MAKALAH PELAYANAN KEFARMASIAN
SEMESTER GANJIL TAHUN 2018/2019
Swamedikasi Saluran Pencernaan
PROGRAM PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
SWAMEDIKASI
Swamedikasi
merupakan upaya yang dilakukan untuk mengobati diri sendiri. Swamedikasi dapat
pula dikatakan sebagai salah satu upaya yang sering dilakukan untuk mengobati
gejala atau penyakit tanpa melakukan konsultasi terlebih dahulu kepada dokter.
Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan – keluhan penyakit
ringan yang banyak dialami oleh masyarakat, seperti pusing, batuk, diare,
demam, influenza, penyakit kulit, dan lain-lain. Dasar hukum swamedikasi adalah
peraturan Menteri Kesehatan No. 919 Menkes/Per/X/1993 (Tan dan Rahardja, 2010).
Perilaku
swamedikasi dibentuk melalui suatu proses dan berlangsung dari interaksi
manusia dengan lingkungan. Terdapat 2 faktor yang mempengaruhi terbentuknya
perilaku, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa
kecerdasan, pengetahuan, persepsi, motivasi yang dilakukan untuk mengolah
rangsangan dari luar. Sedangkan faktor eksternal berupa lingkungan baik fisik
maupun non fisik contohnya iklim, kebudayaan, manusia, social-ekonomi
(Yusrizal, 2015; Notoatmodjo, 2003).
Penggunaan obat
yang tepat dipengaruhi oleh penggunaan obat yang sesuai dengan kondisi pasien
serta aturan pakainya. Swamedikasi terbagi menjadi 4 kriteria yaitu tepat golongan
obat yaitu menggunakan obat golongan bebas dan obat bebas terbatas, tepat kelas
terapi obat yaitu menggunakan obat yang termasuk ke dalam golongan obat yang
sesuai pada keluhan pasien, tepat dosis obat yaitu pasien menggunakan obat
seusai dengan umur seperti dosis sekali dan sehari pakainya, dan tepat lama
penggunaan obat yaitu jika penyakit tersebut masih berlanjut maka segera
berkonsultasikan dengan dokter (Binfar, 2007).
Faktor
penyebab terjadinya swamedikasi menurut WHO adalah:
1.
Faktor social ekonomi
Seiring
dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat dan berdampak pada semakin
tingginya tingkat pendidikan serta semakin mudahnya akses dalam memperoleh
informasi sehingga membuat tingkat ketertarikan masyarakat terhadap kesehatan
meningkat.
2.
Gaya hidup
Kesadaran terkait
gaya hidup yang tidak sehat yang berpengaruh terhadap kesehatan, menyebabkan
masyarakat menjadi lebih memiliki kepedulian untuk menjaga kesehatannya
dibandingkan dengan mengobati sakit diwaktu mendatang.
3.
Kemudahan memperoleh produk obat
Pada dimasa
sekarang, banyak masyarakat yang lebih memilih kenyamanan pada saat memperoleh
obat dimanapun dibandingkan dengan mengantri lama seperti di klinik maupun
rumah sakit.
4.
Faktor kesehatan lingkungan
Semakin banyaknya
praktik dalam memilih nutrisi yang tepat, mengelola sanitasi yang baik, serta
lingkungan rumah yang sehat maka semakin banyak masyarakat yang mampu untuk
menjaga dan mempertahankan kesehatan, serta mencegah terkena penyakit.
5.
Ketersediaan produk baru
Semakin banyaknya
produk baru serta produk lama yang sesuai untuk swamedikasi serta memiliki
indeks keamanan yang baik maka semakin banyak pula pilihan produk obat yang
tersedia untuk swamedikasi.
DISPEPSIA
A.
Definisi
Dispepsia
didefinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di
daerah perut bagian atas. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau
didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit
yang mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai penyakit maag.
Dispepsia
terbagi atas dua sub klasifikasi, yakni dispepsia organik dan dispepsia
fungsional. Dispepsia organik adalah apabila penyebab dispepsia sudah jelas,
misalnya ada ulkus peptikum. Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda,
tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun. Sedangkan dispepsia
fungsional adalah apabila penyebab dispepsia tidak diketahui atau tidak
didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak
ditemukannya adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik.
B.
Patofisiologi
1.
Sekresi
Asam Lambung
Konsentrasi asam
dalam getah lambung sangat pekat sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan,
tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi karena sebagian
cairan lambung mengandung mukus, yang merupakan faktor pelindung lambung. Kasus
dengan dispepsia fungsional diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa
lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.
2. Helicobacter
pylori
Korelasi antara
infeksi Hp dan gangguan motilitas tidak konsisten; namun,
pemberantasan Hp meningkatkan gejala dispepsia fungsional. Marker biologi seperti ghrelin dan leptin serta ekspresi yang berubah mikroRNA spesifik-otot berkorelasi dengan proses patofisiologi fungsional dispepsia, yang masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
pemberantasan Hp meningkatkan gejala dispepsia fungsional. Marker biologi seperti ghrelin dan leptin serta ekspresi yang berubah mikroRNA spesifik-otot berkorelasi dengan proses patofisiologi fungsional dispepsia, yang masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
3.
Dismotilitas
Gastrointestinal
Dispepsia
fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas
antrum, gangguan akomodasi lambung saat makan, dan hipersensitivitas gaster.
Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah atau dua pertiga
kasus dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung kasus dispepsia
fungsional dengan keluhan seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati.
4.
Disfungsi
Autonom
Disfungsi
persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada
kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam
kegagalan relaksasi bagian proksimal
lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi
lambung dan rasa cepat kenyang.
5.
Hipersensitivitas
Viseral
Hipersensitivitas viseral memiliki peran penting dalam patofisiologi
dispepsia fungsional, khususnya dalam meningkatkan sensitivitas saraf sensorik perifer dan pusat terhadap rangsangan reseptor kimia dan
intraluminal bagian proksimal dari perut. Hal tersebut bisa menyebabkan atau
memperberat gejala dispepsia.
6.
Diet
Faktor makanan
dapat menjadi penyebab potensial dari gejala dispepsia fungsional. Pasien
dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah pola makan karena adanya
intoleransi terhadap beberapa makanan khususnya makanan berlemak yang telah
dikaitkan dengan dispepsia.
7.
Psikologis
Adanya
stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan
pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang
mendahului keluhan mual setelah pemberian stimulus berupa stres.
C.
Penatalaksanaan
Terapi
American College
of Gastroenterology Guidelines for the Management of Dyspepsia (2005),
mengemukakan pentingnya mendeteksi tanda-tanda bahaya (alarming features)
pada pasien dengan keluhan dispepsia. Apabila didapatkan tanda-tanda bahaya
(seperti gejala dispepsia yang baru muncul pada usia lebih dari 55 tahun,
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, anoreksia, rasa
cepat kenyang, muntah, disfagia progresif, odinofagia, perdarahan, anemia,
ikterus, massa abdomen, pembesaran kelenjar limfe, riwayat keluarga dengan
kanker saluran cerna atas, ulkus peptikum, pembedahan lambung, dan keganasan),
tindakan esofagogastroduodenoskopi untuk keperluan diagnostik sangat
dianjurkan. Namun, bila tidak didapatkan kondisi di atas, terdapat 2 tindakan
yang dapat dilakukan:
(1) Test-and-treat:
untuk mendeteksi ada tidaknya infeksi Helicobacter pylori dengan uji
noninvasif yang tervalidasi disertai pemberian obat penekan asam bila eradikasi
berhasil, tetapi gejala masih tetap ada
(2)
Pengobatan empiris menggunakan proton-pump inhibitor (PPI) untuk 4-8
minggu.
1.
Dispepsia
Tidak Terinvertigasi
Strategi manajemen optimal untuk fase ini adalah dengan memberikan terapi
empiris
untuk 1-4 minggu sebelum menerima hasil awal, yaitu
pemeriksaan yang mengevaluasi bukti kehadiran Helicobacter pylori. Obat-obatan yang dapat digunakan adalah
antasida, agen antisecretory asam
lambung (PPI seperti omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan / atau
H2-Receptor Antagonist [H2RA]), prokinetics dan sitoprotektor (seperti
rebamipide), dalam pemilihan rejimen didasarkan pada gejala yang dominan dan pengobatan sebelumnya.
Ada pengembangan obat baru yang sedang berlangsung yang bekerja pada pompa
proton down-regulation yang telah diharapkan memiliki mekanisme yang lebih baik
dari PPI, yaitu DLBS. Terkait dengan tingginya prevalensi
infeksi Helicobacter pylori, test-and-treat diterapkan untuk pasien dengan gejala dispepsia tanpa tanda apapun. Strategi test-and-treat dilakukan untuk:
infeksi Helicobacter pylori, test-and-treat diterapkan untuk pasien dengan gejala dispepsia tanpa tanda apapun. Strategi test-and-treat dilakukan untuk:
• Pasien dispepsia tanpa komplikasi apa pun, yang tidak menanggapi
perubahan gaya hidup, 2-4 minggu perawatan menggunakan PPI tunggal dan tanpa
tanda-tanda.
• Pasien dengan riwayat
lambung atau duodenum ulkus, tetapi belum pernah diteliti.
•
Pasien yang akan
menerima NSAID, khususnya mereka dengan riwayat ulkus gastroduodenal.
• Pasien dengan defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan anemia,
trombositopen idiopatik purpura dan defisiensi vitamin B12.
Test-and-treat tidak dilakukan pada :
• Pasien dengan
penyakit gastroesophageal refluk (GERD).
• Anak-anak dengan
dispepsia fungsional.
2.
Dispepsia
Organik
Ketika lesi dari
mukosa (kerusakan mukosa) ditemukan, yang konisten dengan temuan endoskopi.
Terapi diberikan berdasarkan pada kelainan yang telah ditemkan. Kelainan yang
telah dimasukkan kedalam kelompok dispepsia organik adalah gastritis, gastritis
hemoragik, duodenitis, ulkus lambung, ulkus duodenum. Pada ulkus peptikum
(tukak lambung atau duodenum), obat yang bisa diberikan adalah kombinasi PPI
seperti rabeprazole 2x10 mg atau lanzoprazole 2x30 mg dan mukoprotektor seperti
rebamipide 3x100 mg.
3.
Dispepsia
Fungsional
Ketika tidak ada kerusakan
mukosa. Penggunaan prokinetik seperti metoclopramide, domperidone, cisapride,
itopride, dapat memperbaiki gejala pada pasien dispepsia fungsional. Hal ini
terkait dengan lambatnya pengosogan lambung sebagai salah satu patofisologi
pada dipepsia fungsional.
4.
Terapi
Non Farmakologi
·
Modifikasi gaya hidup dan menghindari obat
penyebab ulcer (aspirin & NSAIDs lain, bisphosphonat oral, KCL, pengobatan
imunosupresan)
·
Menghindari stress
·
Stop merokok dan alcohol
·
Stop kafein (stimulant asam lambung)
·
Menghindari makan dan minuman bersoda
·
Menghindari makan malam.
D.
Contoh
Kasus dan Penatalaksanaannya
Seorang pasien wanita berinisial nn S datang ke IGD dengan
keluhan nyeri ulu hati sejak 1 hari SMRS. Nyeri ulu hati dirasakan seperti
terbakar. Nyeri dirasakan menatap dan kadang berulang. Setelah makan, perut
terasa kembung dan rasa penuh, dan merasa cepat kenyang. Beberapa hari sebelum
masuk RS, nn S mengatakan makan rujak pedas. Keluhan disertai mual, muntah
setiap habis makan. Muntah sebanyak 4-5x/hari. Pasien juga mengeluh lemas, dan
sejak sakit, nafsu makan menjadi menurun. Pasien sering makan tidak teratur.
BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien juga telah mengeluhkan nyeri ulu hati
yang hilang timbul selama kurang lebih 3 bulan. Ibu pasien juga memiliki
keluhan sama yaitu nyeri ulu hati. Pasien nn. S berusia 17 tahun, tidak minum
alkohol dan merokok, pasien juga memiliki kebiasaan makan yang asam dan pedas
dan sering mengkonsumsi kopi kurang lebih 3x sehari.
1.
Analisis
SOAP
a. Subjek
Nn. S
berusia 17 tahun. Keluhan mual, muntah dan kembung serta nafsu makan menurun.
·
Patien Medical History
Nyeri
ulu hati kurang lebih selama 3 bulan
·
Social History
Tidak merokok
Tidak minum alcohol
·
Kesadaran
Kompos
Mentis
b.
Objektif
Objektif
|
Hasil Lab
|
Nilai Normal
|
Tekanan
Darah
|
110/80
mmHg
|
120/80
mmHg
|
Denyut
Nadi
|
80x/Menit
|
60-100x
|
RR
|
20
|
12-30
|
Suhu
|
36,700C
|
36,5-37,5
|
c.
Assesment
·
Dispepsi fungsional
·
Intake sulit
d.
Plan
·
Rencana pemeriksaan :
Lab, radiologi/USG, endoskopi
·
Rencana terapi : Obat
golongan penekan asam lambung Obat golongan sitoprotektif Antibiotik
·
Rencana edukasi Dispepsia
e.
Pencegahan
Pola makan
yang normal dan
teratur, pilih makanan
yang seimbang dengankebutuhan dan jadwal makan yang teratur,
sebaiknya tidak mengkomsumsi makananyang berkadar asam tinggi, cabai, alkohol,
dan pantang rokok, bila harus makan obatkarena sesuatu penyakit, misalnya sakit
kepala, gunakan obat secara wajar dan tidakmengganggu fungsi lambung.
DIARE
A.
Definisi
Diare atau mencret
didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses tidak berbentuk (unformed
stools) atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam. Bila diare
berlangsung kurang dari 2 minggu, disebut sebagai diare akut. Apabila diare
berlangsung 2 minggu atau lebih, digolongkan pada diare kronik. Feses dapat
dengan atau tanpa lendir, darah, atau pus. Gejala penyerta dapat berupa mual,
muntah, nyeri abdominal, mulas, tenesmus, demam, dan tanda-tanda dehidrasi.
Penyebab diare dapat dikarenakan infeksi
(virus, bakteri, protozoa, atau cacing) malabsorpsi, alergi, keracunan,
imunodefisiensi dan sebab-sebab lainnya.
Penyebab yang sering ditemukan
di lapangan ataupun
secara klinis adalah diare yang
disebabkan infeksi dan keracunan.
Beberapa
jenis virus penyebab diare akut antara lain Rotavirus serotype 1, 2, 8, dan 9
pada manusia, Norwalk virus, Astrovirus, Adenovirus (tipe 40, 41), Small bowel
structured virus, Cytomegalovirus. Bakteri yang dapat menyebabkan diare antara
lain Enterotoxigenic E. coli (ETEC), Enteropathogenic E. coli (EPEC),
Enteroaggregative E. coli (EAggEC), Enteroinvasive E. coli (EIEC),
Enterohemorrhagic E. coli (EHEC), Shigella spp., Campylobacter jejuni
(Helicobacter jejuni), Vibrio cholerae 01, dan V. choleare 0139, Salmonella
(non-thypoid). Protozoa yang dapat menyebabkan diare antara lain Giardia
lamblia, Entamoeba histolytica, Cryptosporidium, Microsporidium spp., Isospora
belli, Cyclospora cayatanensis. Spesies helminths contohnya adalah
Strongyloides stercoralis, Schistosoma spp., Capilaria philippinensis,
Trichuris trichuria (Amin 2015).
B.
Patofisiologi
Diare dapat
disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi sebagai berikut: 1) Osmolaritas
intraluminal yang meninggi, disebut diare osmotik; 2) sekresi cairan dan
elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik; 3) malabsorbsi asam empedu,
malabsorbsi lemak; 4) Defek sistem pertukaran anion atau transpot elektrolit
aktif di enterosit; 5) Motilitas dan waktu transit usus abnormal; 6) gangguan
permeabilitas usus; 7) Inflamasi dinding usus, disebut diare inflamatorik; 8)
Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi.
C.
Penatalaksanaan
terapi
(Dipiro. et al, 2011).
a)
Terapi
simtomatik
•
Oralit
Oralit tidak
menghentikan diare, tetapi
mengganti cairan tubuh
yang keluar bersama tinja.
Oralit adalah campuran gula,
garam natrium dan kalium. Jika tidak
tersedia oralit dapat dibuat larutan sendiri dengan mencampur gula 1 sendok
teh dan garam
¼ sendok teh .
•
Antimotilitas
Mengurangi transmisi sinyal saraf ke otot
intestinal sehingga mengurangi kontraksi otot
dan membuat air memiliki lebih banyak waktu untu diserap dari residu
makanan.
•
Adsorbent
Terbuat dari
partikel yang akan membesar sesudah menyerap cairan sehingga feses lebih padat
dan kurang mngandung air. Selain menyerap air dan feses juga menyerap racun dan
zat kimia penyebab diare.
•
Antisekretori
Mekanisme kerja
diduga melalui peningkatan absorpsi air dan elektrolit (antisekretori) dan juga
sebagai penghambat sintesis prostaglandin sehingga terjadi efek antiinflamasi
dan penurunan motilitas usus.
b)
Terapi Kausal
Diberikan setelah
mengetahui penyebab diare yang pasti. Diare yang dikarenakan infeksi bakteri
diberikan antibiotika jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan bakteri
patogen.
KASUS
Diare akut pada balita
Seorang anak
laki-laki inisial ZR usia 1 tahun 4 bulan dengan berat badan 8,5 kg, masuk
dengan keluhan sejak lebih kurang 12 jam sebelum masuk rumah sakit Abdul Muluk,
ibu pasien mengatakan anaknya buang air besar cair sebanyak 6 kali dalam
sehari, setiap kali bab cair sebanyak setangah gelas ukuran 200 cc. BAB cair
awalnya berwarna coklat dan sekarang kuning, konsistensi cair, tidak ada ampas,
dan berbau busuk. Tidak tampak darah dan lendir pada tinja. Keluhan ini juga
disertai dengan muntah kira-kira lebih dari 10 kali. muntah muncul tanpa
diawali rasa mual. Jumlah setiap kali muntah sebanyak lebih kurang setengah
gelas ukuran 200 cc berupa makanan dan minuman yang baru dimakan dan diminum
dan pasien akan muntah setiap kali diberi makan dan minum, muntah tidak
dipengaruhi posisi dari berbaring ke duduk. Keluhan tidak disertai demam,
batuk, pilek, kejang, sesak napas.
Dari pemeriksaan
fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis,
suhu 36,8°C, Nadi 140x/m, RR 30x/m. Mata terlihat cekung, turgor kulit kembali
lambat, bising usus positif meningkat. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan Hb
10,5 gr/dl, leukosit 6500/ul, hitung jenis eosinofil 0/ul, basofil 0/ul, batang
0/ul, segmen 46/ul, monosit 47/ul, limfosit 7/ul, dari pemeriksaan feses
didapatkan lender (+), darah (-), telur cacing (-), amoeba (-), sel eritrosit
0-1, sel leukosit 2-3, sel epitel (+).
Diagnosis pasien
berupa Diare akut dengan dehidrasi ringan-sedang e.c. virus. Terapi
psikofarmaka yaitu infuse cairan KAEN 3A tetesan 20 tetes/menit, zinc Sulfat
sirup 20mg/5ml diberikan sekali sehari selama 10 hari, ibuprofen sirup
100mg/5ml diberikan 3 kali sehari , oralit diberikan 100cc (setengah gelas)
setiap kali BAB cair, dan edukasi orangtua pasien.
PENYELESAIAN
KASUS
IDENTITAS
PASIEN
Seorang
anak laki-laki inisial ZR usia 1 tahun 4 bulan dengan berat badan 8,5 kg.
ANALISIS
SOAP
a.
Subjek
-
Buang air besar (BAB) cair sebanyak 6 kali
dalam sehari, setiap kali BAB cair sebanyak setangah gelas ukuran 200 cc.
-
BAB cair awalnya berwarna coklat dan
sekarang kuning, konsistensi cair, tidak ada ampas, dan berbau busuk. Tidak
tampak darah dan lendir pada tinja.
-
Keluhan ini juga disertai dengan muntah
kira-kira lebih dari 10 kali. muntah muncul tanpa diawali rasa mual.
-
Jumlah setiap kali muntah sebanyak lebih
kurang setengah gelas ukuran 200 cc berupa makanan dan minuman yang baru dimakan
dan diminum dan pasien akan muntah setiap kali diberi makan dan minum, muntah
tidak dipengaruhi posisi dari berbaring ke duduk.
-
Keluhan tidak disertai demam, batuk,
pilek, kejang, sesak napas.
Diagnosis
Diagnosis pasien
berupa Diare akut dengan dehidrasi ringan-sedang e.c. virus.
Terapi
psikofarmaka
Infuse cairan KAEN
3A tetesan 20 tetes/menit, zinc Sulfat sirup 20mg/5ml diberikan sekali sehari
selama 10 hari, ibuprofen sirup 100mg/5ml diberikan 3 kali sehari , oralit
diberikan 100cc (setengah gelas) setiap kali BAB cair, dan edukasi orangtua
pasien
b.
Objektif
FISIK
|
||
Tampak
sakit sedang, kesadaran compos mentis, suhu 36,8°C, Nadi 140x/m, RR 30x/m.
Mata terlihat cekung, turgor kulit kembali lambat, bising usus positif
meningkat.
|
||
PEMERIKSAAN PENUNJANG
|
||
Parameter
|
Nilai Uji
|
Nilai Rujukan
|
Hb
|
10,5
gr/dl
|
13,5-17,5
|
leukosit
|
6500/ul
|
4000-11300
|
hitung
jenis eosinofil
|
0/ul
|
1-6
|
basofil
|
0/ul
|
0-1
|
batang
|
0/ul
|
3-5
|
segmen
|
46/ul
|
40-70
|
monosit
|
47/ul
|
2-10
|
limfosit
|
7/ul
|
30-45
|
PEMERIKSAAN
FESES
|
||
lender
|
+
|
-
|
darah
|
-
|
-
|
telur
cacing
|
-
|
-
|
amoeba
|
-
|
-
|
sel
eritrosit
|
0-1
|
-
|
sel
leukosit
|
2-3
|
-
|
sel
epitel
|
+
|
-
|
c.
Assesment
-
Diagnosa pada pasien ini yaitu diare akut
dengan dehidrasi ringan-sedang e.c suspect virus. Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak
lebih dari tiga kali sehari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair
dengan atau tanpa lendir dan darah berlangsung kurang dari satu minggu. Buang
air besar (BAB) cair sebanyak 6 kali dalam sehari, setiap kali BAB cair.
-
Dari hasil pemeriksaan pendukung, diagnosa
diare ini disebabkan oleh virus, dimana tidak didapatkan gambaran infeksi
dengan hasil leukosit dalam batas normal yaitu 6500/ul dan dari pemeriksaan
feses lengkap sel leukosit normal, tidak didapatkan darah, telur cacing dan
amoeba.
-
Pasien mengalami diare ringan-sedang
karena dari pemeriksaan ditemukan mata cekung, dan turgor kulit kembali lambat.
Pasien diare ringan-sedang ditentukan bila terdapat dua tanda atau lebih gejala
yaitu, keadaan umum gelisah, rewel, mata cekung, bibir kering, rasa haus dan
ingin minum banyak, turgor kulit kembali lambat (Depkes RI, 2011). Dehidrasi
ringan sedang pada pasien ini didapatkan dari tanda seperti rewel, mata cekung,
turgor kulit kembali lambat.
-
Infuse
cairan KAEN 3A : untuk mengembalikan keseimbangan cairan dan
elektrolit tubuh.
zinc Sulfat sirup 20mg/5ml diberikan
sekali sehari selama 10 hari : Pemberian zinc rutin disamping terapi
rehidrasi membantu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi
frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan
kejadian diare pada 3 bulan berikutnya (Depkes RI, 2011).
Ibuprofen sirup 100mg/5ml diberikan 3 kali
sehari: untuk
nyeri
Oralit
diberikan 100cc (setengah gelas) setiap kali BAB cair :
Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk mengganti
cairan yang hilang (Depkes RI, 2011).
d.
Plan
dan penatalaksanaan
Prinsip
tatalaksana diare pada balita adalah dengan rehidrasi tetapi bukan satu-satunya
terapi melainkan untuk membantu memperbaiki kondisi usus serta mempercepat
penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak dari kekurangan gizi akibat
diare dan menjadi cara untuk mengobati diare.
Tujuan terapi :
·
mencegah/menanggulangi dehidrasi serta
gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa, kemungkinan terjadinya
intoleransi.
·
mengobati kausa dari diare yang spesifik.
·
mencegah dan menanggulangi gangguan gizi
serta mengobati penyakit penyerta.
·
Kurangi frekuensi buang air besar
·
Meningkatkan derajat kesehatan pasien
Prinsip
tatalaksana diare di Indonesia telah ditetapkan oleh
Kementerian Kesehatan yaitu Lima Langkah Tuntaskan Diare (Lintas Diare)
yaitu:
1. Rehidrasi
menggunakan oralit osmolaritas rendah,
2. Pemberian
Zinc selama 10 hari berturut-turut,
3. Teruskan
pemberian ASI dan makanan,
4. Antibiotic
selektif (Pada kasus ini pasien tidak mengalami infeksi bakteri).
5. Nasihat
kepada orangtua/pengasuh.
PENATALAKSANAAN
DIARE PASIEN
1.
Dehidrasi
ringan-sedang
Pada
dehidrasi ringan-sedang dapat diberikan secara oral dengan pemberian oralit
sebanyak 75ml/kg berat badan diberikan dalam 3 jam pertama di layanan
kesehatan, namun jika tidak tersedia dapat diganti dengan air tajin, kuah
sayur, sari buah, air teh, air matang (Depkes RI, 2011).
Dinilai
jika keadaan umum anak sudah membaik, anak mulai mengantuk dan tertidur, maka
rencana terapi dilanjutkan sesuai dengan terapi diare tanpa dehidrasi yaitu
dengan melanjutkan pemberian ASI, sari buah dan makanan.
2.
Pemberian
Zinc
Defisiensi zinc terjadi pada anak yang
mengalami diare. Dosis rekomendasi untuk anak yang menderita diare adalah 20 mg
zinc per hari selama 10 hari.
- Umur
> 6 bulan : 1 tablet ( 20 mg) per hari selama 10 hari. Pada kasus diberikan
sediaan sirup 20mg/5ml diberikan sekali sehari. Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti
(Depkes RI, 2011).
3.
Teruskan
pemberian ASI dan makanan
Anak yang menderita diare tetap diberikan
makanan dan ASI untuk memberikan nutrisi dan mencegah penurunan berat badan.
ASI bukan penyebab diare. ASI justru dapat mencegah diare. Bayi dibawah 6 bulan
sebaiknya hanya mendapat ASI untuk mencegah diare dan meningkatkan sistem
imunitas tubuh bayi.
Setelah diare berhenti, pemberian makanan
ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan.
4.
Pemberian
nasihat kepada orangtua/pengasuh anak
Hal ini untuk
mencegah diare berulang. Orang tua/pengasuh diberi pemahaman bagaimana
pengobatan diare di rumah :
a) Cara
memberikan cairan dan obat di rumah (pemberian oralit, zinc dan obat lainnya),
serta menjaga kebersihan anak dan lingkungan.
b) Kapan
harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :
Ø Diare
lebih sering
Ø Muntah
berulang
Ø Sangat
haus
Ø Makan/minum
sedikit
Ø Timbul
demam
Ø Tinja
berdarah
Ø Tidak
membaik dalam 3 hari
(Depkes RI, 2011).
5.
Infuse
cairan KAEN 3A : untuk mengembalikan keseimbangan cairan dan
elektrolit tubuh.
6.
Ibuprofen
sirup 100mg/5ml diberikan 3 kali sehari: untuk nyeri.
Saran terapi :
Selain
terapi anjuran dari Lintas Diare, pasien diare dapat juga diberikan terapi
tambahan probiotik dan terapi simtomatik seperti antipiretik. Lacto B sebagai
probiotik diberi batas sebagai mikroorganisme hidup dalam makanan yang
difermentasi yang menunjang kesehatan melalui terciptanya keseimbangan
mikroflora intestinal yang lebih baik. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan
pemberian probiotik dalam waktu yang panjang terutama untuk bayi yang tidak
minum ASI.
E.
Praktek
pelayanan swamedikasi
·
Kapan harus dilakukan swamedikasi?
Obat kaolin,
attapulgit, pektin dapat dikonsumsi 1 tablet setiap buang air besar dengan
konsumsi maksimum 12 tablet per hari untuk orang dewasa atau maksimum 6 tablet
per hari untuk anak 6-12 tahun. Obat tersebut tidak boleh dikonsumsi jika
seseorang diare dengan disertai demam, perlu terhindar dari kondisi
konstipasi/sembelit, memiliki obstruksi usus, dan atau alergi terhadap obat
tersebut4. Adapun tablet norit 250 mg dikonsumsi 3-4 tablet tiga
kali dalam sehari atau setiap 8 jam
·
Berapa lama durasi dalam swamedikasi?
Obat kaolin,
attapulgit, pektin seperti yang telah dijelaskan diatas hanya boleh dikonsumsi
selama dua hari. Jika setelah dua hari diare belum membaik maka sebaiknya
swamedikasi diare dihentikan dan dilakukan konsultasi dengan dokter terlebih
dahulu untuk pemeriksaan lebih lanjut
·
Apa saja efek samping yang perlu
diperhatikan dalam swamedikasi?
Obat swamedikasi
diare seperti kaolin, attapulgit, pektin
dapat menyebabkan konstipasi atau sembelit dan menghambat absorbsi zat makanan
lain
·
Upaya apa saja untuk pencegahan
selanjutnya?
Ø Cucilah
tangan dengan baik setiap habis buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan
Ø Tutuplah
makanan untuk mencegah kontaminasi dari lalat, kecoa dan tikus
Ø Simpanlah
secara terpisah makanan mentah dan yang matang, simpanlah sisa makanan di dalam
kulkas
Ø Gunakan
air bersih untuk memasak, air minum harus direbus terlebih dahulu
Ø Buang
air besar pada jamban dan menjaga kebersihan lingkungan
KONSTIPASI
KASUS
Seorang
Ibu hamil 7 bulan datang ke apotek dan meminta obat untuk mengobati konstipasi
yang telah dialaminya selama 4 hari. Untuk mengatasi konstipasi ia telah
mencoba mengkonsumsi buah-buahan namun konstipasinya belum dapat diatasi. Ia
mulai merasa tidak nyaman karena konstipasinya, apakah rekomendasi swamedikasi
yang tepat untuk ibu ini?
PATOFISIOLOGI
Berdasarkan
patofiologinya konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi konstipasi akibat
kelainan structural dan konstipasi fungsional. Konstipasi akibat kelainan
structural terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja, sedangkan konstipasi
fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau anorektal (Faigel,
2002).
Pada kasus diatas
pasien mengalami konstipasi karena kehamilannya. Pada wanita hamil konstipasi
yang terjadi umumnya adalah konstipasi fungsional, dimana ada beberapa faktor
yang berperan sebagai faktor resiko terjadinya konstipasi, seperti faktor
hormonal, perubahan diet, pertumbuhan janin dan aktifitas fisik, posisi saat
defekasi juga menjadi faktor resiko timbulnya konstipasi (Longo, 2010).
Saat keadaan
hamil, terjadi perubahan hormonal yang drastis yakni peningkatan hormone
progesteron. Progesteron menyebabkan relaksasi otot-otot untuk tempat janin
berkembang. Proses relaksasi ini juga terjadi pada otot usus sehingga dapat
menurunkan motilitas usus yang pada akhirnya menyebabkan konstipasi. Selain
itu, selama kehamilan tubuh akan menahan cairan termasuk dengan mengabsorpsi
cairan di usus sehingga isi usus cenderung kering dan keras sehingga menimbulkan
konstipasi (Ojjeh, 2012).
Penatalaksanaan
konstipasi menurut Persatuan Gastroenterologi Indonesia tahun 2010
1.
Penderita konstipasi perlu mendapatkan
terapi komprehensif untuk sedapat mungkin mengembalikan fungsi defekasi yang
fisiologis termasuk mempertimbangkan penyebab dari konstipasi.
2.
Pada pasien konstipasi kronik yang tidak
menunjukkan tanda alarm, usia <40 tahun, tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan colok dubur dan diduga tidak ada konstipasi sekunder, terapi
empirik dapat dimulai.
3.
Terapi empirik terdiri dari terapi non
farmakologis dan terapi farmakologis.
a.
Terapi non-farmakologis (modifikasi gaya hidup):
• Edukasi mengenai
konstipasi
• Meningkatkan
konsumsi makanan berserat dan minum air yang cukup (minimal 30-50 cc/kgBB/hari
untuk orang dewasa sehat dengan aktivitas normal)
• Mengkonsumsi
probiotik (strain Bifidobacterium sp. seperti Bifidobacterium animalis lactis
DN-173 010)
• Meningkatkan
aktivitas fisik
• Mengatur
kebiasaan defekasi:
• Menghindari mengejan
• Membiasakan buang air besar setelah makan
(melatih refleks post-prandial bowel movement) atau waktu yang dianggap
sesuai dan cukup.
• Menghindari obat-obatan yang dapat
menyebabkan konstipasi.
b. Terapi farmakologis
A. Laksatif
1. Bulk
laxative: psyllium, plantago ovata, methyl cellulose
2. Osmotic
laxative:
a. saline laxative: magnesium hidroksida,
sodium fosfat
b. disakarida yang tak diserap: laktulosa
c. sugar alcohol: sorbitol, manitol
d. polyethylen glycol (PEG)
3. Stimulant
laxative: bisacodyl, castor oil, sodium picosulfat, stool
softener (dioctyl sodium sulfosuccinate).
4. Rektal
enema/suppositoria: bisacodyl, fosfat enema
B. Non Laksatif
1. Prokinetik
Berikut adalah
dosis yang digunakan untuk pengobatan konstipasi
(PGI,
2010)
PENYELESAIAN KASUS
Metode SOAP
|
Keterangan
|
Subjektif
|
Wanita hamil 7 bulan
|
Objektif
|
4 hari konstipasi, telah melakukan
terapi non-farmakologi (konsumsi buah) namun belum dapat diatasi.
|
Assesment
|
Memilih obat yang tidak berbahaya
digunakan pada kehamilan
|
Plan
|
Merekomendasikan obat laksatif golongan bulking agents dianggap cukup aman
karena tidak diabsorpsi. Obat yang dapat diberikan kepada pasien yaitu Psyllium/Ispaghula, menrut FDA obat ini termasuk golongan B untuk kehamilan. Physillum diminum 1 sendok teh dalam
240 ml 1-3 kali sehari.
|
Pemberian Informasi Obat
Nama Obat/Kekuatan
|
Isphagula sekam, sediaan serbuk/ 6,4-10
gram/hari
|
Indikasi dan aturan pakai
|
Konstipasi/ 1 sachet sehari dibagi
menjadi 1-3 kali sehari
|
Cara menggunakan
|
1 sendok teh ispaghula sekam dilarutkan
dalam segelas air diminum sehari 1-3 kali dapat diminum sebelum atau sesudah
makan.
Obat ini mengembang bila kontak dengan
air, maka harus hati-hati waktu menelan dengan air dan tidak boleh diberikan
segera sebelum tidur
|
Mekanisme kerja
|
Bekerja sebagai pencahar pembentuk massa
feses meringankan konstipasi dengan menigkatkan massa feses yang merangsang
peristaltik.
|
Berapa lama obat harus digunakan
|
Efek obat baru terlihat dalam 2-3 hari
|
Efek samping
|
Perut kembung, penengangan perut,
obstruksi saluran cerna, hipersensitivitas
|
Cara penyimpanan
|
Disimpan di suhu ruang 27º C, terlindung
dari paparan cahaya, tempat kering dan sejuk.
|
Interaksi antar obat dan makanan
|
Tidak ada
|
Kontraindikasi
|
Kesulitan menelan, obstruksi usus, atoni
kolon
|
Peringatan
|
Asupan cairan yang cukup harus
dipertahankan guna menghindari obstruksi usus.
|
(Pionas,
2015)
Mual dan Muntah
A.
Definisi
Mual
adalah keinginan untuk muntah atau gejala yang dirasakan di tenggorokan dan di
daerah sekitar lambung, yang menandakan bahwa ia akan muntah. Mual sering
disertai dengan peningkatan aktivitas sistem saraf parasimpatis termasuk
diaphoresis, air liur, bradikardia, pucat dan penurunan tingkat
pernapasan.Sedangkan muntah merupakan pengeluaran isi lambung melalui mulut
yang membutuhkan dorongan kuat (Sukandar, et al, 2008; Dipiro, 2015).
B.
Patofisiologi
Tiga fase
berturut-turut emesis termasuk mual, retching, dan muntah. Mual, kebutuhan
untuk muntah yang mendesak, berhubungan dengan stasis lambung dan dapat
dianggap sebagai gejala terpisah dan tunggal. Retching adalah gerakan otot
perut dan toraks yang bekerja sebelum muntah. Fase akhir emesis adalah muntah,
pengusiran paksa isi lambung yang disebabkan oleh retroperistalsis GI. Muntah
membutuhkan kontraksi terkoordinasi otot perut, pilorus, dan antrum, kardia
lambung yang meningkat, tekanan sfingter esofagus bawah yang berkurang, dan
dilatasi esofagus. Muntah tidak bisa disamakan dengan regurgitasi, suatu
tindakan di mana lambung atau esofagus isinya naik ke faring karena perbedaan
tekanan yang disebabkan oleh sfingter esofagus bawah yang tidak kompeten.
Gejala otonom yang menyertai adalah pucat, takikardia, serta perasaan tidak
enak (Dipiro, 2015).
C.
Penyebab
Mual dan muntah
biasanya merupakan gejala yang bisa disebabkan oleh banyak hal. Kondisi ini
adalah cara tubuh untuk membuang materi yang mungkin berbahaya dari dalam
tubuh. Obat-obatan tertentu seperti kemoterapi untuk kanker dan agen anestesi
sering menyebabkan mual muntah. (Porter,
2008).
Penyakit
gastroenteritis adalah penyebab paling umum yang mengakibatkan terjadinya mual
dan muntah. Gastroenteritis adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau
virus di perut. Selain menyebabkan mual dan muntah, gastroenteritis biasanya
juga menyebabkan diare (Porter, 2008).
D.
Terapi
Tujuan keseluruhan
dari terapi antiemetika adalah untuk mencegah atau menghilangkan mual dan
muntah; dan seharusnya tanpa timbulnya efek samping atau efek yang tidak
dikehendaki secara klinis (Sukandar, et al, 2008).
Obat antiemetik
bebas dan dengan resep paling umum direkomendasikan untuk mengobati mual
muntah. Untuk pasien yang bisa mematuhi pemberian dosis oral, obat yang sesuai
dan efektif dapat dipilih tetapi karena beberapa pasien tidak dapat menggunakan
obat oral atau obat oral tidak sesuai. Pada pasien tersebut disarankan
penggunaan obat secara rektal atau parenteral. Untuk sebagian besar kondisi
dianjurkan antiemetik tunggal, tetapi bila pasien tidak memberikan respon dan
pada pasien yang mendapatkan kemoterapi emetonik kuat, biasanya dibutuhkan
regimen multi obat (Sukandar, et al, 2008).
Terapi Non Farmakologi
Manajemen non farmakologi dari mual dan muntah melibatkan
diet, fisik, atau strategi psikologis yang konsisten dengan etiologi mual dan
muntah.
Untuk pasien yang menderita karena konsumsi makanan atau
minuman yang berlebihan atau tidak menyenangkan, sebaiknya menghindari atau
mengatur asupan makanan yang dapat mengarah pada gejala. Intervensi
nonfarmakologis diklasifikasikan sebagai intervensi perilaku, termasuk relaksasi, biofeedback, hipnosis, gangguan
kognitif, optimisme, guided imagery,
akupunktur, yoga, dan desensitisasi sistematis (Dipiro et.al, 2017).
Terapi Farmakologi
Obat
|
Dosis dewasa
|
Rute Pemberian
|
Reaksi obat merugikan
|
Parameter Monitoring
|
Keterangan
|
Antasida
|
|||||
Antasida
|
15-30 ml setiap 2-4 jam jika perlu
|
Liquid/oral (OTC)
|
Magnesium, aluminium, kalsium
|
Nilailah untuk meredakan gejala
|
Untuk mual / muntah sederhana
|
Agen
Antihistamin-Antikolinergik
|
|||||
Dimenhidrat (Dramamine)
|
50-100 mg setiap 4-6 jam prn
25-50 mg
setiap 4-6
jam prn
|
Tablet, tablet kunyah, kapsul
(OTC)
Tab, cap,
Liquid
|
Kantuk,
kebingungan,
mulut kering,
urinary retention
|
Assess for episodic
relief of motion sickness or nausea/vomiting
|
|
Diphenhydramine (Benadryl)
|
10-50 mg
setiap 2-4
jam prn
|
IM, IV
(Rx/ OTC)
|
|||
Hydroxyzine (Vistaril,
Atarax)
|
25-100 mg
Setiap 4-6 jam prn
|
IM
(unlabel Rx use)
|
|||
Scopolamine (Transderm
Scop)
|
1.5 mg setiap
72 jam
300 mg 3-4 kali sehari
|
Transderma patch (Rx)
|
|||
Benzodiazepines
|
|||||
Alprazolam (Xanax)
|
0.5-2 mg 3x sehari untuk yang sebelumnya
kemoterapi
|
Tab
Rx (C-IV)
|
Pusing,
sedasi,
perubahan nafsu makan, gangguan memori
|
Assess for
episodes of ANV
|
Place in therapy:
ANV
|
Lorazepam (Ativan)
|
0,5-2 mg pada malam sebelum dan pagi hari
kemoterapi
|
Tab
Rx (C-IV)
|
|||
Butyrophenones
|
|||||
Haloperidol (Haldol)
|
1-5 mg setiap
12 jam prn
|
Tab, liquid,
IM, IV
Rx
|
Sedasi,
sembelit,
hipotensi
|
Amati
sedasi tambahan
terutama jika digunakan
dengan narkotika
analgesik
|
Place in therapy:
palliative care
|
Cannabinoids
|
|||||
Nabilone (Cesamet)
|
1-2 mg 2x1 hari
|
Cap
Rx (C-II)
|
Somnolence,
vertigo,
xerostomia
|
||
Corticosteroids
|
|||||
Dexamethasone
|
Untuk CINV dan PONV
|
Tab, IV
Rx
|
Insomnia, masalah pada GI
agitasi,
|
Nilai untuk keberhasilan
sebagai agen profilaksis
agen: period
mual / muntah
dan nilai hidrasi
|
agen tunggal atau
kombinasi
terapi untuk
profilaksis
CINV dan PONV
|
Histamine (H2) Antagonists
|
|||||
Cimetidine (Tagamet HB)
|
200 mg 2x1 hari
prn
|
Tab
OTC
|
Sakit kepala
|
Nilai pengurangan gejala
|
Untuk mulas dan
GERD
|
Ranitidine (Zantac 75)
|
75 mg 2x1 hari prn
|
Tab
OTC
|
Konstipasi,
diarrhea
|
||
5-Hydroxytryptamine-3 Receptor Antagonists
Digunakan untuk CINV
dan PONV
|
|||||
Miscellaneous Agents
|
|||||
Metoclopramide
(Reglan)
|
10 mg 4x1 hari
|
Tab
Rx
|
Lemas, sakit kepala, gangguan tidur
|
Nilai pengurangan gejala
|
Prokinetik
aktivitas yang bermanfaat pada
diabetes
gastroparesis
|
Phenothiazines
|
|||||
Chlorpromazine
(Thorazine)
|
10-25 mg tiap 4-6 jam prn
|
Tab, liquid
Rx
|
Sembelit,
pusing,
takikardia,
tardif
dyskinesia
|
Assess for
decrease in
episodes of
nausea/vomiting
|
Useful with
simple
nausea/vomiting
|
Substance P/Neurokinin 1 Receptor Antagonist
|
|||||
Aprepitant
|
Untuk CINV dan PONV
|
(Dipiro et.al, 2017)
Obat yang dapat
digunakan untuk mengatasi mual muntah adalah:
· Antasid
Tunggal atau
kombinasi. Mengatasi mual muntah melalui penetralan asam lambung.
Produk tunggal
atau kombinasi, terutama yang mengandung magnesium hidroksida, aluminium
hidroksida, dan / atau kalsium karbonat, dapat memberikan bantuan cepat,
terutama melalui netralisasi asam lambung. Agen ini paling efektif untuk pasien yang
memiliki gejala terkait refluks asam atau sakit maag dan harus digunakan dengan
hati-hati pada mereka yang mengalami penyakit ginjal akut atau kronis karena
risiko terakumulasi. Obat ini dapat
memperburuk keluhan GI lainnya yang menyertai mual dan muntah, seperti diare
atau konstipasi.
· Antihistamin
Untuk mengatasi
mual muntah digunakan dosis rendah.
Obat antiemetik
dari kategori antihistaminik-antikolinergik bekerja pada reseptor muskarinik dan
histamin di VC (vomiting center) dan sistem
vestibular yang menstimulasi mual dan muntah. Obat ini
sering dimulai sebagai perawatan diri untuk mencegah mual dan muntah yang
terkait dengan gangguan gerak seperti vertigo dan motion sickness.
· Benzodiazepin
Benzodiazepin
merupakan antiemetik yang relatif lemah dan obat ini digunakan
untuk ansiolitik pasien untuk mencegah kecemasan akibat mual dan muntah
antisipatif (ANV) yang umum pada pasien yang menerima kemoterapi.
Mengantisipasi muntah karena kemoterapi. Satu
dosis satu malam sebelum kemoterapi dan dosis ganda pada setiap kemoterapi.
· Histamine (H2) Antagonists
Histamin
antagonis bekerja dengan menurunkan produksi asam lambung dan
digunakan untuk mengelola mual dan muntah sederhana yang terkait dengan mulas
atau refluks gastroesofagus.
· Butyrophenones, Haloperidol dan droperidol
Obat ini bekerja untuk memblokir stimulasi dopaminergik dari CTZ (chemoreceptor trigger
zone), yang dapat mengurangi kejadian mual dan muntah.
· Fenotiazin
Untuk pasien mual
ringan yang mendapat kemoterapi ringan. Pemberian rektal lebih disarankan.
· Kortikosteroid
Mengatasi mual
muntah karena kemoterapi dan pasca operasi dengan sedikit problem.
· Antagonis
reseptor 5-Hydroxytryptamine-3
Obat ini memblokir
serotonin reseptor pada serabut saraf vagus di dinding usus.
· Metoklopramid
Membantu proses pengosongan
lambung dengan meningkatkan tonus sfingter sophagus.
Metoclopramide
bekerja dengan memblokir reseptor dopaminergik secara terpusat di CTZ. Ini juga
meningkatkan tonus sfingter esofagus bawah, membantu pengosongan lambung, dan
mempercepat transit melalui usus kecil, mungkin melalui pelepasan asetilkolin.
Aktivitas prokinetik metoclopramide membuatnya berguna pada pasien dengan mual
dan muntah yang terkait dengan gastroparesis diabetes.
· Selective
Serotonin Reseptor Inhibitor (SSRI)
· Chemotherapy
Induced Nausea – Vomiting (CINV)
(Dipiro et.al, 2017, Sukandar, et al, 2008).
Antiemetik pada Ibu hamil
Manajemen
awal NVP (nausea and vomiting of pregnancy) yaitu
perubahan pola makan dan / atau modifikasi gaya hidup, seperti makan lebih
kecil, lebih sering makan dan menghindari makanan atau bau yang memicu gejala.
Jahe juga telah terbukti bermanfaat dalam mengurangi mual.
Rekomendasi
pengobatan untuk manajemen NVP menurut American College of
Obstetricians and Gynecologists (ACOG) yaitu Pyridoxine, dengan atau tanpa
doxylamine direkomendasikan sebagai terapi lini pertama. U.S. Food and Drug Administration menyetujui formulasi delayed-release doxylamine dan
pyridoxine hydrochloride (Diclegis [R]) pada April 2013. Pasien dengan NVP
persisten atau yang menunjukkan tanda-tanda dehidrasi harus menerima
penggantian cairan IV dengan tiamin. Ondansetron, promethazine, dan
metoclopramide memiliki keefektifan yang sama untuk hiperemesis gravidarum,
meskipun ondansetron dapat ditoleransi lebih baik karena efek yang kurang
merugikan. Metoklopramid tidak boleh digunakan selama lebih dari 12 minggu
karena risiko tardive dyskinesia. Glukokortikoid dapat digunakan pada pasien
dengan NVP berat atau hiperemesis gravidarum, tetapi harus digunakan hanya
setelah 10 minggu kehamilan karena peningkatan risiko bibir sumbing (Dipiro et.al, 2017).
E.
Swamedikasi
Contoh kasus:
Ny. S adalah
seorang wanita 25 tahun yang sedang hamil datang ke apotek ingin membeli obat
untuk mengatasi mual dan muntah yang sedang ia alami. Ia merasa mual yang jarang
sejak 3 hari yang lalu. Namun kemarin ia merasa mual sepanjang hari dan muntah
sebanyak dua kali. Ia menduga bahwa mual dan muntah yang dirasakan disebabkan
karena kehamilannya.
Metode Swamedikasi
WWHAM
W
|
Who is the patient ?
|
Ny. S (25 tahun)
|
W
|
What are the symthoms ?
|
Mual dan muntah
|
H
|
How long have the symptoms been present ?
|
3 hari
|
A
|
Action taken ?
|
Banyak minum air putih
|
M
|
Medication being taken ?
|
Tidak ada
|
Obat yang
diberikan: Metoklopramid (dowa)
Nama obat
|
:
|
Metoklopramid
|
Indikasi
|
:
|
Mual dan muntah
|
Dosis
|
:
|
10 mg PO 4x1 [tidak
>80 mg per hari]
|
Pemberian Obat
|
:
|
30 menit sebelum
makan, dan sebelum tidur
|
Kontraindikasi
|
:
|
Hipersensitivitas
metoklopramid, riwayat epilepsi
|
Efek samping
|
:
|
Pusing, lelah, mengantuk
|
Interaksi
|
:
|
Lurasidon (kontraindikasi),
antipsikotik, agonis dopamine
|
Penyimpanan
|
:
|
Obat ini paling baik disimpan pada suhu
ruangan, jauhkan dari cahaya langsung dan tempat yang lembap.
|
(Medscape,
2018).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Murdani., dan Jeffri Gunawan.
2012. Dispepsia. Continuing Medical
Education CDK-197. 39(9).
Amin,
Lukman Zulkifli. 2015. Tatalaksana Diare Akut. CDK-230/ vol. 42: 7
Arif,
Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Medica
Aesculpalus
Departemen
Kesehatan RI. 2011. Buku Saku Lintas Diare. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
DiPiro
J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V.. 2015. Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit.. Inggris: McGraw-Hill Education Companies.
DiPiro
Joseph T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey. 2011.
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Eight Edition, p 621-627. New York
: McGraw Medical Hill.
DiPiro Joseph T., Robert L. Talbert, Gary C. Yee,
Gary R. Matzke, Barbara G. Wells, L. Michael Posey. 2017. Pharmacotherapy:
A Pathophysiologic Approach, Tenth Edition. US : McGraw-Hill
Education
Direktorat Jendral
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2007. Pedoman
Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Djojodingingrat
D. 2006. Dispepsia Fungsional. Dalam : Sudoyo AW., et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 354-6.
Faigel
DO. 2002. A clinical approach to constipation. Clin Cornerstone; 4: 11-21.
Longo SA, Moore RC, Canzoneri BJ,
Robichaux A. 2010. Gastrointestinal conditions during pregnancy. Clin Colon
Rectal Surg; 23(2): 80-9.
Medscape. 2018. Metoclopramide. Available
online at: https://reference.
medscape.com/drug/reglan-metozolv-odt-metoclopramide-342051#91
MIMS
Indonesia. Petunjuk Konsultasi untuk Kalangan Medis Edisi 11 2011/2012.
Notoatmodjo,
S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat
Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta
Ojieh AE. 2012. Constipation in pregnancy
and the effect of vegetable consumption in different socio-economic class in
Warri, Delta state. Journal of Medical and Applied Biosciences; 4: 1-6.
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia
(PGI). 2010. Konsensus Nasional Penatalakasanaan Konstipasi di Indonesia.
Jakarta: PGI
Pionas. 2015. Ispaghula Sekam. Available
at http://pionas.pom.go.id/monografi/ispaghula-sekam
[diakses 13 Oktober 2018].
Porter, R.S. 2008.
The Merck Manual of Patient Symptoms. USA: Merck Research Laboratories.
Setiawan B. 2006. Diare akut karena
infeksi. Dalam: Sudoyo A, Setyohadi B. Alwi I dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 3. Edisi IV. Jakarta. Departemen IPD FK UI
Sukandar, E. Y.,
Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. P. & Kusnandar.
2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta:
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
Syam, Ari F., et al. 2017. National Concensus on Management of Dyspepsia and
Helicobacter pylori Infection. Indones J
Intern Med. 49(3).
Tan, H.T., Rahardja, K. 2010. Obat-obatan Sederhana Untuk Gangguan
Sehari-hari. Jakarta: Gramedia
Yusrizal. 2015. Gambaran Penggunaan Obat
Dalam Upaya Swamedikasi Pada Pengunjung Apotek Pandan Kecamatan Jati Agung
Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal
Analisis Kesehatan. 4(2)
0 komentar:
Posting Komentar