan amonium klorida.

Harus diperhatikan bahwa titik ekivalen sekarang sedikit bersifat asam (sedikit lebih kecil daripada pH 5), karena amonium klorida murni tidak netral. Karena itu, titik ekivalen tetap turun sedikit curam pada kurva. Hal itu akan menjadi sangat penting dalam pemilihan indikator yang tepat.



3.    Titrasi Asam Kuat – Garam dari Basa Lemah

Titrasi basa lemah dan asam kuat adalah analog dengan titrasi asam lemah dengan basa kuat, akan tetapi kurva yang terbentuk adalah cerminan dari kurva titrasi asam lemah vs basa kuat. Sebagai contoh disini adalah titrasi 0,1 M NH4OH 25 mL dengan 0,1 HCl 25 mL dimana reaksinya dapat ditulis sebagai:

NH4OH  +  HCl  NH4Cl  + H2O

Kurva titrasinya dapat ditulis sebagai berikut:

Kurva titrasi 0,1 M NH4OH dengan 0,1 M HCl



4.    Titrasi Basa Kuat – Garam dari Basa Lemah

Contoh titrasi ini adalah :

- Basa kuat : NaOH

- Garam dari basa lemah : CH3COONH4

Persamaan Reaksi :

NaOH + CH3COONH4   →   CH3COONa + NH4OH

Reaksi ionnya :

OH- + NH4-   →   NH4OH



Titrasi asam basa adalah pembahasan materi kimia yang akan di jelaskan dibawah ini. Seringkali anda mendengar istilah titrasi, sebenarnya apakah titrasi itu? Metode untuk menentukan kadar suatu zat dengan menggunakan zat lain yang sudah diketahui konsentrasinya disebut titrasi.

Berdasarkan jenis reaksi dalam proses titrasi,maka titrasi dapat di bedakan menjadi:

1. Titrasi yang melibatkan reaksi asam basa, disebut titrasi asam basa.

2. Titrasi yang melibatkan pembentukan reaksi kompleks, disebut titrasi kompleksometri.

3. Titrasi yang melibatkan reaksi reduksi dan oksidasi disebut titrasi redoks.

Berdasarkan larutan baku yang di gunakan, titrasi dibagi menjadi 2 yakni sebagai berikut:

1. Asidimetri, penentuan konsentrasi larutan basa dengan menggunakan larutan baku asam.

2. Alkalimetri, penentuan konsentrasi larutan asam dengan menggunakan larutan baku basa.

Ada dua cara untuk menentukan titik ekuivalen (arti secara stoikiometri), yaitu ketika titran dan titer tepat habis bereaksi)

1. Dengan menggunakan pH meter

pH meter dapat digunakan untuk mengetahui perubahan pH selama titrasi di lakukan. Data pH dengan volume titrasi di gunakan untuk membuat kurva titrasi. Titik ekuivalen merupakan titik tengah dari kurva titrasi.   

2. Indikator asam basa

Indikator di gunakan untuk mengetahui titik akhir titrasi (keadaan di mana titrasi di hentikan) yang di tandai dengan adanya perubahan warna. Indikator akan berubah warna ketika titik ekuivalen terjadi, lebih tepatnya saat titrasi di hentikan. Pada umumnya cara kedua lebih dipilih karena kemudahan dalam pengamatan, tidak di perlukan alat tambahan, dan sangat praktis, walaupun tidak seakurat dengan pH meter.



Menentukan Kadar Larutan yang di Titrasi

Pada dasarnya reaksi dalam titrasi merupakan reaksi penetralan. Bahasan ini tentu sudah kita pelajari pada pembelajaran sebelumnya. Titrasi di hentikan tepat pada saat jumlah mol ion H+ setara dengan jumlah mol ion OH-. Pada saat itu larutan bersifat netral dan disebut titik ekuivalen. Bagaimana cara menetukan titik ekuivalen? Untuk mengamati titik ekuivalen dapat di gunakan indikator yang perubahan warnanya di sekitar titik ekuivalen. Saat terjadi perubahan warna itu di sebut titik akhir titrasi.



Pada saat titik ekuivalen maka mol ekuivalen asam akan sama dengan mol ekuivalen basa, maka hal ini dapat di tulis sebagai berikut:

mol ekuivalen asam = mol ekuivalen basa

Rumus umum titrasi pada saat titik ekuivalen sebagai berikut:

a . Ma . Va = b . Mb . Vb

Keterangan:

a     = jumlah valensi ion H+

Ma = molaritas asam

Va   = volume asam

b     = jumlah valensi ion H+

Mb = molaritas basa

Vb   = volume basa



Langkah-langkah Titrasi Asam Basa

Langkah-langkah yang di gunakan untuk melakukan titrasi asam basa, yaitu sebagai berikut:

1.    Siapkan larutan yang akan di tentukan molaritas nya. Pipet larutan tersebut ke dalam erlenmeyer dengan menggunakan pipet volume.

2.    Pilih indikator berdasarkan trayek pH dan perubahan warna indikator untuk memudahkan pengamatan. Tambahkan beberapa tetes pada larutan.

3.    Tambahkan zat penitrasi setetes demi setetes dengan selalu menggoyangkan erlenmeyer agar terjadi reaksi sempurna.

4.    Sesekali, pinggiran erlenmeyer di bilas agar zat yang bereaksi tidak menempel di dinding erlenmeyer.

5.    Ketika mendekati titik ekuivalen, penambahan zat penitrasi di lakukan dengan sangat hati-hati. Buka keran buret, peniter yang keluar jangan sampai menetes, tetapi di tempelkan pada dinding erlenmeyer kemudian bilas dan goyangkan. Ada baiknya titrasi di lakukan sebanyak dua atau tiga kali (duplo atau triplo). Yang di maksud zat penitrasi adalah zat yang di tambahkan ketika melakukan titrasi.

6.    Hitung volume larutan peniter, lalu tentukan molaritas larutan titran.


Kurva Titrasi

Perubahan pH pada titrasi asam basa ada bermacam-macam dan dapat di buat grafik sesuai kekuatan asam basa yang di reaksikan, sebagai berikut:

1.    Jika larutan asam di tetesi basa, maka pH larutan naik, sebaliknya jika larutan basa di tetesi asam maka pH larutan turun.

2.    Grafik perubahan pH pada titrasi asam dengan basa (atau sebaliknya) di sebut kurva titrasi.

3.    Macam perhitungan pH dalam titrasi, yaitu sebagai berikut:

a.    Pada titik awal, sebelum titrasi di mulai.

b.    Daerah antara, titrasi sudah di lakukan akan tetapi sebelum tercapai titik setara.

c.    Titik setara (ekuivalen), pada saat larutan tepat habis bereaksi.

d.    Di atas titik ekuivalensi, setelah titik akhir di lewati, penambahan larutan dari buret masih dilakukan.



TITRASI BEBAS AIR



Pengaruh pelarut aprotik terhadap titrasi bebas air adalah senyawa HCl yang dilarutkan akan tidak bereaksi dengan pelarut, karena itu kekuatan asamnya tidak berkurang. Sebagai ukuran untuk kekuatan asam adalah afinitas proton. Makin kuat proton terikat makin sedikit proton yang diberikan dan asamnya akan semakin meningkat / kuat. Begitupun dengan basa  (Rivai, 1995).

Dalam penitrasian bebas air, indikator bereaksi dengan H+ atau melepaskan H+, masing-masing disertai dengan terjadinya perubahan warna. Perubahan warna sangat tergantung dari jenis sampel. Oleh karena itu, pemilihan indikator secara empiris, yaitu menggunkan potensiometer bersama-sama dengan indikator visual yang diselidiki. Indkator yang diplih adalah yang memperlihatkan perubahan warna yang tajam dekat dengan titik ekuivalen. Untuk titrasi basa lemah dan garam-garamnya dapat digunakan crystal violet, methyl-rosaniline chloridee, quanalfine red, naphtholbenzein dan malchite green. Untuk basa-basa yang realtif lebih kuat dapat digunakan methyl red, methyl orange, dan thymol blue (Harmita, 2006).

Reaksi yang terjadi pada titrasi bebas air dapat diterangkan dengan konsep dari Bronsted dan Lowry, yaitu bahwa asam adalah pemberi proton (proton donor) sedangkan basa adalah penerima proton (Proton acceptor) (Harmita, 2006).

Maka akan terdapat konsentrasi yang lebih besar dari proton yang tersolvasi dalam pelarut tersebut. Jadi, bisa terlihat bahwa jika HB itu asam lemah untuk dititrasi dengan layak larutan berair, jika dapat meningkatkan “keasamannya” dan juga “titrabilitasnya” dengan memilih pelarut yang lebih basa dari air  (Underwood, 1993).

Pada pelarut asam lemah dan basa lemah dalam lingkungan bebas air harus diperhatikan pengaruh pelarut bukan air terhadap tetapan ionisasi, tetapan dissosiasi, tetapan asam asam dan basa senyawa yang hendak dititrasi. Yang tidak kalah penting adalah pengaruh konstanta dialetrik pada reaksi protolisis pada pelarut bukan air  (Wunas, 1986).

Titrasi bebas air atau titrasi non-Aqua adalah titrasi yang menggunakan pelarut organik sebagai pengganti air. Dengan pelarut organik tertentu, kekuatan asam atau basa lemah dapat diperbesar sehingga memungkinkan suatu titrasi yang tidak memuaskan dalam pelarut air. Dibidang farmasi teknik kini banyak dipakai karena banyak obat bersifat asam atau basa lemah yang suka larut dalam air. Dengan pemilih pelarut yang tepat, penetapan kadar dari komponen campuran asam atau basa juga dimungkinkan. Teori asam-basa dari arrhenius ternyata tidak berhasil menjelaskan sifat karakteristik dari asam dan basa dalam pelarut organik. Dalam hal ini, teori yang umum telah dikemukakan oleh bronsted. Menurut teori ini, asam adalah pemberi proton, sedangkan basa adalah penerima proton  (Anonim, 2012).

Dalam pemilihan pelarut, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu sifat asam-basa dari pelarut. Untuk menitrasi basa lemah, maka dipilih pelarut yang lebih bersifat asam dan demikian pula sebaliknya. Misalnya, pada titrasi basa lemah, asam asetat lebih baik daripada air, Tetapan dan autoprotolisis serta Tetapan dielektrik. Asam perklorat sejauh ini merupakan asam yang telah luas digunakan untuk titrasi basa lemah, karen asam ini adalah asam yang sangat kuat yang sangat mudah didapat. Basa lemah  dititrasi paling sering dalam larutan asam asetat glasial. Normalnya pengaruh temperatur pada volume titran teukur dapat diabaikan dengan diabaikan dengan larutab berair pada variasi temperatur kamar basa. Pelarut organik seperti asam asetat, benzena, dan metanol sebaiknya mempunyai koefisien ekspansi ternal yang agak besar, dan perubahan volumenya tidak bisa diabaikan jika titran tersebut berada pada temperatur standarisasinya (Underwood, 1993).

Titrasi titrimetri dalam lingkungan bebas air, pelarut mengambil bagian yang amat penting untuk reaksi stoikiometri, dimana pelarut tersebut dapat mengambil bagian dalam reaksi. Ada tiga teori yang menerangkan reaksi netralisasi dalam suatu pelarut yaitu teori ikatan hidrogen, teori Lewis dan teori Bronsted. Penggunaan pelarut aprotik pada titrasi bebas air memberikan dua keuntungan. Pelarut tidak mempunayi efek menyetingkatkan keasaman/kebasaan asam basa yang bereaksi sesamanya. Garam yang terjadi pada titrasi tidak akan diuraikan secara protolitik oleh pelarut. Kerugiannya adalah sifat yang sedikit polar atau non polar yang mempunyai daya pelarutan kecil uuntuk protolit dan pendesakan kembali disosiasi. Disebabkan terdesaknya kembali disosiasi, maka kemampuan hantaran suatu larutan akan sangat dikurangi, sehingga misalnya penentuan potensiometri suatu titrasi tidak mungkin dilakukan (Roth, 1988).

Seperti telah diuraikan diatas, kekuatan asam basa ditentukan pula oleh kemampuan pelarut untuk menerima dan melepaskan proton. Berdasarkan hal ini maka pelarut dapat dibedakan menjadi (Anonim, 2012):

1.    Pelarut protogenik, adalah pelarut yang mudah memberikan proton.

Misalnya : asam-asam

2.    Pelarut protofilik, adalah pelarut yang mudah menerima proton.

Misalnya : basa-basa, eter, keton

3.    Pelarut amfiprotik, adalah pelarut yang dapat menerima maupun memberikan proton.

Misalnya : air, asam asetat, alkohol

4.    Pelarut aprotik, adalah pelarut yang tidak dapat menerima maupun memberikan proton.

Misalnya : kloroform, benzen, dioksan

Digunakan pelarut organic bukan air karena senyawa tersebut tidak dapat larut dalam air, disamping itu kurang reaktif dalam air seperti misalnya garam-garam amina, dimana garam-garam ini dirombak lebih dahulu menjadi basa yang bebas larut dalam air, sari dengan pelarut organik lain dan direaksikan dengan asam baku berlebih, yang kemudian pelarutnya diuapkan dan barulah kelebihan asam ditentukan kembali dengan basa baku sedangkan senyawa-senyawa organik yang mengandung nitrogen ditentukan dengan metode Kjeldahl. (Dhanar Dani, 1998).



Keuntungan Titrasi Bebas Air ( TBA)

1.    Cocok untuk titrasi asam-asam atau basa-basa yang sangat lemah

2.    Contoh: asam-asam organik atau alkaloida.

3.    Alkaloida sukar larut dalam air juga kurang reaktif dalam air.

4.    Misalnya garam-amina dimana garam-garam dirombak dulu menjadi basa bebas yang larut dalam air.

5.    Pelarut yang digunakan adalah pelarut organik yang juga mampu untuk melarutkan analit-analit organik.



Teori Titrasi Bebas Air

  Air dapat bersifat asam lemah dan basa lemah, sehingga dalam lingkungan air, air dapat berkompetisi dengan asam-asam atau basa-basa yang sangat lemah dalam hal menerima atau memberi proton.

  Adanya pengaruh kompetisi ini berakibat pada kecilnya titik infleksi pada kurva tritrasi asam sangat lemah dan basa sangat lemah sehingga mendekati batas pH 0 dan 14. Oleh karena itu deteksi titik akhir titrasi sangat sulit.

  Sebagai aturan umum : basa-basa dengan pKa < 7 atau asam-asam dengan pKa > 7 tidak dapat ditentukan kadarnya secara tepat pada media air.

  Pelarut organik dapat digunakan untuk menggantikan air.

  Pelarut organik kurang berkompetisi secara efektif dengan analit dalam hal menerima atau memberi proton. 

  

TITRAN

  Bersifat asam

Contoh: asam perklorat; asam p-toluensulfonat ; asam 2,4 -dinitrobenzensulfonat.

  Bersifat basa

Contoh :tetra butilamonium hidroksida, natrium asetat, kalium metoksida, dan natrium aminoetoksida.



Faktor-faktor yang mempengaruhi TBA

  Sulit / tidak larut dalam air

  Analit tidak reaktif

  Tidak boleh ada H2O, CO2

  Adanya air maka ketajaman titik akhir juga akan berkurang. Secara eksperimen, adanya air tidak boleh lebih dari 0,05% sehingga tidak mengakibatkan pengaruh yang nyata pada pengamatan titik akhir titrasi.



Tipe Pelarut dalam Titrasi Bebas Air

  Pelarut amfiprotik, pelarut yang memiliki sifat asam atau basa  à pelarut netral

     Contoh : Metanol, Etanol, ammonia dll

  Pelarut aprotik, pelarut tidak memiliki sifat asam atau basa (inert), sedikit atau bahkan tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami reaksi otoprotolisis

     Contoh : Benzena, karbon tetraklorida dan kloroform



Pelarut dalam Titrasi Bebas Air

  Pelarut protofilik (pelarut basa): pelarut yang mempunyai affinitas yang tinggi terhadap proton (menaikan ionisasi asam lemah dengan menggabungkan proton yang dimiliki)

à tidak bersifat asam.

Contoh : eter, ammonia, keton dll

·      Pelarut protogenik (pelarut asam), proton donor : asam-asam  yang jauh lebih kuat dan basa-basa yang jauh lebih lemah daripada air.

Contoh : asam asetat, asam florida dan asam sulfat



Tetapan Autoprolisis

Secara umum:

            2HS    H2S+ + S-

            Tetapan autoprotolisis

            KHS = [H2S+][S-]

            contoh:

            2CH3COOH    CH3COOH2+ + CH3COO-



Tetapan Dielektrik

  Sifat pelarut yang penting dalam TBA

  Dalam pelarut amfiprotik, penguraian asam lemah menjadi ion-ion terpisah sbb:

  HB  +  HS             [H2S+B-]             H2S++ B-

                                           1    (pasangan ion)    2      (ion terpisah)

Tahap 1 = pengionan

Tahap 2 = pemisahan ion-ion



Titik Akhir Titrasi

  Titik akhir titrasi bebas air dapat ditentukan dengan metode potensiometri atau dengan penambahan indikator.

Indikator:

• Asam : kristal violet, metil violet, metil merah

• Basa  : Fenolftalein, timol biru, violet azo



TITRASI ARGENTOMETRI



Titrasi adalah proses penentuan banyaknya suatu larutan dengan konsentrasi yangdiketahui dan diperlukan untuk bereaksi secara lengkap dengan sejumlah contoh tertentu yangakan di analisis. Prosedur analitis yang melibatkan titrasi dengan larutan-larutan yangkonsentrasinya diketahui disebut analisis volumetri (Keenan, 1998). Pada proses titrasi inidigunakan suatu indikator yaitu suatu zat yang ditambahkan sampai seluruh reaksi selesaiyang dinyatakan dengan perubahan warna. Perubahan warna menandakan telah tercapainya titik akhir titrasi (Brady, 1999). Istilah Argentometri diturunkan dari bahasa latin Argentum, yang berarti perak. Jadi,Argentometri merupakan salah satu cara untuk menentukan kadar zat dalam suatu larutanyang dilakukan dengan titrasi berdasarkan pembentukan endapan dengan ion Ag+.

Argentometri merupakan metode umum untuk menetapkan kadar halogenida dan senyawalain yang membentuk endapan dengan perak nitrat (AgNO3) pada suasana tertentu. Metodeargentometri disebut juga metode pengendapan karena pada argentometri memerlukan pembentukan senyawa yang relatif tidak larut atau endapan (Gandjar, 2007).

Tiga cara argentometri:

1.    Metode Mohr (pembentukan endapan berwarna)

 Metode Mohr dapat digunakan untuk menetapkan kadar klorida dan bromida dalam suasana netral dengan larutan standar AgNO3 dan penambahan K2CHO4 sebagai indikator. Titrasi dengan cara ini harus dilakukan dalam suasana netral atau dengan sedikit alkalis, pH 6,5 – 9,0. Dalam suasana asam, perak kromat larut karena terbentuk dikromat dan dalam suasana basa akan terbentuk endapan perak hidroksida. Reaksi yang terjadi adalah:       

 Asam : 2CrO42- + 2H- ↔ CrO72- + H2O

 Basa  : 2Ag+ + 2OH-  ↔ 2AgOH

 2AgOH ↔ Ag2O + H2O

 Sesama larutan dapat diukur dengan natrium bikorbonat atau kalsium karbonat. Larutan alkalis diasamkan dulu dengan asam asetat atau asam borat sebelum dinetralkan dengan kalsium karbonat. Meskipun menurut hasil kali kelarutan iodida dan tiosianat mungkin untuk ditetapkan kadarnya dengan cara ini. Namun oleh karena perak lodida maupun tiosanat sangat 4 kuat menyerang kromat, maka hasilnya tidak memuaskan. Perak juga tidak dapat ditetapkan dengan titrasi menggunakan NaCl sebagai titran karena endapan perak kromat yang mula-mula terbentuk sukar bereaksi pada titik akhir. Larutan klorida atau bromida dalam suasana netral atau agak katalis dititrasi dengan larutan titer perak nitrat menggunakan indikator kromat. Apabila ion klorida atau bromida telah habis diendapkan oleh ion perak, maka ion kromat akan bereaksi membentuk endapan perak kromat yang berwarna coklat/merah bata sebagai titik akhir titrasi.

Sebagai indikator digunakan larutan kromat K2CrO4 0,003M atau 0,005M yang dengan ion perak akan membentuk endapan coklat merah dalam suasana netral atau agak alkalis. Kelebihan indikator yang berwarna kuning akan menganggu warna, ini dapat diatasi dengan melarutkan blanko indikator suatu titrasi tanpa zat uji dengan penambaan kalsium karbonat sebagai pengganti endapan AgCl.

Titrasi Mohr digunakan untuk menentukan kadar halida atau pseudohalida di dalam larutan Kromat halida atau pseudohalida di dalam larutan. Kromat (CrO42-) sbg indikator titik ahir karena membentuk endapan Ag endapan Ag CrO berwarna merah saat bereaksi 2CrO4 berwarna merah saat bereaksi dengan ion perak.

Ksp Ag CrO = 1,2 . 10-12 mol3 L

Ksp Ag -3 2CrO4 = 1,2 . 10-12 mol3.L-3 Ksp AgCl = 1,82 . 10-10 mol2.L-2

 [ Perhatikan satuan stoikiometrinya ]

 Meskipun tetapan hasilkali kelarutan (Ksp) AgCrO4 ( p) g hampir sama dengan Ksp perak (pseudo)halida, tetapi kelarutan kedua g p aramerak tersebut berbeda.

2.    Model Valhard (Penentu zat warna yang mudah larut)

 Metode ini digunakan dalam penentuan ion Cl+ , Br - , dan I- dengan penambahan larutan standar AgNO3. Indikator yang dipakai adalah Fe3+ dengan titran NH4CNS, untuk menentralkan kadar garam perak dengan titrasi kembali setelah ditambah larutan standar berlebih. Kelebihan AgNO3 dititrasi dengan larutan standar KCNS, sedangkan indikator yang digunakan adalah ion Fe3+ dimana kelebihan larutan KCNS akan diikat oleh ion Fe3+ membentuk warna merah darah dari FeSCN

Metode Volhard banyak digunakan untuk reaksi Ag + dan Cl - karena selain kelarutan endapannya kecil, suasana asam akan mencegah hidrolisis indikator suasana asam akan mencegah hidrolisis indikator Fe3+. Jika metode ini dilakukan dalam suasana netral ak lh d k i kan terganggu oleh endapan kation-kation lain.

 Metode Volhard digunakan pada titrasi langsung Ag + dengan larutan CNS - dengan larutan CNS atau titrasi tidak langsung atau titrasi tidak langsung pada penentuan kadar Cl -, Br - dan I - . P d tit i tid k l B P a da titrasi tid a k langsung Br d I tid k t - dan I - tid a k terganggu oleh CNS - karena kelarutan AgBr = kelarutan AgCNS sedangkan kelarutan AgI < kelarutan AgCNS.

Kesalahan titrasi Cl- dapat terjadi jika endapan AgCl bereaksi lanjut dengan CNS- :

AgCl(p) + CNS- menjadiAgCNS + Cl AgCl(p) - +

Karena kelarutan AgCNS < kelarutan AgCl maka reaksi di atas akan bergeser ke arah kiri, sehingga hasil analisis Cl- menjadi lebih kecil Hal tsb dapat dicegah dengan penyaringan endapan AgCl atau dicegah dengan penyaringan endapan AgCl atau dengan penambahan nitrobenzen (racun !) seb l tit i d CNS belum titrasi dengan CNS Nit b j di -. Nitrobenzen menjadi lapis minyak yang memisahkan endapan dari CNS-.

3.    Motode Fajans (Indikator Absorbsi)

Titrasi argenometri dengan cara fajans adalah sama seperti pada cara Mohr, hanya terdapat perbedaan pada jenis indikator yang digunakan. Indikator yang digunakan dalam cara ini adalah indikator absorbsi seperti cosine atau fluonescein menurut macam anion yang diendapkan oleh Ag+ . Titrannya adalah AgNO3 hingga suspensi violet menjadi merah. pH tergantung pada macam anion dan indikator yang dipakai. Indikator absorbsi adalah zat yang dapat diserap oleh permukaan endapan dan menyebabkan timbulnya warna. Pengendapan ini dapat diatur agar terjadi pada titik ekuivalen antara lain dengan memilih macam indikator yang dipakai dan pH. Sebelum titik ekuivalen tercapai, ion Cl- berada dalam lapisan primer dan setelah tercapai ekuivalen maka kelebihan sedikit AgNO3 5 menyebabkan ion Cl- akan digantikan oleh Ag+ sehingga ion Cl- akan berada pada lapisan sekunder (Khopkhar, 1990).



Pembentukan Endapan Berwarna

 Seperti sistem asam, basa dapat digunakan sebagai suatu indikator untuk titrasi asam-basa. Pembentukan suatu endapan lain dapat digunakan untuk menyatakan lengkapnya suatu titrasi pengendapan. Dalam hal ini terjadi pula pada titrasi Mohr, dari klorida dengan ion perak dalam mana digunakan ion kromat sebagai indikator. Pemunculan yang permanen dan dini dari endapan perak kromat yang kemerahan itu diambil sebagai titik akhir (TE).

Titrasi Mohr terbatas untuk larutan dengan perak dengan pH antara 6,0 – 10,0. Dalam larutan asam konsentrasi ion kromat akan sangat dikurangi karena HCrO4 - hanya terionisasi sedikit sekali. Lagi pula dengan hidrogen kromat berada dalam kesetimbangan dengan dikromat terjadi reaksi :

2H+ + 2CrO4 - ↔ 2HCrO4 ↔ Cr2O7 2- + 2H2O

 Mengecilnya konsentrasi ion kromat akan menyebabkan perlunya menambah ion perak dengan sangat berlebih untuk mengendapkan ion kromat dan karenanya menimbulkan galat yang besar. Pada umumnya garam dikromat cukup dapat larut. Proses argentometri termasuk dalam titrasi yang menghasilkan endapan dan pembentukan ion kompleks.

Proses argentometri menggunakan AgNO3 sebagai larutan standar. Proses ini biasanya digunakan untuk menentukan garam-garam dari halogen dan sianida. Karena kedua jenis garam ini dapat membentuk endapan atau senyawa kompleks dengan ion Ag+ sesuai dengan persamaan reaksi sebagai berikut :

NaCL + Ag+ → AgCl ↓ + Na+

KCN + Ag+ → AgCl ↓ + K+ KCN +

AgCN ↓ → K [Ag(CN)2 ]

Karena AgNO3 mempunyai kemurnian yang tinggi maka garam tersebut dapat digunakan sebagai larutan standar primer. Dalam titrasi argentometri terhadap ion CN- tercapai untuk garam kompleks K [Ag(CN)2 ] 6 karena proper tersebut dikemukakan pertama kali oleh Lieberg, cara ini tidak dapat dilakukan dalam suasana amoniatial karena garam kompleks dalam larutan akan larut menjadi ion komplek diamilum.



Efek Pembentukan Senyawa Kompleks

Kelarutan ‘garam sukar larut’ dipengaruhi oleh zat-zat yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan kationnya Ion dapat membentuk senyawa kompleks dengan kationnya. Ion pengkompleks dapat berupa anion atau molekul netral, baik sejenis maupun tidak sejenis dengan endapan Misalnya efek sejenis maupun tidak sejenis dengan endapan. Misalnya efek hidrolisis di mana OH- sebagai ion pengkompleks.

Contoh: NH 3 digunakan pada pemisahan Ag dari Hg.

Ag + + NH 3 menjadi Ag(NH 3 ) + K1 = 2,3 x 10 3

Ag(NH 3 3 ) + + NH 3 menjadi Ag(NH 3 ) 2 + K 2 = 6,0 x 10 3

Fraksi perak dalam bentuk bukan kompleks (β2) dihitung sebagai berikut:

β =1/{1+K1 [NH3 ]+K1 K2 [NH3 ] 2 } = [Ag /CAg

Ksp = [Ag +][Cl-] = β 2 CAg [Cl- ]

Ksp/ β2= Kef= Cag [Cl- ]



TITRASI KOMPLEKSOMETRI



Reaksi yang membentuk kompleks dapat dianggap sebagai reaksi asam basa Lewis dengan ligan bekerja sebagai basa dengan memberikan sepasang  elektron kepada kation yang merupakan suatu asam (Day dan Underwood, 1981). Ligan dari kata Latin ligare, yang berarti “mengikat”. Atom pada ligan  yang memberikan pasangan elektron pada ion logam dinamakan atom donor sedangkan ion logamnya disebut akseptor. Ligan dalam kompleks dapat berupa anion atau molekul netral yang mengandung sebuah atom atau lebih dengan paling sedikit mempunyai sepasang elektron yang dapat diberikan pada ion logam (Brady, 1986).

Ligan dapat diklasifikasikan atas dasar banyaknya titik lekat kepada ion logam. Ligan monodentat, yaitu ligan itu terikat pada ion logam hanya pada satu titik oleh penyumbangan satu pasangan elektron menyendiri kepada logam. Ligan multidentat mengandung lebih dari dua atom koordinasi per molekul, misalnya asam 1,2-diaminoetanatetraasetat (asam etilenadiaminatetraasetat, EDTA) yang mempunyai dua atom nitrogen penyumbang dan empat atom oksigen penyumbang dalam molekul, dapat merupakan heksadentat (Basset, dkk., 1991).

Schwarzenbach menyatakan bahwa ion asetat mampu membentuk kompleks-kompleks asetat yang rendah kestabilannya dengan hampir semua kation polivalen, dan sifat ini dapat diperkuat dengan efek sepit, maka kompleks-kompleks yang jauh lebih kuat akan terbentuk oleh kebanyakan kation ion logam. Ia menemukan bahwa asam-asam aminopolikarboksilat merupakan zat-zat pengkompleks yang baik sekali: yang paling penting dari ini adalah asam etilenadiaminatetraasetat (Basset, dkk., 1991).

Berbagai nama trivial (nama khusus) digunakan untuk asam etilenadiaminatetraasetat dan garam natriumnya meliputi: Trilon B, Komplekson III, Sekuestrena, Versena, dan Khelaton 3 (Basset, dkk., 1991). EDTA mendapat aplikasi umum yang paling luas dalam analisis karena aksi mengkompleksnya yang sangat kuat dan tersedia secara komersial (Basset, dkk., 1991).

Satu struktur kompleks dengan suatu ion divalen dapat dilihat pada gambar berikut ini:


Untuk menyerdehanakan pembahasan berikut, EDTA diberi rumus H4Y; maka garam dinatriumnya adalah Na2H2Y, dan memberi ion pembentuk kompleks H4Y2- dalam larutan air; ia bereaksi dengan semua logam dalam rasio 1:1. Reaksi dengan kation dapat ditulis sebagai:

M2+ + H2Y2- ↔ MY2- + 2H+   

M3+ + H2Y2- ↔ MY- + 2H+   

M4+ + H2Y2- ↔ MY + 2H+   

Rumus Umum:   Mn+ + H2Y2- ↔ (MY)(n-4)+ + 2H+

Dalam semua kasus satu mol H2Y2- yang membentuk kompleks akan bereaksi dengan satu mol ion logam, dan selalu terbentuk dua mol ion hidrogen. Nampak dari persamaan (4) bahwa disosiasi kompleks akan ditentukan oleh pH larutan; menurunkan pH akan mengurangi kestabilan kompleks logam-EDTA. Semakin stabil kompleks, semakin rendah pH pada mana suatu titrasi EDTA dari ion logam bersangkutan dapat dilaksanakan (Basset, dkk., 1991).

Jadi terlihat bahwa pada umumnya kompleks EDTA dengan ion logam divalen stabil dalam larutan basa atau sedikit asam, sementara kompleks dengan ion logam tri dan tetravalen terjadi dalam larutan-larutan dengan keasaman yang jauh lebih tinggi (Basset, dkk., 1991).



Metode Kompleksometri

1. Titrasi Langsung

Larutan yang mengandung ion logam yang akan ditetapkan, dibuferkan sampai pH yang dikehendaki dan titrasi langsung dengan larutan baku EDTA. Untuk mencegah pengendapan hidroksida logam (garam basa) dengan menambahkan sedikit zat pengkompleks pembantu seperti tartrat atau sitrat atau trietanolamina. Pada titik ekuivalen, besarnya konsentrasi ion logam yang sedang ditetapkan turun mendadak. Ini umumnya ditetapkan dari perubahan warna dari indikator logam yang berespons (Basset, dkk., 1991).

2. Titrasi Balik (Tidak Langsung)

Karena berbagai alasan, banyak logam tak dapat dititrasi langsung; mungkin mengendap dari dalam larutan dalam jangkau pH yang perlu untuk dititrasi, atau mungkin membentuk kompleks-kompleks yang inert, atau indikator logam yang sesuai tidak tersedia. Dalam hal ini ditambahkan larutan baku EDTA berlebih, kemudian larutan di buffer pada pH yang diinginkan, dan kelebihan pereaksi dititrasi kembali dengan larutan baku ion logam; yaitu larutan ZnCl2 / ZnSO4 atau MgCl2 / MgSO4. Titik akhir titrasi dideteksi dengan bantuan indikator logam yang memberi respon terhadap ion logam yang terdapat dalam titrasi kembali (Basset, dkk., 1991).

3. Titrasi Penggantian (Substitusi)

Titrasi substitusi dapat digunakan untuk ion logam yang tidak bereaksi (bereaksi dengan tak memuaskan) dengan indikator logam, atau untuk ion logam yang membentuk kompleks EDTA yang lebih stabil dari pada kompleks EDTA dari logam-logam lainya seperti magnesium dan kalsium. Kation logam Mn+ yang akan ditetapkan dapat diolah dengan kompleks magnesium EDTA, pada mana reaksi berikut terjadi:

Mn+ + MgY2- ↔ (MY)(n-4)+ + Mg2+

Jumlah ion magnesium yang dibebaskan ekuivalen dengan kation-kation yang berada disitu, dapat dititrasi dengan suatu larutan baku EDTA dan indikator logam yang sesuai (Basset, dkk., 1991).

4. Titrasi Alkalimetri

Bila suatu larutan dinatrium etilenadiaminatetraasetat (Na2H2Y), ditambahkan pada larutan yang mengandung ion-ion logam, terbentuklah kompleks-kompleks dengan disertai pembebasan dua ekuivalen ion hidrogen:

Mn+ + H2Y2- ↔ (MY)(n-4)+ + 2H+

Ion hidrogen yang dibebaskan dapat dititrasi dengan larutan baku natrium hidroksida dengan menggunakan indikator asam-basa. Pilihan lain, suatu campuran iodat-iodida ditambahkan disamping larutan EDTA, dan iod yang dibebaskan dititrasi dengan larutan baku tiosulfat. Larutan logam yang akan ditetapkan harus dinetralkan dengan tepat sebelum dititrasi; ini hal yang sukar yang disebabkan oleh hidrolisis banyak garam, dan merupakan segi lemah dari titrasi alkalimetri (Basset, dkk., 1991).



Indikator Ion Logam

Keberhasilan  suatu titrasi EDTA bergantung pada penetapan titik akhir secara cermat. Persyaratan bagi sebuah indikator ion logam untuk digunakan pada pendeteksian visual dari titik-titik akhir meliputi:

1.    Reaksi warna harus sedemikian sehingga sebelum titik akhir, bila hampir semua ion logam telah berkompleks dengan EDTA, larutan akan berwarna jelas. \

2.    Reaksi warna itu haruslah spesifik (khusus), atau sedikitnya selektif.

3.    Kompleks indikator-logam harus memiliki kestabilan yang cukup, kalau tidak, karena disosiasi, tak akan diperoleh perubahan warna yang tajam. Namun kompleks indikator logam harus kurang stabil dibanding kompleks logam-EDTA untuk menjamin pada titik-akhir, EDTA melepaskan ion-ion logam dari kompleks indikator-logam. Perubahan dalam kesetimbangan dari kompleks indikator-logam ke kompleks logam-EDTA harus tajam dan cepat.

4.    Warna yang kontras antara indikator bebas dan kompleks indikator-logam harus sedemikian sehingga mudah diamati.

5.    Indikator harus sangat peka terhadap ion logam sehingga perubahan warna terjadi sedekat mungkin dengan titik ekuivalen.

6.    Persyaratan diatas harus dipenuhi dalam jangkau pH pada mana titrasi dilakukan (Basset, dkk., 1991).



TITRASI NITRIMETRI



Seorang farmasis dituntun untuk menguasasi berbagai metode yang digunakan untuk menetapkan kadar  maupun pembakuan suatu bahan atau menganalisis senyawa obat salah satunya adalah dengan titrasi nitrimetri yang termasuk kedalam titrasi volumetric. Nitrimetri umumnya digunakan sebagai penentuan sebagian besar obat sulfonamida dan obat-obat lain sesui penggunaannya.

Nitritometri merupakan penetapan kadar secara kuantitatif dengan menggunakan larutan baku natrium nitrit.Nitritometri disebut juga dengan metode titrasi diazotasi. Senyawa-senyawa yang dapat ditentukan kadarnya dengan metode nitritometri diantaranya adalah penisilin dan sulfamerazin. Penetapan kadar senyawa ini dilakukan untuk mengetahui kemurnian zat tersebut dalam satu sampel.

Reaksi diazotasi telah digunakan secara umum untuk penetapan gugusan amino aromatis dalam industri zat warna dan dapat dipakai untuk penetapan sulfanilamida dan semua senyawa-senyawa yang mengandung gugus amino aromatis.

Bahan metode nitritometri antara lain sulfamerazin, sulfadiazine, sulfanilamide. Senyawa-senyawa ini dalam farmasi  sangat bermanfaat seperti sulfanilamide sebagai antimikroba. Melihat kegunaannya tersebut, maka percobaan ini perlu dilakukan.

Tujuan Titrasi Nitrimetri adalah untuk Memperoleh molaritas larutan baku NaNO2-, serta Menetapkan kadar zat dalam sampel secara nitrimetri.-

Analisis titrimetri adalah pemeriksaan atau penentuan sesuatu bahan dengan teliti. Analisis ini dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu analisis kuantitatif dan analisis kulitatif. Analisis kulitatif adalah pemeriksaan sesuatu berdasarkan komposisi atau kualitas, sedangkan analisisi kuantitatif adalah pemeriksaan berdasarkan jumlahnya atau kuantitinya . Pada saat ini yang dibahas hanyalah analisis kuantitatif. Salah satu cara analisis kuntitatif adalah titirimetri, yaitu analisis penentuan konsentrasi dengan mengukur volume larutan yang akan ditentukan konsentrasinya dengan volume larutan yang telah diketahui konsentrasinya dengan teliti atau analisis yang berdasarkan pada reaksi kimia. Reaksi pada penentuan ini harus berlangsung secara kuantitatif.

Jenis reaksi yang terjadi pada titrimetri ini dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

1.    Reaksi yang tidak mengalami perubahan bilangan oksidasi atau reaksi yang tidak terjadi transfer/perpindahan elektron;

2.    Reaksi yang mengalami perubahan bilangan oksidasi atau reaksi yang terjadi transfer/ perpindahan elektron.

Pada saat ini yang akan dipelajari adalah reaksi yang tidak mengalami perubahan bilangan oksidasi, karena dasar yang dipelajari baru sampai tahap ini. Reaksi yang tidak mengalami perubahan bilangan oksidasi meliputi (1)reaksi penetralan(asam-basa), reaksi pembentukan endapan, reaksi pembentukan kompleks. Untuk kegiatan ini reaksi yang dibahas hanyalah reaksi asam-basa karena dasar-dasar mengenai teori ini sudah diperoleh yaitu teori asam-basa, sifat-sifat unsur golongan IA(1), IIA(2), IVA(16), IIVA(17), larutan, dan konsentrasi larutan. Reaksi asam basa adalah reaksi yang terjadi antara larutan asam dengan larutan basa, hasil reaksi ini dapat bersifat netral disebut juga reaksi penetralan, asam, dan basa tergantung pada larutan yang direaksikan. Larutan yang direaksikan ini salah satunya disebut larutan baku.

Titrasi redoks banyak digunakan dalam pemeriksaan kimia karena berbagai zat organik dan zat anorganik dapat ditentukan dengan cara ini. Namun demikian agar tirasi redoks ini berhasil dengan baik, maka persyaratan berikut harus dipenuhi (1) :

Salah satu metode yang termasuk dalam titrasi redoks adalah diazotasi (nitritometri). Titrasi diazotasi berdasarkan pada pembentukan garam diazonium dari gugus amin  aromatis bebas yang direaksikan dengan asam nitrit, dimana asam nitrit ini diperoleh dengan cara mereaksikan natrium nitrit dengan suatu asam (2:114).

Titrasi diazotasi ini sangat sederhana dan sangat berguna untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa antibiotik sulfonamida dan juga senyawa-senyawa anestetika lokal golongan asam amino benzoat. Metode titrasi diazotasi disebut juga nitrimetri yakni metode penetapan kadar secara kuantitatif dengan menggunakan larutan baku NaNO3. Metode ini didasarkan pada reaksi diazotasi yak ni reaksi antara amina aromatik primer dengan asam nitrit dalam suasana asam membentuk garam diazonium.

Dalam nitrimetri, BE suatu senyawa sama dengan BM nya karena 1 mol senyawa bereaksi dengan 1 mol asam nitrit dan menghasilkan 1 mol garam diazonium. Dengan alasan ini pula, untuk nitrimetri, konsentrasi larutan baku sering dinyatakan dengan M ( molaritas ) karena molaritasnya sama dengan normalitasnya. Pada titrasi diazotasi, penentuan titik akhir titrasi dapat menggunakan indikator luar, indikator dalam dan secara potensiometri.

    

Indikator Luar

Indikator luar yang digunakan adalah pasta kanji-iodida atau dapat pula menggunakan kertas kanji-iodida, ketika larutan digoreskan pada pasta/kertas, adanya kelebihan asam nitrit akan mengoksidasi iodida menjadi iodium dan dengan adanya kanji/ amilum akan menghasilkan warna biru segera. Indikator kanji-iodida ini peka terhadap kelebihan 0,05-0,10 ml natrium nitrit dalam 200 ml larutan. Reaksi yang terjadi dapat dituliskan sebagai berikut:


Titik akhir titrasi tercapai apabila pada penggoresan larutan yang dititrasi pada pasta kanji-iodida atau kertas kanji iodida akan terbentuk warna biru sebab warna biru juga terbentuk beberapa saat setelah dibiarkan diudara. Hal ini disebabkan karena oksidasi iodida oleh udara (O2) menurut reaksi :

Untuk meyakinkan apakah benar-benar sudah terjadi titik akhir titrasi, maka pengujian seperti diatas dilakukan lagi setelah dua menit. (Ibnu dan Abdul, 2007 : 161-165)

Titrasi redoks banyak digunakan dalam pemeriksaan kimia karena beebagai zat organik dan zat anorganik dapat ditentukan dengan cara ini. Namun demikian agar titrasi redoks ini berhasil dengan baik, maka persyaratan berikut harus dipenuhi:

1.      Harus tersedia pasangan sistem redoks yang sesuai sehingga terjadi pertukaran elektron secara stokhiometri.

2.      Reaksi redoks harus berjalan cukup cepat dan berlangsung secara terukur (kesempurnaan 99%). Harus tersedia cara penentuan titik akhir yang sesuai. (Rivai, 1995 : 346)

Salah satu metode yang termasuk dalam titrasi redoks adalah diazotasi (nitritometri). Titrasi diazotasi berdasarkan pada pembentukan garam diazonium dari gugus amin aromatis bebas yang direaksikan dengan asam nitrit, dimana asam nitrit ini diperoleh dengan cara mereaksikan natrium nitrit dengan suatu asam.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada reaksi diazotasi:

1.    Suhu

Titrasi diazotasi sebaiknya dilakukan pada suhu rendah, lebih kecil dari 15°C karena asam nitrit yang terbentuk dari reaksi natrium nitrit dengan asam tidak stabil dan mudah terurai, dan garam diazonium yang terbentuk pada hasil titrasi juga tidak stabil.

2.    Kecepatan reaksi

Reaksi titrasi amin aromatis pada reaksi diazotasi barjalan agak lambat, titrasi sebaiknya dilakukan secra perlahan-lahan, dan reaksi diazotasi dapat dikatalisa dengan penambahan natrium dan kalium bromida sebagai katalisator. (Wunas, 1986 :115)

Sudah kita lihat bahwa dalam titrasi redoks ada dua jenis indikator, indikator khusus yang bereaksi dengan salah satu komponen yang bereaksi, dan indikator oksidasi reduksi yang sebenarnya tidak tergantung dari salah satu zat, tetapi hanya pada potensial larutan selama titrasi. Pemilihan indikator yang cocok ditentukan oleh kekuatan oksidasi titran dan titrat, dengan perkataan lain, potensial titik ekivalen titrasi tersebut. Bila potensial peralihan indikator tergantung dari pH, maka juga harus diusahakan agar pH tidak berubah selama titrasi berlangsung. (Harjadi, 1986 : 227)

Dalam titrasi diazotasi, digunakan dua macam indikator, yaitu indikator dalam dan indikator luar. Sebagai indikator dalam digunakan campuran indikator tropeolin oo dan metilen biru, yang mengalami perubahan warna dari ungu menjadi biru kehijauan. Sedangkan untuk indikator luarnya digunakan kertas kanji iodida. (Wunas, 1986 : 116)



Indikator Dalam

Indikator dalam terdiri atas campuran tropeolin OO dan metilen biru. Tropeolin OO merupakan indicator asam-basa yang berwarna merah dalam suasana asam dan berwarna kuning bila dioksidari oleh adanya kelebihan asam nitrit, sedangkan metilen biru sebagai pengkontras warna sehingga pada titik akhir titrasi akan terjadi perubahan dari ungu menjadi biru sampai hijau tergantung senyawa yang dititrasi.

Pemakaian kedua indicator ini ternyata memiliki kekuarangan. Pada indikator luar harus dikerahui dulu perkiraan jumlah titran yang diperlukan, sebab kalau tidak tahu perkiraan jumlah titra yang dibutuhkan, maka sering melakukan pengujian apakah sudah tercapai titik akhir titrasi atau belum. Di samping itu, kalau sering melakukan pengujian, dikhawatirkan akan banyak larutan yang dititrasi (sampel) yang hilang pada saat pengujian titik akhir sementara itu pada pemakaian indicator dalam walaupun pelaksanaannya mudah tetapi seringkali untuk mengatasi hal ini, maka digunakan metode pengamatan titik akhir secara potensiomerti.

a.       Metode Potensiometri

Metode yang baik untuk penetapan titik akhir nitrimetri adalah metode potensiometri dengan menggunakan electrode kolomelplatina yang dicelupkan ke dalam titrat. Pada saat titik akhir titrasi (adanya kelebihan asam nitrit), akan terjadi depolarisasi elektoda sehingga akan terjadi perubahan arus yang sangat tajam sekitar +0,80 Volt sampai +0,90 Volt. Metode ini sangat cocok untuk sampel dalam bentuk sediaan sirup yang berwarna.

  

Tirtasi diazotasi dapat digunakan untuk :

1.    Penetapan kadar senyawa-senyawa yang mempunyai gugus amin aromatis primer bebas seperti sulfanilamid.

2.    Penetapan kadar senyawa-senyawa yang mana gugus amin aromatic terikat dengan gugus lain seperti suksinil sulfatiazol, ftalil sulfatiazol dan parasetamol. Pada penetapan kadar senyawa yang mempunyai gugus aromatic yang terikat dengan gugus lain seperti suksinil sulfatiazol harus dihidrolisis lebih dahulu sehingga diperoleh gugus amin aromatis bebas untuk selanjutnya bereaksi dengan natrium nitrit dalam suasana asam membentuk garam diazonium. Reaksi yang terjadi pada analisis suksinil sulfatiazol.

3.    Senyawa-senyawa yang mempunyai gugus nitro aromatis seperti kloramfenikol. Senyawa-senyawa nitro aromatis dapat ditetapkan kadarnya secara nitrimetri setelah direduksi terlebih dahulu untuk menghasilkan senyawa amin aromatis primer. Kloramfenikol yang mepunyai gugus nitro aromatis direduksi terlebih dahulu dengan Zn/HCI untuk menghasilkan senyawa amin aromatis primer yang bebas yang selanjutnya bereaksi dengan asam nitrit untuk membentuk garam diazonium.

Dalam farmakope indonesia, titrasi diazotasi digunakan untuk menetapkan kadar adalah benzokain; primakuin fosfat dan sediaan tabletnya; prokain HCl; sulfasetamid; sulfametazin; sufadoksin; sulfametoksazol; tetrakain; dan tetakain HCl.

Titrasi nitrimetri merupakan titrasi yang dipergunakan dalam analisa senyawa-senyawa organik,khususnya untuk persenyawaan amina primer. Penetapan kuantitas zat didasari oleh reaksi antarafenil amina primer (aromatic) dengan natrium nitrit dalam suasana asam menbentuk garamdiazonium. Reaksi ini dikenal dengan reaksi diazotasi, dengan persamaan yang berlangsungdalam dua tahap seperti dibawah ini :

NaNO2 + HCl → NaCl + HONO

Ar- NH2 + HONO + HCl → Ar-N2Cl + H2O

Reaksi ini tidak stabil dalam suhu kamar, karena garam diazonium yang terbentu mudahtergedradasi membentuk senyawa fenol dan gas nitrogen. Sehingga reaksi dilakukan pada suhudibawah 15 oC. Reaksi diazotasi dapat dipercepat dengan panambahan garam kalium bromida.Reaksi dilakukan dibawah 15 oC, sebab pada suhu yang lebih tinggi garam diazonium akanterurai menjadi fenol dan nitrogen.

Reaksi diazonasi dapat dipercepat dengan menambahkankalium bromida.Titik ekivalensi atau titik akhir titrasi ditunjukan oleh perubahan warna dari pasta kanji iodideatau kertas iodida sebagai indikator luar. Kelebihan asam nitrit terjadi karena senyawa fenilsudah bereaksi seluruhnya, kelebihan ini dapat berekasi dengan yodida yang ada dalam pastakanji atas kertas, reaksi ini akan mengubah yodida menjadi iodine diikuti dengan perubahanwarna menjadi biru.

Kejadian ini dapat ditunjukkan setelah larutan didiamkan selama beberapamenit. Reaksi perubahan warna yang dijadikan infikator dalam titrasi ini adalah:

KI +HCl → KCl + HI

2 HI + 2 HONO → I2 + 2 NO + H2O

I2 + Kanji yod (biru)

Penetapan titik akhir dapat juga ditunjukkan dengan campuran tropiolin dan metilen blue sebagaiindikator dalam larutan. Titik akhir titrasi juga dapat ditentukan dengan teknik potensiometrimenggunakan platina sebagai indikator elektroda dan saturated calomel elektroda sebagai elektroda acuan. Pada berbagai macam indikator yang digunakan dalam titrasi nitrimetri ini, maka dapat dikatakan bahwa setiap indikator tersebut memiliki keuntungan dan kerugian . salah satunya adalah indikator luar, dimana keuntungan dari indikator ini adalah terjadinya perubahan warna yang jelas, sedangkan kerugiannya adalah:

1.      Pelaksanaan tidak praktis karena kita harus menggoreskan setiap kali penambahan titran.

2.      Larutan yang dititer harus didinginkan.

3.      Memerlukan reaksi orientasi untuk memperkirakan titik akhir titrasi.


TITRASI REDOKS



Titrasi redoks adalah metode penentuan kuantitatif yang reaksi utamanya adalah reaksi redoks, reaksi ini hanya dapat berlangsung kalau terjadi interaksi dari senyawa/unsure/ion yang bersifat oksidator dengan unsure/senyawa/ion bersifat reduktor. Jadi kalau larutan bakunya oksidator, maka analat harus bersifat reduktor atau sebaliknya. Berdasarkan sifat larutan bakunya maka titrasi redoks dibagi atas : oksidimetri dan reduksimetri. Oksidimetri adalah metode titrasi redoks dengan larutan baku yang bersifat sebagai 0ksidator berdasarkan jenis oksidatornya maka oksidimetri dibagi menjadi 4 yaitu:

1.    Permanganometri, larutan baku yang digunakan larutan kmno4, ini selau di;laksanakan dalam suasana asam dimana KMno4 mengalami reaksi reduksi. Mn04- + 8H+ + 5e- Mn2+ + 4H2O

2.    Dikhrometri, larutan baku yang digunakan adalah larutan K2Cr2O7 sepanjang titrasi dalam suasana asam K2Cr2O7 mengalami reduksi. Cr2O7 2- + 14H+ + 6e- 2Cr3+ + 7H2O Serimetri, larutan baku yang digunakan adalah larutan Ce(SO4)2 reaksi reduksi yang dialaminya adalah : Ce4+ + e- Ce3+

3.    Iodimetri, larutan yang digunakan adlah I2 dimana pada titrasi mengalami reduksi. I2 + 2e- 2I

4.    Reduksimetri adalah metode titrasi redoks dengan larutan baku yang bersifat sebagai reduktor dan salah satu metode reduksimetri yang terkenal adalah iodometri, pada iodometri larutan baku yang digunakan adalah larutan Natrium tio sulfat yang pada titrasinya mengalami oksidasi. 2S2O3 2- S4O6 2- + 2e



Teori Reduksi Oksidasi

Titrasi Reduksi oksidasi (redoks) adalah suatu penetapan kadar reduktor atau oksidator berdasarkan atas reaksi oksidasi dan reduksi dimana redoktur akan teroksidasi dan oksidator akan tereduksi.



Teori Oksidasi Reduksi

Secara umum oksidasi diartikan sebagai reaksi pengikatan oksigen dan reduksi sebagai pelepasan oksigen. Berdasarkan konsep elektron dari suatu zat, istilah redok digunakan untuk reaksi-reaksi dimana terjadi pelepasan dan pengikatan elektron. Pelepasan elektron disebut oksidasi sedangkan pengikatan elektron disebut reduksi.



Oksidasi          :  Fe2+ →    Fe3+ +   e

Reduksi           :  Ce4+ +  E   →   Ce3+

Redoks            :  Fe2+ Ce4+ →  Fe3+ +   Ce3+

Pada reaksi redoks jumlah elektron yang dilepaskan oleh reduktor selalu sama dengan jumlah elektron yang diikat oleh oksidator. Hal ini analog dengan reaksi asam basa, dimana proton yang dilepaskan oleh asam dan proton yang diikat oleh basa juga selalu sama. Oleh karena elektron tidak tampak pada keeluruhan reaksi maka penlisan reaksi lebih mudah bila dipisahkan menjadi dua bagian yaitu bagian oksidasi dan bagian rduksi, masing-masing dikenal sebagai setengah reaksi (lihat contoh reaksi di atas).

Oleh karena reaksi berlangsung dalam larutan air maka untuk menyempurnakan koeffien reaksi air (H+ atau OH) bila perlu dapat diikutsertakan dalam reaksi. Misalnya dalam oksidasi senyawa besi (II) dengan kalium permanganat, reaksi dapat ditulis sebagai berikut  :

Oksidasi          :  Fe2+ →    Fe3+ +   e …………………………… 5x

Reduksi           :  MnO4 +  8 H+ +  5 e →   Mn2+ +  H2O

Redoks            :  5 Fe2+ MnO4 →  8 H   +   5 Fe3+ +  Mn2+ +  4  H2O

Agar dapat digunakan sebagai dasar titrasi, maka reaksi redoks harus memenuhi persyaratan umum sebagai berikut:

1.      Reaksi harus cepat dan sempurna.

2.      Reaksi berlangsung secara stiokiometrik, yaitu terdapat kesetaraan yang pasti antara oksidator dan reduktor.

3.      Titik akhir harus dapat dideteksi, misalnya dengan bantuan indikator redoks atau secara potentiometrik.

Oleh karena itu banyak unsur-unsur mempunyai lebih dari satu tingkat oksidasi, maka dikenal beberapa macam titrasi redoks yaitu :

1.      Titrasi permanganometri.

2.      Titrasi iodo-iodimetri

3.      Titrasi bromometri dan bromatometri

4.      Titrasi serimetri



Bobot Ekivalen

Bobot ekivalen suatu zat pada titrasi redoks adalah bayakna mol zat itu yang ekivalen dengan ½ mol 0,1 mol Cl/Br/I atau 1 mol elektron. Contoh :

a.       As2O3 +  2 O    →    As2O5

BE As2O3 =  ¼  mol

b.      Ca(Ocl)2 +  4 HCl   →  CaCl2 +  2 H2O +  2 Cl2

BE Ca(Ocl)2 =  ¼ mol

c.       H2O2 +  2  HI  →  2  H2O +  I2

BE H2O2 =  ½ mol

d.      2KmnO4 +  3H2SO4 →  K2SO4 + 2MnSO4 +  3H2O +  5 O

BE KMnO4 =  1/5  mol

Atau :

MnO4 +  e →   Mn2+

MnO4 + 8H+ +  5 e →   Mn2+ +  H2O

BE KMnO4 = 1/5 mol

Untuk melengkapkan koefisien pada reaksi oksidasi atau reduksi dapat dilakukan prosedur sebagai berikut :

1.    Tulis reaktan dan produk.

2.    Samakan jenis unsur.

§  Untuk O dipakai H2O

§  Untuk H dipakai H+ (pada media asam) atau OH (pada media basa).

3.    Samakan jumlah unsur.

4.    Samakan muatan dengan penambahan elektron pada bagian reaktan atau produk.

Contoh: reaksi reduksi dari KmnO4

a.    MnO4 →  Mn2+

b.    MnO4 +     H+ →  Mn2+ +  2  H2O

c.    MnO4 +  8 H+ →  Mn2+ +  4  H2O

d.    MnO4 +  8 H+ +  5 e →  Mn2+ +  4  H2O



Bilangan Oksidasi

Untuk menentukan bobot ekivalen pada titrasi redoks dapat juga dilakukan tanpa melengkapkan koefisien reaksi, yaitu dengan menggunakan bilangan oksidasi(tingkat oksidasi). Perubahan bilangan oksidasi menunjukkan jumlah elektron yang diikat atau dilepaskan pada reaksi redoks.

Untuk menetapka bilangan oksidasi digunakan ketentuan berikut:

1.      Bilangan oksidasi dari ion sederhana (monnoatomik) sama dengan muatannya.

2.      Jumlah bilangan oksidasi dari molekul adalah nol.

3.      Jumlah bilangan oksidasi dari atom-atom yang menyusun ion sama dengan muatan dari ion tersebut.

4.      Bilangan oksidasi dari H = +1 (kecuali pada gas Hidrogen dan hidrida, masing-masing adalah -1, 0 dan +2).

5.      Bilangan oksidasi dari H = +1 (kecuali pada gas Hidrogen dan hidrida, masing-masing adalah 0 dan -1).

6.      Bilangan oksidasi dari logam, yaitu sama dengan valensinya dan diberi tanda positif.

Contoh :

a.       MnO4 +  5  e →  Mn2+

Pada MnO4 bilangan oksidasi dari O  =  4 x -2 = -8 (muatan -1)

Jadi bilangan oksidasi dari Mn  =  +7

Jadi dari Mn7+ menjadi Mn2+ diperlukan 5 e.

BE MnO4

b.      MnO4 →  MnO2

Pada MnO2 bilangan oksidasi  O  =  -4, sehingga bilangan oksidasi dari Mn  = +4. jadi dari Mn7+ menjadi Mn+4 diperlukan 3 e.

BE MnO4 =  1/3  mol



Indikator Redoks

Disamping secara potensiometrik (dengan mengukur loncatan potensial larutan), titik akhir dari titrasi redoks dapat juga ditetapkan secara visual apabila sistem redoks itu sendiri memperlihatkan peruabahan warna pada titik akhir titrasi (misalnya KmnO4), atau dengan menambahkan indikator redoks. Indikator adalah senyawa organik yang bila dioksidasi dengan atau direduksi akan mengalami perubahan warna. Perbedaan warna dari bentuk tereduksi dengan bentuk teroksidasi harus tajam, sehingga penggunaannya dapat sesedikit mungkin untuk mengurangi kesalahan titrasi.

Inok + n e →  Inred

Warna indikator eksidasi tidak sama dengan warna indikator reduksi.

Daerah perubahan warna dari suatu indikator redoks dua warna berada pada daerah potensial tertentu. Hal ini analog dengan indikator asam basa dimana perubahan warna juga terjadi pada trayek pH tertentu. Untuk indikator satu warna, warna titik akhir (intensitas warna) ditentukan oleh konsentrasi indikator itu. Tentu saja indikator yang dipilih harus mempunyai daerah transisi perubahan warna pada titik ekivalen, atau disekitar titik ekivalen. Indikator harus mempunyai potensial standard (E0) harga E0 dari oksidator dan reduktor. Misalnya pada penetapan senyawa besi (II) secara serimetri, indikator yang baik adalah ferroin (0-fenanthrolin besi (II) sulfat.



Kurva Titrasi

Kurva titrasi pada titrasi redoks adalah suatu kurva yang menggambarkan perubahan potensial standard (E0) akibat penambahan titran.

Potensial standard (E0) sebagai sumbu Y dan titran sebagai sumbu X. Titik ekivalen ditandai dengan terjadinya perubahan yang cukup besar pada fungsi ordinatnya. Kurva titrasi simetris disekitar titik ekivalen karena pada saat ini perbandingan mol keadaan teroks.



TITRASI BROMOMETRI



Bromometri merupakan penentuan kadar senyawa berdasarkan reaksi reduksi-oksidasi dimana proses titrasi (reaksi antara reduktor dan bromin berjalan lambat) sehingga dilakukan titrasi secara tidak langsung dengan menambahkan bromin berlebih (Anonim, 2012).

Dalam pengertian lain juga Bromometri merupakan penentuan kadar senyawa berdasarkan reaksi reduksi oksidasi dimana proses reaksi oksidasi antara sampel dan penitrasinya dimana proses tritrasi (reaksi antara reduktor dan bromine berjalan lambat ) sehinggah dilakukan titrasi secara tidak langsung dengan menambahkan bromine berlebih sedangkan bromometri dilakukan secara tidak langsung agar proses penitrasi berjalan dengan cepat (Rohman, 2007).

Brom dapat digunakan sebagai oksidator seperti Iodium. Brom akan direduksi oleh zat-zat organik dengan terbentuknya senyawa hasil subsitusi yang tidak larut dalam air misalnya tribromofenol, ribromoanilin, dan sebagainya yang reaksinya berlangsung secara kuantitatif. Brom juga dapat digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa organik yang mampu bereaksi secara adisi atau subsitusi dengan brom.

Oksidasi potensiometri yang relatif tinggi dari sistem ini menunjukkan bahwa kalium bromat adalah oksidator kuat. Hanya saja kecepatan reaksinya tidak cukup tinggi. Untuk menaikkan kecepatan ini titrasi dilakukan dalam keadaan panas dan dalam lingkungan asam kuat. Adanya sedikit kelebihan kalium bromat dalam larutan akan menyebabkan ion bromida bereaksi dengan ion bromat, dan bromin yang dibebaskan akan merubah larutan menjadi warna kuning pucat, warna ini sangat lemah sehingga tidak mudah untuk menetapkan titik akhir. (Wunas, 1986)

Larutan kalium iodat dibuat dengan melarutkan sejumlah tertentu kalium iodat dalam air secukupnya. Kalium iodat dapat diperoleh dalam keadaan murni dan bersifat stabil sehingga larutan ini tidak perlu dibakukan kembali. Larutan baku kalium iodat tidak menggunakan normalitas akan tetapi molaritas karna normalitasnya dapat bermacam-macam,tergantung reaksinya. Dalam hal ini,maka reduksi kalium iodat menjadi iodida tidak bisa seragam sebagaimana kalium bromat (Rohman, 2007).

Bromatometri atau bromometri merupakan salah satu metode oksidasi metri dengan dasar reaksi oksidasi dari ion bromat (BrO3).

BrO3- + 6H+ + 6e → Br- + 3H2O

Dari persamaan ini ternyata bahwa 1 gram ekuivalen sama dengan 1/6 gram molekul. Disini dibutuhkan lingkungan asam karena kepekatan ion H+ berpengaruh terhadap perubahan ion bromat menjadi ion bromida (Br-).

Seperti terlihat dari reaksi diatas,ion bromat direduksi menjadi ion bromida selama titrasi,adanya sedikit kelebihan kalium bromat dalam larutan akan menyebabkan ion bromida bereaksi dengan ion bromat dan bromin dibebaskan akan merubah larutan menjadi warna kuning pucat.

BrO3- + 5Br- + 6H+ → 3Br2 + 3H2O

Reaksi brominasi senyawa-senyawa organik larutan standar seperti kalium bromat dapat dipergunakan untuk menghasilkan sejumlah bromin dengan kuantitas yang diketahui. Bromin tersebut kemudian dapat digunakan untuk membrominasi secara kuantitatif berbagai senyawa organik. Bromide berlebih hadir dalam kasus-kasus semacam ini, sehingga jumlah bromin yang dihasilkan dapat dihitung dari jumlah KBrO3 yang diambil. Biasanya bromin yang dihasilkan apabila terdapat kelebihan pada kuantitas yang dibutuhkan untuk membrominasi senyawa organik tersebut untuk membantu memaksa reaksi ini agar selesai sepenuhnya.Reaksi bromin dengan senyawa organiknya dapat berupa subtitusi atau bisa juga reaksi adisi ( Hendayana, 1994).



TITRASI PERMANGANOMETRI



Permanganometri merupakan metode titrasi dengan menggunakan kalium permanganat, yang merupakan oksidator kuat sebagai titran untuk penetapan kadar zat. Titrasi ini didasarkan pada reaksi oksidasi ion permanganat. Permanganat bereaksi secara beraneka, karena mangan dapat memiliki keadaan oksidasi +2, +3, +4, +6, dan +7. Oksidasi ini dapat berlangsung dalam suasana asam, netral dan alkalis.

Kalium permanganat dapat bertindak sebagai indikator, dan umumnya titrasi dilakukan dalam suasana asam karena  akan lebih mudah mengamati titik akhir titrasinya. Namun ada beberapa senyawa yang lebih mudah dioksidasi dalam suasana netral atau alkalis contohnya hidrasin, sulfit, sulfida, sulfida dan tiosulfat (Matasak, 2012).

Reaksi ini difokuskan pada reaksi oksidasi dan reduksi yang terjadi antara KMnO4 dengan bahan baku tertentu. Titrasi dengan KMnO4 sudah dikenal lebih dari seratus tahun. Kebanyakan titrasi dilakukan dengan cara langsung atas alat yang dapat dioksidasi seperti Fe+, asam atau garam oksalat yang dapat larut dan sebagainya (Rahayu, 2012).

Kebanyakan titrasi dilakukan dengan cara langsung atas alat yang dapat dioksidasi seperti Fe+, asam atau garam oksalat yang dapat larut dan sebagainya. Beberapa ion logam yang tidak dioksidasi dapat dititrasi secara tidak langsung dengan permanganometri seperti:

1.    Ion-ion Ca, Ba, Sr, Pb, Zn, dan Hg (I) yang dapat diendapkan sebagai oksalat. Setelah endapan disaring dan dicuci, dilarutkan dalam H2SO4 berlebih sehingga terbentuk asam oksalat secara kuantitatif. Asam oksalat inilah yang akhirnya dititrasi dan hasil titrasi dapat dihitung banyaknya ion logam yang bersangkutan.

2.    Ion-ion Ba dan Pb dapat pula diendapkan sebagai garam khromat. Setelah disaring, dicuci, dan dilarutkan dengan asam, ditambahkan pula larutan baku FeSO4 berlebih. Sebagian Fe2+ dioksidasi oleh khromat tersebutdan sisanya dapat ditentukan banyaknya dengan menitrasinya dengan KMnO4.

Kalium Permanganat (KMnO4) telah banyak digunakan sebagai agen     pengoksidasi selama lebih dari 100 tahun.  Reagen ini dapat diperoleh dengan mudah, tidak mahal, dan tidak membutuhkan indikator terkecuali untuk larutan yang amat encer.  Satu tetes permanganat 0,1 N memberikan warna merah muda yang jelas pada volume dari larutan yang biasa dipergunakan dalam sebuah titrasi.  Warna ini dipergunakan untuk mengindikasikan kelebihan reagen tersebut.  Permanganat mengalami beragam reaksi kimia, karena Mangan(Mn) dapat dalam kondisi +2, +3, +4, +6, +7.

Reaksi yang paling umum ditemukan dalam laboratorium adalah reaksi yang terjadi dalam larutan-larutan yang bersifat asam 0,1 N atau lebih besar :

MnO4- + 8H+ + 5e- ↔ Mn2+ + 4H2O      Eo = +1,51 V

Permanganat bereaksi secara cepat dengan banyak agen pereduksi berdasarkan reaksi ini, namun beberapa substansi membutuhkan pemanasan atau penggunaan sebuah katalis untuk mempercepat reaksi.  Permanganat adalah agen unsur pengoksidasi yang cukup kuat untuk mengoksidasi Mn (II) menjadi MnO2 sesuai dengan persamaan:

3Mn2+ + 2MnO4- + 2H2O → 5 MnO2(s) + 4H+

Sedikit kelebihn permanganat yang ada pada titik akhir suatu titrasi telah cukup untuk menimbulkan pengendapan MnO2. Untung bahwa reaksi ini lambat, sehingga biasanya MnO2 tidak diendapkan pada titik akhir titrasi permanganat.

Dalam mempersiapkan larutan permanganat harus dilakukan tindakan pencegahan khusus. Mangan dioksida mengatalis penguraian larutan permanganate. Runutan MnO2yang ada pada awalnya dalam permanganat, atau terbentuk oleh reaksi permanganat dengan runutan zat pereduksi dalam air, menimbulkan penguraian. Biasanya dianjurkan untuk melarutkan Kristal, kemudian pemanasan untuk memusnahkan zat pereduksi, dan penyaringan lewat asbes atau kaca masir (filter yang tak mereduksi) untuk menyingkirkan MnO2. Larutan itu kemudian distandarkan, dan jika disimpan dalam gelap dan tak-diasamkan, konsentrasinya tidak akan berubah dengan nyata dalam kurun waktu beberapa bulan.

Larutan asam dari permanganat tidak stabil karena asam permanganat terurai menurut persamaan:

4MnO4- + 4H-    4MnO2(s) + 3O2(g) + 2H2O

Reaksi ini lambat dalam larutan encer pada temperatur kamar. Namun, orang tak pernah boleh menambahkan permanganat berlebih kepada suatu zat pereduksi dan kemudian menaikkan temperatur untuk mempercepat oksidasi, karena reaksi tersebut di atas akan berlangsung pada laju yang cukup nyata (Underwood, 1999).

Permanganometri adalah titrasi yang didasarkan pada reaksi redoks. Dalam reaksi ini, ion MnO4-bertindak sebagai oksidator. Ion MnO4- akan berubah menjadi ion Mn2+ dalam suasana asam. Teknik titrasi ini biasa digunakan untuk menentukan kadar oksalat atau besi dalam suatu sampel.

Pada permanganometri, titran yang digunakan adalah kalium permanganat. Kalium permanganat mudah diperoleh dan tidak memerlukan indikator kecuali digunakan larutan yang sangat encer serta telah digunakan secara luas sebagai pereaksi oksidasi selama seratus tahun lebih. Setetes permanganat memberikan suatu warna merah muda yang jelas kepada volume larutan dalam suatu titrasi. Warna ini digunakan untuk menunjukkan kelebihan pereaksi (Arga, 2011).

Prinsip dari titrasi permanganometri adalah berdasarkan reaksi oksidasi dan reduksi.Permanganometri adalah titrasi yang didasarkan pada reaksi redoks. Dalam reaksi ini, ion MnO4- bertindak sebagai oksidator. Ion MnO4-akan berubah menjadi ion Mn2+ dalam suasana asam. Teknik titrasi ini biasa digunakan untuk menentukan kadar oksalat atau besi dalam suatu sampel.Pada permanganometri, titran yang digunakan adalah kalium permanganat. Kalium permanganat mudah diperoleh dan tidak memerlukan indikator kecuali digunakan larutan yang sangat encer serta telah digunakan secara luas sebagai pereaksi oksidasi selama seratus tahun lebih. Setetes permanganat memberikan suatu warna merah muda yang jelas kepada volume larutan dalam suatu titrasi. Warna ini digunakan untuk menunjukkan kelebihan pereaksi.Kalium permanganat distandarisasikan dengan menggunakan natrium oksalat atau sebagai arsen (III) oksida standar-standar primer. Reaksi yang terjadi pada proses pembakuan kalium permanganat menggunakan natrium oksalat adalah:

5C2O4- + 2MnO4- + 16H+ → 10CO2 + 2Mn2+ + 8H2O

Akhir titrasi ditandai dengan timbulnya warna merah muda yang disebabkan kelebihan permanganat (Rahayu, 2012).



SPEKTROFOTOMETRI



A.  Pengertian Spektrofotometri

Spektrofotometri adalah suatu metode analisis yang berdasarkan pada pengukuran serapan sinar monokromatis oleh suatu lajur larutan berwarna pada panjang gelombang yang spesifik dengan menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi dan detektor vacum phototube atau tabung foton hampa. Alat yang digunakan adalah spektrofotometer yang menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau diabsorbsi (Harjadi, 1990).

Spektrofotometer adalah alat yang digunakan untuk menganalisa suatu senyawa baik kuantitatif maupun kualitatif, dengan cara mengukur transmitan ataupun absorban suatu cuplikan sebagai fungsi dari konsentrasi. Penentuan secara kualitatif berdasarkan puncak-puncak yang dihasilkan pada spektrum suatu unsurtertentu pada panjang gelombang tertentu, sedangkan penentuan secara kuantitatif berdasarkan nilai absorbansi yang dihasilkan dari spektrum senyawa kompleks unsuryang dianalisa dengan kompleks unsur yang dianalisa dengan pengompleks yang sesuai. Spektrofotometris dapat dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan visual, lebih mendalam dari absorpsi energi radiasi oleh macam-macam zat (Harjadi, 1990).

Sumber sinar tampak yang umumnya dipakai pada spektro visible adalah lampu Tungsten. Sample yang dapat dianalisa dengan metode ini hanya sample yang memilii warna. Hal ini menjadi kelemahan tersendiri dari metode spektrofotometri visible. Oleh karena itu, untuk sample yang tidak memiliki warna harus terlebih dulu dibuat berwarna dengan menggunakan reagent spesifik (Basset, 1994).

Faktor-faktor yang sering menyebabkan kesalahan dalam menggunakan spektrofotometer dalam mengukur konsentrasi suatu analit:

1.    Adanya serapan oleh pelarut. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan blangko, yaitu larutan yang berisi selain komponen yang akan dianalisis termasuk zat pembentuk warna.

2.    Serapan oleh kuvet. Kuvet yang ada biasanya dari bahan gelas atau kuarsa, namun kuvet dari kuarsa memiliki kualitas yang lebih baik

3.    Kesalahan fotometrik normal padapengukuran dengan absorbansi sangat rendah atau sangat tinggi, hal ini dapat diatur dengan pengaturan konsentrasi, sesuai dengan kisaran sensitivitas dari alat yang digunakan (melalui pengenceran atau pemekatan) (Marzuki, 2012).



B.  Prinsip Kerja Spektrofotometri

Spektrum elektromagnetik dibagi dalam beberapa daerah cahaya. Suatu daerah akan diabsorbsi oleh atom atau molekul dan panjang gelombang cahaya yang diabsorbsi dapat menunjukan struktur senyawa yang diteliti. Spektrum elektromagnetik meliputi suatu daerah panjang gelombang yang luas dari sinar gamma gelombang pendek berenergi tinggi sampai pada panjang gelombang mikro (Marzuki, 2012).

Spektrum absorbsi dalam daerah-daerah ultra ungu dan sinar tampak umumnya terdiri dari satu atau beberapa pita absorbsi yang lebar, semua molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-tampak. Oleh karena itu mereka mengandung elektron, baik yang dipakai bersama atau tidak, yang dapat dieksitasi  ke tingkat yang lebih tinggi. Panjang gelombang pada waktu absorbsi terjadi tergantung pada bagaimana erat elektron terikat di dalam molekul. Elektron dalam satu ikatan kovalen tunggal erat ikatannya dan radiasi dengan energy tinggi, atau panjang gelombang pendek, diperlukan eksitasinya (Saputra, 2009).

Keuntungan utama metode spektrofotometri adalah bahwa metode ini memberikan cara sederhana untuk menetapkan kuantitas zat yang sangat kecil. Selain itu, hasil yang diperoleh cukup akurat, dimana angka yang terbaca langsung dicatat oleh detector dan tercetak dalam bentuk angka digital ataupun grafik yang sudah diregresikan (Saputra, 2009).

Secara sederhana instrument spektrofotometeri yang disebut spektrofotometer terdiri dari: Sumber cahaya – monokromatis – sel sampel – detector – read out.





C.  Komponen Utama Spektrofotometer


1.    Sumber Sinar
Sumber sinar / radiasi pada spektrofotometer harus memiliki panacaran radiasi yang stabil dan intensitasnya tinggi. Sumber  radiasi pada spektrofotometer UV-Vis ada tiga macam:

a.       Sumber radiasi Tungsten (Wolfram), Lampu ini digunakan untuk mengukur sampel pada daerah tampak. Bentuk lampu ini mirip dengna bola lampu pijar biasa. Memiliki panjang gelombang antara 380-900 nm. Spektrum radiasianya berupa garis lengkung. Umumnya memiliki waktu 1000 jam pemakaian.

b.      Sumber radiasi Deuterium. Lampu ini dipakai pada panjang gelombang 190-380 nm. Spektrum energi radiasinya lurus, dan digunakan untuk mengukur sampel yang terletak pada daerah uv. Memiliki waktu 500 jam pemakaian.

c.       Sumber radiasi merkuri. Sumber radiasi ini memiliki panjang gelombang 365 nm (Khopkar, 2003).

2.    Monokromator

Monokromator merupakan serangkaian alat optik yang menguraikan radiasi polikromatik dan berfungsi untuk memunculkan garis resonansi dari semua garis yang tidak diserap yang dipancarkan oleh sumber radiasi (Khopkar, 2003). Monokromator berfungsi sebagai penyeleksi panjang gelombang yaitu mengubah cahaya yang berasal dari sumber sinar polikromatis menjadi cahaya monokromatis. Monokromator disebut sebagai pendispersi atau penyebar cahaya. Dengan adanya pendispersi hanya satu jenis cahaya atau cahaya dengan panjang gelombang tunggal yang mengenai sel sampel. Pada gambar di atas hanya cahaya hijau yang melewati pintu keluar. Proses dispersi atau penyebaran cahaya dapat dilihat pada gambar berikut (Gandjar, 2007).







Alatnya dapat berupa prisma atau grating (Khopkar, 2003). Bagian-bagian monokromator, yaitu (Basset, 1994):

·      Prisma

Prisma akan mendispersikan radiasi elektromagnetik sebesar mungkin supaya di dapatkan resolusi yang baik dari radiasi polikromatis.

·      Grating (kisi difraksi)

Kisi difraksi memberi keuntungan lebih bagi proses spektroskopi. Dispersi sinar akan disebarkan merata, dengan pendispersi yang sama, hasil dispersi akan lebih baik. Selain itu kisi difraksi dapat digunakan dalam seluruh jangkauan spektrum.

Keuntungan menggunakan kisi:

a.    Dispersi sinar merata

b.    Dispersi lebih baik dengan ukuran pendispersi yang sama

c.    Dapat digunakan dalam seluruh jangkauan spektrum (Gandjar, 2007).

·      Celah optis

Celah ini digunakan untuk mengarahkan sinar monokromatis yang diharapkan dari sumber radiasi. Apabila celah berada pada posisi yang tepat, maka radiasi akan dirotasikan melalui prisma, sehingga diperoleh panjang gelombang yang diharapkan.

·      Filter

Berfungsi untuk menyerap warna komplementer sehingga cahaya yang diteruskan merupakan cahaya berwarna yang sesuai dengan panjang gelombang yang dipilih.





3.    Sel Sampel / Kuvet

Kebanyakan spektrofotometri melibatkan larutan dan karenanya kebanyakan kuvet adalah sel untuk menaruh cairan ke dalam berkas cahaya spektrofotometer. Sel itu haruslah meneruskan energi cahaya dalam daerah spektra yang diminati, jadi sel kaca melayani daerah tampak, sel kuarsa atau kaca silica tinggi istimewa untuk daerah ultraviolet. Dalam instrument, tabung reaksi silindris kadang-kadang digunakan sebagai wadah sampel. Penting bahwa tabung-tabung semacam itu diletakkan secara reprodusibel dengan membubuhkan tanda pada salah satu sisi tabung dan tanda itu selalu tetap arahnya tiap kali ditaruh dalam instrument. Sel-sel lebih baik bila permukaan optisnya datar. Sel-sel harus diisi sedemikian rupa sehingga berkas cahaya menembus larutan. Umumnya sel-sel ditahan pada posisinya dengan desain kinematik dari pemegangnya atau dengan jepitan berpegas yang memastikan bahwa posisi tabung dalam ruang sel dari instrument itu reprodusibel (Gandjar, 2007).

Berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan sampel (Khopkar, 2003):

ü UV, Vis dan UV-Vis menggunakan kuvet sebagai tempat untuk memasukkan sampel. Kuvet biasanya terbuat dari kuarsa atau gelas, namun kuvet dari kuarsa memiliki kualitas yang lebih baik.

ü IR atau sampel cair dan padat (dalam bentuk pasta) biasanya dioleskan pada dua lempeng natrium klorida. Untuk sampel dalam bentuk larutan dimasukkan ke dalam sel natrium klorida. Sel ini akan dipecahkan untuk mengambil kembali larutan yang dianalisis, jika sampel yang dimiliki sangat sedikit dan harganya mahal.



4.    Detektor

Peranan deteltor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang. Detektor akan menangkap sinar yang diteruskan oleh larutan. Sinar kemudian diubah menjadi sinyal listrik oleh amplifier dan dalam rekorder dan ditampilkan dalam bentuk angka-angka pada reader (komputer). Detektor dapat memberikan respon terhadap radiasi pada berbagai panjang gelombang Ada beberapa cara untuk mendeteksi substansi yang telah melewati kolom. Metode umum yang mudah dipakai untuk menjelaskan yaitu penggunaan serapan ultra-violet (Khopkar, 2003).

Detektor yang digunakan dalam UV-Vis disebut “detektor fotolistrik”. Persyaratan-persyaratan penting untuk detektor meliputi (Khopkar, 2003):

a.    Sensivitas tinggi hingga dapat mendeteksi tenaga cahaya mempunyai tingkatan rendah sekalipun

b.    Waktu respon pendek

c.    Stabilitas yang panjang

d.    Sinar elektronik yang mudah diperjelas dan sistem pembacaan

Macam-macam detector (Khopkar, 2003):

ü Detektor foto (Photo Detector)

ü Photocell

ü Phototube

ü Hantaran foto

ü Dioda foto

ü Detektor panas

5.    Penguat (Amplifier)

Berfungsi untuk memperbesar arus yang dihasilkan oleh detektor agar dapat dibaca oleh indikator (Khopkar, 2003).



6.    Indikator

Dapat berupa recorder dan komputer (Khopkar, 2003).



7.    Read Out

Read out merupakan suatu sistem baca yang menangkap besarnya isyarat listrik

yang berasal dari detektor. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam spektrofotometri yakni:

a.       Pada saat pengenceran alat alat pengenceran harus betul-betul bersih tanpa adanya zat pengotor

b.      Dalam penggunaan alat-alat harus betul-betul steril

c.       Jumlah zat yang dipakai harus sesuai dengan yang telah ditentukan

d.      Dalam penggunaan spektrofotometri uv, sampel harus jernih dan tidak keruh

e.       Dalam penggunaan spektrofotometri uv-vis, sampel harus berwarna (Gandjar, 2007).



D.  Jenis-jenis Spektrofotometer

Spektrofometer terdiri dari beberapa jenis berdasarkan sumber cahaya yang digunakan, diantaranya adalah sebagai berikut:

1.        Spektrofotometer Vis (Visible)

Pada spektrofotometer ini yang digunakan sebagai sumber sinar/energi adalah cahaya tampak (visible). Cahaya visible termasuk spektrum elektromagnetik yang dapat ditangkap oleh mata manusia. Panjang gelombang sinar tampak adalah 380-800 nm. Sehingga semua sinar yang dapat dilihat oleh mata manusia, maka sinar tersebut termasuk kedalam sinar tampak (visible) (Day, 2002).

Warna yang terlihat dari objek umumnya disebabkan oleh interaksi antara sinar polikromatis dan objek. Interaksi ini mengakibatkan panjang gelombang yang tidak terabsorbansi dipantulkan ke mata kita. Cahaya/Sinar tampak terdiri dari suatu bagian sempit kisaran panjang gelombang dari radiasi eletromagnetik dimana mata manusia sensitif. Radiasi dari panjang gelombang yang berbeda ini dirasakan oleh mata sebagai warna yang berbeda, sedangkan campuran dari semua panjang gelombang tampak seperti sinar putih. Sinar putih memiliki panjang gelombang mencakup 400-760 nm (Bender, 1987).



2.        Spektofotometri UV (Ultra Violet)

Berbeda dengan spektrofotometri Visible, spektrofotometri UV berdasarkan interaksi sampel dengan sinar UV. Sinar UV memiliki panjang gelombang 190-380 nm. Sebagai sumber sinar dapat digunakan lampu deuterium. Deuterium disebut juga heavy hidrogen yang merupakan isotop hidrogen yang stabil yang terdapat berlimpah di laut dan di daratan. Inti atom deuterium mempunyai satu proton dan satu neutron, sementara hydrogen hanya memiliki satu proton dan tidak memiliki neutron. Nama deuterium diambil dari bahasa Yunani, deuteros, yang berarti “dua”, mengacu pada intinya yang menjadi dua partikel. Karena sinar UV tidak dapat dideteksi oleh mata manusia maka senyawa yang dapat menyerap sinar ini merupakan senyawa yang tidak memiliki warna bening dan transparan (Day, 2002).



3.        Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometri ini merupakan gabungan antara spektrofotometri UV dan Visible yang menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda, sumber cahaya UV dan sumber cahaya Visible. Meskipun untuk alat yang lebih canggih sudah menggunakan hanya satu sumber sinar sebagai sumber UV dan Vis, yaitu photodiode yang dilengkapi dengan monokromator. Spektrum absorpsi dalam daerah-daerah ultraviolet dan sinar tampak terdiri dari satu atau beberapa pita absorpsi (Day, 2002).

Untuk sistem spektrofotometri, UV-Vis paling banyak tersedia dan paling popular digunakan. Kemudahan metode ini adalah dapat digunakan baik untuk sampel berwarna juga untuk sampel tak berwarna seperti senyawa organik yang berdasarkan transisi π – π* atau η – π* dan karena itu memerlukan kromofor di dalam molekulnya. Transisi ini terjadi dalam daerah spektrum kira-kira 200-700 nm (Marzuki, 2012).

Spektrokopi ultraviolet-visible atau spektrofotometri ultraviolet-visible (UV-Vis atau UV/Vis) melibatkan spektroskopi dari foton dalam daerah UV- visible. Ini berarti menggunakan cahaya tampak dan berdekatan (dekat ultraviolet (UV) dan dekat dengan inframerah (NIR) kisaran. Penyerapan dalam rentang yang terlihat secara langsung mempengaruhi warna bahan kimia yang terlibat. Di wilayah ini dari spektrum elektromagnetik, molekul mengalami transisi elektronik. Teknik ini melengkapi fluoresensi spektroskopi, di fluoresensi berkaitan dengan transisi dari ground state ke eksited state (Bender, 1987).

Semua molekul dapat mengabsorpsi radiasi daerah UV-Vis karena mengandung elektron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat dieksitasikan ke tingkat energi yang lebih tinggi. Cahaya yang diserap oleh suatu zat berbeda dengan cahaya yang ditangkap oleh mata manusia. Cahaya yang tampak atau cahaya yang dilihat dalam kehidupan sehari-hari disebut warna komplementer. Misalnya suatu zat akan berwarna orange bila menyerap warna biru dari spektrum sinar tampak dan suatu zat akan berwarna hitam bila menyerap semua warna yang terdapat pada spektrum sinar tampak. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut (Day, 2002):

  

4.        Spektrofotometri IR (Infra Red)

Spektrofometri ini berdasarkan kepada penyerapan panjang gelombang Inframerah. Cahaya inframerah, terbagi menjadi inframerah dekat, pertengahan dan jauh. Inframerah pada spektrofotometri adalah inframerah jauh dan pertengahanya yang mempunyai panjang gelombang 2,5-1000 mikrometer. Hasil analisa biasanya berupa signal kromatogram hubungan intensitas IR terhadap panjang gelombang. Untuk identifikasi, signal sampel akan dibandingkan dengan signal standar (Sastrohamidjojo, 1992).

Pada spektroInfra Red(IR) meskipun bisa digunakan untuk analisa kuantitatif, namun biasanya lebih kepada analisa kualitatif. Umumnya spektro IR digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi pada suatu senyawa, terutama senyawa organik. Setiap serapan pada panjang gelombang menggambarkan adanya suatu gugus fungsi spesifik (Sastrohamidjojo, 1992).



E.  Hukum Lambeert-Beer

Hukum Lambert menghubungkan ketebalan dari sel sampel (kuvet) pada perbandingan kekuatan radiasi berkas cahaya yang masuk dan berkas cahaya yang keluar, dan menyatakan “Ketika radiasi monokromatik lewat melalui suatu medium yang transparan yang berisi suatu unsure absorbing, tingkat penurunan kekuatan radiasi dengan ketebalan dari medium adalah setara dengan kekuatan radian dari suatu radiasi”. Dengan alasan yang sama, untuk perubahan penambahan konsentrasi dari unsur absorbing (Basset, 1994).

Prinsip penentuan spektrofotometer UV-Vis adalah aplikasi dari Hukum Lambert-Beer, yaitu (Day, 2002):



Hukum ini disebut Hukum Lambert-Beer, dan berlaku untuk unsur yang menyerap cahaya dengan menghubungkan kosentrasi dari jenis absorbing pada perbandingan kekuatan radian berkas cahaya yang masuk dan yang keluar, “ Ketika radiasi monokromatik lewat melalui suatu medium yang transparan yang berisi suatu unsure absorbing, tingkat penurunan kekuatan radian dengan konsentrasi jenis unsure absorbing adalah sebanding dengan kekuatan radian dari suatu radiasi”. Hukum Lambert dan Hukum Lambert-Beer biasaya dikombinasikan dalam suatu hubungan tunggal sebagai dasar untuk semua penentuan kuantitatif (Saputra, 2009).

Hukum Lambert-Beer di atas berlaku pada larutan dengan konsentrasi kurang dari sama dengan 0.01 M untuk sebagian besar zat. Namun, pada larutan dengan konsentrasi pekat maka satu molekul terlarut dapat memengaruhi molekul terlarut lain sebagai akibat dari kedekatan masing-masing molekul pada larutan dengan konsentrasi yang pekat tersebut. Ketika satu molekul dekat dengan molekul yang lain maka nilai serapan molar dari satu molekul itu akan berubah atau terpengaruh. Secara keseluruhan, nilai absorbansi yang dihasilkan pun ikut terpengaruh, sehingga secara kuantitatif nilai yang ditunjukkan tidak mencerminkan jumlah molekul yang diukur di dalam larutan uji (Bender, 1987)..

Berdasarkan hukum Lambert-Beer, rumus yang digunakan untuk menghitung banyaknya cahaya yang hamburkan (Day, 2002):                              



dimana Io merupakan intensitas cahaya datang dan It atau I1 adalah intensitas cahaya setelah melewati sampel. Rumus yang diturunkan dari Hukum Beer dapat ditulis sebagai (Day, 2002):


dimana:

A    = absorbansi

b / l = tebal larutan (tebal kuvet diperhitungkan juga umumnya 1 cm)

c      = konsentrasi larutan yang diukur

ε      = tetapan absorptivitas molar (jika konsentrasi larutan yang diukur dalam molar)

a      = tetapan absorptivitas (jika konsentrasi larutan yang diukur dalam ppm).




DAFTAR PUSTAKA

Basset, J. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. EGC. Jakarta.

Bender, G.T. 1987. Principal of Chemical Instrumentation. W.B.Sounders Company. Philadelphia.

Brady, J. E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Bina Rupa Aksara. Jakarta.

Day, R. A. and Underwood, A. L. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi Keenam. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Gandjar, I.G. dan Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Gholib G, Ibnu dan Rohman, A. 2009. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Harjadi. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. PT. Gramedia. Jakarta.

Hendayana, S. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Semarang Press. Semarang.

Khopkar, S.M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Press. Jakarta.

Marzuki, A. 2012. Kimia Analisis Farmasi. Dua Satu Press. Makassar.

Pengganti, E. 2011. Titrasi Asam Basa. https://esdikimia.wordpress.com/2011/06/17/titrasi-asam-basa/. Diakses pada Jumat, 13 Januari 2017 Pukul 20:31 WIB.

Ratisah, S. 2009. Titrasi Asam Basa . http://kimia.upi.edu/utama/bahanajar/kuliah_ web/2008/Sri%20Ratisah%20054828/materi.HTM. Diakses pada Jumat, 13 Januari 2017 Pukul 19:56 WIB.

Rivai, H. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Saputra, Y.E. 2009. Spektrofotometri. www.chem-is-try.org. Diakses pada Sabtu, 14 Januari 2017 Pukul 07:32 WIB.

Sastrohamidjojo, H. 1992. Spektroskopi Inframerah. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta.

Sukmariah. 1990. Kimia Kedokteran Edisi 2. Bina Rupa Aksara. Jakarta.

Syukri. 1999. Kimia Dasar 2. ITB Press. Bandung.

Widyastuti, S. 2015. Permanganometeri. http://wiwidhikaru.blogspot.co.id/2015/06/laporan-oh-laporan-permanganometri.html Diakses pada Minggu, 15 Januari 2017 Pukul 14:11 WIB.

Asriel. 2015. Laporan Kimia Analisis. http://kimiafarmasi01.blogspot.co.id/2015_01_01_ archive.html. Diakses pada Minggu, 15 Januari 2017 Pukul 13:05 WIB.

Wunas, J. S. 1986. Analisa Kimia Farmasi Kuantitatif. Unhas Press. Makassar.

0 komentar:

Posting Komentar