MAKALAH
Swamedikasi Penyakit Gangguan
Pernafasan
(Influenza, Batuk dan Asma)
Diajukan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pelayanan Kefarmasian
Pada Program
Profesi Apoteker
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS FARMASI
2018
BAB I
SWAMEDIKASI
1.
Pengertian Swamedikasi
Swamedikasi atau
pengobatan sendiri adalah penggunaan obat oleh masyarakat untuk tujuan
pengobatan sakit ringan, tanpa resep atau intervensi dokter. Pengobatan sendiri
dalam hal ini dibatasi hanya untuk obat-obat modern, yaitu obat bebas dan obat
bebas terbatas. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan
dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, antara lain demam, nyeri,
batuk, flu, serta berbagai penyakit lain. Swamedikasi menjadi alternatif yang
diambil masyarakat untuk meningkatkan keterjangkauan pengobatan. Pada pelaksanaannya
swamedikasi dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication
error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan
penggunaannya. Dalam hal ini Apoteker dituntut untuk dapat memberikan informasi
yang tepat kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat terhindar dari
penyalahgunaan obat (drug abuse) dan penggunasalahan obat (drug
misuse) (Ditjen Binfar, 2007).
Berdasarkan Susenas-BPS tahun
2011, Indonesia tercatat 66,8% melakukan swamedikasi (Gitawati, 2014), namun
tingkat swamedikasi Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan angka
swamedikasi yang ada di Amerika yaitu hingga 73% bahkan cenderung akan
meningkat, hal ini berdasakan survei enam dari sepuluh warga Amerika mengatakan
akan melakukan swamedikasi pada penyakit yang sama (Kartajaya dkk., 2011). Masa
yang akan datang perilaku pengobatan sendiri akan meningkat seiring dengan
meningkatnya aspek sosial ekonomi dan aspek pendidikan formal maupun informal
yang berasal dari tenaga medis atau informasi dalam sosial media dewasa ini
(Hermawati, 2012).
Dorongan untuk merawat diri
sendiri dipandang sebagai kesempatan untuk membangun kepercayaan diri untuk
mengelola kesehatan dan juga awal langkah yang positif dalam hubungan antara
pasien dan tenaga medis. Swamedikasi merupakan sebuah tahap pembangunan
kesehatan dimana setiap orang memiliki hak dalam menentukan kualitas selfcare dirinya sehingga dapat
memanajemen keuangan sendiri dengan keuntungan mampu menghindarkan dari
perawatan yang tidak rasional (Gupta dkk., 2011). Faktor lain yang mempengaruhi
tindakan swamedikasi diantaranya yaitu mendesaknya perawatan yang dibutuhkan,
penanganan pertama pada pasien sakit, kekurangannya pelayanan kesehatan,
ekonomi yang rendah, ketidakpercayaan terhadap tenaga medis, pengaruh informasi
dari iklan, ketersediaan obat yang melimpah di toko-toko atau warung, dan salah
satu faktor yang sering dialami oleh masyarakat yaitu karena terbatasnya
keterjangkauan akses kesehatan di daerah pedesaan atau terpencil (Phalke dkk.,
2006).
BAB II
SWAMEDIKASI INFLUENZA
2.1 Definisi Influenza
Influenza
adalah infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus influenza, dan menyebar
dengan mudah dari orang ke orang. Virus ini beredar di seluruh dunia dan dapat
mempengaruhi orang tanpa memandang usia dan jenis kelamin (WHO, 2009). Flu
sendiri merupakan suatu penyakit yang self-limiting, dimana bila tidak terjadi
komplikasi dengan penyakit lain, maka setelah 4-7 hari penyakit akan sembuh
sendiri. Daya tahan tubuh seseorang akan sangat berpengaruh terhadap berat
ringannya penyakit tersebut. Daya tahan tubuh dipengaruhi oleh pola hidup
seseorang. Pada anak-anak, lanjut usia, dan orang yang memiliki daya tahan
tubuh rendah lebih cenderung menderita komplikasi seperti infeksi bakteri
sekunder. Flu ditularkan melalui percikan udara pada saat batuk, bersin, dan
tangan yang tidak dicuci seteah kontak dengan cairan hidung/mulut. (BPOM,
2006).
2.2 Gejala Influenza
Gejala umum adalah
peningkatan suhu secara cepat / demam, myalgia, sakit kepala, nyeri otot,
malaise, mata berair, batuk tak berdahak, sakit tenggorokan, dan rhinitis.
Gejala lain pada anak adalah mual, muntah, dan otitis media. (Dipiro, 2008).
2.3 Patofisiologi Influenza
Hemagglutinin dan
neuraminidase merupakan hal yang penting dalam virulensi, dan merupakan target
untuk menetralisir antibody acuired immunity ke Influenza. Hemaglutinin
mengikat pada sel epitel respirasi sehingga mampu menginfeksi sel.
Neuraminidase memotong ikatan yang menahan virion baru pada permukaan dinding
sel menyebabkan penyebaran sel. (Gubareva et al., 2001). Patogenesis Influenza
pada manusia masih belum dipahami dengan baik. Tingkat keparahan infeksi
ditentukan oleh keseimbangan antara replikasi virus dengan respon imun inang.
Infeksi yang parah diduga merupakan hasil kekurangan mekanisme pertahanan tubuh
yang kurang untuk menghambat replikasi, dan overproduksi cytokines menyebabkan
kerusakan jaringan pada inang (Dipiro, 2008).
2.4 Hal-Hal yang Dapat Dilakukan
Orang yang menderita flu disarankan
banyak beristirahat, meminum banyak cairan, dan bila perlu mengkonsumsi
obat-obatan untuk meredakan gejala yang mengganggu. Tindakan yang dianjurkan
untuk meringankan gejala flu tanpa pengobatan meliputi antara lain :
a.
Beristirahat 2-3 hari, mengurangi kegiatan fisik
berlebihan. Periksa ke dokter apabila gejala menetap sampai lebih dari 3 hari
b.
Meningkatkan gizi makanan. Makanan dengan kalori dan
protein yang tinggi akan menambah daya tahan tahan tubuh. Makan buah-buahan
segar yang banyak mengandung vitamin.
c.
Banyak minum air, teh, sari buah akan mengurangi
rasa kering di tenggorokan, mengencerkan dahak dan membantu menurunkan demam.
d.
Sering-sering berkumur dengan air garam untuk
mengurangi rasa nyeri di tenggorokan.
(BPOM,
2006).
2.5 Farmakoterapi Influenza
2.5.1
Antihistamin
Antihistamin dapat menghambat kerja
histamin yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi. Obat yangtergolong
antihistamin antara lain Klorfeniramin maleat/CTM, Difenhidramin HCl.
a)
Kegunaan
Obat
Anti alergi.
b)
Hal
yang harus diperhatikan
v
Hindari
dosis melebihi yang dianjurkan
v
Hindari
penggunaan bersama minuman beralkohol atau obat tidur
v
Hati-hati
pada penderita glaukoma dan hipertropi prostat atau minta saran dokter
v
Jangan
minum obat ini bila akan mengemudikan kendaraan dan menjalankan mesin
c)
Efek
samping
v
Mengantuk,
pusing, gangguan sekresi saluran napas
v
Mual
dan muntah (jarang)
d)
Aturan
pemakaian
Klorfeniramin Maleat (CTM)
o
Dewasa : 1 tablet (2 mg) setiap 6-8 jam
o
Anak : <12 tahun½ tablet (12,5 mg)
setiap 6-8 jam
Difenhidramin HCl
o
Dewasa : 1-2 kapsul (25-50 mg) setiap 8 jam
o
Anak : ½ tablet (12,5 mg) setiap 6-8 jam
(Ditjen Binfar, 2007).
2.5.2
Oksimetazolin (Tetes Hidung)
a)
Kegunaan
obat
Mengurangi sekret hidung yang
menyumbat.
b)
Hal
yang harus diperhatikan
v
Hindari
dosis melebihi yang dianjurkan
v
Hati-hati
sewaktu meneteskan ke hitung, dosis tepat dan masuknya ke ubang hidung harus
tepat, jangan mengalir keluar atau tertahan
v
Tidak
boleh digunakan lebih dari 7-10 hari
v
Segera
minum setelah menggunakan obat, karena air dapat mengencerkan obat yang
tertelan
v
Ujung
botol obat dibilas dengan air panas setip kali dipakai
c)
Efek
samping
v
Merusak
mukosa hidung karena hidung tersumbat semakin parah
v
Rasa
terbakar, kering, bersin, sakit kepala, sukar tidur, berdebar
d)
Kontra
indikasi
Obat tidak boleh digunakan pada:
v
Anak
berumur di bawah 6 tahun, karena efek samping yang timbul lebih parah
v
Ibu
hamil muda
e)
Aturan
pemakaian
v
Dewasa
dan anak di atas 6 tahun: 2-3 tetes/semprot oksimetazolin 0,05% setiap lubang
hidung.
v
Anak:
(2-5 tahun) 2-3 tetes/semprot oksimetazolin 0,025% setiap lubang hidung.
v
Obat
digunakan pada pagi dan menjelang tidur malam, tidak boleh lebih dar 2 kali
dalam 24 jam.
(Ditjen Binfar, 2007).
2.5.3
Dekongestan Oral
Dekongestan mempunyai efek mengurangi
hidung tersumbat. Obat dekongestan oral antara lain : Fenilpropanolamin,
Fenilefrin, Pseudoefedrin dan Efedrin. Obat tersebut pada umumnya
merupakan salah satu komponen dalam obat flu.
a)
Kegunaan Obat
Mengurangi hidung
tersumbat
b)
Hal yang harus
diperhatikan
Hati-hati pada penderita diabet
juvenil karena dapat meningkatkan kadar gula darah, penderita
tiroid, hipertensi, gangguan jantung dan penderita yang menggunakan
antidepresi. Mintalah saran dokter atau Apoteker.
c)
Kontra Indikasi
Obat tidak boleh digunakan pada
penderita insomnia (sulit tidur), pusing, tremor, aritmia dan
penderita yang menggunakan MAO (mono amin oksidase) inhibitor.
d)
Efek samping
v Menaikkan tekanan darah
v Aritmia terutama pada penderita penyakit jantung dan
pembuluh darah.
e)
Aturan pemakaian
Fenilpropanolamina
o
Dewasa : maksimal 15
mg per takaran 3-4 kali sehari
o
Anak-anak 6-12 tahun :
maksimal 7,5 mg per takaran 3-4 kali sehari
Fenilefrin
o
Dewasa : 10 mg, 3 kali
sehari
o
Anak- anak 6 – 12
tahun : 5 mg, 3 kali sehari
Pseudoefedrin
o
Dewasa : 60 mg, 3 – 4
kali sehari
o
Anak-anak 2-5 tahun :
15 mg, 3 - 4 kali sehari
o
6-12 tahun : 30 mg, 3
- 4 kali sehari
Efedrin
o
Dewasa : 25 – 30 mg,
setiap 3 – 4 jam
o
Anak-anak : sehari 3
mg/kg berat badan, dibagi dalam 4 – 6 dosis yang sama
(Ditjen
Binfar, 2007).
2.5.4
Ekspektoran dan Antitusif
Obat batuk dibagi menjadi 2 yaitu
ekspektoran (pengencer dahak) dan antitusif (penekan batuk).
Obat Batuk Berdahak (Ekspektoran)
1.
Gliseril Guaiakolat
a)
Kegunaan obat
Mengencerkan
lendir saluran napas
b)
Hal yang harus
diperhatikan :
Hati-hati atau minta saran dokter untuk
penggunaan bagi anak di bawah 2 tahun dan ibu hamil.
c)
Aturan pemakaian
v Dewasa : 1-2 tablet (100 -200 mg), setiap 6 jam atau 8 jam
sekali
v Anak : 2-6 tahun : ½ tablet (50 mg) setiap 8 jam
v 6-12 tahun : ½ - 1 tablet (50-100 mg) setiap
8 jam
2.
Bromheksin
a)
Kegunaan obat
Mengencerkan
lendir saluran napas.
b)
Hal yang harus
diperhatikan
Konsultasikan ke dokter atau Apoteker
untuk penderita tukak lambung dan wanita hamil 3 bulan pertama.
c)
Efek samping
Rasa
mual, diare dan perut kembung ringan
d)
Aturan pemakaian
v Dewasa : 1 tablet (8 mg) diminum 3 x sehari (setiap 8 jam)
v Anak : Di atas 10 tahun: 1 tablet (8 mg) diminum 3 kali
sehari (setiap 8 jam)
v 5-10 tahun : 1/2 tablet (4 mg) diminum 2 kali sehari (setiap
8 jam)
3.
Kombinasi Bromheksin
dengan Gliseril Guaiakolat
a)
Kegunaan obat
Mengencerkan
lendir saluran napas
b)
Hal yang harus
diperhatikan :
v Konsultasikan ke dokter atau Apoteker bagi anak di bawah 2
tahun.
v Konsultasikan ke dokter atau Apoteker bagi penderita tukak
lambung.
v Konsultasikan ke dokter atau Apoteker bagi ibu hamil.
c)
Efek samping
Rasa
mual, diare, kembung ringan.
4.
Obat Batuk Hitam (OBH)
a)
Dosis :
v Dewasa : 1 sendok makan (15 ml) 4 x sehari (setiap 6 jam)
v Anak : 1 sendok teh (5 ml) 4 x sehari (setiap 6 jam)
Obat Penekan Batuk (Antitusif)
1.
Dekstrometorfan
HBr (DMP HBr)
a)
Kegunaan obat
Penekan
batuk cukup kuat kecuali untuk batuk akut yang berat
b)
Hal yang harus
diperhatikan
v Hati-hati atau minta saran dokter untuk penderita hepatitis
v Jangan minum obat ini bersamaan obat penekan susunan syaraf
pusat
v Tidak digunakan untuk menghambat keluarnya dahak
c)
Efek samping
v Efek samping jarang terjadi. Efek samping yang dialami
ringan seperti mual dan pusing
v Dosis terlalu besar dapat menimbulkan depresi pernapasan
d)
Aturan pemakaian
v Dewasa : 10-20 mg setiap 8 jam
v Anak : 5-10 mg setiap 8 jam
v Bayi : 2,5-5 mg setiap 8 jam
2.
Difenhidramin HCl
a)
Kegunaan obat
Penekan
batuk dan mempunyai efek antihistamin (antialergi)
b)
Hal yang harus
diperhatikan
v Karena menyebabkan kantuk, jangan mengoperasikan mesin
selama meminum obat ini
v Konsultasikan ke dokter atau Apoteker untuk penderita asma,
ibu hamil, ibu menyusui dan bayi/anak.
c)
Efek Samping
Pengaruh pada kardiovaskular dan SSP
seperti sedasi, sakit kepala, gangguan psikomotor, gangguan darah,
gangguan saluran cerna, reaksi alergi, efek antimuskarinik seperti
retensi urin, mulut kering, pandangan kabur dan gangguan saluran cerna,
palpitasi dan aritmia, hipotensi, reaksi hipersensitivitas,
ruam kulit, reaksi fotosensitivitas, efek ekstrapiramidal, bingung,
depresi, gangguan tidur, tremor, konvulsi, berkeringat dingin, mialgia,
paraestesia, kelainan darah, disfungsi hepar, dan rambut rontok.
d)
Aturan Pemakaian
v Dewasa : 1-2 kapsul (25-50 mg) setiap 8 jam
v Anak : ½ tablet (12,5 mg) setiap 6-8 jam
(Ditjen Binfar, 2007).
2.5.5
Antipiretik dan Analgesik
1.
Parasetamol/Asetaminofen
a)
Kegunaan obat
Menurunkan
demam, mengurangi rasa sakit
b)
Hal yang harus
diperhatikan
v Dosis harus tepat, tidak berlebihan, bila dosis berlebihan
dapat menimbulkan gangguan fungsi hati dan ginjal.
v Sebaiknya diminum setelah makan
v Hindari penggunaan campuran obat demam lain karena dapat menimbulkan
overdosis.
v Hindari penggunaan bersama dengan alkohol karena
meningkatkan risiko gangguan fungsi hati.
v Konsultasikan ke dokter atau Apoteker untuk penderita gagal
ginjal.
c)
Kontra Indikasi
Obat
demam tidak boleh digunakan pada :
v penderita gangguan fungsi hati
v penderita yang alergi terhadap obat ini
v pecandu alkohol
d)
Bentuk sediaan
v Tablet 100 mg
v Tablet 500 mg
v Sirup 120 mg/5ml
e)
Aturan pemakaian
v Dewasa : 1 tablet (500 mg) 3 – 4 kali sehari, (setiap 4 – 6
jam)
v Anak : 0 – 1 tahun : ½ - 1 sendok teh sirup,
3–4 kali sehari (setiap 4 – 6 jam)
v 1 – 5 tahun : 1 – 1 ½ sendok teh sirup, 3 – 4 kali sehari
(setiap 4 – 6 jam)
v 6-12 tahun : ½ - 1 tablet (250-500 mg), 3 – 4 kali sehari
(setiap 4 – 6 jam)
(Ditjen Binfar, 2007).
2.
Asetosal (Aspirin)
a)
Kegunaan obat
Mengurangi
rasa sakit, menurunkan demam, antiradang
b)
Hal yang harus
diperhatikan
v Aturan pemakaian harus tepat, diminum setelah makan atau
bersama makanan untuk mencegah nyeri dan perdarahan lambung.
v Konsultasikan ke dokter atau Apoteker bagi penderita
gangguan fungsi ginjal atau hati, ibu hamil, ibu menyusui dan dehidrasi.
v Jangan diminum bersama dengan minuman beralkohol karena
dapat meningkatkan risiko perdarahan lambung.
v Konsultasikan ke dokter atau Apoteker bagi penderita yang menggunakan
obat hipoglikemik, metotreksat, urikosurik, heparin, kumarin, antikoagulan,
kortikosteroid, fluprofen, penisilin dan vitamin C.
c)
Kontra Indikasi
Tidak
boleh digunakan pada:
v Penderita alergi termasuk asma
v Tukak lambung (maag) dan sering perdarahan di bawah kulit
v Penderita hemofilia dan trombositopenia
d)
Efek samping
v Nyeri lambung, mual, muntah
v Pemakaian dalam waktu lama dapat menimbulkan tukak dan perdarahan
lambung
e)
Bentuk Sediaan
v Tablet 100 mg
v Tablet 500 mg
f)
Aturan pemakaian
v Dewasa : 500 mg setiap 4 jam (maksimal selama 4 hari)
v Anak : 2 – 3 tahun : ½ - 1 ½ tablet 100 mg, setiap 4 jam
v 4 – 5 tahun : 1 ½ - 2 tablet 100 mg, setiap 4 jam
v 6 – 8 tahun : ½ - ¾ tablet 500 mg, setiap 4 jam
v 9 – 11 tahun : ¾ - 1 tablet 500 mg, setiap 4 jam
v > 11 tahun : 1 tablet 500 mg, setiap 4 jam
(Ditjen Binfar, 2007).
3.
Ibuprofen
a)
Kegunaan obat
Menekan rasa nyeri dan radang, misalnya
dismenorea primer (nyeri haid), sakit gigi, sakit kepala, paska operasi, nyeri tulang,
nyeri sendi, pegal linu dan terkilir.
b)
Hal yang harus
diperhatikan
v Gunakan obat dengan dosis tepat
v Hati-hati untuk penderita gangguan fungsi hati, ginjal,
gagal jantung, asma dan bronkhospasmus atau konsultasikan ke dokter atau apoteker
v Hati-hati untuk
penderita yang menggunakan obat hipoglisemi, metotreksat,
urikosurik, kumarin, antikoagulan, kortiko-steroid, penisilin dan vitamin
C atau minta petunjuk dokter.
v Jangan minum obat ini bersama dengan alkohol karena meningkatkan
risiko perdarahan saluran cerna.
c)
Kontra Indikasi
Obat
tidak boleh digunakan pada:
v Penderita tukak lambung dan duodenum (ulkus peptikum) aktif
v Penderita alergi terhadap asetosal dan ibuprofen
v Penderita polip hidung (pertumbuhan jaringan epitel
berbentuk tonjolan pada hidung)
v Kehamilan tiga bulan terakhir
d)
Efek Samping
v Gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, diare,
konstipasi (sembelit/susah buang air besar), nyeri lambung sampai pendarahan.
v Ruam kulit, bronkhospasmus, trombositopenia
v Penurunan ketajaman penglihatan dan sembuh bila obat
dihentikan
v Gangguan fungsi hati
v Reaksi alergi dengan atau tanpa syok anafilaksi
v Anemia kekurangan zat besi
e)
Bentuk sediaan
v Tablet 200 mg
v Tablet 400 mg
f)
Aturan pemakaian
v Dewasa : 1 tablet 200 mg, 2 – 4 kali sehari,. Diminum
setelah makan
v Anak : 1 – 2 tahun : ¼ tablet 200 mg, 3 – 4 kali sehari
v 3 – 7 tahun : ½ tablet 500 mg, 3 – 4 kali sehari
v 8 – 12 tahun : 1 tablet 500 mg, 3 – 4 kali sehari tidak
boleh diberikan untuk anak yang beratnya kurang dari 7 kg.
Catatan
:
v Ibuprofen memiliki efek terapi antiradang lebih tinggi
dibandingkan dengan efek anti demamnya.
Asetosal
dan Parasetamol efek terapi anti demamnya lebih tinggi dibandingkan efek
antinyeri dan anti radangnya.
(Ditjen Binfar, 2007).
2.6 Contoh Kasus
Pada suatu hari, datang Ibu X ke apotek. Ibu X datang
ke apotek untuk membeli obat yang bisa menyembuhkan influenza yang sedang
dialami anaknya yang berusia 5 tahun. Ibu X mengatakan anaknya sedang mengalami
pilek, demam, dan bersin-bersin.
(Ibu X datang ke apotek dan disambut oleh Asisten
Apoteker)
AA : Selamat siang, Bu. Ada
yang bisa saya bantu?
Ibu X : Siang
mba.. saya mau beli obat flu untuk anak-anak, kira-kira obatnya
apa
ya?
AA : Maaf dengan Ibu siapa ya?
Ibu X : Saya Ibu X, mbak..
AA : Oh baiklah Ibu X, untuk
obatnya silahkan langsung dikonsultasikan
dengan Apoteker saja
ya, Bu. Mari saya antar ke ruangan.
(Asisten Apoteker mengantar Ibu X ke ruang konsultasi
Apoteker)
Apt : Selamat siang Bu,
silahkan duduk. Perkenalkan saya apoteker yang
bertanggung jawab di
apotek ini. Sebelumnya saya berbicara dengan
Ibu siapa ya?
Ibu X : Saya Ibu X.
Apt : Baiklah Ibu X, ada yang
bisa saya bantu?
Ibu X : Begini mbak, anak saya
mengalami fludan bersin-bersin. Kira-kira
obatnya apa ya mbak?
Apt : Sudah berapa lama
flunya, Bu?
Ibu X : Sudah sejak dua hari yang
lalu mbak. Dia mengeluh hidungnya
mampet, dia juga
sering bersin-bersin dan batuk.
Apt : Berapa usia anak Ibu?
Ibu X : Umurnya 5 tahun mbak.
Apt : Ada demamnya nggak Bu?
Ibu X : Iya ada mbak, badannya
agak panas.
Apt : Baiklah.. sebentar saya
pilihkan obatnya dulu ya, Bu
Ibu X : Iya mbak.
(Apoteker meminta Asisten Apoteker untuk menyiapkan
obat yang Apoteker minta)
Apt : Baiklah Bu. Ini obat flu
Hufagrip® untuk anak Ibu. Untuk usia 5 tahun
diminum 3 kali
sehari 1 sendok teh setelah makan ya, Bu.
Ibu X : Baiklah mbak.
Apt : Oh iya Bu, obat ini
mempunyai efek samping mengantuk, jadi saya
sarankan setelah
minum obat ini, anak Ibu sebaiknya istirahat. Kalau
boleh tahu di rumah
Ibu ada kotak obat tidak?
Ibu X : Tidak ada mbak.
Apt : Kalau tidak ada, obat ini cukup disimpan
di tempat yang terlindung
dari cahaya matahari ya Bu,
jangan disimpan di kulkas, tapi cukup
disimpan di suhu ruang saja.
Ibu X : Iya mbak.
Apt : Baiklah Bu, takutnya ada informasi yang
belum saya sampaikan,
bolehkah Ibu mengulangi tentang
apa yang saya jelaskan tadi?
Ibu X : Obat flunya diminum 3 kali sehari 1 sendok
teh setelah makan.
Obatnya mempunyai
efek samping mengantuk jadi sebaiknya setelah
meminum obat, anak saya
istirahat. Obatnya jangan disimpan di
kulkas tapi di suhu
ruang aja. Bener ga mbak?
Apt : Iya Bu betul sekali, oh
iya kalau boleh saya menyarankan agar Ibu
berkonsultasi dnegan
dokter apabila dalam 3 hari setelah
mengonsumsi obat
ini, pilek, demam, dan bersin-bersinnya tidak
berkurang.
Ibu X : Ohh baiklah mbak.
Apt : Ada yang bisa saya bantu
lagi Bu?
Ibu X : Ngga mbak, saya rasa
cukup. Terimakasih untuk informasinya ya
mbak.
Apt : Sama-sama Bu. Semoga
anaknya lekas sembuh dan sehat selalu ya Bu.
Obatnya nanti
dibayar di kasir depan ya Bu.
Dari contoh dialog di atas, dapat
disimpulkan bahwa pasien (5 th) mengalami influenza dengan gejala pilek, demam, dan
bersin-bersin. Pasien sudah sakit dari dua hari yang lalu tetapi bekum
diberikan obat apa-apa oleh keluarganya.
nya.
v Assessment
Lifestyle Factor
Faktor keseharian dapat memicu timbulnya influenza, berikut
merupakan langkah untuk menghindari timbulnya influenza:
-
Membiasakan selalu mencuci
tangan dengan air dan sabun, dan diupayakan selalu dalam kondisi kering setelah
mencuci tangan. Tangan dapat dengan mudah terinfeksi virus influenza walau hanya
berjabat tangan dengan seseorang dengan permukaan kulit yang terinfeksi;
-
Bila mungkin, menghindari orang
yang sedang menderita influenza
-
Tutuplah mulut dan hidung
dengan tisue bila bersin atau batuk, dan segera buang tisu tersebut di tempat
sampah.
-
Bersihkan permukaan yang anda
sentuh dengan disinfektan;
-
Jangan menyentuh hidung, mulut,
dan mata, karena dapat memberikan jalan virus menginfeksi tubuh kita.
2.6.1
Tatalaksana
Tujuan terapi Influenza
adalah mengendalikan gejala, mencegah komplikasi, mengurangi penurunan absen
kerja atau sekolah, dan mencegah penyebaran infeksi.
Terapi Non Farmakologi
Influenza
termasuk dalam self limiting desease,
yaitu penyakit yang dapat diatasi oleh sistem imun tubuh.Oleh karena itu pasien yang menderita Influenza harus
istirahat/tidur yang cukup dan tak banyak beraktivitas serta tetap berada di
rumah untuk mencegah penyebaran. Minum air yang banyak juga diperlukan. Untuk
membantu meredakan gejala batuk dan gangguan tenggorokan dapat menggunakan
lozenges, teh hangat atau sup. (Dipiro, 2008)
Terapi Farmakologi
Pasien
(5 th) diberikan Hufagrip Flu®, digunakan 3 kali sehari 1 sendok teh setelah
makan. Kegunaan diberikan Hufagrip Flu® Sirup adalah untuk mengobati gejala
influenza seperti demam, sakit kepala, hidung tersumbat, disertai
bersin-bersin.
Tiap 5 ml Hufagrip Flu® Sirup mengandung:
·
Parasetamol 120 mg
·
Pseudoephedrine HCl 7,5 mg
·
Chlorpheniramine Maleate 0,5 mg
·
Glyceryl Guaiacolate 50 mg
Dimana parasetamol berguna sebagai antipiretik,
Pseudoephedrine HCl untuk mengurangi gejala hidung tersumbat, CTM untuk
mengurangi bersin-bersin yang dialami pasien, dan Glyceryl Guaiacolate sebagai
ekspektoran)
2.6.2
Informasi Lisan
Hal-hal yang perlu dijelaskan pada pasien saat
menyerahkan obat yaitu:
1. Aturan pakai: Hufagrip Flu® Sirup diminum sehari 3 kali 1 sendok teh
setelah makan.
2. Obat disimpan di tempat yang kering, terlindung dari
cahaya matahari dan pada suhu kamar (di bawah 27oC).
3. Diedukasi agar pasien istirahat yang banyak,
mengurangi aktivitas, dan banyak minum air putih. Menghindari mengkonsumsi makanan dan minuman yang memicu kekambuhan gejala. Juga
beritahukan pada pasien agar selalu menjaga kebersihan (seperti: cuci
tangan sebelum makan dengan sabun).
4. Pasien dianjurkan memeriksakan diri ke dokter apabila dalam 3 hari
setelah mengonsumsi obat, gejala yang dirasakan tidak berkurang.
BAB III
SWAMEDIKASI BATUK
3.1
Definisi Batuk
Batuk
merupakan gejala klinis dari gangguan pada saluran pernafasan. Batuk bukan
merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan manifestasi dari penyakit yang
menyerang saluran pernafasan (Kumar dkk., 2007). Batuk merupakan salah satu
cara tubuh untuk membersihkan saluran pernapasan dari lender dan benda asing
yang masuk, juga berfungsi sebagai imun tubuh terhadap benda asing namun dapat
juga sebagai geala suatu penyakit (Sylvia A, dan Wilson LM., 2006).
Batuk adalah suatu refleks
pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan. Batuk
juga melindungi paru-paru dari aspirasi asing yaitu masuknya benda asing dari
saluran cerna maupun saluran nafas bagian atas. Saluran nafas bagian atas
dimulai dari tenggorokan, trakhea, bronkhioli sampai ke jaringan paru (Guyton,
2008). Batuk dibedakan menjadi dua yaitu batuk berdahak dan batuk tidak
berdahak (batuk kering). Batuk berdahak lebih sering terjadi karena adanya
dahak pada tenggorokan. Batuk berdahak lebih sering terjadi karena adanya
paparan debu, lembab berlebihan sebagainya. Batuk tidak berdahak (batuk kering)
yaitu batuk yang terjadi karena tidak adanya sekresi saluran nafas, iritasi
pada tenggorokan, sehingga timbul rasa sakit (Djunarko & Hendrawati, 2011).
3.2
Faktor Penyebab Batuk
Batuk dapat disebabkan karena dua hal,
yaitu penyakit infeksi dan bukan infeksi. Penyebab batuk dari infeksi bisa
berupa bakteri atau virus, misalnya tuberkulosa, influenza, campak, dan batuk
rejan. Sedangkan penyebab yang bukan infeksi misalnya debu, asma, alergi, makanan
yang merangsang tenggorokan, batuk pada perokok, batuk pada perokok berat sulit
diatasi hanya dengan obat batuk simptomatik. Batuk pada keadaan sakit
disebabkan adanya kelainan terutama pada saluran nafas yaitu bronkitis,
pneumonia dan sebagainya (Depkes RI, 1997). Reflek Batuk dapat ditimbulkan oleh
beberapa faktor diantaranya:
-
Rangsangan mekanis,
misalnya asap rook, debu dan tumor
-
Adanya perubahan suhu
mendadak
-
Rangsangan kimiawi,
misalnya gas dan bebauan
-
Adanya
peradangan/infeksi
-
Reaksi alergi
-
Asthma
-
Infeksi paru-paru
seperti pneumonia atau bronchitis akut
-
Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK)
-
Sinusitis yang
menyebabkan postnasal drip
-
Obat darah tinggi
golongan ACE Inhibitor
(Waisya, 2008).
3.3
Patofisiologi Batuk
Batuk dapat dipicu secara reflek
ataupun disengaja. Sebagai refleks pertahanan diri, batuk dipengaruhi oleh
jalur saraf aferen dan eferen. Batuk diawali dengan inspirasi dalam diikuti
dengan penutupan glotis, relaksasi diafragma dan kontraksi otot melawan glotis
yang menutup. Sehingga terjadi tekanan positif pada intratoraks yang
menyebabkan penyempitan trakea. Sekali glotis terbuka, perbedaan tekanan yang
besar antara saluran nafas dan udara luar bersama dengan penyempitan trakea
yang akan menghasilkan aliran udara yang melalui trakea. Kekuatan eksplosif ini
akan “menyapu” sekret dan benda asing yang ada di saluran nafas (Ikawati,
2008).
Reflek batuk dimulai dari suatu
rangsangan para reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut non myelin halus
yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga toraks yang terletak di dalam
rongga toraks antara lain terdapat di laring, trakea, bronkus, dan di pleura.
Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada cabang – cabang bronkus yang kecil,
dan sejumlah besar reseptor yang terdapat di laring dan trakea. Bahkan juga
reseptor ditemui pada saluran telinga, lambung, hilus, sinus parasanalis,
pericardial dan diafragma.
Seraput afferen terpenting ada pada
cabang nervus vagus yang mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus,
pelura lambung dan juga telinga melalui cabang Arnold dari nervus vagus. Nervus
trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus parannasalis, nervus glosofaringeus
menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rengasang dari
perikardium dan diafragma. Rangsangan dari serabut afferent dibawa ke pusta
batuk yang terletak di medulla, di dekat pusat penafasan dan pusta muntah.
Kemudian serabut – serabut vagus, frenikus dan interkostalis lumbar, trigeminus
fasialis dan hipoglosus menuju ke efektor. Efektor ini berdiri dari otot – otot
laring, trakea, bronkus, diafragma, dan otot – otot intercostal. Pada efektor
tersebut mekanisme batuk terjadi (Wirodiarjo, 2008).
3.4
Mekanisme Batuk
Mekanisme batuk dibagi menjad empat
fase, yaitu:
a.
Fase Iritasi
Iritasi dari
salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar atau
serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan batuk.
Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan esophagus, rongga
pleura dan saluran telingan luar dirangsang.
b.
Fase Inspirasi
Pada fase ini
glotis secara refleks terbuka lebar akibat konstraksi otot abductor kartilago
aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepa, sehingga udara dengan
cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru. Hal ini disertai
terfiksirnya iga bawah akibat konstraksi otot toraks, perut dan diafragma,
sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan peningkatan volume paru.
Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah banyak memberikan keuntungan yaitu
akan memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat serta memperkecil
rongga udara yang tertutup sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang
potensial.
c.
Fase Kompresi
Fase ini
dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adductor kartilago
aritenoida, glotis tertutup selama 0.2 detik. Pada fase ini tekanan intratoraks
meninggi sampai 300 cm H2O agar terjadi batuk yang efektif. Tekanan
pleura tetap meninggi selama 0.5 detik setelah glotis terbuka. Batuk dapat
terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu meningkatkan
tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.
d.
Fase Ekspirasi
Pada fase ini
glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktof otot ekspirasi, sehingga
terjadi pengeluaran benda-benda asing dan bahan-bahan lain. Gerakan glotis,
otot-otot pernafasan dan cabang-cabang bronkus merupakan hal yang penting dalam
fase mekanisme batuk dan terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat
bervariasi akibat getaran secret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita
suara.
(Guyton.
2008).
3.5
Klasifikasi Batuk
a.
Batuk berdasarkan
waktu, terbagi menjadi 3 yaitu :
1.
Akut
Akut merupakan
fase awal dan masih mudah untuk sembuh. Jangka waktu akut yaitu kurang dari
tiga minggu dan terjadi karena iritasi, bakteri, virus, dan penyempitan nafas
atas.
2.
Subakut
Subakut adalah
fase peralihan dari akut menjaid kronis, dikategorikan subakut apabila batuk
sudah 3 – 8 minggu yang dikarenakan adanya gangguan pada epitel.
3.
Kronis
Kronis adalah
batuk yang sulit disembuhkan dikarenakan penyempitan saluran nafas atas dan
terjadi lebih dari 8 minggu. Batuk kronis biasanya berupa gejala adanya
penyakit lain yang lebih berat. Banyak penyakit yang ditandai dengan batuk
kronis, seperti asma, TBC, gangguan refluks lambung, PPOK, hingga kanker paru.
Maka itu, batuk kronis harus segera diperiksakan ke dokter untuk memastikan
penyebabnya dan dapat segera diatasi.
(Nadesui,
2008).
b.
Batuk berdasarkan
penyebabnya terbagi menjadi 3 yaitu :
1.
Batuk berdahak
Batuk berdahak
disertai dengan jumlah sputum yang dihasilkan sangat banyak. Sehingga menyumbat
saluran pernafasan.
2.
Batuk kering
Batuk ini tidak
mengeluarkan sputum. Laring terasa gatal, sehingga merangsang timbulnya batuk
yang tidak nyaman. Bila batuk terlalu keras dapat memecahkan pembuluh mata.
3.
Batuk yang khas
-
Batuk rejan; biasanya
berlangsung selama 100 hari dan dapat menyebabkan pita suara radang dan suara
parau.
-
Batuk penyakit TBC;
berlangsung berbulan-bulan, kecil-kecil, timbul sekali-kali. Namun batuk dapat
disertai dengan bercak darah.
-
Batuk karena asma;
setelah serangan asma lender banyak dihasilkan sehingga memicu batuk.
-
Batuk karena gejala
jantung lemah; darah yang terbendung di paru-paru menjadikan paru-paru menjadi
basah. Kondisi basah tersebut merangsang timbulnya batuk.
-
Batuk karena kanker
paru-paru; kanker paru yang menahun dan tidak sembuh disertai dengan batuk.
Bila kerusakan paru-paru semakin parah maka batuk akan semakin bertambah keras.
-
Batuk karena kemasukan
beda asing; pada saat saluran pernafasan berusaha mengeluarkan benda asing maka
akan menimbulkan batuk sebagai upaya reflek terhadap benda asing.
3.6
Kriteria Batuk yang Tidak Dapat Diswamedikasi
Beberapa penyakit penyebab batuk
yang tidak disarankan untuk dilakukan tindakan swamedikasi, karena beberapa
faktor yang bisa membahayakan bagi penderita, diantaranya :
1.
Batuk yang disebabkan
karena kuman TB yang dapat berbahaya bagi pasien yang menderita, respon dapat
berupa batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
(Werdhani, 1995).
2.
Batuk yang disebabkan
karena asma yaitu peradangan kronis pada saluran nafas dimana saluran nafas
mengalami hipersekresi mukus dan juga lubang bronkus mengalami penyempitan,
sehingga bisa menyebabkan sesak nafas atau mengi.
3.
Batuk yang disebabkan
karena PPOK yang menggambarkan pasien dengan bronchitis kronis, emfisema atau
keduanya, pada pasien PPOK mengalami batuk produktif selama 3 bulan.
4.
Batuk yang disebabkan
pneumonia yang merupakan peradangan paru yang disebabkan karena bakteri
Streptococus pneumoniae (Lyrawati dkk., 2012).
Penyakit tersebut
sebaiknya ditangani dengan berkonsultasi dengan tenaga medis secara persisten
karena berbahaya bagi pasien yang menderita.
3.7
Terapi Farmakologi
Bila keadaan batuk belum sembuh dapat
digunakan obat batuk, yang mana obat batuk dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
3.7.1
Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang
bekerja dengan cara mengencerkan sekret saluran pernapasan dengan jalan memecah
benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum. Agen mukolitik berfungsi dengan cara mengubah viskositas sputum
melalui aksi kimia langsung pada ikatan komponen mukoprotein. Agen mukolitik
yang terdapat di pasaran adalah bromheksin, ambroksol, dan asetilsistein
(Estuningtyas, 2008).
A.
Bromheksin
Indikasi: derivat sintetik dari vasicine
(Adhota vasica). Obat ini rasanya
pahit sekali dan diberikan kepada penderita bronkitis atau kelainan saluran
pernafasan yang lain. Bromheksin
digunakan di unit gawat darurat secara lokal di bronkus untuk memudahkan
pengeluaran dahak pasien.
Efek samping: jika diberikan secara oral adalah rasa mual, diare, dan kembung yang ringan. Bromheksin hendaklah digunakan dengan hati-hati pada pasien tukak
lambung.
Dosis: oral bagi dewasa seperti yang dianjurkan adalah tiga kali,
4-8 mg sehari. Dosis pemakaian untuk
dewasa 4-8 mg, 3 kali sehari
(Estuningtyas, 2008).
3.7.2
Ekspektoran
Ekspektoran merupakan obat yang dapat
merangsang pengeluaran dahak dari saluran pernapasan. Mekanisme kerjanya diduga
berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara refleks merangsang
sekresi kelenjar saluran pernafasan lewat nervus vagus, sehingga menurunkan
viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang termasuk golongan ini
adalah ammonium klorida dan gliseril guaiakoiat (Estuningtyas, 2008).
A. Gliseril Guaiakolat (Guafenesin)
Indikasi: mengencerkan dahak dari saluran nafas. Indikasi
untuk batuk yang membutuhkan pengeluaran dahak.
Dosis:
pemakaian untuk dewasa 200-400 mg setiap 4 jam dan untuk anak-anak usia 2-6 tahun
50-100 mg setiap 4 jam, sedangkan untuk usia 6-12 tahun 100-200 mg setiap 4
jam. Perhatikan pasien dibawah usia 2 tahun dan ibu hamil harus dengan
pengawasan dokter dan diharap tidak menggunakan lebih dari 7 hari tanpa izin
dokter.
Efek samping: mual, muntah yang dapat dikurangi dengan minum
segelas air putih. Kontraindikasi: terhadap yang alergi guafenesin
(Ikawati, 2008).
B. Ammonium Klorida
Ammonium klorida jarang digunakan sebagai
terapi obat tunggal yang berperan sebagai ekspektoran tetapi lebih sering dalam
bentuk campuran dengan ekspektoran lain atau antitusif. Apabila digunakan
dengan dosis besar dapat menimbulkan asidosis metabolik, dan harus digunakan
dengan hati-hati pada pasien dengan insufisiensi hati, ginjal, dan paru-paru.
Dosisnya untuk orang dewasa adalah 300 mg (5mL) tiap 2 hingga 4 jam. Obat ini
hampir tidak digunakan lagi untuk pengasaman urin pada keracunan sebab
berpotensi membebani fungsi ginjal dan menyebabkan gangguan keseimbangan
elektrolit (Estuningtyas, 2008). Contoh kombinasi ammonium klorida dengan
ekspektoran lain dan atau antitusif adalah Obat
Batuk Hitam (OBH).
·
Komposisi baku OBH
antara lain:
Succus Liquiritiae 10
Amonium Klorida 5
Amonium Klorida 5
SASA (Solutio Ammonii
Spirituosa Anisata) 6
Air sampai dengan 100
(Depkes
RI, 1997).
·
Mekanisme kerja dari
Succus Liquiritiae untuk mengatasi batuk, membantu pengeluaran dahak,
menyembuhkan peradangan (Djunarko & Hendrawati, 2011).
·
Succus merupakan
sediaan galenik dari Radix liquiritiae berwarna hitam coklat, dan larut dalam
air. Succus Liquiritiae merupakan komponen dari Obat Batuk Hitam (OBH) (Depkes
RI, 1997).
·
Mekanisme kerja dari
amonium klorida untuk meningkatkan pengeluaran dahak melalui refleks rangsangan
selaput lendir saluran cerna, Amonium Klorida merupakan salah satu komponen Obat
Batuk Hitam (OBH).
·
Dosis pemakaian untuk
dewasa 300 mg setiap 4 jam
·
Perhatian tidak
dianjurkan pada pasien yang mengalami kerusakan hati, ginjal, dan pasien
mengidap jantung kronik karena dapat mengganggu keseimbangan kimia darah yang mempengaruhi
ekskresi obat.
·
Dosis 5 gram pada
penderita dapat menyebabkan efek samping dengan gejala antara lain mual,
muntah, haus, sakit kepala, dan hiperventilasi.
3.7.3
Antitusif
Antitusif adalah obat yang menekan refleks batuk, digunakan pada
gangguan saluran nafas yang tidak produktif dan batuk akibat teriritasi. Secara
umum berdasarkan tempat kerja obat antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja
di perifer dan antitusif yang berkerja di sentral. Antitusif yang bekerja di
sentral dibagi atas golongan narkotik dan non-narkotik.
A.
Dekstrometorfan HBr
Indikasi:
bekerja menekan pusat batuk di otak, meringankan batuk kering. Zat ini meningkatkan nilai ambang rangsang refleks batuk secara
sentral dan kekuatannya kira-kira sama dengan kodein. Berbeda dengan kodein,
zat ini jarang menimbulkan mengantuk atau gangguan saluran pencernaan (Corelli,
2007).
Dosis: pemakaian
dewasa 10-20 mg, 3 kali sehari 1 tablet jika perlu (jika batuk). Dalam bentuk
sirup 5-10 ml jika perlu 3 kali sehari sedangkan untuk dosis anak-anak (usia
6-12 tahun) 5-10 mg 3 kali sehari dan dalam bentuk sirup 2,5-5 ml (1/2-1 sendok
takar) setiap 4 jam.
Perhatian:
Dekstromethorpan HBr sebaiknya tidak digunakan untuk batuk berdahak,
dikhawatirkan dahak malah tidak bisa keluar.
Efek samping:
pemakaian yang berlebihan akan menyebabkan penurunan refleks bernapas
(Djunarko & Hendrawati, 2011).
Pada tahun 2014 lalu dekstrometrophan dalam sediaan tunggal
telah di tarik dari pasaran karena banyaknya penyalahgunaan sediaan ini, tetapi
sediaan ini dengan kombinasi masih boleh beredar dengan pengawasan atau menjadi
obat bebas terbatas (BPOM, 2014).
B.
Difenhidramin HCL
Indikasi: obat
memiliki efek antitusif dan juga antihistamin sebagai anti alergi.
Dosis:
pemakaian untuk dewasa 25 mg, 3-4 kali sehari dan untuk anakanak 12,5 mg atau 4
kali sehari.
Efek samping:
dapat mengantuk, dan juga tidak dianjurkan diminum bersamaan obat anti
influenza yang mengandung antihistamin, dikonsultasikan terlebih dahulu pada
tenaga medis jika digunakan pada penderita asma karena dapat mengentalkan dahak
dan mengurangi sekresinya.
Kontraindikasi:
terhadap wanita hamil, ibu menyusui dan anak < 6 tahun.
(Depkes
RI, 1997).
3.8
Terapi Non Farmakologi
Umumnya batuk berdahak dan tidak
berdahak dapat dikurangi dengan cara sebagai berikut:
a) Memperbanyak minum air putih, untuk membantu mengencerkan
dahak, mengurangi iritasi atau rasa gatal.
b)
Menghindari paparan debu, minuman atau makanan yang merangsang tenggorokan dan
udara malam yang dingin.
3.9
Tatalaksana Swamedikasi Batuk
Penggunaan obat bebas dan obat bebas
terbatas dalam pengobatan sendiri (swamedikasi) harus mengikuti prinsip
penggunaan obat secara umum, yaitu penggunaan obat secara aman dan rasional.
Swamedikasi yang bertanggung jawab membutuhkan produk obat yang sudah terbukti
keamanan, khasiat dan kualitasnya, serta membutuhkan pemilihan obat yang tepat
sesuai dengan indikasi penyakit dan kondisi pasien.
Sebagai seorang profesional kesehatan dalam
bidang kefarmasian, Apoteker memiliki peran yang sangat penting dalam
memberikan bantuan, nasehat dan petunjuk kepada masyarakat yang ingin melakukan
swamedikasi, agar dapat melakukannya secara bertanggung jawab. Apoteker harus
dapat menekankan kepada pasien, bahwa walaupun dapat diperoleh tanpa resep
dokter, namun penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas tetap dapat
menimbulkan bahaya dan efek samping yang tidak dikehendaki jika dipergunakan
secara tidak semestinya.
Sebelum merekomendasikan produk obat batuk
bebas (OTC), apoteker harus memastikan apakah swamedikasi tepat dilakukan dan
harus selalu mencatat riwayat alergi pasien, riwayat kesehatan, dan catatan
pengobatan terakhir untuk memantau interaksi dan kontraindikasi obat yang
mungkin terjadi. Perempuan hamil dan menyusui serta penderita penyakit kronis
harus selalu berkonsultasi dengan dokter sebelum menggunakan obat batuk OTC.
Selama berkonsultasi, pasien harus
diingatkan untuk membaca brosur informasi obat dan memeriksa komposisinya
sebelum menggunakan, terutama jika menggunakan banyak produk, untuk menghindari
pemberian obat ganda atau dosis yang berlebih. Penting bagi pasien untuk
mematuhi aturan dosis dan pemberian obat serta durasi penggunaan obat.
Penting pula bagi apoteker untuk
mengingatkan keluarga atau perawat pasien untuk selalu menggunakan alat
pengukur yang terkalibrasi saat memberikan obat larutan dan untuk membaca
informasi obat sebelum memberikan obat pada anak-anak untuk memastikan
ketepatan dan kesesuaian dosis. Keluarga dan perawat hanya boleh memberikan
produk obat bebas untuk anak yang diproduksi secara khusus untuk populasi
pediatrik dan harus mematuhi rekomendasi produsen obat, terrutama berkaitan
dengan batas usia penggunaan obat. Jika merasa ragu terkait kesesuaian atau
dosis obat, keluarga harus selalu berkonsultasi pada dokter anak atau apoteker.
Pasien yang mengalami satu atau beberapa
gejala berikut harus berkonsultasi dengan dokter dan tidak boleh melakukan
swamedikasi.
·
Riwayat gejala yang berkaitan
dengan batuk kronik, seperti PPOK, gagal jantung kongestif, asma, dan
bronkhitis kronik
·
Batuk yang menghasilkan lendir
berwarna atau darah
·
Batuk yang disebabkan oleh
golongan obat tertentu
·
Batuk yang disertai demam
>38,6oC, napas pendek, nyeri dada, berkeringat, menggigil, sakit
kepala berat, atau pembengkakan pergelangan kaki atau kaki
·
Batuk yang memburuk atau tidak
reda setelah mengalami infeksi saluran pernapasan atas oleh virus, seperti
pilek atau flu
Batuk merupakan gejala banyak penyakit akut
dan kronis sehingga swamedikasi dapat menyamarkan identifikasi dan pengobatan
penyebab dasarnya. Pasien yang mengalami batuk kronik harus disarankan untuk
berobat ke dokter, terutama jika penyebabnya tidak diketahui atau batuknya
tidak membaik atau memburuk. Dalam banyak kasus, batuk akan membaik atau
berhenti jika akar penyebabnya diobati atau dihindari.
Informasi tentang obat dan penggunaannya
perlu diberikan pada pasien saat konseling untuk swamedikasi pada dasarnya lebih
ditekankan pada informasi farmakoterapi yang disesuaikan dengan kebutuhan serta
pertanyaan pasien. Informasi yang perlu disampaikan oleh Apoteker pada
masyarakat dalam penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas antara lain:
1.
Khasiat obat: Apoteker perlu
menerangkan dengan jelas apa khasiat obat yang bersangkutan, sesuai atau tidak
dengan indikasi atau gangguan kesehatan yang dialami pasien.
2.
Kontraindikasi: pasien juga
perlu diberi tahu dengan jelas kontra indikasi dari obat yang diberikan, agar
tidak menggunakannya jika memiliki kontra indikasi dimaksud.
3.
Efek samping dan cara
mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi informasi tentang efek
samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus dilakukan untuk menghindari
atau mengatasinya.
4.
Cara pemakaian: cara pemakaian
harus disampaikan secara jelas kepada pasien untuk menghindari salah pemakaian,
apakah ditelan, dihirup, dioleskan, dimasukkan melalui anus, atau cara lain.
5.
Dosis: sesuai dengan kondisi
kesehatan pasien, Apoteker dapat menyarankan dosis sesuai dengan yang
disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di
etiket) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya.
6.
Waktu pemakaian: waktu
pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas kepada pasien, misalnya
sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur.
7.
Lama penggunaan: lama
penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada pasien, agar pasien tidak
menggunakan obat secara berkepanjangan karena penyakitnya belum hilang, padahal
sudah memerlukan pertolongan dokter.
8.
Hal yang harus diperhatikan
sewaktu minum obat tersebut, misalnya pantangan makanan atau tidak boleh minum
obat tertentu dalam waktu bersamaan.
9.
Hal apa yang harus dilakukan jika lupa mengonsumsi
obat
10.
Cara penyimpanan obat yang baik
11.
Cara memperlakukan obat yang
masih tersisa
Cara membedakan obat yang
masih baik dan sudah rusak.
3.10
Contoh
Kasus
Pada suatu hari datang Ibu YS ke Apotek. Ibu YS datang ke
Apotek untuk membeli obat yang bisa menyembuhkan penyakit batuk yang sedang dialami
anaknya yang berusia 5 tahun. Ibu YS mengatakan anaknya sedang mengalami batuk
berdahak dan dahak yang dikeluarkan kental dan belum bisa mengeluarkan sendiri
dahaknya itu.
(Ibu YS
datang Ke Apotek dan disambut oleh Asisten Apoteker)
AA : Selamat siang Bu. Ada yang bisa saya
bantu?
Pasien : Siang mba,
mba saya mau beli obat untuk batuk berdahak untuk anak-anak, kira-kira obatnya
apa ya?
Apt : Maaf dengan Ibu siapa ya?
Pasien : Saya Ibu YS mbak.
AA : Oh baiklah
Ibu YS, untuk obatnya silahkan langsung konsultasi ke apoteker saja ya Bu. Mari
saya antar ke ruangan.
(AA
mengantar pasien ke ruang konsultasi Apoteker)
Apt : Selamat
siang Bu, silahkan duduk. Baiklah perkenalkan saya apoteker di apotek ini.
Sebelumnya saya berbicara dengan Ibu siapa ya?
Pasien : Saya Ibu YS.
Apt : Baiklah Bu YS, ada yang bisa saya bantu?
Pasien : Begini
mbak, anak saya mengalami batuk berdahak. Kira-kira obatnya apa ya mbak?
Apt : Sudah berapa lama batuknya Bu?
Pasien : Sudah
sejak dua hari yang lalu mbak. Dia batuk berdahak, dahak yang keluar kental dan
juga belum bisa mengeluarkan sendiri dahaknya.
Apt : Berapa usia anak Ibu?
Pasien : Umur nya 5 tahun mbak
Apt: ada
demamnya nggak Bu?
Pasien : Iya Bu badannya agak panas.
Apt : Baiklah sebentar saya pilihkan obatnya
dulu ya Bu.
Pasien : Iya mbak.
(Apoteker
meminta AA untuk menyiapkan obat yang Apoteker minta)
Apt : Baiklah
Bu. Ini obat batuk ambroxol sirup. Untuk usia 5 tahun diminum 3 kali sehari, 1
sendok takar (5ml).
Pasien : Baiklah mbak
Apt : Oh ya Bu,
obat ini mempunyai efek samping mengantuk, jadi saya sarankan setelah minum
obat anak Ibu sebaiknya istirahat. Dan juga mulut kering jadi harus sebaiknya
banyak minum air putih.
Pasien : Iya mbak
Apt : Baiklah
Bu, boleh saya meminta Ibu untuk mengulang tentang apa yang saya jelaskan tadi?
Pasien : Obat batuk
ini untuk usia 5 tahun diminum 3 kali sehari 1 sendok takar (5ml). Obat ini
mempunyai efek samping mengantuk, jadi setelah minum obat anak sebaiknya
istirahat dan juga mulut kering jadi harus banyak minum air putih. Betul ngga mbak?
Apt : Iya Bu,
betul sekali. Oh iya, kalau bisa saya menyarankan agar Ibu berkonsultasi dengan
dokter apabila setelah swamedikasi selama lebih kurang 1 minggu batuk belum
juga hilang atau berkurang.
Pasien : Ohh baiklah mbak.
Apt : Ada yang bisa saya bantu lagi Bu?
Pasien : Ngga mbak,
saya rasa cukup. Terimakasih untuk informasinya ya mbak
Apt : Sama-sama
Bu. Semoga anaknya cepat sembuh ya Bu. Obatnya nanti dibayar di kasir depan ya
Bu.
(Ibu YS
kemudian membayar obat yang dibelinya di kasir)
AA : Ibu YS, ini obat ambroxol total harganya Rp 22.550.
Pasien : Ini mbak uangnya.
AA : Iya Bu, ini kembaliannya ya Bu terima
kasih.
Pasien : Iya mbak sama sama.
BAB
IV
SWAMEDIKASI
ASMA
4.1
Patofisiologi Asma
Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik jalan udara yang
melibatkan peran banyak sel dan komponennya. Pada individu yang rentan,
inflamasi akan menyebabkan episode berulang yang biasanya terkait dengan
obstruksi jalan udara yang sering revesible baik secara spontan maupun setelah
penanganan. (Sukandar, 2008)
Adanya hiperesponsif saluran napas atau hiperreaktivitas bronkus pada
asma merupakan respon berlebihan terhadap berbagai rangsangan eksogen dan
endogen. Mekanisme yang terlibat termasuk stimulasi langsung dari otot polos
saluran napas dan stimulasi tidak langsung oleh zat aktif secara farmakologi
dari sel pensekresi mediator seperti sel mast atau neuron sensorik. Derajat
hiperresponsif saluran napas umumnya berkorelasi dengan tingkat keparahan asma.
(Morris, 2017)
Serangan asma mendadak disebabkan oleh faktor yang tidak diketahui
maupun yang diketahui seperti paparan langsung terhadap allergen, virus, atau
polutan dalam maupun luar rumah, yang dapat menginduksi respon inflamasi (Sukandar,
2008).
Saat alergen masuk
maka beberapa sel utama yang diidentifikasi dalam peradangan saluran napas
termasuk sel mast, eosinofil, sel epitel, makrofag, dan limfosit T yang
diaktifkan. Limfosit T memainkan peran penting dalam regulasi peradangan
saluran udara melalui pelepasan banyak sitokin. Sel-sel saluran udara penyusun
lainnya, seperti fibroblas, sel endotel, dan sel epitel, berkontribusi pada
kronisitas penyakit. Faktor-faktor lain, seperti molekul adhesi (misalnya
selektin, integrin), sangat penting dalam mengarahkan perubahan peradangan di
saluran napas. Akhirnya, mediator yang diturunkan sel mempengaruhi tonus otot
polos dan menghasilkan perubahan struktural dan remodeling jalan nafas
(Morris,2017).
Dua jenis limfosit Th telah dikarakterisasi: Th1 dan Th2. Sel Th1
menghasilkan interleukin (IL) -2 dan IFN-α, yang sangat penting dalam mekanisme
pertahanan seluler dalam menanggapi infeksi. Th2, sebaliknya, menghasilkan sitokin (IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-13)
yang dapat memediasi peradangan alergi. Sebuah studi menemukan bahwa IL-13
memiliki peran dalam respon saluran napas yang diinduksi alergen. (Morris,
M.J., 2017)
Aktivasi yang cepat dari sel mast dan makrofag akan melepaskan mediator
proinflamasi seperti histamin dan eikosanoid yang menginduksi kontraksi otot
polos, sekresi mukus, vasodilatasi, dan eksudasi pada jalan nafas. Kebocoran
plasma protein menginduksi penebalan dan pembengkakan pada dinding serta
penyempitan lumen yang ditandai dengan sulitnya pengeluaran mukus. Reaksi
inflamasi fase akhir dan terjadi 6 sampai 9 jam setelah serangan alergen dan
melibatkan aktivasi eosinofill, limfosit T, basofil, neutrofil, dan sitokin
(Sukandar, 2008)
Degranulasi sel mast mengakibatkan pembebasan mediator histamin seperti,
faktor kemotaksis eosinofil dan neutrofil, leukotrien C4, D4, dan E4;
prostaglandin ; dan PAF. Histamin mampu menginduksi kontraksi otot polos dan
bronkospasme dan berperan dalam edema mukosa serta eksresi mukus. Sel epitel
bronkial juga berpartisipasi dalam inflamasi dengan membebaskan eikosanoid,
peptidase, protein matriks, sitokin, dan nitrit oksida. Peengikisan epitel
mengakibatkan responsifitas dan perubahan permeabilitas mukosa, pengurangan
faktor relaksan yang berasal dari mukosa dan kehilangan enzim yang bertanggung jawab
untuk penguraian neuropeptida inflamasi
Proses inflamasi eksudatif dan pengikisan sel epitel dalam lumen kalur
pernafasan merusak transport mukosiliar. Kelenjar bronkus menjadi berukuran
besar, dan sel goblet meningkat baik ukuran maupun jumlahnya, yang menunjukkan
suatu peningkatan produksi mukus. Oleh karena itu mukus yang dikeluarkan oleh
penderita asma viskositasnya cenderung tinggi (Sukandar, 2008).
4.2
Terapi Farmakologi
4.2.1
Terapi Pelega (Reliever)
Prinsip: untuk
dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau
menghambat bronkonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa
berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hiperesponsif jalan napas.
Contoh obat:
a.
Agonis β2 kerja
singkat
b.
Kortikostreroid
sistemik
c.
Antikolinergik
d.
Aminofilin
e.
Adrenalin
4.2.2
Terapi Pengontrol (Controller)
Prinsip:
medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk
mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Contoh obat :
a.
Kortikosteroid
inhalasi
b.
Kortikostreoid
sistemik
c.
Sodium kromoglikat
d.
Nedokromil sodium
e.
Methyl xanthin
f.
Agonis β2 kerja lama
(inhalasi dan oral)
g.
Leukotrien modifiers
4.2.3
Golongan Obat Asma
1.
Methyl Xanthine
Mekanisme
kerja: merelaksasi otot polos bronkus, terutama bila otot bronkus dalam keadaan
konstriksi. Contoh obat terdiri dari:
a.
Theophylline/Teoflin
·
Indikasi : Obstruksi saluran napas reversibel, asma akut
dan berat
·
Dosis : Dewasa (3 x 130-150 mg/hari); Anak 6-12 tahun
(3 x 65-150 mg/hari, obat diberikan sesudah makan); Euphyllin Retard (Dewasa :
2 x 1 tablet sehari)
·
Sediaan : Kapsul 130 mg (Bufabron, Bronchophylin,
Theobron); Tablet 150 mg (Bronsolvan), Tablet Retard 250 mg (Euphyllin Retard;
Tablet Retard mite 125 mg; Euphyllin Retard Mite).
b.
Aminophylline/Aminofilin
·
Indikasi : obstruksi saluran napas reversibel, asma
akut dan berat
·
Dosis : Bronkospasme akut (Dewasa loading dose 6 mg/kgBB/IV; secara infus
selama 20 - 40 menit); Dosis pemeliharaaan 0,5 mg/kgBB/jam
·
Sediaan : sediaan injeksi à Ampul 24 mg/ml (1 Ampul = 10 ml) = Aminofilin
(Team
Medical, 2017).
2.
Anti Muskarinik
Mekanisme
kerja : bekerja dengan memblok efek bronkokonstriksi dari asetilkolin pada
reseptor muskarinik M3 yang terdapat pada otot polos saluran napas.
Obat
antimuskarinik terdiri atas 2 jenis yaitu :
1)
Short-acting antimuscarinic (SAMA)
misalnya Ipratropium dan Oxitropium
2)
Long-acing antimuscarinic (LAMA)
misalnya Tiotropium, Aclinidium, Glycopyrronium
a.
Ipratropium Bromida
·
Indikasi : Bronkospasme, asma, penyakit paru obstruktif
kronik yang tidak dapat diatasi dengan beta agonis
·
Dosis : Inhalasi Dewasa 40 mcg (2x semprot),
diberikan 3-4 x sehari; Anak 20 mcg, diberikan 3-4 x sehari; Ipatropium Bromida
diberikan kombinasi dengna agonis β2 kerja singkat, untuk mengatasi serangan à kombinasi Ipratropium Bromida 0,5 mg & Salbutamol
sulphate 2,5 mg : 1 ampul secara nebulisasi, diberikan 3-4 x sehari
·
Sediaan : Inhaler 20 mcg / semprot à Atrovent; Larutan inhalasi 0,025% (0,25 mg/ml) à Atrovent; kombinasi Ipratropium Bromida 0,5 mg &
Salbutamol sulphate 2,5 mg (dalam 1 ampul 2,5 ml) Ã Combivent, Farbivent
b.
Tiotropium Bromida
·
Indikasi : Terapi pemeliharaan obstruksi
pada paru kronik termasuk bronchitis dan emfisema kronik dan dispnea yang menyertainya
·
Dosis dan Sediaan : Spiriva à inhalasi 1 kapsul/hari (18 mcg/kapsul); Spiriva Respimat
(inhaler) Ã 2,5 mcg/puff, 2
semprotan diberikan 1 kali sehari, diberikan pada saat atau waktu yang sama.
(Team
Medical, 2017).
3.
Beta 2 Agonis
Mekanisme kerja: merelaksasi otot
polos jalan napas dengan menstimulasi
reseptor beta 2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP dan menghasilkan
antagonism fungsional terhadap bronkokonstriksi. Beta 2 agonis terdiri atas 2
kelompok, diantaranya
Onset
|
Durasi
(Lama Kerja)
|
|
Singkat
|
Lama
|
|
Cepat
|
Fenoterol;
Prokaterol; Salbutamol; Terbutaline; Pirbuterol
|
Formoterol
|
Lambat
|
-
|
Salmaterol
|
a.
Salbutamol/Albuterol
·
Indikasi : meredakan bronkospasme pada asma dan
obstruksi saluran napasreversibel lainnya
·
Dosis : Oral Dewasa 3-4 x 4 mg / hari (lansia
& pasien yang sensitive awal 2 mg); Oral Anak 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali
setiap 6-8 jam; Inhalasi aerosol (DPI/MDI) Dewasa 100-200 mcg (1-2 hirupan)
untuk gejala yang persisten 3-4 kali sehari; Inhalasi aerosol (DPI/MDI) Anak 100
mcg (1 hirupan) dapat dinaikkan menjadi 200 mcg (2 hirupan) bila perlu;
Profilaksis untuk bronkospasme akibat latihan fisik, Dewasa 200 mcg (2
hirupan), Anak 100 mcg (1 hirupan); Inhalasi nebuliiser Dewasa dan Anak di atas
18 bulan 2,5 mg, diberikan sampai 4 kali sehari
·
Sediaan : Tablet/Kaps 2 mg (Astharol; Azmacon;
Brondisal, Fortolin, Grafalin, Lasal, Suprasma, Salbuven); Nebule 2,5 mg
(Ventolin nebules); Inhaler 100 mcg/puff (Ventolin inhaler)
b.
Fenoterol HBr
·
Indikasi : Sebagai pengobatan gejala episode asma akut;
sebagai profilaksis asma yang dipicu olahraga; sebagai pengobatan gejala asma
bronkial dan kondisi lainnya dengan penyempitan jalan napas yang reversibel
·
Dosis : Inhaler Dewasa dan Anak > 12 tahun
bilamana :
-
Episode asma akut à 1 semprot, jika belum ada perbaikan setelah 5 menit berikan
dosis ke-2, jika belum dapat diatasi dengan 2 semprot, dosis mungkn perlu
ditambah
-
Pencegahan asma yang
dipicu aktivitas fisik Ã
1-2 semprot, maksimal 8 semprot/hari
-
Asma bronkial dan
keadaan lain dengan penyempitan saluran napas yang reversibel à bila diperlukan pengulangan dosis, 1-2 semprot untuk setiap
pemberian, maksimal 8 semprot/hari
·
Sediaan : Inhaler 100 mcg/ semprot (Berotec); Larutan
inhalasi 0.1% (Berotec)
(Team
Medical, 2017).
c. Terbutaline Sulfate
·
Indikasi : Sebagai bronkodilator pada asma bronkial,
bronkospasme pada bronchitis kronik, emfisema, dan penyakit paru lainnya dengan
komplikasi bronkokonstriksi
·
Dosis : Oral Dewasa 1-2 tablet diberikan 2-3
kali sehari (1 tablet = 2,5 mg); Oral Anak 75 mcg/kgBB diberikan 2-3 kali
sehari, 7-15 tahun 2,5 mg diberikan 2-3 kali sehari; Injeksi subkutan,
intramuscular, atau injeksi intravena pada dewasa (250-500 mcg sampai 4 kali
sehari) dan anak 2-15 tahun (10 mcg/kgBB sampai maksimal 300 mcg); Inhalasi
aerosol Dewasa dan Anak 250-500 mcg (1-2 hirupan) untuk gejala persisten sampai
3-4 kali sehari; Inhalasi serbuk (turbuhaler) 500 mcg (1 inhalasi) untuk gejala
persisten hingga 4 kali sehari; Inhalasi nebulizer 5 mg 2-4 kali sehari, dosis
tambahan mungkin diperlukan untuk asma akut yang berat; Inhalasi nebulizer pada
anak < 3 tahun 2 mg; Inhalasi nebulizer pada anak 3-6 tahun 3 mg; Inhalasi
nebulizer pada anak 6-8 tahun 4 mg; Inhalasi nebulizer pada anak > 8 tahun 5
mg, dosis diberikan 2-4 ali sehari
·
Sediaan : Tablet/Kaplet 2,5 mg à Lasmalin, Nairet, Neosma, Sedakter, Tismalin, Yarisma;
Syrup 1,5 mg/5 ml Ã
Nairet, Sedakter; Injeksi (Ampul 0,5 mg/ml) à Nairet, Relivan; Inhalasi à Bricasma Turbuhaler (serbuk inhalasi) 0,5 mg/dosis;
Bricasma Respule (cairan inhalasi) 2,5 mg/ml.
(Team
Medical, 2017).
d. Formoterol Fumarat
·
Indikasi : Asma dan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Tidak dianjurkan sebagai monoterapi pada asma
·
Dosis : Sediaan Formoterol yang beredar di
Indonesia tidak bersifat tunggal, tapi merupakan kombinasi dengan
kortikosteroid. Salah satu merek dagang kombinasi Formoterol dan Budesonide
adalah Symbicort
e. Formoterol Fumarat Dihidrat + Budesonide
·
Indikasi : Terapi regular untuk asma dimana diperlukan
terapi kombinasi kortikosteroid inhalasi dan agonis beta kerja panjang. Terapi
untuk PPOK berat dan adanya riwayat eksaserbasi beruulang
·
Dosis :
Terapi pemeliharaan dan pereda
Dewasa dan remaja ≥ 12 tahun à besar dosis tergantung dari beratnya gejala, 1 inhalasi
pada pagi dan sore, atau 2 inhalasi Symbicort 80/4,5 mcg atau 160/4,5 mcg pada
pagi atau sore. Sebagai dosis pemeliharan dapat juga diberikan 2 inhalasi
2x/hari Symbicort 160/45.
Anak ≥ 6 tahun Ã
1 inhalasi 1x/hari Symbicort 80/4,5 mcg. Maksimal 4 inhalasi per hari
Terapi pemeliharaan
Dewasa dan remaja ≥ 12 tahun à 1-2 inhalasi 2x sehari dari Symbicort 80/4,5 mcg atau
160/4,5 mcg tergantung dari beratnya gejala
Anak 6-11 tahun Ã
2 inhalasi 2x sehari Symbicort 80/4,5 mcg
·
Sediaan : Symbicort 80/4,5 mcg turbuhaler mengandung
budesonide 80 mcg dan formoterol fumarate 4,5 mcg; Symbicort 160/4,5 mcg
turbuhaler mengandung budesonide 160 mcg dan formoterol fumarate 4,5 mcg.
(Team
Medical, 2017).
f.
Salmeterol
·
Indikasi : Asma, obstruksi saluran napas reversibel lain
yang memerlukan bronkodilator jangka panjang, digunakan dalam kombinasi dengan
antiinflamasi lain (misalnya kortikosteroid)
·
Dosis : Sediaan Salmaterol yang beredar di
Indonesia tidak bersifat tunggal, tapi merupakan kombinasi dengan
kortikosteroid
g. Salmeterol + Flucasone Propionat
·
Indikasi : Obstruksi saluran napas reversibel termasuk
asma, obstruksi paru kronis termasuk bronchitis kronis dan emfisema
·
Dosis :
Inhaler Ã
Dewasa & anak ≥ 12 tahun : 2 inhalasi Seretide 50 atau Seretide 125; Anak ≥
4 tahun : 2 inhalasi Seretide 50. Semua dosis diberikan 2x sehari
Diskus Ã
Penyakit obstruksi saluran napas yang reversibel. Dewasa & anak ≥ 12 tahun
: 1 inhalasi diskus seretide 100, 250, atau 500. Anak ≥ 4 tahun : 2 inhalasi
diskus seretide 100
·
Sediaan :
Inhaler Seretide 50 : Salmeterol 25 mcg + Fluticasone 50 mcg
Inhaler Seretide 125 : Salmeterol 25 mcg + Fluticasone 125
mcg
Diskus Seretide 100 : Salmeterol 50 mcg + Fluticasone 100
mcg
Diskus Seretide 250 : Salmeterol 50 mcg + Fluticasone 250
mcg
Diskus Seretide 500 : Salmeterol 50 mcg + Fluticasone 500
mcg
(Team
Medical, 2017).
4. Kortikosteroid
a. Budesonide
·
Indikasi : Asma bronkial
·
Dosis :
Turbuhaler : Dewasa 200 – 1200 mcg/hari terbagi dalam 2-4
dosis. Pemeliharaan 200-400 mcg 2x sehari pada pagi dan malam
Respule : Dewasa dan anak > 12 tahun à 1-2 mg 2x per hari. Pemeliharaan 0,5-1 mg 2x per hari. Anak
3 bulan - 12 tahun Ã
0,5-1 mg 2x per hari. Pemeliharaan 0,25-0,5 mg 2x per hari.
·
Sediaan : Turbuhaler 200 mcg/dosis (Pilmicort); Respule
0,25 mg/ml (Pulmicort Respules)
b. Fluticasone Propionat
·
Indikasi : Profilaksis asma, mengatasi eksaserbasi asma
akut
·
Dosis : Dewasa dan anak > 16 tahun à 500-2000 mcg 2x per hari; Anak 4-16 tahun à 1000 mcg 2x per hari
·
Sediaan : Cairan inhalasi (nebule) Ã 0,5 mg/2 ml; 2 mg/2 ml : Flixotide
(Team
Medical, 2017).
4.3
Terapi Non Farmakologi
·
Edukasi pasien
1.
Edukasi
pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam
penatalaksanaan asma.
penatalaksanaan asma.
Edukasi
kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
v Meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma
secara umum dan pola penyakit asma sendiri)
v Meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam
penanganan asma
sendiri/asma mandiri)
sendiri/asma mandiri)
v Meningkatkan kepuasan
v Meningkatkan rasa percaya diri
v Meningkatkan kepatuhan (compliance) dan
penanganan mandiri
v Membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan
dan mengontrol asma.
Bentuk
pemberian edukasi
v Komunikasi/nasehat saat berobat
v Ceramah
v Latihan/training
v Supervisi
v Diskusi
v Tukar menukar informasi (sharing of
information group)
v Film/video presentasi
v Leaflet, brosur, buku bacaan
Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan
pasien, upaya meningkatkan kepatuhan pasien dilakukan dengan :
v Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk
setiap
tindakan/penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan tersebut dan manfaat yang dapat dirasakan pasien
tindakan/penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan tersebut dan manfaat yang dapat dirasakan pasien
v Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan,
menilai ulang penanganan yang diberikan dan bagaimana pasien melakukannya. Bila
mungkin kaitkan dengan perbaikan yang dialami pasien (gejala dan faal paru).
v Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama
dengan pasien.
v Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat
asma.
v Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi
atau yang dirasakan pasien, sehingga pasien merasakan manfaat penatalaksanaan
asma secara konkret.
v Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang
disetujui bersama dan yang akan dilakukan, pada setiap kunjungan.
v Mengajak keterlibatan keluarga.
v Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan,
budaya dan status sosioekonomi yang dapat berefek terhadap penanganan asma
·
Pengukuran peak
flow meter
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran
Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :
v Penanganan serangan akut di gawat darurat,
klinik, praktek dokter dan oleh pasien di rumah.
v Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan
praktek dokter.
v Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya
dilakukan pada asma persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien
setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal perburukan
melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang mengancam
jiwa.
Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu
pengobatan seperti:
v Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
v Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana
pengobatan berjalan baik
v Memutuskan apa yang akan dilakukan jika
dibutuhkan penambahan atau penghentian obat
v Memutuskan kapan pasien meminta bantuan
medis/dokter/IGD
·
Identifikasi dan
mengendalikan faktor pencetus
·
Pemberian oksigen
·
Banyak minum untuk
menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
·
Kontrol secara teratur
dan pola hidup sehat (penghentian merokok, menghindari kegemukan, dan kegiatan
fisik seperti renang, bersepeda, dan senam asma)
(Depkes RI., 2007).
4.4 Contoh Kasus
Seorang
wanita berumur 25 tahun datange ke apotek dengan keluhan sesak kurang
lebih 6 jam yang lalu pasien mengeluh sesak napas, sesak timbul
saat udara dingin dan terkena debu,
tidak dipengaruhi oleh aktifitas posisi. Terdapat gejala batuk berdahak
encer berwarna putih dan tidak ada darah.
Tatalaksana
1.
Identitas pasien
Nama : Ny. AB
Umur : 25 tahun
BB: 50 kg
Alamat :
Jatinangor
2.
Apa gejalanya?
Sesak timbul
saat udara dingin dan terkena debu, Batuk berdahak
3.
Berapa lama gejala
diderita?
Sejak 6 jam yang
lalu
4.
Tindakan apa yang
sudah dilakukan
Tidak
ada
5.
Obat apa yang sudah
digunakan?
Tidak ada
6.
Riwayat penyakit
sendiri maupun keluarga?
Ibu dan adik
memiliki riwayat asma
7.
Riwayat Alergi?
Alergi debu dan
udara dingin
8.
Riwayat pengobatan
lain?
Tidak ada
9.
Riwayat status sosial ?
Merokok/
alcohol/ NAPZA: -
Pekerjaan :
Karyawan Bank
10. Pemilihan Obat
Salbutamol
v Indikasi : Bronkospasme
v Dosis: MDI aerosol: 180 mcg (2 puff) terhirup PO q4-6 jam;
tidak melebihi 12 penarikan / 24 jam
v Lama Penggunaan : Digunakan saat terjadi serangan, jika
dalam 3 hari gelaja tidak membaik maka segera konsultasikan ke dokter
v Interaksi : Jangan digunakan bersamaan dengan the hijau, teh
hijau meningkatkan efek albuterol oleh sinergisme farmakodinamik. Gunakan
Perhatian / Monitor. Karena kandungan kafein. Kombinasi dapat meningkatkan efek
stimulasi CNS karena kafein dalam teh hijau (Medscape, 2018).
v Jika lupa menggunakan jangan gandakan dosis dalam waktu
berikutnya
v Efek samping : Tremor, mual, demam,
v Cara Penggunaan: Kocok inhaler, dan pasangkan tegak lurus
dengan spacer. Masukkan mouthpiece, dan posisikan diantara gigi pasien, dan
minta pasien untuk mengatupkan bibirnya secara ketat, mengitari mouthpiece
tersebut. Tekan inhaler untuk memberikan satu semprotan ke dalam spacer.
Beritahu pasien untuk melakukan 4 kali pernapasan, inspirasi dan ekspirasi
kedalam spacer. Kemudian, lepaskan spacer dari dalam mulut.Kocok inhaler, tiap
kali setelah satu semprotan, sebelum melakukan tindakan yang sama selanjutnya.
Hal ini dapat dilakukan tanpa melepaskan pMDI inhaler dari spacer. Proses di
atas dapat diulangi hingga dosis total yang hendak diberikan tercapai
v Cara penyimpanan : Simpan di kotak obat jauhkan dari
jangkauan anak- anak dan dari panas matahari langsung
Bromheksin
HCl
v Indikasi : Mukolitik
v Dosis: 8 mg 3 kali sehari
v Lama Penggunaan : Digunakan saat terjadi serangan, jika
dalam 3 hari gelaja tidak membaik maka segera konsultasikan ke dokter
v Interaksi : Diminum dengan air putih hindari penggunaan
dengan obat-obatan lain.
v Jika lupa menggunakan jangan gandakan dosis dalam waktu
berikutnya
v Efek samping : Hipersensitivitas, syok dan reaksi
anafilaktik, bronkospasme, mual, muntah, diare, nyeri perut bagian atas, ruam,
angioedema, urtikaria, pruritus.
v Cara penyimpanan : Simpan di kotak obat jauhkan dari
jangkauan anak- anak dan dari panas matahari langsung
v Perubahan gaya hidup
Menghindari hal
hal yang memicu alergi, lakukan olahraga ringan terutama berenang dan jangan
berlama lama terpapar udara dingin
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 1995. Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
BPOM. 2006. Obat Flu.
Tersedia di http://www.pom.go.id (diakses
6 Oktober 2018).
BPOM, 2014. Lampiran Siaran Pers Penjelasan Terkait
Pembatalan Izin Edar
Dekstrometorfan
Sediaan Tunggal. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Corelli, R.L. 2007.
Therapeutic & Toxic Potential of Over-the-Counter Agents. In:
Katzung, B.G., Basic
and Clinical Pharmacology. 10th ed. USA: McGraw Hill.
Depkes RI, 1997. Kompendia Obat Bebas. Jakarta: Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan
Depkes RI. 2006. Pedoman Penggunaan Obat bebas dan Obat Bebas Terbatas. Jakarta: Direktorat
bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesahatan.
Depkes RI, 2007. Pedoman Pharmaceutical
Care Untuk Penyakit Asma. Jakarta:
Depkes RI.
Dipiro JT, Talbert RI
and Yee GC. 2008. Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach. 7th Ed. Stamford: Appleton & Lange.
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2007. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas
Terbatas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Djunarko, I., & Hendrawati,
D., 2011. Swamedikasi yang Baik dan Benar. Yogyakarta: Citra Aji Parama.
Estuningtyas, Ari dan Azalia Arif.
2008. Obat Lokal. Dalam Sulistia dan Gunawan, Rianto Setiabudy, dan Nafrialdi
Elizabeth. Farmakologi dan Terapi. Ed
5. Jakarta: FKUI
Gitawati, R., 2014. Bahan Aktif
Dalam Kombinasi Obat Flu Dan Batuk-Pilek Dan Pemilihan Obat Flu Yang Active
Ingredients in Common Cold Fixed Dose Combination Products And. Media Litbangkes. Vol 24(1): 10–18.
Gubareva LV, Kaiser L,
Matrosovich MN, Soo-Hoo Y, and Hayde FG. 2001. Selection of influenza virus
mutants in experimentally in-fected volunteers treated with oseltamivir. J Infect Dis. Vol 183:523-31.
Gupta, P., Bobhate, P.S. &
Shrivastava, S.R., 2011. Determinants of Self Medication Practices in An Urban
Slum Community. Asian Journal of
Pharmaceutical and Clinical Research. Vol. 4(3), hal.3–6.
Guyton AC, Hall JE.
2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
11th ed. Jakarta: ECG.
Hermawati, D. 2012. Pengaruh Edukasi Terhadap Tingkat
Pengetahuan Dan Rasionalitas Penggunaan Obat Swamedikasi Pengunjung di Dua Apotek
Kecamatan Cimanggis. Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Program Studi Farmasi.
Ikawati, Zullies. 2008. Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernapasan. Yogyakarta:
Pustaka Adipura.
Kartajaya, H., Taufik,
Mussry, J., Setiawan, I., Asmara, B., Winasis, N.T., 2011. Self-
Medication. Who Benefit and Who Is At Loss. Indonesia:
Mark Plus Insight.
Kumar, Vinay. 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta: ECG
Lyrawati, D., Luh, N.I. &
Agustini, M., 2012. Sistem Pernafasan:
Assessment Patologi dan Terapi Gangguan Pernafasan. Malang.
Morris,
Michael J. 2017. Asthma. Available online at https://emedicine.medscape.com/article/296301-overview#a4 (diakses pada 2 oktober
2018)
Nadesui, Hendrawan. 2008. Batuk
dan Penyebabnya. Tersedia di: http://www.kimiafarmaapotek.com/index.php/Tanya-Jawab/Batuk-dan-Penyebabnya.html (diakses
pada 10 Oktober 2018).
Phalke, V.D., Phalke, D.B. &
Durgawale, P.M., 2006. Self-Medication Practices in Rural Maharashtra An
Epidemiological Study of Cigarette Smoking among Male College Students of Delhi
University. Indian Journal of Community
Medicine. Vol. 31(1): 1–2.
Sukandar,
Ellin Yulinah. 2008. ISO Farmakoterapi.
Jakarta: ISFI
Sweetman, S.C. 2009. Martindale
the Complete Drug Reference Thirty Sixth Edition. New York: Pharmaceutical
Press.
Sylvia A, dan Wilson
LM. 2006. Patofisiologi. Jakarta: ECG
Team Medical. 2017. Basic Pharmacology and Drug Notes.
Makasar: MMN Publishing
Waisya, Rani. 2008. Penyebab
Batuk, Gejala dan Pengobatannya. Tersedia di:
http://www.scribd.com/doc/15847131/makalah-Rps-respirasi (diakses pada 10 Oktober 2018).
WHO, 2009, WHO Fact
Sheets: influenza seasonal. Tersedia di: http://www.who.int/mediacenter (Diakses 6 Oktober 2018)
WHO. 2010. WHO Health
Report. Tersedia di http://www.who.int./whr/2010/en/index.html (Diakses 6 Oktober 2018).
Wirodiarjo, Muljono. 2008. Penyebab
Batuk dan Tips Pengobatannya. Tersedia di:
http://tbmcalcaneus.org/index.php?option=com_content&task=view&id=176&Itemid=87 (diakses pada tanggal
10 Oktober 2018).
0 komentar:
Posting Komentar