Rabu, 01 Januari 2020

MAKALAH Pedoman Informasi Obat pada Penggunaan Obat Antihipertensi


MAKALAH



Pedoman Informasi Obat pada Penggunaan Obat Antihipertensi






UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS FARMASI

2018



1.1         PATOFISIOLOGI

Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi, yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya dimana tekanan darah persisten  diatas 140/90 mmHg. Pada manula hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistoliknya 160 mmHg dan tekanan diastoliknya 90 mmHg (Brunner dan Suddarth, 2002).

Hipertensi merupakan keadaan ketika tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 80 mmHg. Hipertensi sering menyebabkan perubahan pada pembuluh darah yang dapat mengakibatkan semakin tingginya tekanan darah (Dipiro et al, 2015).

Hipertensi dapat diklasifikasikan sebagai hipertensi primer (atau yang esensial) dan hipertensi sekunder untuk 95% dan 5% pasien hipertensi (Weber et al., 2014). Meskipun etiologi hipertensi penting tidak diketahui, biasanya dimulai pada dekade kelima atau keenam kehidupan, sering dikaitkan dengan peningkatan asupan garam dan obesitas dan memiliki hubungan yang kuat dengan sejarah keluarga, yang menggaris bawahi kemungkinan predisposisi genetik untuk penyakit ini (Weber et al., 2014). Penyebab yang dapat diidentifikasi seperti stenosis arteri ginjal, penyakit ginjal kronis, sleep apnea dan penyakit adrenal menyertai hipertensi sekunder (Weber et al., 2014). Fenomena umum pada kedua tipe hipertensi adalah gangguan mekanisme ganda yang terlibat dalam pemeliharaan tekanan darah normal dan karena itu, sistem saraf simpatik, sistem renin-angiotensin-aldosteron, fungsi endotel ditambah retensi natrium dan air telah dipelajari secara ekstensif untuk memastikan mekanisme. terlibat dalam pengembangan penyakit.

               Patofisiologi hipertensi primer bersifat heterogen memberikan efeknya melalui dua faktor penentuutama BP: curah jantung (curah jantung) dan resistensi perifer (perifer). Perkembangan hipertensiprimer melibatkan interaksi antara faktor genetik dan lingkungan yang berinteraksi denganbeberapa sistem fisiologis termasuk neural, ginjal, hormonal, dan vaskular. Yang lebih menyulitkan ini adalah bahwa fenotip hipertensi primer seseorang (misalnya hipertensi diastolik pada individu paruh baya, hipertensi sistolik terisolasi pada orang tua, dan hipertensi terkait obesitas) mungkin memiliki mekanisme kontribusi yang berbeda. Menurut Dipiro, faktor yang menyebabkan hipertensi adalah:

1.      Ketidaknormalan humoral pada sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS), hormone natriuretic, resistensi insulin dan hiperinsulinemia

2.      Gangguan pada system saraf pusat

3.      Ketidaknormalan ginjal

4.      Berkurangnya sintesis substansi vasodilator

5.      Tingginya masukan garam dan kurang mengonsumsi kalsium (Dipiro et al., 2015)


Gambar 1. Perkembangan Hipertensi (Delacroix et al., 2014)



1.2         KLASIFIKASI HIPERTENSI

Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri yang persisten. Peningkatan tekanan darah sistolik pada umumnya >140 mmHg atau tekanan darah diastolik >90 mmHg, kecuali bila tekanan darah sistolik ≥210 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥120 mmHg (Depkes RI, 2006).

Tabel 2. Klasifikasi Hipertensi (Chobanian dkk., 2004)

Klasifikasi Tekanan Darah
Tekanan Darah Sistolik (mmHg)
Tekanan Darah diastolic (mmHg)
Normal
<120
dan <80
Prehipertensi
120-139
atau 80-89
Hipertensi Tingkat 1
140-159
atau 90-99
Hipertensi Tingkat 2
≥ 160
atau ≥ 100



Hipertensi berdasarkan etiologinya dibagi menjadi dua yaitu hipertensi primer (esensial) dan hipertensi sekunder.

a)      Hipertensi primer

Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial (primer). Penyebab hipertensi esensial ini masih belum diketahui, tetapi factor genetik dan lingkungan diyakini memegang peranan dalam menyebabkan hipertensi esensial (Weber dkk., 2014). Faktor genetik dapat menyebabkan kenaikan aktivitas dari sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatik serta sensitivitas garam terhadap tekanan darah. Selain faktor genetik, faktor lingkungan yang mempengaruhi antara lain yaitu konsumsi garam, obesitas dan gaya hidup yang tidak sehat serta konsumsi alkohol dan merokok (Weber dkk., 2014).

Penurunan ekskresi natrium pada keadaan tekanan arteri normal merupakan peristiwa awal dalam hipertensi esensial. Penurunan ekskresi natrium dapat menyebabkan meningkatnya volume cairan, curah jantung, dan vasokonstriksi perifer sehingga tekanan darah meningkat. Faktor lingkungan dapat memodifikasi ekspresi gen pada peningkatan tekanan. Stres, kegemukan, merokok, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi garam dalam jumlah besar dianggap sebagai faktor eksogen dalam hipertensi (Robbins dkk., 2007).

b)      Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder diderita sekitar 5% pasien hipertensi (Weber dkk., 2014). Hipertensi sekunder disebabkan oleh adanya penyakit komorbid atau penggunaan obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi. Penghentian penggunaan obat tersebut atau mengobati kondisi komorbid yang menyertainya merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006). Beberapa penyebab hipertensi sekunder .

Tabel 1. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi (Depkes RI, 2006)


1.3       TUJUAN TERAPI

·      Secara keseluruhan, tujuan penanganan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan kematian.

·      Target nilai tekanan darahnya adalah kurang dari 140/90 untuk hipertensi tidak komplikasi dan kurang dari 130/80 untuk penderita diabetes mellitus serta ginjal kronik.

·      TDS merupakan indikasi yang baik untuk risiko kardiovaskuler daripada TDD dan seharusnya dijadikan tanda klinik primer dalam mengontrol hipertensi (Priyanto, 2009)



1.4       PENATALAKSANAAN TERAPI

Penatalaksanaan terapi hipertensi terdiri atas terapi non farmakologi dan terapi farmakologi sebagai berikut:

Terapi Non  Farmakologi

Terapi Non Farmakologi bagi penderita hipertensi dianjurkan untuk mengatur pola hidup dengan memantau

·         penurunan berat badan jika kelebihan berat badan,

·         melakukan diet makanan sesuai dengan DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension),

·         mengurangi asupan natrium tidak lebih dari 100 mmol tiap hari (2,4 gram natrium atau 6 gram natrium klorida),

·         melakukan aktivitas fisik seperti aerobik,

·         mengurangi konsumsi alkohol dan

·         menghentikan kebiasaan merokok (James et.al., 2014).

Terapi Farmakologi

Pengobatan hipertensi bertujuan mengurangi kesakitan (morbiditas), kematian (mortalitas), dan menurunkan tekanan darah. Algoritma hipertensi dapat dilihat pada gambar berikut :




Tabel  Rekomendasi obat hipertensi untuk penyakit penyerta

Penyakit penyerta
Rekomendasi obat hipertensi
Diuretik
β-B
ACEI
ARB
CCB
Aldo Ant
Gagal jantung
Ö
Ö
Ö
Ö

Ö
Pasca infark miokard

Ö
Ö


Ö
Risiko tinggi penyakit coroner
Ö
Ö
Ö

Ö

Diabetes mellitus
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö

Penyakit ginjal kronik


Ö
Ö


Pencegahan stroke berulang
Ö

Ö




(Sumber : Chobanian et.al., 2003 : 33)

Keterangan :  BB = Beta blocker, ACEI = Angiotensin converting enzyme   inhibitor, ARB = Angiotensin II receptor blocker, CCB = Calcium channel blocker, Aldo Ant = Aldosteron antagonist

Pemilihan obat hipertensi tergantung pada derajat meningkatnya tekanan darah dan keberadaan penyakit penyerta. Terapi farmakologi untuk hipertensi tahap 1 sebaiknya terapi diawali dengan diuretik tiazid. Penderita hipertensi tahap 2 pada umumnya diberikan terapi kombinasi, salah satu obatnya diuretik tiazid kecuali terdapat kontraindikasi (Chobanian et.al., 2003).

Obat yang lazim digunakan untuk pengobatan awal lini pertama (first line drug) hipertensi terbagi menjadi 5 kelompok yaitu, diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (b-blocker), penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin II receptor blocker, ARB), antagonis kalsium (CCB). Selain itu obat yang digunakan untuk pengobatan lini kedua dikenal 4 kelompok obat yaitu, penyekat reseptor alfa adrenergik (α-blocker), penghambat saraf adrenergik, agonis alfa-2 sentral dan vasodilator (Mardjono, 2007).      




Obat hipertensi yang digunakan untuk terapi hipertensi dapat dibagi dalam beberapa kelompok:


1.      Diuretik

Mekanisme kerja obat golongan diuretik meningkatkan ekskresi natrium, air, dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibat dari efek diuretik tersebut adalah penurunan curah jantung dan tekanan darah. Penelitian-penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi kardiovaskular diuretik belum terkalahkan oleh obat lain sehingga diuretik dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan dan sedang.

   Pada umumnya diuretik dibagi menjadi beberapa kelompok:

a.       Diuretik kuat (Loop diuretic)

Mekanisme kerja diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal dengan cara merintangi transport Cl-, menghambat reabsorpsi Na+, memperbanyak pengeluaran K+ dan air. Mula kerja diuretik kuat lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid sehingga jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum lebih dari 2,5 mg/dL) atau gagal jantung. Waktu paruh diuretik kuat umumnya pendek sehingga diperlukan pemberian 2 atau 3 kali sehari.

Efek samping diuretik kuat adalah menurunkan kalsium darah.

Contoh obat golongan diuretik kuat: furosemid, torasemid, bumetanid dan asam etakrinat (Mardjono, 2007).

Kontraindikasi diuretik kuat antara lain: defisiensi elektrolit, anuria, koma hepatik, kehamilan muda, hipokalemia, terapi bersama litium ( MIMS, 2007).

b.      Golongan Tiazid

Mekanisme kerja diuretik tiazid adalah mengeluarkan natrium dari ginjal. Tiazid dapat digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi ringan sampai sedang, atau dalam kombinasi dengan antihipertensi lain bila tekanan darah tidak berhasil diturunkan dengan diuretik saja.

Tiazid seringkali dikombinasi dengan antihipertensi lain karena:

1)      Dapat meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dengan mekanisme kerja yang berbeda sehingga dosisnya dapat dikurangi.

2)      Tiazid mencegah retensi cairan oleh antihipertensi lain sehingga efek obat-obat tersebut dapat bertahan.

Pada pasien gagal ginjal, tiazid kehilangan efektivitas diuretik dan antihipertensinya. Tiazid efektif untuk pasien hipertensi dengan kadar renin yang rendah, misalnya pada orang tua. Pada kebanyakan pasien, efek antihipertensi mulai terlihat dengan dosis hidroklorotiazid 12,5 mg/hari.

Efek antihipertensi tiazid mengalami antagonisme oleh antiinflamasi non steroid (AINS) karena antiinflamasi non steroid menghambat sintesis prostaglandin yang berperan penting dalam pengaturan aliran darah ginjal, transport air dan garam. Akibatnya terjadi retensi natrium dan air yang akan mengurangi efek hampir semua obat hipertensi.

Efek samping tiazid dalam dosis tinggi dapat menyebabkan hipokalemia yang dapat berbahaya pada pasien yang mendapat digitalis. Efek samping ini dapat dihindari bila tiazid diberikan dalam dosis rendah atau dikombinasi dengan obat lain seperti diuretik hemat kalium, atau penghambat enzim konversi angiotensin (ACE-inhibitor), karena tiazid dapat menyebabkan hiponatremia, hipomagnesemia serta hiperkalsemia. Pada penderita diabetes mellitus, tiazid dapat menyebabkan hiperglikemia karena dapat mengurangi sekresi insulin.

Contoh obat golongan tiazid: hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik yang memiliki gugus aryl-sulfonamida (indapamid dan klortalidon) (Mardjono, 2007).

Kontraindikasi hidroklorotiazid antara lain: anuria, terapi bersama litium, dekompensasi ginjal ( MIMS, 2007).

c.       Diuretik hemat kalium

Mekanisme kerja diuretik hemat kalium adalah menahan kalium yang diperlukan oleh tubuh. Penggunaan diuretik hemat kalium dengan diuretik lain untuk mencegah hipokalemia. Diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia bila diberikan pada pasien dengan gagal ginjal, atau bila dikombinasi dengan penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II, penyekat β adrenoreseptor, antiinflamasi non steroid atau dengan suplemen kalium. Penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindarkan bila kreatinin serum lebih dari 2,5 mg/dL.

Spironolakton merupakan antagonis aldosteron sehingga merupakan obat yang terpilih pada hiperaldosteronisme primer. Obat ini sangat berguna pada pasien dengan hiperurisemia, hipokalemia dengan intoleransi glukosa. Spironolakton tidak mempengaruhi kadar Ca++ dan gula darah. Efek samping spironolakton antara lain gangguan menstruasi dan penurunan libido pada pria.

Contoh obat golongan diuretik hemat kalium: amilorid, triamteren dan spironolakton (Mardjono, 2007).

Kontraindikasi diuretik hemat kalium antara lain : insufisiensi ginjal akut, anuria, hiperkalemia, hamil (MIMS, 2007).



2.       Penyekat β adrenoreseptor (Beta blocker)

Zat-zat ini memiliki sifat kimia yang sangat mirip dengan zat beta-adrenergik isoprenalin. Khasiat utamanya adalah anti-adrenergik dengan jalan menempati secara bersaing reseptor β adrenergik. Blokade reseptor ini mengakibatkan peniadaan atau penurunan kuat aktivitas adrenalin dan noradrenalin (NA). Reseptor-β terdapat dalam dua jenis, yaitu (Tjay dan Rahardja, 2007) :

a.       Reseptor β-1

Reseptor β-1 terdapat di jantung, Susunan Saraf Pusat, ginjal. Blokade reseptor ini mengakibatkan pelemahan daya kontraksi (efek inotrop negatif), penurunan frekuensi jantung (efek kronotrop negatif, bradikardi), perlambatan penyaluran impuls di jantung (simpuls AV = atrioventrikuler).    

b.      Reseptor β-2.

Reseptor b-2 terdapat di bronchia, dinding pembuluh darah, usus. Blokade reseptor ini menimbulkan penciutan bronchia dan vasokonstriksi perifer agak ringan yang bersifat sementara (beberapa minggu), mengganggu mekanisme homeostatis untuk memelihara kadar glukosa dalam darah (efek hipoglikemia).

Mekanisme kerja penyekat β adrenoreseptor  terhadap penurunan tekanan darah dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β-1, antara lain (Mardjono, 2007 : 346):

a.       Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung.

b.      Hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal akibat penurunan produksi angiotensin II.

c.       Efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan reseptor pada sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis prostasiklin.

Penyekat β adrenoreseptor dapat memiliki sifat-sifat khusus berikut ini (Tjay dan Rahardja, 2007):

a.       Kardioselektivitas

Kardioselektivitas, yaitu menghambat terutama reseptor β-1 dengan penurunan tekanan darah tanpa menimbulkan penciutan bronchia dan pembuluh perifer. Sifat ini terikat pada dosis, selektivitas berkurang dengan dosis meningkat. Pasien asma, bronchitis dan diabetes sebaiknya menggunakan dengan berhati-hati obat-obat kardioselektif seperti asebutolol, atenolol, betaxolol (kerlon), bisoprolol, celiprolol, esmolol, dan metoprolol.

b.      Efek adrenergik intrinsik

Efek adrenergik intrinsik (ISA = Intrinsic Sympathicomimetic Activity) dimiliki oleh pindolol, asebutolol, alprenolol, celiprolol, dan oxyprenolol. Sifat ini berhubungan dengan keasaman struktur kimianya dengan beta adrenergik.

c.       Efek stabilisasi membran

Efek stabilisasi membran juga disebut efek lokal anastetis yang terjadi pada dosis tinggi. Efek ini dimiliki oleh propranolol, alprenolol, oxprenolol, dan asebutolol. Beta bloker dengan khasiat lokal anastetik tidak layak digunakan topikal pada mata.

Penyekat β adrenoreseptor digunakan sebagai obat tahap pertama pada pasien hipertensi ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner (khususnya sesudah infark miokard akut), pasien dengan aritmia supraventrikel (tachycardia), pasien muda dengan sirkulasi hiperdinamik dan pada pasien yang memerlukan antidepresan trisiklik atau antipsikotik (karena efek antihipertensi beta bloker tidak dihambat oleh obat-obat tersebut). Pendapat terbaru membuktikan bahwa beta bloker, terutama carvedilol dan bisoprolol terbukti bermanfaat dan telah direkomendasikan dalam JNC VI dan VII untuk pengobatan gagal jantung dalam kombinasi dengan ACE inhibitor. Penyekat β adrenoreseptor lebih efektif pada pasien usia muda dan kurang efektif pada pasien usia lanjut.          

Penurunan tekanan darah oleh penyekat β adrenoreseptor yang diberikan per oral berlangsung lambat. Efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah terapi dimulai dan tidak diperoleh penurunan tekanan darah lebih lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Obat ini tidak menimbulkan retensi air dan garam.

Contoh obat golongan penyekat β adrenoreseptor: Atenolol dan bisoprolol. Kontraindikasi penyekat β adrenoreseptor adalah pada pasien dengan asma bronchial. Penyekat β adrenoreseptor dapat menyebabkan bradikardia, blokade AV, menurunkan kekuatan kontraksi miokard. Oleh karena itu obat penyekat β adrenoreseptor dikontraindikasikan pada keadaan asma, bradikardi, blokade AV (atrioventrikuler) derajat 2 dan 3, sick sinus syndrome. Penyekat β adrenoreseptor dengan aktivitas simpatomimetik intrinsik kurang efektif untuk penyakit jantung koroner dan belum terbukti efektif untuk pasca infark miokard. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal kronik, pemakaian penyekat β adrenoreseptor dapat memperburuk fungsi ginjal karena penurunan aliran darah ginjal. Bila harus diberikan pada pasien dengan diabetes atau dengan gangguan sirkulasi perifer, maka penghambat selektif β-1 (asebutolol, atenolol, betaxolol (kerlon), bisoprolol, celiprolol, esmolol, dan metoprolol) adalah lebih baik dibandingkan dengan beta bloker non selektif, karena efek hipoglikemia relatif ringan serta tidak menghambat reseptor β-2 yang memperantarai vasodilatasi di otot rangka.    

Efek samping penyekat β adrenoreseptor merupakan bronkospasme pada pasien dengan riwayat asma bronkial atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), sehingga pemakaian beta bloker termasuk yang kardioselektif merupakan kontraindikasi untuk keadaan ini. Efek sentral berupa depresi, mimpi buruk, halusinasi dapat terjadi dengan beta bloker yang lipofilik seperti propranolol dan oksprenolol. Gangguan fungsi seksual sering terjadi akibat pemakaian penyekat β adrenoreseptor, terutama yang tidak selektif (Mardjono, 2007).

Interaksi obat penyekat β adrenoreseptor dengan obat lain dapat terjadi bila digunakan secara bersamaan, antara lain (Tjay dan Rahardja, 2007):

a.       Penggunaan bersama dengan antagonis kalsium (verapamil secara intravena,  ditiazem, nifedipin, lidokain, fenothiazin, glafenin, dan floctafenin) dapat menyebabkan hipotensi.

b.      Penggunaan bersama dengan barbital dapat mempercepat perombakan beta bloker di hati sehingga memperlemah efek beta bloker.

c.       Penggunaan bersama dengan antiinflamasi non steroid (indometasin dan lain-lain) dapat menurunkan absorpsi beta bloker sehingga memperlemah efek beta bloker.    

d.      Penggunaan bersama dengan klonidin dapat memperbesar risiko hipertensi rebound, maka terapi dengan penyekat β adrenoreseptor perlu dihentikan sebelum menggunakan klonidin.



3.      Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (Penghambat ACE)

Mekanisme kerja penghambat ACE menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron.  Berkurangnya produksi angiotensin II oleh ACE inhibitor akan mengurangi sekresi aldosteron di korteks adrenal yang mengakibatkan terjadi ekskresi air dan natrium, sedangkan kalium mengalami retensi sehingga ada tendensi terjadinya hiperkalemia terutama pada gangguan fungsi ginjal. Merintangi enzim ACE dapat mempertahankan keberadaan zat lain yang disebut bradikinin. Kerja bradikinin adalah melebarkan pembuluh darah.

Efek penghambat ACE pada gagal jantung akan sangat mengurangi beban jantung dan akan memperbaiki keadaan pasien. Pemberian penghambat ACE jangka panjang tidak menimbulkan toleransi dan penghentian obat ini biasanya tidak menimbulkan hipertensi rebound. Penghambat ACE tidak mempunyai efek terhadap metabolisme lipid atau glukosa dan mengurangi resistensi insulin sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes, dislipidemia, dan obesitas.

Secara umum penghambat ACE dibedakan atas dua kelompok (Mardjono, 2007):

a.  Yang bekerja langsung, contohnya: kaptopril dan lisinopril.

b. Prodrug, contohnya: enalapril, kuinapril, perindopril, ramipril, silazapril, benazepril, dan fosinopril. Obat ini dalam tubuh diubah menjadi bentuk aktif yaitu: enalaprilat, kuinaprilat, perindoprilat, ramiprilat, silazaprilat, benazeprilat, dan fosinoprilat.

Kontraindikasi penghambat ACE pada wanita hamil karena bersifat teratogenik. Pemberian pada ibu menyusui juga kontraindikasi karena penghambat ACE diekskresi melalui ASI dan berakibat buruk terhadap fungsi ginjal bayi. Dalam JNC VII, penghambat ACE diindikasikan untuk hipertensi dengan penyakit ginjal kronik. Namun harus hati-hati terutama bila ada hiperkalemia, karena penghambat ACE akan memperberat hiperkalemia. Kadar kreatinin darah perlu dipantau selama pemberian penghambat ACE. Bila terjadi peningkatan kreatinin, maka obat harus dihentikan. Penghambat ACE dikontraindikasikan pada stenosis arteri renalis bilateral atau unilateral pada keadaan ginjal tunggal (Mardjono, 2007).        

Efek samping penghambat ACE, antara lain (Mardjono, 2007):

a.       Hipotensi dapat terjadi pada awal pemberian penghambat ACE, terutama pada hipertensi dengan aktivitas renin yang tinggi. Pemberian harus berhati-hati pada pasien dengan deplesi cairan dan natrium, gagal jantung atau yang mendapat kombinasi beberapa antihipertensi.

b.      Batuk kering merupakan efek samping yang paling sering terjadi dengan insiden 5 - 20 %, lebih sering pada wanita dan lebih sering terjadi pada malam hari. Diduga efek samping ini ada kaitannya dengan peningkatan kadar bradikinin dan prostaglandin. Efek samping ini bergantung pada besarnya dosis dan bersifat reversibel bila obat dihentikan.

c.       Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau pada pasien yang juga mendapat diuretik hemat kalium, AINS, suplemen kalium atau beta bloker.

d.  Rash dan gangguan pengecapan lebih sering terjadi dengan kaptopril, tapi juga terjadi dengan penghambat ACE yang lain. Diduga karena adanya gugus sulfhifril (SH) pada kaptopril yang tidak dimiliki oleh penghambat ACE yang lain. Gangguan pengecapan (disgeusia) terjadi pada kira-kira 7 % pasien yang mendapat kaptopril.

b.      Edema angioneurotenik terjadi pada 0,1 - 0,2 % pasien berupa pembengkakan di dinding, bibir, tenggorokan, laring dan sumbatan jalan napas yang bisa berakibat fatal. Efek samping ini terjadi dalam beberapa jam pertama setelah pemberian penghambat ACE.

c.       Gagal ginjal yang akut yang reversibel dapat terjadi pada pasien dengan stenosis arteri renalis bilateral atau pada satu-satunya ginjal yang berfungsi. Hal ini disebabkan dominasi efek penghambat ACE pada arteriol eferen yang menyebabkan tekanan filtrasi glomerulus semakin rendah sehingga filtrasi glomerulus semakin berkurang. 

d.      Efek teratogenik terutama terjadi pada pemberian selama trisemester 2 dan 3 kehamilan yang dapat menimbulkan gagal ginjal fetus atau kematian fetus.

            Interaksi obat penghambat ACE dengan obat lain dapat terjadi bila digunakan secara bersamaan dengan (Mardjono, 2007):

a)      Kombinasi dengan diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia.

b)      Kombinasi dengan antasida akan mengurangi absorpsi penghambat ACE.

c)      Kombinasi dengan antiinflamasi non stroid akan mengurangi efek antihipertensi dan menambah risiko hiperkalemia.



4.      Antagonis kalsium (CCB)

Mekanisme kerja antagonis kalsium adalah menghambat pemasukan ion kalsium ekstrasel ke dalam sel vaskuler otot polos sehingga tegangan vaskuler menurun dan terjadi vasodilatasi perifer (Goodman dan Gilman, 2008).

Penggolongan antagonis kalsium secara kimiawi dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu:

a.       Derivat dihidropiridin: efek vasodilatasinya amat kuat, maka digunakan sebagai obat hipertensi. Contoh: nifedipin, nisoldipin, amlodipin, felodipin, nicardipin, nimodipin, nitrendipin, lercanidipin, lacidipin, dan isradipin.

b.      Obat-obat lain: verapamil, diltiazem, dan bepridil. Verapamil bekerja terhadap jantung (menurunkan frekuensi dan daya kontraksi, memperlambat penyaluran atrioventrikuler) dan terhadap sistem pembuluh (vasodilatasi). Diltiazem dapat disamakan khasiatnya dengan verapamil, tetapi efek inotrop negatifnya lebih ringan. Daya vasodilatasi kedua zat ini lebih lemah daripada zat dihidropiridin, maka lebih banyak digunakan pada angina daripada sebagai obat hipertensi. Bepridil tidak bekerja antihipertensi dan khusus digunakan pada angina stabil. 

Efek samping antagonis kalsium: pusing, nyeri kepala, dan rasa panas di muka (flushing). Derivat dihidropiridin dapat menyebabkan takikardi dan udema pergelangan kaki (akibat vasodilatasi perifer) yang bersifat sementara. Derivat obat bukan dihidropiridin dapat menyebabkan bradikardi, atrioventrikuler block, hipotensi, obstipasi, menghambat agregasi trombosit, gangguan penglihatan, dan reaksi kulit alergis (Tjay dan Rahardja, 2007).

Kontraindikasi antagonis kalsium: wanita hamil dan menyusui, hipersensitif, gagal jantung, hipotensi, bradikardi, infark miokard akut, dan penyakit ginjal kronik (MIMS, 2007).

Interaksi Obat:

-          Kombinasi dengan obat antihipertensi lain dapat menimbulkan hipotensi.

-          Kombinasi dengan obat beta-blocker dapat meningkatkan resiko heart block.

-          Dapat meningkatkan serum konsentrasi obat-obat lain yang di metabolisme oleh sistem isoenzim sitokrom P450 isoenzim 3A4



5.      Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB)

Mekanisme kerja penghambat reseptor angiotensin II adalah dengan menduduki reseptor angiotensin II yang terdapat di dalam tubuh, antara lain: di miokard, dinding pembuluh, susunan saraf pusat, ginjal, anak ginjal, dan hati. Efek-efek angiotensin II diblokir seperti peningkatan tekanan darah dan ekskresi kalium, retensi natrium, dan air. Efek lain dari penekanan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron adalah penurunan produksi aldosteron, yang mengakibatkan bertambahnya ekskresi natrium dan air serta berkurangnya ekskresi kalium. Kombinasi dari kedua jenis obat kini mulai digunakan untuk lebih efektif menurunkan tekanan darah (efek aditif ringan).

Penghambat reseptor angiotensin II sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti renovaskuler dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah. Pada pasien dengan hipovolemia, maka dosis penghambat reseptor angiotensin II perlu diturunkan.

Pemberian penghambat reseptor angiotensin II menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa darah.    

Contoh obat ini terdiri dari: losartan, valsartan, irbesartan, candesartan, eprosartan, telmisartan dan olmesartan (Tjay dan Rahardja, 2007 : 560).

Losartan merupakan protipe obat golongan penghambat reseptor angiotensin II yang bekerja selektif pada reseptor angiotensin I. Pemberian obat ini akan menghambat semua efek angiotensin II, seperti: vasokonstriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf simpatis, efek sentral angiotensin II (sekresi vasopresin, rangsangan haus), stimulasi jantung, efek renal serta efek jangka panjang berupa hipertrofi otot polos pembuluh darah dan miokard. Penghambat reseptor angiotensin II menimbulkan efek yang mirip dengan pemberian penghambat ACE. Tapi karena tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin, maka obat ini dilaporkan tidak memiliki efek samping batuk kering dan angiodema seperti yang sering terjadi dengan penghambat ACE.

Kontraindikasi penghambat reseptor angiotensin II pada kehamilan trisemester 2 dan 3, wanita menyusui, stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis pada satu-satunya ginjal yang masih berfungsi. Penghambat reseptor angiotensin II bersifat fetotoksik sehingga harus dihentikan bila pemakainya ternyata hamil.

Efek samping penghambat reseptor angiotensin II berupa hipotensi yang dapat terjadi pada pasien dengan kadar renin yang tinggi seperti hipovolemia, gagal jantung, hipertensi renovaskular, dan sirosis hepatis. Hiperkalemia biasanya terjadi dalam keadaan tertentu, seperti: insufisiensi ginjal, atau bila dikombinasi dengan obat-obat yang cenderung meretensi kalium seperti diuretik hemat kalium, antiinflamasi non steroid dan juga bila asupan kalium berlebihan (Mardjono, 2007).            



6.      Obat yang Bekerja Pada Sistem Saraf Pusat

Mekanisme kerja agonis alfa-2 adrenergik menstimulasi reseptor alfa-2 adrenergik yang banyak sekali terdapat di susunan saraf pusat (otak dan medulla). Akibat perangsangan ini terjadi penurunan aktivitas saraf adrenergik perifer. Pelepasan noradrenalin menurun dengan efek menurunnya resistensi perifer dan tekanan darah. Agonis alfa-2 adrenergik digunakan pada semua bentuk hipertensi dan biasanya dikombinasi dengan diuretik. Zat ini bukan merupakan pilihan pertama, melainkan hanya sebagai obat cadangan bila obat-obat hipertensi lainnya kurang efektif.    

Efek samping yang sering terjadi berupa efek sentral, antara lain: sedasi, mulut kering, sukar tidur, hidung mampat, pusing, penglihatan kurang, bradikardi, impotensi, depresi, dan gelisah. Pada umumnya efek ini sering terjadi pada klonidin dan jarang pada moxonidin, metildopa, dan guanfasin. Hipertensi rebound dapat terjadi pada penghentian mendadak, terutama pada klonidin dan reserpin.

Metildopa dapat digunakan oleh wanita hamil dengan hipertensi, sedangkan obat-obat lainnya belum memiliki cukup data. Klonidin, moxonidin, dan metildopa dikontraindikasikan pada wanita menyusui karena obat dapat masuk ke dalam air susu ibu. Selain itu obat ini dikontraindikasikan pada pasien depresi, gagal ginjal berat dan penyakit hati. (Tjay dan Rahardja, 2007).

Interaksi Obat:

         Methyldopa-simpatomimetik : meningkatkan tekanan darah, dengan mekanisme menyebabkan penggantian noradrenalin di ujung saraf adrenergik oleh methylnoradrenaline, yang memiliki lemah pressor (alpha) aktivitas tapi lebih besar aktivitas vasodilator (beta). Dengan aktivitas vasodilator diblokir oleh oxprenolol, vasokonstriktor yang (pressor) aktivitas fenilpropanolamin yang akan terlindung dan berlebihan.

         Methyldopa-haloperidol : menurunkan tekanan darah, efek hipotensi mungkin menjadi aditif. Efek SSP tidak diketahui, meskipun metildopa dapat menyebabkan sedasi, depresi dan demensia, dan haloperidol dapat menyebabkan mengantuk, pusing dan depresi.



7.      Vasodilator Langsung

Mekanisme kerja vasodilator adalah dengan terjadinya vasodilatasi terhadap arteri dan dengan demikian menurunkan tekanan darah tinggi. Vasodilator digunakan sebagai obat hipertensi pilihan ketiga bersama dengan penyekat β adrenoreseptor dan diuretik, bila kombinasi kedua obat penyekat β adrenoreseptor dan diuretik kurang memberikan hasil. Kombinasi tersebut menguntungkan karena efek samping vasodilator berupa takikardi dan retensi garam dan air ditiadakan oleh masing-masing beta bloker dan diuretik.       

Efek samping vasodilator adalah pusing, nyeri kepala, muka merah, hidung mampat, debar jantung dan gangguan lambung. Biasanya efek ini bersifat sementara.

Hanya hidralazin dapat digunakan oleh wanita hamil dengan aman, sedangkan dari dihidralazin dan minoxidil belum tersedia cukup data. Hidralazin, dihidralazin dan minoxidil dikontraindikasikan pada wanita menyusui karena dapat mencapai air susu ibu (Tjay dan Rahardja, 2007).

Interaksi Obat:

-          Kombinasi dengan obat kortikosteroid dapat mengurangi efek hipotensi.

-          Kombinasi dengan obat antihipertensi lain, golongan prostaglandin I2 dapat menimbulkan hipotensi.

-          Meningkatkan risiko perdarahan pada penggunaan bersama dengan antikoagulan, antiplatelet, fibrinolitik




DAFTAR PUSTAKA

MIMS. 2007. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 7 2007/2008. Jakarta : CMP Medica.

Brian, H., Golbout, M. D., Michael, H., Davidson, M. D. 2005. Cardiovascular Disease Practical Application of the NCEP ATP III Update Patient Care. The Journal of Best Clinical Practices for Tody’s Pyhsicians.

Kementrian Kesehatan RI. 2014. Info DATIN Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. KEMENKES RI : Jakarta

Chobanian, A.V., Bakris, J.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A., Izzo, Jr, J.L., Jones, DW., et al., 2003. The seventh report of The Joint National Committee on prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure. http://hyper.ahajournals.org/cgi/content/full/42/6/1206 [diakses 27 Desember 2018].

Delacroix S, Chokka RG, Worthley SG. 2014. Hypertension: Pathophysiology and Treatment. Tersedia online di https://www.omicsonline.org/open-access/hypertension-pathophysiology-and-treatment-2155-9562-5-1000250.php?aid=35433#15 [Diakses 27 Desember 2018].

Dipiro J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey L. M.. 2015.  Pharmacotherapy : A Patophysiologic Approach, 9th edition. New York: McGraw Hill.

Goodman dan Gilman. 2008.  Dasar Farmakologi Terapi Vol 1. Edisi 10. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

ISFI. 2007. Pembekalan Tenaga Farmasi Rumah Sakit Tentang Penyakit Jantung, Diabetes Mellitus, dan Hipertensi. Media Informasi Farmasi Indonesia. MEDISINA. 1. (3) : 57.

James PA, Ortiz E, et al. 2014. evidence-based guideline for the management of high blood pressure in adults: (JNC8). JAMA. 2014 Feb 5;311(5):507-20

Mardjono, M. 2007. Departemen Farmakologi Klinik dan Terapetik. Edisi ke-5. Fakultas Kedokteran. Jakarta : Universitas Indonesia.  

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular Edisi Pertama. Jakarta : PERKI

Robbins, S.L., Cotran, R.S., Kumar, V. 2007. Buku Ajar Patologi Vol 2. Edisi 7. Diterjemahkan oleh Pendit, B.U. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 

Syahrini, Erlyna Nur. 2012. Faktor – Faktor Risiko Hipertensi Primer di Puskesmas Tlogosari Kulon Kota Semarang. Thesis. Universitas Diponegoro Semarang.

Tjay, T.H, dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Edisi VI. Cetakan Pertama. Jakarta : PT Elex Media Komputindo Gramedia.

Weber MA, Schiffrin EL, White WB, Mann S, Lindholm LH et al. 2014. Clinical Practice Guidelines for the Management of Hypertension in the Community A Statement by the American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension. The Journal of Clinical Hypertension 16(1): 14-26.

1 komentar:

Blogger mengatakan...

According to Stanford Medical, It's really the SINGLE reason this country's women get to live 10 years longer and weigh an average of 19 kilos less than us.

(And by the way, it is not related to genetics or some hard exercise and really, EVERYTHING to around "how" they are eating.)

P.S, What I said is "HOW", and not "WHAT"...

CLICK this link to uncover if this short questionnaire can help you discover your real weight loss potential

Posting Komentar