Sabtu, 25 Mei 2019

MAKALAH Swamedikasi Saluran Pencernaan



MAKALAH PELAYANAN KEFARMASIAN
SEMESTER GANJIL TAHUN 2018/2019

Swamedikasi Saluran Pencernaan



PROGRAM PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018

SWAMEDIKASI

Swamedikasi merupakan upaya yang dilakukan untuk mengobati diri sendiri. Swamedikasi dapat pula dikatakan sebagai salah satu upaya yang sering dilakukan untuk mengobati gejala atau penyakit tanpa melakukan konsultasi terlebih dahulu kepada dokter. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan – keluhan penyakit ringan yang banyak dialami oleh masyarakat, seperti pusing, batuk, diare, demam, influenza, penyakit kulit, dan lain-lain. Dasar hukum swamedikasi adalah peraturan Menteri Kesehatan No. 919 Menkes/Per/X/1993 (Tan dan Rahardja, 2010).

Perilaku swamedikasi dibentuk melalui suatu proses dan berlangsung dari interaksi manusia dengan lingkungan. Terdapat 2 faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa kecerdasan, pengetahuan, persepsi, motivasi yang dilakukan untuk mengolah rangsangan dari luar. Sedangkan faktor eksternal berupa lingkungan baik fisik maupun non fisik contohnya iklim, kebudayaan, manusia, social-ekonomi (Yusrizal, 2015; Notoatmodjo, 2003).

Penggunaan obat yang tepat dipengaruhi oleh penggunaan obat yang sesuai dengan kondisi pasien serta aturan pakainya. Swamedikasi terbagi menjadi 4 kriteria yaitu tepat golongan obat yaitu menggunakan obat golongan bebas dan obat bebas terbatas, tepat kelas terapi obat yaitu menggunakan obat yang termasuk ke dalam golongan obat yang sesuai pada keluhan pasien, tepat dosis obat yaitu pasien menggunakan obat seusai dengan umur seperti dosis sekali dan sehari pakainya, dan tepat lama penggunaan obat yaitu jika penyakit tersebut masih berlanjut maka segera berkonsultasikan dengan dokter (Binfar, 2007).

Faktor penyebab terjadinya swamedikasi menurut WHO adalah:
1.           Faktor social ekonomi

Seiring dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat dan berdampak pada semakin tingginya tingkat pendidikan serta semakin mudahnya akses dalam memperoleh informasi sehingga membuat tingkat ketertarikan masyarakat terhadap kesehatan meningkat.
2.           Gaya hidup

Kesadaran terkait gaya hidup yang tidak sehat yang berpengaruh terhadap kesehatan, menyebabkan masyarakat menjadi lebih memiliki kepedulian untuk menjaga kesehatannya dibandingkan dengan mengobati sakit diwaktu mendatang.

3.           Kemudahan memperoleh produk obat

Pada dimasa sekarang, banyak masyarakat yang lebih memilih kenyamanan pada saat memperoleh obat dimanapun dibandingkan dengan mengantri lama seperti di klinik maupun rumah sakit.

4.           Faktor kesehatan lingkungan

Semakin banyaknya praktik dalam memilih nutrisi yang tepat, mengelola sanitasi yang baik, serta lingkungan rumah yang sehat maka semakin banyak masyarakat yang mampu untuk menjaga dan mempertahankan kesehatan, serta mencegah terkena penyakit.

5.           Ketersediaan produk baru

Semakin banyaknya produk baru serta produk lama yang sesuai untuk swamedikasi serta memiliki indeks keamanan yang baik maka semakin banyak pula pilihan produk obat yang tersedia untuk swamedikasi.


DISPEPSIA

A.           Definisi

Dispepsia didefinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di daerah perut bagian atas. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit yang mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai penyakit maag.

Dispepsia terbagi atas dua sub klasifikasi, yakni dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik adalah apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya ada ulkus peptikum. Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun. Sedangkan dispepsia fungsional adalah apabila penyebab dispepsia tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukannya adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik.

B.            Patofisiologi

1.        Sekresi Asam Lambung

Konsentrasi asam dalam getah lambung sangat pekat sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang merupakan faktor pelindung lambung. Kasus dengan dispepsia fungsional diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.

2.      Helicobacter pylori

Korelasi antara infeksi Hp dan gangguan motilitas tidak konsisten; namun,
pemberantasan Hp meningkatkan gejala dispepsia fungsional.
Marker biologi seperti ghrelin dan leptin serta ekspresi yang berubah mikroRNA spesifik-otot berkorelasi dengan proses patofisiologi fungsional dispepsia, yang masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.

3.      Dismotilitas Gastrointestinal

Dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum, gangguan akomodasi lambung saat makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah atau dua pertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung kasus dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati.

4.    Disfungsi Autonom

Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan  relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.

5.      Hipersensitivitas Viseral

Hipersensitivitas viseral memiliki peran penting dalam patofisiologi dispepsia fungsional, khususnya dalam meningkatkan sensitivitas saraf sensorik perifer dan pusat terhadap rangsangan reseptor kimia dan intraluminal bagian proksimal dari perut. Hal tersebut bisa menyebabkan atau memperberat gejala dispepsia.

6.    Diet

Faktor makanan dapat menjadi penyebab potensial dari gejala dispepsia fungsional. Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah pola makan karena adanya intoleransi terhadap beberapa makanan khususnya makanan berlemak yang telah dikaitkan dengan dispepsia.

7.    Psikologis

Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian stimulus berupa stres.


C.           Penatalaksanaan Terapi

American College of Gastroenterology Guidelines for the Management of Dyspepsia (2005), mengemukakan pentingnya mendeteksi tanda-tanda bahaya (alarming features) pada pasien dengan keluhan dispepsia. Apabila didapatkan tanda-tanda bahaya (seperti gejala dispepsia yang baru muncul pada usia lebih dari 55 tahun, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, anoreksia, rasa cepat kenyang, muntah, disfagia progresif, odinofagia, perdarahan, anemia, ikterus, massa abdomen, pembesaran kelenjar limfe, riwayat keluarga dengan kanker saluran cerna atas, ulkus peptikum, pembedahan lambung, dan keganasan), tindakan esofagogastroduodenoskopi untuk keperluan diagnostik sangat dianjurkan. Namun, bila tidak didapatkan kondisi di atas, terdapat 2 tindakan yang dapat dilakukan:

(1) Test-and-treat: untuk mendeteksi ada tidaknya infeksi Helicobacter pylori dengan uji noninvasif yang tervalidasi disertai pemberian obat penekan asam bila eradikasi berhasil, tetapi gejala masih tetap ada

(2) Pengobatan empiris menggunakan proton-pump inhibitor (PPI) untuk 4-8 minggu.


1.        Dispepsia Tidak Terinvertigasi

Strategi manajemen optimal untuk fase ini adalah dengan memberikan terapi empiris untuk 1-4 minggu sebelum menerima hasil awal, yaitu pemeriksaan yang mengevaluasi bukti kehadiran Helicobacter pylori. Obat-obatan yang dapat digunakan adalah antasida, agen antisecretory asam lambung (PPI seperti omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan / atau H2-Receptor Antagonist [H2RA]), prokinetics dan sitoprotektor (seperti rebamipide), dalam pemilihan rejimen didasarkan pada gejala yang dominan dan pengobatan sebelumnya.

Ada pengembangan obat baru yang sedang berlangsung yang bekerja pada pompa proton down-regulation yang telah diharapkan memiliki mekanisme yang lebih baik dari PPI, yaitu DLBS. Terkait dengan tingginya prevalensi
infeksi
Helicobacter pylori, test-and-treat diterapkan untuk pasien dengan gejala dispepsia tanpa tanda apapun. Strategi test-and-treat dilakukan untuk:

• Pasien dispepsia tanpa komplikasi apa pun, yang tidak menanggapi perubahan gaya hidup, 2-4 minggu perawatan menggunakan PPI tunggal dan tanpa tanda-tanda.

  Pasien dengan riwayat lambung atau duodenum ulkus, tetapi belum pernah diteliti.

 Pasien yang akan menerima NSAID, khususnya mereka dengan riwayat ulkus gastroduodenal.

• Pasien dengan defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan anemia, trombositopen idiopatik purpura dan defisiensi vitamin B12.

Test-and-treat tidak dilakukan pada :

  Pasien dengan penyakit gastroesophageal refluk (GERD).

  Anak-anak dengan dispepsia fungsional.




2.        Dispepsia Organik

Ketika lesi dari mukosa (kerusakan mukosa) ditemukan, yang konisten dengan temuan endoskopi. Terapi diberikan berdasarkan pada kelainan yang telah ditemkan. Kelainan yang telah dimasukkan kedalam kelompok dispepsia organik adalah gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus lambung, ulkus duodenum. Pada ulkus peptikum (tukak lambung atau duodenum), obat yang bisa diberikan adalah kombinasi PPI seperti rabeprazole 2x10 mg atau lanzoprazole 2x30 mg dan mukoprotektor seperti rebamipide 3x100 mg.



3.        Dispepsia Fungsional

Ketika tidak ada kerusakan mukosa. Penggunaan prokinetik seperti metoclopramide, domperidone, cisapride, itopride, dapat memperbaiki gejala pada pasien dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan lambatnya pengosogan lambung sebagai salah satu patofisologi pada dipepsia fungsional.

4.        Terapi Non Farmakologi

·         Modifikasi gaya hidup dan menghindari obat penyebab ulcer (aspirin & NSAIDs lain, bisphosphonat oral, KCL, pengobatan imunosupresan)

·         Menghindari stress

·         Stop merokok dan alcohol

·         Stop kafein (stimulant asam lambung)

·         Menghindari makan dan minuman bersoda

·         Menghindari makan malam.

D.         Contoh Kasus dan Penatalaksanaannya

Seorang pasien wanita berinisial nn S datang ke IGD dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 1 hari SMRS. Nyeri ulu hati dirasakan seperti terbakar. Nyeri dirasakan menatap dan kadang berulang. Setelah makan, perut terasa kembung dan rasa penuh, dan merasa cepat kenyang. Beberapa hari sebelum masuk RS, nn S mengatakan makan rujak pedas. Keluhan disertai mual, muntah setiap habis makan. Muntah sebanyak 4-5x/hari. Pasien juga mengeluh lemas, dan sejak sakit, nafsu makan menjadi menurun. Pasien sering makan tidak teratur. BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien juga telah mengeluhkan nyeri ulu hati yang hilang timbul selama kurang lebih 3 bulan. Ibu pasien juga memiliki keluhan sama yaitu nyeri ulu hati. Pasien nn. S berusia 17 tahun, tidak minum alkohol dan merokok, pasien juga memiliki kebiasaan makan yang asam dan pedas dan sering mengkonsumsi kopi kurang lebih 3x sehari.

1.      Analisis SOAP

a.      Subjek

Nn. S berusia 17 tahun. Keluhan mual, muntah dan kembung serta nafsu makan menurun.

·         Patien Medical History

Nyeri ulu hati kurang lebih selama 3 bulan

·         Social History

Tidak merokok

Tidak minum alcohol

·         Kesadaran

Kompos Mentis


b.      Objektif

Objektif
Hasil Lab
Nilai Normal
Tekanan Darah
110/80 mmHg
120/80 mmHg
Denyut Nadi
80x/Menit
60-100x
RR
20
12-30
Suhu
36,700C
36,5-37,5


c.       Assesment

·         Dispepsi fungsional

·         Intake sulit


d.      Plan

·         Rencana pemeriksaan : Lab, radiologi/USG, endoskopi

·         Rencana terapi : Obat golongan penekan asam lambung Obat golongan sitoprotektif Antibiotik

·         Rencana edukasi Dispepsia


e.       Pencegahan

Pola   makan   yang   normal   dan   teratur,   pilih   makanan   yang   seimbang   dengankebutuhan dan jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak mengkomsumsi makananyang berkadar asam tinggi, cabai, alkohol, dan pantang rokok, bila harus makan obatkarena sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala, gunakan obat secara wajar dan tidakmengganggu fungsi lambung.


DIARE

A.           Definisi

Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses tidak berbentuk (unformed stools) atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam. Bila diare berlangsung kurang dari 2 minggu, disebut sebagai diare akut. Apabila diare berlangsung 2 minggu atau lebih, digolongkan pada diare kronik. Feses dapat dengan atau tanpa lendir, darah, atau pus. Gejala penyerta dapat berupa mual, muntah, nyeri abdominal, mulas, tenesmus, demam, dan tanda-tanda dehidrasi.

   Penyebab diare dapat dikarenakan infeksi (virus, bakteri, protozoa, atau cacing) malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi dan sebab-sebab lainnya.  Penyebab  yang sering  ditemukan  di  lapangan  ataupun  secara  klinis adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan.

   Beberapa jenis virus penyebab diare akut antara lain Rotavirus serotype 1, 2, 8, dan 9 pada manusia, Norwalk virus, Astrovirus, Adenovirus (tipe 40, 41), Small bowel structured virus, Cytomegalovirus. Bakteri yang dapat menyebabkan diare antara lain Enterotoxigenic E. coli (ETEC), Enteropathogenic E. coli (EPEC), Enteroaggregative E. coli (EAggEC), Enteroinvasive E. coli (EIEC), Enterohemorrhagic E. coli (EHEC), Shigella spp., Campylobacter jejuni (Helicobacter jejuni), Vibrio cholerae 01, dan V. choleare 0139, Salmonella (non-thypoid). Protozoa yang dapat menyebabkan diare antara lain Giardia lamblia, Entamoeba histolytica, Cryptosporidium, Microsporidium spp., Isospora belli, Cyclospora cayatanensis. Spesies helminths contohnya adalah Strongyloides stercoralis, Schistosoma spp., Capilaria philippinensis, Trichuris trichuria (Amin 2015).

B.            Patofisiologi

Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi sebagai berikut: 1) Osmolaritas intraluminal yang meninggi, disebut diare osmotik; 2) sekresi cairan dan elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik; 3) malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak; 4) Defek sistem pertukaran anion atau transpot elektrolit aktif di enterosit; 5) Motilitas dan waktu transit usus abnormal; 6) gangguan permeabilitas usus; 7) Inflamasi dinding usus, disebut diare inflamatorik; 8) Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi.


C.           Penatalaksanaan terapi


                                                                                                     
(Dipiro. et al, 2011).

a)        Terapi simtomatik

     Oralit 
Oralit  tidak  menghentikan  diare,  tetapi  mengganti  cairan  tubuh  yang keluar  bersama  tinja.  Oralit adalah  campuran  gula,  garam  natrium dan kalium.  Jika tidak  tersedia oralit dapat dibuat larutan sendiri dengan mencampur  gula  1  sendok  teh  dan  garam  ¼  sendok  teh .

     Antimotilitas
Mengurangi transmisi sinyal saraf ke otot intestinal sehingga mengurangi kontraksi otot  dan membuat air memiliki lebih banyak waktu untu diserap dari residu makanan.

     Adsorbent
Terbuat dari partikel yang akan membesar sesudah menyerap cairan sehingga feses lebih padat dan kurang mngandung air. Selain menyerap air dan feses juga menyerap racun dan zat kimia penyebab diare.

     Antisekretori
Mekanisme kerja diduga melalui peningkatan absorpsi air dan elektrolit (antisekretori) dan juga sebagai penghambat sintesis prostaglandin sehingga terjadi efek antiinflamasi dan penurunan motilitas usus.



b)   Terapi Kausal
Diberikan setelah mengetahui penyebab diare yang pasti. Diare yang dikarenakan infeksi bakteri diberikan antibiotika jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan bakteri patogen.





KASUS

Diare akut pada balita

Seorang anak laki-laki inisial ZR usia 1 tahun 4 bulan dengan berat badan 8,5 kg, masuk dengan keluhan sejak lebih kurang 12 jam sebelum masuk rumah sakit Abdul Muluk, ibu pasien mengatakan anaknya buang air besar cair sebanyak 6 kali dalam sehari, setiap kali bab cair sebanyak setangah gelas ukuran 200 cc. BAB cair awalnya berwarna coklat dan sekarang kuning, konsistensi cair, tidak ada ampas, dan berbau busuk. Tidak tampak darah dan lendir pada tinja. Keluhan ini juga disertai dengan muntah kira-kira lebih dari 10 kali. muntah muncul tanpa diawali rasa mual. Jumlah setiap kali muntah sebanyak lebih kurang setengah gelas ukuran 200 cc berupa makanan dan minuman yang baru dimakan dan diminum dan pasien akan muntah setiap kali diberi makan dan minum, muntah tidak dipengaruhi posisi dari berbaring ke duduk. Keluhan tidak disertai demam, batuk, pilek, kejang, sesak napas.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, suhu 36,8°C, Nadi 140x/m, RR 30x/m. Mata terlihat cekung, turgor kulit kembali lambat, bising usus positif meningkat. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 10,5 gr/dl, leukosit 6500/ul, hitung jenis eosinofil 0/ul, basofil 0/ul, batang 0/ul, segmen 46/ul, monosit 47/ul, limfosit 7/ul, dari pemeriksaan feses didapatkan lender (+), darah (-), telur cacing (-), amoeba (-), sel eritrosit 0-1, sel leukosit 2-3, sel epitel (+).

Diagnosis pasien berupa Diare akut dengan dehidrasi ringan-sedang e.c. virus. Terapi psikofarmaka yaitu infuse cairan KAEN 3A tetesan 20 tetes/menit, zinc Sulfat sirup 20mg/5ml diberikan sekali sehari selama 10 hari, ibuprofen sirup 100mg/5ml diberikan 3 kali sehari , oralit diberikan 100cc (setengah gelas) setiap kali BAB cair, dan edukasi orangtua pasien.


PENYELESAIAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Seorang anak laki-laki inisial ZR usia 1 tahun 4 bulan dengan berat badan 8,5 kg.

ANALISIS SOAP

a.           Subjek

-          Buang air besar (BAB) cair sebanyak 6 kali dalam sehari, setiap kali BAB cair sebanyak setangah gelas ukuran 200 cc.

-          BAB cair awalnya berwarna coklat dan sekarang kuning, konsistensi cair, tidak ada ampas, dan berbau busuk. Tidak tampak darah dan lendir pada tinja.

-          Keluhan ini juga disertai dengan muntah kira-kira lebih dari 10 kali. muntah muncul tanpa diawali rasa mual.

-          Jumlah setiap kali muntah sebanyak lebih kurang setengah gelas ukuran 200 cc berupa makanan dan minuman yang baru dimakan dan diminum dan pasien akan muntah setiap kali diberi makan dan minum, muntah tidak dipengaruhi posisi dari berbaring ke duduk.

-          Keluhan tidak disertai demam, batuk, pilek, kejang, sesak napas.

Diagnosis

Diagnosis pasien berupa Diare akut dengan dehidrasi ringan-sedang e.c. virus.

Terapi psikofarmaka

Infuse cairan KAEN 3A tetesan 20 tetes/menit, zinc Sulfat sirup 20mg/5ml diberikan sekali sehari selama 10 hari, ibuprofen sirup 100mg/5ml diberikan 3 kali sehari , oralit diberikan 100cc (setengah gelas) setiap kali BAB cair, dan edukasi orangtua pasien

b.           Objektif

FISIK
Tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, suhu 36,8°C, Nadi 140x/m, RR 30x/m. Mata terlihat cekung, turgor kulit kembali lambat, bising usus positif meningkat.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Parameter
Nilai Uji
Nilai Rujukan
Hb
10,5 gr/dl
13,5-17,5
leukosit
6500/ul
4000-11300
hitung jenis eosinofil
0/ul
1-6
basofil
0/ul
0-1
batang
0/ul
3-5
segmen
46/ul
40-70
monosit
47/ul
2-10
limfosit
7/ul
30-45
PEMERIKSAAN FESES
lender
+
-
darah
-
-
telur cacing
-
-
amoeba
-
-
sel eritrosit
0-1
-
sel leukosit
2-3
-
sel epitel
+
-


c.            Assesment

-          Diagnosa pada pasien ini yaitu diare akut dengan dehidrasi ringan-sedang e.c suspect virus. Diare akut  adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari tiga kali sehari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah berlangsung kurang dari satu minggu. Buang air besar (BAB) cair sebanyak 6 kali dalam sehari, setiap kali BAB cair.

-          Dari hasil pemeriksaan pendukung, diagnosa diare ini disebabkan oleh virus, dimana tidak didapatkan gambaran infeksi dengan hasil leukosit dalam batas normal yaitu 6500/ul dan dari pemeriksaan feses lengkap sel leukosit normal, tidak didapatkan darah, telur cacing dan amoeba.

-          Pasien mengalami diare ringan-sedang karena dari pemeriksaan ditemukan mata cekung, dan turgor kulit kembali lambat. Pasien diare ringan-sedang ditentukan bila terdapat dua tanda atau lebih gejala yaitu, keadaan umum gelisah, rewel, mata cekung, bibir kering, rasa haus dan ingin minum banyak, turgor kulit kembali lambat (Depkes RI, 2011). Dehidrasi ringan sedang pada pasien ini didapatkan dari tanda seperti rewel, mata cekung, turgor kulit kembali lambat.

-          Infuse cairan KAEN 3A : untuk mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.

zinc Sulfat sirup 20mg/5ml diberikan sekali sehari selama 10 hari : Pemberian zinc rutin disamping terapi rehidrasi membantu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya (Depkes RI, 2011).

Ibuprofen sirup 100mg/5ml diberikan 3 kali sehari: untuk nyeri

Oralit diberikan 100cc (setengah gelas) setiap kali BAB cair : Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang (Depkes RI, 2011).

d.      Plan dan penatalaksanaan

Prinsip tatalaksana diare pada balita adalah dengan rehidrasi tetapi bukan satu-satunya terapi melainkan untuk membantu memperbaiki kondisi usus serta mempercepat penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak dari kekurangan gizi akibat diare dan menjadi cara untuk mengobati diare.

Tujuan terapi :

·              mencegah/menanggulangi dehidrasi serta gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa, kemungkinan terjadinya intoleransi.

·              mengobati kausa dari diare yang spesifik.

·              mencegah dan menanggulangi gangguan gizi serta mengobati penyakit penyerta.

·              Kurangi frekuensi buang air besar

·              Meningkatkan derajat kesehatan pasien

Prinsip tatalaksana diare di Indonesia telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan yaitu Lima Langkah Tuntaskan Diare (Lintas Diare) yaitu:

1.      Rehidrasi menggunakan oralit osmolaritas rendah,

2.      Pemberian Zinc selama 10 hari berturut-turut,

3.      Teruskan pemberian ASI dan makanan,

4.      Antibiotic selektif (Pada kasus ini pasien tidak mengalami infeksi bakteri).

5.      Nasihat kepada orangtua/pengasuh.


PENATALAKSANAAN DIARE PASIEN

1.             Dehidrasi ringan-sedang

Pada dehidrasi ringan-sedang dapat diberikan secara oral dengan pemberian oralit sebanyak 75ml/kg berat badan diberikan dalam 3 jam pertama di layanan kesehatan, namun jika tidak tersedia dapat diganti dengan air tajin, kuah sayur, sari buah, air teh, air matang (Depkes RI, 2011).

Dinilai jika keadaan umum anak sudah membaik, anak mulai mengantuk dan tertidur, maka rencana terapi dilanjutkan sesuai dengan terapi diare tanpa dehidrasi yaitu dengan melanjutkan pemberian ASI, sari buah dan makanan.

2.           Pemberian Zinc

   Defisiensi zinc terjadi pada anak yang mengalami diare. Dosis rekomendasi untuk anak yang menderita diare adalah 20 mg zinc per hari selama 10 hari.

-       Umur > 6 bulan : 1 tablet ( 20 mg) per hari selama 10 hari. Pada kasus diberikan sediaan sirup 20mg/5ml diberikan sekali sehari. Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti (Depkes RI, 2011).


3.           Teruskan pemberian ASI dan makanan

   Anak yang menderita diare tetap diberikan makanan dan ASI untuk memberikan nutrisi dan mencegah penurunan berat badan. ASI bukan penyebab diare. ASI justru dapat mencegah diare. Bayi dibawah 6 bulan sebaiknya hanya mendapat ASI untuk mencegah diare dan meningkatkan sistem imunitas tubuh bayi.

   Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan.


4.           Pemberian nasihat kepada orangtua/pengasuh anak

Hal ini untuk mencegah diare berulang. Orang tua/pengasuh diberi pemahaman bagaimana pengobatan diare di rumah :

a)      Cara memberikan cairan dan obat di rumah (pemberian oralit, zinc dan obat lainnya), serta menjaga kebersihan anak dan lingkungan.

b)      Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :

Ø  Diare lebih sering

Ø  Muntah berulang

Ø  Sangat haus

Ø  Makan/minum sedikit

Ø  Timbul demam

Ø  Tinja berdarah

Ø  Tidak membaik dalam 3 hari           

(Depkes RI, 2011).


5.           Infuse cairan KAEN 3A : untuk mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.


6.           Ibuprofen sirup 100mg/5ml diberikan 3 kali sehari: untuk nyeri.

Saran terapi :

Selain terapi anjuran dari Lintas Diare, pasien diare dapat juga diberikan terapi tambahan probiotik dan terapi simtomatik seperti antipiretik. Lacto B sebagai probiotik diberi batas sebagai mikroorganisme hidup dalam makanan yang difermentasi yang menunjang kesehatan melalui terciptanya keseimbangan mikroflora intestinal yang lebih baik. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan pemberian probiotik dalam waktu yang panjang terutama untuk bayi yang tidak minum ASI.

E.            Praktek pelayanan swamedikasi

·           Kapan harus dilakukan swamedikasi?
Obat kaolin, attapulgit, pektin dapat dikonsumsi 1 tablet setiap buang air besar dengan konsumsi maksimum 12 tablet per hari untuk orang dewasa atau maksimum 6 tablet per hari untuk anak 6-12 tahun. Obat tersebut tidak boleh dikonsumsi jika seseorang diare dengan disertai demam, perlu terhindar dari kondisi konstipasi/sembelit, memiliki obstruksi usus, dan atau alergi terhadap obat tersebut4. Adapun tablet norit 250 mg dikonsumsi 3-4 tablet tiga kali dalam sehari atau setiap 8 jam

·           Berapa lama durasi dalam swamedikasi?
Obat kaolin, attapulgit, pektin seperti yang telah dijelaskan diatas hanya boleh dikonsumsi selama dua hari. Jika setelah dua hari diare belum membaik maka sebaiknya swamedikasi diare dihentikan dan dilakukan konsultasi dengan dokter terlebih dahulu untuk pemeriksaan lebih lanjut

·           Apa saja efek samping yang perlu diperhatikan dalam swamedikasi?
Obat swamedikasi diare seperti  kaolin, attapulgit, pektin dapat menyebabkan konstipasi atau sembelit dan menghambat absorbsi zat makanan lain

·           Upaya apa saja untuk pencegahan selanjutnya?
Ø  Cucilah tangan dengan baik setiap habis buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan

Ø  Tutuplah makanan untuk mencegah kontaminasi dari lalat, kecoa dan tikus

Ø  Simpanlah secara terpisah makanan mentah dan yang matang, simpanlah sisa makanan di dalam kulkas

Ø  Gunakan air bersih untuk memasak, air minum harus direbus terlebih dahulu

Ø  Buang air besar pada jamban dan menjaga kebersihan lingkungan


KONSTIPASI

KASUS

Seorang Ibu hamil 7 bulan datang ke apotek dan meminta obat untuk mengobati konstipasi yang telah dialaminya selama 4 hari. Untuk mengatasi konstipasi ia telah mencoba mengkonsumsi buah-buahan namun konstipasinya belum dapat diatasi. Ia mulai merasa tidak nyaman karena konstipasinya, apakah rekomendasi swamedikasi yang tepat untuk ibu ini?

PATOFISIOLOGI

Berdasarkan patofiologinya konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi konstipasi akibat kelainan structural dan konstipasi fungsional. Konstipasi akibat kelainan structural terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja, sedangkan konstipasi fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau anorektal (Faigel, 2002).

Pada kasus diatas pasien mengalami konstipasi karena kehamilannya. Pada wanita hamil konstipasi yang terjadi umumnya adalah konstipasi fungsional, dimana ada beberapa faktor yang berperan sebagai faktor resiko terjadinya konstipasi, seperti faktor hormonal, perubahan diet, pertumbuhan janin dan aktifitas fisik, posisi saat defekasi juga menjadi faktor resiko timbulnya konstipasi (Longo, 2010).

Saat keadaan hamil, terjadi perubahan hormonal yang drastis yakni peningkatan hormone progesteron. Progesteron menyebabkan relaksasi otot-otot untuk tempat janin berkembang. Proses relaksasi ini juga terjadi pada otot usus sehingga dapat menurunkan motilitas usus yang pada akhirnya menyebabkan konstipasi. Selain itu, selama kehamilan tubuh akan menahan cairan termasuk dengan mengabsorpsi cairan di usus sehingga isi usus cenderung kering dan keras sehingga menimbulkan konstipasi (Ojjeh, 2012).

Penatalaksanaan konstipasi menurut Persatuan Gastroenterologi Indonesia tahun 2010

1.    Penderita konstipasi perlu mendapatkan terapi komprehensif untuk sedapat mungkin mengembalikan fungsi defekasi yang fisiologis termasuk mempertimbangkan penyebab dari konstipasi.

2.    Pada pasien konstipasi kronik yang tidak menunjukkan tanda alarm, usia <40 tahun, tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan colok dubur dan diduga tidak ada konstipasi sekunder, terapi empirik dapat dimulai.

3.    Terapi empirik terdiri dari terapi non farmakologis dan terapi farmakologis.

a. Terapi non-farmakologis (modifikasi gaya hidup):

• Edukasi mengenai konstipasi

• Meningkatkan konsumsi makanan berserat dan minum air yang cukup (minimal 30-50 cc/kgBB/hari untuk orang dewasa sehat dengan aktivitas normal)

• Mengkonsumsi probiotik (strain Bifidobacterium sp. seperti Bifidobacterium animalis lactis DN-173 010)

• Meningkatkan aktivitas fisik

• Mengatur kebiasaan defekasi:

 • Menghindari mengejan

 • Membiasakan buang air besar setelah makan (melatih refleks post-prandial bowel movement) atau waktu yang dianggap sesuai dan cukup.

  • Menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi.

b.  Terapi farmakologis

A. Laksatif

1. Bulk laxative: psyllium, plantago ovata, methyl cellulose

2. Osmotic laxative:

                        a.  saline laxative: magnesium hidroksida, sodium fosfat

b.  disakarida yang tak diserap: laktulosa

c.  sugar alcohol: sorbitol, manitol

d.  polyethylen glycol (PEG)

3. Stimulant laxative: bisacodyl, castor oil, sodium picosulfat, stool softener (dioctyl sodium sulfosuccinate).

4. Rektal enema/suppositoria: bisacodyl, fosfat enema

B. Non Laksatif

     1. Prokinetik

Berikut adalah dosis yang digunakan untuk pengobatan konstipasi



(PGI, 2010)


PENYELESAIAN KASUS

Metode SOAP
Keterangan
Subjektif
Wanita hamil 7 bulan
Objektif
4 hari konstipasi, telah melakukan terapi non-farmakologi (konsumsi buah) namun belum dapat diatasi.
Assesment
Memilih obat yang tidak berbahaya digunakan  pada kehamilan
Plan
Merekomendasikan obat laksatif golongan bulking agents dianggap cukup aman karena tidak diabsorpsi. Obat yang dapat diberikan kepada pasien yaitu Psyllium/Ispaghula, menrut FDA obat ini termasuk golongan B untuk kehamilan. Physillum diminum 1 sendok teh dalam 240 ml 1-3 kali sehari.



Pemberian Informasi Obat

Nama Obat/Kekuatan
Isphagula sekam, sediaan serbuk/ 6,4-10 gram/hari
Indikasi dan aturan pakai
Konstipasi/ 1 sachet sehari dibagi menjadi 1-3 kali sehari
Cara menggunakan
1 sendok teh ispaghula sekam dilarutkan dalam segelas air diminum sehari 1-3 kali dapat diminum sebelum atau sesudah makan.
Obat ini mengembang bila kontak dengan air, maka harus hati-hati waktu menelan dengan air dan tidak boleh diberikan segera sebelum tidur
Mekanisme kerja
Bekerja sebagai pencahar pembentuk massa feses meringankan konstipasi dengan menigkatkan massa feses yang merangsang peristaltik.
Berapa lama obat harus digunakan
Efek obat baru terlihat dalam 2-3 hari
Efek samping
Perut kembung, penengangan perut, obstruksi saluran cerna, hipersensitivitas
Cara penyimpanan
Disimpan di suhu ruang 27º C, terlindung dari paparan cahaya, tempat kering dan sejuk.
Interaksi antar obat dan makanan
Tidak ada
Kontraindikasi
Kesulitan menelan, obstruksi usus, atoni kolon
Peringatan
Asupan cairan yang cukup harus dipertahankan guna menghindari obstruksi usus.

                                                                                                (Pionas, 2015)



Mual dan Muntah

A.           Definisi

Mual adalah keinginan untuk muntah atau gejala yang dirasakan di tenggorokan dan di daerah sekitar lambung, yang menandakan bahwa ia akan muntah. Mual sering disertai dengan peningkatan aktivitas sistem saraf parasimpatis termasuk diaphoresis, air liur, bradikardia, pucat dan penurunan tingkat pernapasan.Sedangkan muntah merupakan pengeluaran isi lambung melalui mulut yang membutuhkan dorongan kuat (Sukandar, et al, 2008; Dipiro, 2015).

B.            Patofisiologi

Tiga fase berturut-turut emesis termasuk mual, retching, dan muntah. Mual, kebutuhan untuk muntah yang mendesak, berhubungan dengan stasis lambung dan dapat dianggap sebagai gejala terpisah dan tunggal. Retching adalah gerakan otot perut dan toraks yang bekerja sebelum muntah. Fase akhir emesis adalah muntah, pengusiran paksa isi lambung yang disebabkan oleh retroperistalsis GI. Muntah membutuhkan kontraksi terkoordinasi otot perut, pilorus, dan antrum, kardia lambung yang meningkat, tekanan sfingter esofagus bawah yang berkurang, dan dilatasi esofagus. Muntah tidak bisa disamakan dengan regurgitasi, suatu tindakan di mana lambung atau esofagus isinya naik ke faring karena perbedaan tekanan yang disebabkan oleh sfingter esofagus bawah yang tidak kompeten. Gejala otonom yang menyertai adalah pucat, takikardia, serta perasaan tidak enak (Dipiro, 2015).

C.           Penyebab

Mual dan muntah biasanya merupakan gejala yang bisa disebabkan oleh banyak hal. Kondisi ini adalah cara tubuh untuk membuang materi yang mungkin berbahaya dari dalam tubuh. Obat-obatan tertentu seperti kemoterapi untuk kanker dan agen anestesi sering menyebabkan mual muntah. (Porter,  2008).

Penyakit gastroenteritis adalah penyebab paling umum yang mengakibatkan terjadinya mual dan muntah. Gastroenteritis adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau virus di perut. Selain menyebabkan mual dan muntah, gastroenteritis biasanya juga menyebabkan diare (Porter, 2008).


D.           Terapi

Tujuan keseluruhan dari terapi antiemetika adalah untuk mencegah atau menghilangkan mual dan muntah; dan seharusnya tanpa timbulnya efek samping atau efek yang tidak dikehendaki secara klinis (Sukandar, et al, 2008).

Obat antiemetik bebas dan dengan resep paling umum direkomendasikan untuk mengobati mual muntah. Untuk pasien yang bisa mematuhi pemberian dosis oral, obat yang sesuai dan efektif dapat dipilih tetapi karena beberapa pasien tidak dapat menggunakan obat oral atau obat oral tidak sesuai. Pada pasien tersebut disarankan penggunaan obat secara rektal atau parenteral. Untuk sebagian besar kondisi dianjurkan antiemetik tunggal, tetapi bila pasien tidak memberikan respon dan pada pasien yang mendapatkan kemoterapi emetonik kuat, biasanya dibutuhkan regimen multi obat (Sukandar, et al, 2008).

Terapi Non Farmakologi

Manajemen non farmakologi dari mual dan muntah melibatkan diet, fisik, atau strategi psikologis yang konsisten dengan etiologi mual dan muntah.

Untuk pasien yang menderita karena konsumsi makanan atau minuman yang berlebihan atau tidak menyenangkan, sebaiknya menghindari atau mengatur asupan makanan yang dapat mengarah pada gejala. Intervensi nonfarmakologis diklasifikasikan sebagai intervensi perilaku, termasuk relaksasi, biofeedback, hipnosis, gangguan kognitif, optimisme, guided imagery, akupunktur, yoga, dan desensitisasi sistematis (Dipiro et.al, 2017).

Terapi Farmakologi

Obat
Dosis dewasa
Rute Pemberian
Reaksi obat merugikan
Parameter Monitoring
Keterangan
Antasida
Antasida
15-30 ml setiap 2-4 jam jika perlu
Liquid/oral (OTC)
Magnesium, aluminium, kalsium
Nilailah untuk meredakan gejala
Untuk mual / muntah sederhana
Agen Antihistamin-Antikolinergik
Dimenhidrat (Dramamine)
50-100 mg setiap 4-6 jam prn





25-50 mg
setiap 4-6
jam prn
Tablet, tablet kunyah, kapsul
(OTC)




Tab, cap,
Liquid

Kantuk,
kebingungan,
mulut kering,
urinary retention
Assess for episodic relief of motion sickness or nausea/vomiting

Diphenhydramine (Benadryl)
10-50 mg
setiap 2-4
jam prn
IM, IV
(Rx/ OTC)



Hydroxyzine (Vistaril,
Atarax)
25-100 mg
Setiap 4-6 jam prn
IM
(unlabel Rx use)




Scopolamine (Transderm
Scop)
1.5 mg setiap
72 jam

300 mg 3-4 kali sehari
Transderma patch (Rx)



Benzodiazepines
Alprazolam (Xanax)
0.5-2 mg 3x sehari untuk yang sebelumnya kemoterapi
Tab

Rx (C-IV)
Pusing,
sedasi,
perubahan nafsu makan, gangguan memori
Assess for
episodes of ANV
Place in therapy:
ANV
Lorazepam (Ativan)
0,5-2 mg pada malam sebelum dan pagi hari kemoterapi
Tab
Rx (C-IV)



Butyrophenones
Haloperidol (Haldol)
1-5 mg setiap
12 jam prn
Tab, liquid,
IM, IV

Rx
Sedasi,
sembelit,
hipotensi

Amati
sedasi tambahan
terutama jika digunakan
dengan narkotika
analgesik
Place in therapy:
palliative care
Cannabinoids
Nabilone (Cesamet)
1-2 mg 2x1 hari

Cap

Rx (C-II)
Somnolence,
vertigo,
xerostomia


Corticosteroids
Dexamethasone
Untuk CINV dan PONV
Tab, IV

Rx
Insomnia, masalah pada GI
agitasi,

Nilai untuk keberhasilan
sebagai agen profilaksis
agen: period
mual / muntah
dan nilai hidrasi
agen tunggal atau
kombinasi
terapi untuk
profilaksis
CINV dan PONV
Histamine (H2) Antagonists
Cimetidine (Tagamet HB)
200 mg 2x1 hari
prn
Tab

OTC
Sakit kepala
Nilai pengurangan gejala
Untuk mulas dan
GERD
Ranitidine (Zantac 75)
75 mg 2x1 hari prn
Tab

OTC
Konstipasi,
diarrhea


5-Hydroxytryptamine-3 Receptor Antagonists
Digunakan untuk CINV dan PONV






Miscellaneous Agents
Metoclopramide
(Reglan)
10 mg 4x1 hari
Tab

Rx
Lemas, sakit kepala, gangguan tidur
Nilai pengurangan gejala

Prokinetik
aktivitas yang bermanfaat pada
diabetes
gastroparesis
Phenothiazines
Chlorpromazine
(Thorazine)
10-25 mg tiap 4-6 jam prn
Tab, liquid

Rx
Sembelit,
pusing,
takikardia,
tardif
dyskinesia
Assess for
decrease in
episodes of
nausea/vomiting
Useful with
simple
nausea/vomiting
Substance P/Neurokinin 1 Receptor Antagonist
Aprepitant
Untuk CINV dan PONV





(Dipiro et.al, 2017)

Obat yang dapat digunakan untuk mengatasi mual muntah adalah:

·      Antasid

Tunggal atau kombinasi. Mengatasi mual muntah melalui penetralan asam lambung.

Produk tunggal atau kombinasi, terutama yang mengandung magnesium hidroksida, aluminium hidroksida, dan / atau kalsium karbonat, dapat memberikan bantuan cepat, terutama melalui netralisasi asam lambung. Agen ini paling efektif untuk pasien yang memiliki gejala terkait refluks asam atau sakit maag dan harus digunakan dengan hati-hati pada mereka yang mengalami penyakit ginjal akut atau kronis karena risiko terakumulasi. Obat ini dapat memperburuk keluhan GI lainnya yang menyertai mual dan muntah, seperti diare atau konstipasi.

·      Antihistamin

Untuk mengatasi mual muntah digunakan dosis rendah.

Obat antiemetik dari kategori antihistaminik-antikolinergik bekerja pada reseptor muskarinik dan histamin di VC (vomiting center) dan sistem vestibular yang menstimulasi mual dan muntah. Obat ini sering dimulai sebagai perawatan diri untuk mencegah mual dan muntah yang terkait dengan gangguan gerak seperti vertigo dan motion sickness.

·      Benzodiazepin

Benzodiazepin merupakan antiemetik yang relatif lemah dan obat ini digunakan untuk ansiolitik pasien untuk mencegah kecemasan akibat mual dan muntah antisipatif (ANV) yang umum pada pasien yang menerima kemoterapi.

Mengantisipasi muntah karena kemoterapi. Satu dosis satu malam sebelum kemoterapi dan dosis ganda pada setiap kemoterapi.

·      Histamine (H2) Antagonists

Histamin antagonis bekerja dengan menurunkan produksi asam lambung dan digunakan untuk mengelola mual dan muntah sederhana yang terkait dengan mulas atau refluks gastroesofagus.

·      Butyrophenones, Haloperidol dan droperidol

Obat ini bekerja untuk memblokir stimulasi dopaminergik dari CTZ (chemoreceptor trigger zone), yang dapat mengurangi kejadian mual dan muntah.

·      Fenotiazin

Untuk pasien mual ringan yang mendapat kemoterapi ringan. Pemberian rektal lebih disarankan.

·      Kortikosteroid

Mengatasi mual muntah karena kemoterapi dan pasca operasi dengan sedikit problem.

·      Antagonis reseptor 5-Hydroxytryptamine-3

Obat ini memblokir serotonin reseptor pada serabut saraf vagus di dinding usus.

·      Metoklopramid

Membantu proses pengosongan lambung dengan meningkatkan tonus sfingter sophagus.

Metoclopramide bekerja dengan memblokir reseptor dopaminergik secara terpusat di CTZ. Ini juga meningkatkan tonus sfingter esofagus bawah, membantu pengosongan lambung, dan mempercepat transit melalui usus kecil, mungkin melalui pelepasan asetilkolin. Aktivitas prokinetik metoclopramide membuatnya berguna pada pasien dengan mual dan muntah yang terkait dengan gastroparesis diabetes.

·      Selective Serotonin Reseptor Inhibitor (SSRI)

·      Chemotherapy Induced Nausea – Vomiting (CINV)

(Dipiro et.al, 2017, Sukandar, et al, 2008).

Antiemetik pada Ibu hamil

Manajemen awal NVP (nausea and vomiting of pregnancy) yaitu perubahan pola makan dan / atau modifikasi gaya hidup, seperti makan lebih kecil, lebih sering makan dan menghindari makanan atau bau yang memicu gejala. Jahe juga telah terbukti bermanfaat dalam mengurangi mual.

Rekomendasi pengobatan untuk manajemen NVP menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)  yaitu Pyridoxine, dengan atau tanpa doxylamine direkomendasikan sebagai terapi lini pertama. U.S. Food and Drug Administration menyetujui formulasi delayed-release doxylamine dan pyridoxine hydrochloride (Diclegis [R]) pada April 2013. Pasien dengan NVP persisten atau yang menunjukkan tanda-tanda dehidrasi harus menerima penggantian cairan IV dengan tiamin. Ondansetron, promethazine, dan metoclopramide memiliki keefektifan yang sama untuk hiperemesis gravidarum, meskipun ondansetron dapat ditoleransi lebih baik karena efek yang kurang merugikan. Metoklopramid tidak boleh digunakan selama lebih dari 12 minggu karena risiko tardive dyskinesia. Glukokortikoid dapat digunakan pada pasien dengan NVP berat atau hiperemesis gravidarum, tetapi harus digunakan hanya setelah 10 minggu kehamilan karena peningkatan risiko bibir sumbing (Dipiro et.al, 2017).

E.     Swamedikasi

Contoh kasus:

Ny. S adalah seorang wanita 25 tahun yang sedang hamil datang ke apotek ingin membeli obat untuk mengatasi mual dan muntah yang sedang ia alami. Ia merasa mual yang jarang sejak 3 hari yang lalu. Namun kemarin ia merasa mual sepanjang hari dan muntah sebanyak dua kali. Ia menduga bahwa mual dan muntah yang dirasakan disebabkan karena kehamilannya.

Metode Swamedikasi WWHAM

W
Who is the patient ?
Ny. S (25 tahun)
W
What are the symthoms ?
Mual dan muntah
H
How long have the symptoms been  present ?
3 hari
A
Action taken ?
Banyak minum air putih
M
Medication being taken ?
Tidak ada

Obat yang diberikan: Metoklopramid (dowa)

Nama obat
:
Metoklopramid
Indikasi
:
Mual dan muntah
Dosis
:
10 mg PO 4x1 [tidak >80 mg per hari]
Pemberian Obat
:
30 menit sebelum makan, dan sebelum tidur
Kontraindikasi
:
Hipersensitivitas metoklopramid, riwayat epilepsi
Efek samping
:
Pusing, lelah, mengantuk
Interaksi
:
Lurasidon (kontraindikasi), antipsikotik, agonis dopamine
Penyimpanan
:
Obat ini paling baik disimpan pada suhu ruangan, jauhkan dari cahaya langsung dan tempat yang lembap. 

(Medscape, 2018).


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Murdani., dan Jeffri Gunawan. 2012. Dispepsia. Continuing Medical Education CDK-197. 39(9).

Amin, Lukman Zulkifli. 2015. Tatalaksana Diare Akut. CDK-230/ vol. 42: 7

Arif, Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Medica Aesculpalus

Departemen Kesehatan RI. 2011. Buku Saku Lintas Diare. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V.. 2015. Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit.. Inggris: McGraw-Hill Education Companies.

DiPiro Joseph T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey. 2011. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Eight Edition, p 621-627. New York : McGraw Medical Hill.

DiPiro Joseph T., Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells, L. Michael Posey. 2017. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Tenth Edition.  US : McGraw-Hill Education

Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2007. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Djojodingingrat D. 2006. Dispepsia Fungsional. Dalam : Sudoyo AW., et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 354-6.

Faigel DO. 2002. A clinical approach to constipation. Clin Cornerstone; 4: 11-21.

Longo SA, Moore RC, Canzoneri BJ, Robichaux A. 2010. Gastrointestinal conditions during pregnancy. Clin Colon Rectal Surg; 23(2): 80-9.

Medscape. 2018. Metoclopramide. Available online at: https://reference. medscape.com/drug/reglan-metozolv-odt-metoclopramide-342051#91

MIMS Indonesia. Petunjuk Konsultasi untuk Kalangan Medis Edisi 11 2011/2012.

Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta

Ojieh AE. 2012. Constipation in pregnancy and the effect of vegetable consumption in different socio-economic class in Warri, Delta state. Journal of Medical and Applied Biosciences; 4: 1-6.

Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI). 2010. Konsensus Nasional Penatalakasanaan Konstipasi di Indonesia. Jakarta: PGI

Pionas. 2015. Ispaghula Sekam. Available at http://pionas.pom.go.id/monografi/ispaghula-sekam [diakses 13 Oktober 2018].

Porter, R.S. 2008. The Merck Manual of Patient Symptoms. USA: Merck Research Laboratories.

Setiawan B. 2006. Diare akut karena infeksi. Dalam: Sudoyo A, Setyohadi B. Alwi I dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi IV. Jakarta. Departemen IPD FK UI

Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. P. & Kusnandar. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.

Syam, Ari F., et al. 2017. National Concensus on Management of Dyspepsia and Helicobacter pylori Infection. Indones J Intern Med. 49(3).

Tan, H.T., Rahardja, K. 2010. Obat-obatan Sederhana Untuk Gangguan Sehari-hari. Jakarta: Gramedia

Yusrizal. 2015. Gambaran Penggunaan Obat Dalam Upaya Swamedikasi Pada Pengunjung Apotek Pandan Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Analisis Kesehatan. 4(2)

0 komentar:

Posting Komentar