MAKALAH
Pedoman Informasi Obat pada Penggunaan Obat
Antihipertensi
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
FAKULTAS
FARMASI
2018
1.1
PATOFISIOLOGI
Hipertensi
atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah
yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi, yang dibawa oleh darah terhambat
sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya dimana tekanan darah
persisten diatas 140/90 mmHg. Pada
manula hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistoliknya 160 mmHg dan
tekanan diastoliknya 90 mmHg (Brunner dan Suddarth, 2002).
Hipertensi merupakan keadaan ketika
tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 80
mmHg. Hipertensi sering menyebabkan perubahan pada pembuluh darah yang dapat
mengakibatkan semakin tingginya tekanan darah (Dipiro et al, 2015).
Hipertensi dapat
diklasifikasikan sebagai hipertensi primer
(atau yang esensial) dan hipertensi sekunder
untuk 95% dan 5% pasien hipertensi (Weber et al., 2014).
Meskipun etiologi hipertensi penting
tidak diketahui, biasanya dimulai pada dekade kelima atau keenam kehidupan,
sering dikaitkan dengan peningkatan asupan garam dan obesitas dan memiliki
hubungan yang kuat dengan sejarah keluarga, yang menggaris bawahi kemungkinan
predisposisi genetik untuk penyakit ini (Weber et al.,
2014). Penyebab yang dapat diidentifikasi seperti stenosis arteri ginjal,
penyakit ginjal kronis, sleep apnea dan penyakit adrenal menyertai hipertensi sekunder (Weber et al., 2014). Fenomena umum pada kedua tipe hipertensi adalah gangguan
mekanisme ganda yang terlibat dalam pemeliharaan tekanan darah normal dan
karena itu, sistem saraf simpatik, sistem renin-angiotensin-aldosteron, fungsi
endotel ditambah retensi natrium dan air telah dipelajari secara ekstensif
untuk memastikan mekanisme. terlibat dalam pengembangan penyakit.
Patofisiologi hipertensi primer
bersifat heterogen memberikan efeknya melalui dua faktor penentuutama BP: curah
jantung (curah jantung) dan resistensi perifer (perifer). Perkembangan
hipertensiprimer melibatkan interaksi antara faktor genetik dan lingkungan yang
berinteraksi denganbeberapa sistem fisiologis termasuk neural, ginjal,
hormonal, dan vaskular. Yang lebih menyulitkan ini adalah bahwa
fenotip hipertensi primer seseorang (misalnya hipertensi diastolik pada
individu paruh baya, hipertensi sistolik terisolasi pada orang tua, dan
hipertensi terkait obesitas) mungkin memiliki mekanisme kontribusi yang
berbeda. Menurut Dipiro, faktor yang menyebabkan
hipertensi adalah:
1. Ketidaknormalan humoral
pada sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS), hormone natriuretic,
resistensi insulin dan hiperinsulinemia
2. Gangguan pada system saraf
pusat
3. Ketidaknormalan ginjal
4. Berkurangnya sintesis
substansi vasodilator
5. Tingginya masukan garam dan
kurang mengonsumsi kalsium (Dipiro et al.,
2015)
Gambar 1. Perkembangan Hipertensi (Delacroix et al., 2014)
1.2
KLASIFIKASI
HIPERTENSI
Hipertensi
didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri yang persisten.
Peningkatan tekanan darah sistolik pada umumnya >140 mmHg atau tekanan darah
diastolik >90 mmHg, kecuali bila tekanan darah sistolik ≥210 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥120 mmHg (Depkes RI, 2006).
Tabel 2. Klasifikasi
Hipertensi (Chobanian dkk., 2004)
Klasifikasi
Tekanan Darah
|
Tekanan
Darah Sistolik (mmHg)
|
Tekanan
Darah diastolic (mmHg)
|
Normal
|
<120
|
dan <80
|
Prehipertensi
|
120-139
|
atau 80-89
|
Hipertensi
Tingkat 1
|
140-159
|
atau 90-99
|
Hipertensi
Tingkat 2
|
≥ 160
|
atau ≥ 100
|
Hipertensi berdasarkan etiologinya dibagi menjadi dua
yaitu hipertensi primer (esensial) dan hipertensi sekunder.
a)
Hipertensi primer
Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan
hipertensi esensial (primer). Penyebab hipertensi esensial ini masih belum
diketahui, tetapi factor genetik dan lingkungan diyakini memegang peranan dalam
menyebabkan hipertensi esensial (Weber dkk., 2014). Faktor genetik dapat
menyebabkan kenaikan aktivitas dari sistem renin-angiotensin-aldosteron dan
sistem saraf simpatik serta sensitivitas garam terhadap tekanan darah. Selain
faktor genetik, faktor lingkungan yang mempengaruhi antara lain yaitu konsumsi
garam, obesitas dan gaya hidup yang tidak sehat serta konsumsi alkohol dan
merokok (Weber dkk., 2014).
Penurunan ekskresi natrium pada keadaan tekanan
arteri normal merupakan peristiwa awal dalam hipertensi esensial. Penurunan
ekskresi natrium dapat menyebabkan meningkatnya volume cairan, curah jantung,
dan vasokonstriksi perifer sehingga tekanan darah meningkat. Faktor lingkungan
dapat memodifikasi ekspresi gen pada peningkatan tekanan. Stres, kegemukan,
merokok, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi garam dalam jumlah besar
dianggap sebagai faktor eksogen dalam hipertensi (Robbins dkk., 2007).
b)
Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder diderita sekitar 5% pasien
hipertensi (Weber dkk., 2014). Hipertensi sekunder disebabkan oleh adanya
penyakit komorbid atau penggunaan obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat
menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi. Penghentian penggunaan obat
tersebut atau mengobati kondisi komorbid yang menyertainya merupakan tahap
pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006). Beberapa
penyebab hipertensi sekunder .
Tabel 1. Penyebab hipertensi yang dapat
diidentifikasi (Depkes RI, 2006)
1.3
TUJUAN TERAPI
·
Secara keseluruhan, tujuan penanganan hipertensi
adalah mengurangi morbiditas dan kematian.
·
Target nilai tekanan darahnya adalah kurang dari
140/90 untuk hipertensi tidak komplikasi dan kurang dari 130/80 untuk penderita
diabetes mellitus serta ginjal kronik.
·
TDS merupakan indikasi yang baik untuk risiko
kardiovaskuler daripada TDD dan seharusnya dijadikan tanda klinik primer dalam
mengontrol hipertensi (Priyanto,
2009)
1.4
PENATALAKSANAAN
TERAPI
Penatalaksanaan
terapi hipertensi terdiri
atas terapi non farmakologi dan terapi farmakologi sebagai berikut:
Terapi Non
Farmakologi
Terapi Non
Farmakologi bagi penderita
hipertensi dianjurkan untuk mengatur pola hidup dengan memantau
·
penurunan berat badan jika kelebihan berat badan,
·
melakukan diet makanan sesuai dengan DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension),
·
mengurangi asupan natrium tidak lebih dari 100
mmol tiap hari (2,4 gram natrium atau 6 gram natrium klorida),
·
melakukan aktivitas fisik seperti aerobik,
·
mengurangi konsumsi alkohol dan
·
menghentikan kebiasaan merokok (James et.al., 2014).
Terapi Farmakologi
Pengobatan hipertensi bertujuan mengurangi kesakitan (morbiditas), kematian (mortalitas), dan menurunkan tekanan darah. Algoritma hipertensi dapat dilihat pada
gambar berikut :
Tabel Rekomendasi
obat hipertensi untuk penyakit penyerta
Penyakit penyerta
|
Rekomendasi
obat hipertensi
|
|||||
Diuretik
|
β-B
|
ACEI
|
ARB
|
CCB
|
Aldo
Ant
|
|
Gagal jantung
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
|
Pasca infark miokard
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
|||
Risiko tinggi penyakit coroner
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
||
Diabetes mellitus
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
|
Penyakit ginjal kronik
|
Ö
|
Ö
|
||||
Pencegahan stroke berulang
|
Ö
|
Ö
|
(Sumber : Chobanian et.al., 2003 : 33)
Keterangan : BB = Beta blocker, ACEI = Angiotensin converting enzyme inhibitor,
ARB = Angiotensin II receptor blocker,
CCB = Calcium channel blocker, Aldo
Ant = Aldosteron antagonist
Pemilihan obat hipertensi tergantung pada derajat meningkatnya tekanan
darah dan keberadaan penyakit penyerta. Terapi farmakologi untuk hipertensi
tahap 1 sebaiknya terapi diawali dengan diuretik tiazid. Penderita hipertensi
tahap 2 pada umumnya diberikan terapi kombinasi, salah satu obatnya diuretik
tiazid kecuali terdapat kontraindikasi (Chobanian et.al., 2003).
Obat yang
lazim digunakan untuk pengobatan awal lini pertama (first line drug) hipertensi terbagi menjadi 5 kelompok yaitu,
diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (b-blocker),
penghambat angiotensin-converting enzyme
(ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin II receptor blocker, ARB), antagonis kalsium (CCB).
Selain itu obat yang digunakan untuk pengobatan lini kedua dikenal 4 kelompok
obat yaitu, penyekat reseptor alfa adrenergik (α-blocker), penghambat saraf adrenergik, agonis alfa-2 sentral dan
vasodilator (Mardjono, 2007).
1. Diuretik
Mekanisme kerja obat golongan diuretik
meningkatkan ekskresi natrium, air, dan klorida sehingga menurunkan volume
darah dan cairan ekstraseluler. Akibat dari efek diuretik tersebut adalah
penurunan curah jantung dan tekanan darah. Penelitian-penelitian besar
membuktikan bahwa efek proteksi kardiovaskular diuretik belum terkalahkan oleh
obat lain sehingga diuretik dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi
ringan dan sedang.
Pada umumnya diuretik dibagi menjadi beberapa
kelompok:
a.
Diuretik kuat (Loop
diuretic)
Mekanisme kerja diuretik kuat
bekerja di ansa henle asenden bagian
epitel tebal dengan cara merintangi transport Cl-, menghambat
reabsorpsi Na+, memperbanyak pengeluaran K+ dan air. Mula
kerja diuretik kuat lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada
golongan tiazid sehingga jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum lebih dari 2,5 mg/dL)
atau gagal jantung. Waktu paruh diuretik kuat umumnya pendek sehingga
diperlukan pemberian 2 atau 3 kali sehari.
Efek
samping diuretik kuat adalah menurunkan kalsium darah.
Contoh obat
golongan diuretik kuat: furosemid, torasemid, bumetanid dan asam etakrinat
(Mardjono, 2007).
Kontraindikasi
diuretik kuat antara lain: defisiensi elektrolit, anuria, koma hepatik,
kehamilan muda, hipokalemia, terapi bersama litium ( MIMS, 2007).
b.
Golongan Tiazid
Mekanisme
kerja diuretik tiazid adalah mengeluarkan natrium dari ginjal. Tiazid dapat
digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi ringan sampai sedang, atau dalam
kombinasi dengan antihipertensi lain bila tekanan darah tidak berhasil
diturunkan dengan diuretik saja.
Tiazid
seringkali dikombinasi dengan antihipertensi lain karena:
1)
Dapat meningkatkan efektivitas antihipertensi lain
dengan mekanisme kerja yang berbeda sehingga dosisnya dapat dikurangi.
2)
Tiazid mencegah retensi cairan oleh antihipertensi lain
sehingga efek obat-obat tersebut dapat bertahan.
Pada pasien
gagal ginjal, tiazid kehilangan efektivitas diuretik dan antihipertensinya.
Tiazid efektif untuk pasien hipertensi dengan kadar renin yang rendah, misalnya
pada orang tua. Pada kebanyakan pasien, efek antihipertensi mulai terlihat
dengan dosis hidroklorotiazid 12,5 mg/hari.
Efek
antihipertensi tiazid mengalami antagonisme oleh antiinflamasi non steroid
(AINS) karena antiinflamasi non steroid menghambat sintesis prostaglandin yang
berperan penting dalam pengaturan aliran darah ginjal, transport air dan garam.
Akibatnya terjadi retensi natrium dan air yang akan mengurangi efek hampir
semua obat hipertensi.
Efek samping
tiazid dalam dosis tinggi dapat menyebabkan hipokalemia yang dapat
berbahaya pada pasien yang mendapat digitalis. Efek samping ini dapat dihindari
bila tiazid diberikan dalam dosis rendah atau dikombinasi dengan obat lain
seperti diuretik hemat kalium, atau penghambat enzim konversi angiotensin (ACE-inhibitor),
karena tiazid dapat menyebabkan hiponatremia,
hipomagnesemia serta hiperkalsemia.
Pada penderita diabetes mellitus, tiazid dapat menyebabkan hiperglikemia
karena dapat mengurangi
sekresi insulin.
Contoh obat
golongan tiazid: hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan
diuretik yang memiliki gugus aryl-sulfonamida (indapamid dan klortalidon)
(Mardjono, 2007).
Kontraindikasi
hidroklorotiazid antara lain: anuria, terapi bersama litium, dekompensasi
ginjal ( MIMS, 2007).
c.
Diuretik hemat kalium
Mekanisme
kerja diuretik hemat kalium adalah menahan kalium yang diperlukan oleh
tubuh. Penggunaan diuretik hemat kalium dengan diuretik lain untuk mencegah
hipokalemia. Diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia bila
diberikan pada pasien dengan gagal ginjal, atau bila dikombinasi dengan
penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II, penyekat β adrenoreseptor,
antiinflamasi non steroid atau dengan suplemen kalium. Penggunaan diuretik
hemat kalium harus dihindarkan bila kreatinin serum lebih dari 2,5 mg/dL.
Spironolakton
merupakan antagonis aldosteron sehingga merupakan obat yang terpilih pada
hiperaldosteronisme primer. Obat ini sangat berguna pada pasien dengan
hiperurisemia, hipokalemia dengan intoleransi glukosa. Spironolakton tidak
mempengaruhi kadar Ca++ dan gula darah. Efek samping
spironolakton antara lain gangguan menstruasi dan penurunan libido pada
pria.
Contoh obat
golongan diuretik hemat kalium: amilorid, triamteren dan spironolakton
(Mardjono, 2007).
Kontraindikasi
diuretik hemat kalium antara lain : insufisiensi ginjal akut, anuria,
hiperkalemia, hamil (MIMS, 2007).
2.
Penyekat β adrenoreseptor (Beta blocker)
Zat-zat ini
memiliki sifat kimia yang sangat mirip dengan zat beta-adrenergik isoprenalin.
Khasiat utamanya adalah anti-adrenergik dengan jalan menempati secara bersaing
reseptor β adrenergik. Blokade reseptor ini mengakibatkan peniadaan atau
penurunan kuat aktivitas adrenalin dan noradrenalin (NA). Reseptor-β terdapat
dalam dua jenis, yaitu (Tjay dan Rahardja, 2007) :
a.
Reseptor β-1
Reseptor β-1
terdapat di jantung, Susunan Saraf Pusat, ginjal. Blokade reseptor ini
mengakibatkan pelemahan daya kontraksi (efek inotrop negatif), penurunan
frekuensi jantung (efek kronotrop negatif, bradikardi), perlambatan penyaluran
impuls di jantung (simpuls AV = atrioventrikuler).
b.
Reseptor β-2.
Reseptor b-2
terdapat di bronchia, dinding pembuluh darah, usus. Blokade reseptor ini
menimbulkan penciutan bronchia dan vasokonstriksi perifer agak ringan yang
bersifat sementara (beberapa minggu), mengganggu mekanisme homeostatis untuk
memelihara kadar glukosa dalam darah (efek hipoglikemia).
Mekanisme kerja penyekat β adrenoreseptor terhadap penurunan tekanan darah dapat
dikaitkan dengan hambatan reseptor β-1, antara lain (Mardjono, 2007 : 346):
a.
Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas
miokard sehingga menurunkan curah jantung.
b.
Hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler
ginjal akibat penurunan produksi angiotensin II.
c.
Efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf
simpatis, perubahan reseptor pada sensitivitas baroreseptor, perubahan
aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis prostasiklin.
Penyekat β
adrenoreseptor dapat memiliki sifat-sifat khusus berikut ini (Tjay dan
Rahardja, 2007):
a.
Kardioselektivitas
Kardioselektivitas,
yaitu menghambat terutama reseptor β-1 dengan penurunan tekanan darah tanpa
menimbulkan penciutan bronchia dan pembuluh perifer. Sifat ini terikat pada
dosis, selektivitas berkurang dengan dosis meningkat. Pasien asma, bronchitis
dan diabetes sebaiknya menggunakan dengan berhati-hati obat-obat kardioselektif
seperti asebutolol, atenolol, betaxolol (kerlon), bisoprolol, celiprolol,
esmolol, dan metoprolol.
b.
Efek adrenergik intrinsik
Efek
adrenergik intrinsik (ISA = Intrinsic
Sympathicomimetic Activity) dimiliki oleh pindolol, asebutolol, alprenolol,
celiprolol, dan oxyprenolol. Sifat ini berhubungan dengan keasaman struktur
kimianya dengan beta adrenergik.
c.
Efek stabilisasi membran
Efek
stabilisasi membran juga disebut efek lokal anastetis yang terjadi pada dosis
tinggi. Efek ini dimiliki oleh propranolol, alprenolol, oxprenolol, dan
asebutolol. Beta bloker dengan khasiat lokal anastetik tidak layak digunakan
topikal pada mata.
Penyekat β
adrenoreseptor digunakan sebagai obat tahap pertama pada pasien hipertensi
ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner
(khususnya sesudah infark miokard akut), pasien dengan aritmia supraventrikel
(tachycardia), pasien muda dengan sirkulasi hiperdinamik dan pada pasien yang
memerlukan antidepresan trisiklik atau antipsikotik (karena efek antihipertensi
beta bloker tidak dihambat oleh obat-obat tersebut). Pendapat terbaru
membuktikan bahwa beta bloker, terutama carvedilol dan bisoprolol terbukti
bermanfaat dan telah direkomendasikan dalam JNC VI dan VII untuk pengobatan
gagal jantung dalam kombinasi dengan ACE inhibitor. Penyekat β adrenoreseptor
lebih efektif pada pasien usia muda dan kurang efektif pada pasien usia lanjut.
Penurunan
tekanan darah oleh penyekat β adrenoreseptor yang diberikan per oral
berlangsung lambat. Efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu
setelah terapi dimulai dan tidak diperoleh penurunan tekanan darah lebih lanjut
setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Obat ini tidak menimbulkan retensi air
dan garam.
Contoh obat
golongan penyekat β adrenoreseptor: Atenolol dan bisoprolol. Kontraindikasi penyekat β adrenoreseptor adalah pada pasien dengan asma bronchial.
Penyekat β adrenoreseptor dapat menyebabkan bradikardia, blokade AV, menurunkan
kekuatan kontraksi miokard. Oleh karena itu obat penyekat β adrenoreseptor
dikontraindikasikan pada keadaan asma, bradikardi, blokade AV
(atrioventrikuler) derajat 2 dan 3, sick
sinus syndrome. Penyekat β adrenoreseptor dengan aktivitas simpatomimetik
intrinsik kurang efektif untuk penyakit jantung koroner dan belum terbukti
efektif untuk pasca infark miokard. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
kronik, pemakaian penyekat β
adrenoreseptor dapat memperburuk fungsi ginjal karena penurunan aliran darah
ginjal. Bila harus diberikan pada
pasien dengan diabetes atau dengan gangguan sirkulasi perifer, maka penghambat
selektif β-1 (asebutolol, atenolol, betaxolol (kerlon), bisoprolol, celiprolol,
esmolol, dan metoprolol) adalah lebih baik dibandingkan dengan beta bloker non
selektif, karena efek hipoglikemia relatif ringan serta tidak menghambat reseptor
β-2 yang memperantarai vasodilatasi di otot rangka.
Efek samping penyekat β
adrenoreseptor merupakan bronkospasme pada pasien dengan
riwayat asma bronkial atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), sehingga
pemakaian beta bloker termasuk yang kardioselektif merupakan kontraindikasi
untuk keadaan ini. Efek sentral berupa depresi, mimpi buruk, halusinasi dapat
terjadi dengan beta bloker yang lipofilik seperti propranolol dan oksprenolol.
Gangguan fungsi seksual sering terjadi akibat pemakaian penyekat β
adrenoreseptor, terutama yang tidak selektif (Mardjono, 2007).
Interaksi obat penyekat β adrenoreseptor dengan obat lain dapat terjadi bila
digunakan secara bersamaan, antara lain (Tjay dan Rahardja, 2007):
a.
Penggunaan bersama dengan antagonis kalsium (verapamil
secara intravena, ditiazem, nifedipin,
lidokain, fenothiazin, glafenin, dan floctafenin) dapat menyebabkan hipotensi.
b.
Penggunaan bersama dengan barbital dapat mempercepat
perombakan beta bloker di hati sehingga memperlemah efek beta bloker.
c.
Penggunaan bersama dengan antiinflamasi non steroid
(indometasin dan lain-lain) dapat menurunkan absorpsi beta bloker sehingga
memperlemah efek beta bloker.
d.
Penggunaan bersama dengan klonidin dapat memperbesar
risiko hipertensi rebound, maka terapi
dengan penyekat β adrenoreseptor perlu dihentikan sebelum menggunakan klonidin.
3.
Penghambat
Angiotensin Converting Enzyme
(Penghambat ACE)
Mekanisme kerja penghambat ACE
menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi
dan penurunan sekresi aldosteron.
Berkurangnya produksi angiotensin II oleh ACE inhibitor akan mengurangi
sekresi aldosteron di korteks adrenal yang mengakibatkan terjadi ekskresi air
dan natrium, sedangkan kalium mengalami retensi sehingga ada tendensi
terjadinya hiperkalemia terutama pada gangguan fungsi ginjal. Merintangi enzim
ACE dapat mempertahankan keberadaan zat lain yang disebut bradikinin. Kerja
bradikinin adalah melebarkan pembuluh darah.
Efek
penghambat ACE pada gagal jantung akan sangat mengurangi beban jantung dan akan
memperbaiki keadaan pasien. Pemberian penghambat ACE jangka panjang tidak
menimbulkan toleransi dan penghentian obat ini biasanya tidak menimbulkan
hipertensi rebound. Penghambat ACE tidak mempunyai efek
terhadap metabolisme lipid atau glukosa dan mengurangi resistensi insulin
sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes, dislipidemia, dan
obesitas.
Secara umum
penghambat ACE dibedakan atas dua kelompok (Mardjono, 2007):
a. Yang bekerja langsung, contohnya: kaptopril
dan lisinopril.
b. Prodrug, contohnya: enalapril, kuinapril,
perindopril, ramipril, silazapril, benazepril, dan fosinopril. Obat ini dalam
tubuh diubah menjadi bentuk aktif yaitu: enalaprilat, kuinaprilat,
perindoprilat, ramiprilat, silazaprilat, benazeprilat, dan fosinoprilat.
Kontraindikasi penghambat ACE
pada wanita hamil karena bersifat teratogenik. Pemberian pada ibu menyusui juga
kontraindikasi karena penghambat ACE diekskresi melalui ASI dan berakibat buruk
terhadap fungsi ginjal bayi. Dalam JNC VII, penghambat ACE diindikasikan untuk
hipertensi dengan penyakit ginjal kronik. Namun harus hati-hati terutama bila
ada hiperkalemia, karena penghambat ACE akan memperberat hiperkalemia. Kadar
kreatinin darah perlu dipantau selama pemberian penghambat ACE. Bila terjadi
peningkatan kreatinin, maka obat harus dihentikan. Penghambat ACE
dikontraindikasikan pada stenosis arteri renalis bilateral atau unilateral pada
keadaan ginjal tunggal (Mardjono, 2007).
Efek samping penghambat ACE, antara lain (Mardjono,
2007):
a.
Hipotensi dapat terjadi pada awal pemberian penghambat
ACE, terutama pada hipertensi dengan aktivitas renin yang tinggi. Pemberian
harus berhati-hati pada pasien dengan deplesi cairan dan natrium, gagal jantung
atau yang mendapat kombinasi beberapa antihipertensi.
b.
Batuk kering merupakan efek samping yang paling sering
terjadi dengan insiden 5 - 20 %, lebih sering pada wanita dan lebih sering
terjadi pada malam hari. Diduga efek samping ini ada kaitannya dengan
peningkatan kadar bradikinin dan prostaglandin. Efek samping ini bergantung
pada besarnya dosis dan bersifat reversibel bila obat dihentikan.
c.
Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal atau pada pasien yang juga mendapat diuretik hemat kalium, AINS,
suplemen kalium atau beta bloker.
d. Rash dan gangguan pengecapan
lebih sering terjadi dengan kaptopril, tapi juga terjadi dengan penghambat ACE
yang lain. Diduga karena adanya gugus sulfhifril (SH) pada kaptopril yang tidak
dimiliki oleh penghambat ACE yang lain. Gangguan pengecapan (disgeusia) terjadi
pada kira-kira 7 % pasien yang mendapat kaptopril.
b.
Edema angioneurotenik terjadi pada 0,1 - 0,2 % pasien
berupa pembengkakan di dinding, bibir, tenggorokan, laring dan sumbatan jalan
napas yang bisa berakibat fatal. Efek samping ini terjadi dalam beberapa jam
pertama setelah pemberian penghambat ACE.
c.
Gagal ginjal yang akut yang reversibel dapat terjadi
pada pasien dengan stenosis arteri renalis bilateral atau pada satu-satunya
ginjal yang berfungsi. Hal ini disebabkan dominasi efek penghambat ACE pada
arteriol eferen yang menyebabkan tekanan filtrasi glomerulus semakin rendah
sehingga filtrasi glomerulus semakin berkurang.
d.
Efek teratogenik terutama terjadi pada pemberian selama
trisemester 2 dan 3 kehamilan yang dapat menimbulkan gagal ginjal fetus atau
kematian fetus.
Interaksi obat penghambat
ACE dengan obat lain dapat
terjadi bila digunakan secara bersamaan dengan (Mardjono, 2007):
a)
Kombinasi dengan diuretik hemat kalium dapat
menimbulkan hiperkalemia.
b)
Kombinasi dengan antasida akan mengurangi absorpsi
penghambat ACE.
c)
Kombinasi dengan antiinflamasi non stroid akan
mengurangi efek antihipertensi dan menambah risiko hiperkalemia.
4.
Antagonis
kalsium (CCB)
Mekanisme
kerja antagonis kalsium adalah menghambat pemasukan ion kalsium ekstrasel
ke dalam sel vaskuler otot polos sehingga tegangan vaskuler menurun dan terjadi
vasodilatasi perifer (Goodman dan Gilman, 2008).
Penggolongan
antagonis kalsium secara kimiawi dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu:
a.
Derivat dihidropiridin: efek vasodilatasinya amat kuat,
maka digunakan sebagai obat hipertensi. Contoh: nifedipin, nisoldipin,
amlodipin, felodipin, nicardipin, nimodipin, nitrendipin, lercanidipin,
lacidipin, dan isradipin.
b.
Obat-obat lain: verapamil, diltiazem, dan bepridil.
Verapamil bekerja terhadap jantung (menurunkan frekuensi dan daya kontraksi,
memperlambat penyaluran atrioventrikuler) dan terhadap sistem pembuluh
(vasodilatasi). Diltiazem dapat disamakan khasiatnya dengan verapamil, tetapi
efek inotrop negatifnya lebih ringan. Daya vasodilatasi kedua zat ini lebih
lemah daripada zat dihidropiridin, maka lebih banyak digunakan pada angina
daripada sebagai obat hipertensi. Bepridil tidak bekerja antihipertensi dan
khusus digunakan pada angina stabil.
Efek samping antagonis kalsium:
pusing, nyeri kepala, dan rasa panas di muka (flushing). Derivat dihidropiridin dapat menyebabkan takikardi dan
udema pergelangan kaki (akibat vasodilatasi perifer) yang bersifat sementara.
Derivat obat bukan dihidropiridin dapat menyebabkan bradikardi,
atrioventrikuler block, hipotensi, obstipasi, menghambat agregasi trombosit,
gangguan penglihatan, dan reaksi kulit alergis (Tjay dan Rahardja, 2007).
Kontraindikasi
antagonis kalsium: wanita hamil dan menyusui, hipersensitif, gagal jantung,
hipotensi, bradikardi, infark miokard akut, dan penyakit ginjal kronik (MIMS,
2007).
Interaksi Obat:
-
Kombinasi dengan obat
antihipertensi lain dapat menimbulkan hipotensi.
-
Kombinasi dengan obat
beta-blocker dapat meningkatkan resiko heart block.
-
Dapat meningkatkan serum
konsentrasi obat-obat lain yang di metabolisme oleh sistem isoenzim sitokrom
P450 isoenzim 3A4
5.
Penghambat
Reseptor Angiotensin II (ARB)
Mekanisme
kerja penghambat reseptor angiotensin II adalah dengan menduduki reseptor
angiotensin II yang terdapat di dalam tubuh, antara lain: di miokard, dinding
pembuluh, susunan saraf pusat, ginjal, anak ginjal, dan hati. Efek-efek
angiotensin II diblokir seperti peningkatan tekanan darah dan ekskresi kalium,
retensi natrium, dan air. Efek lain dari penekanan aktivitas sistem renin
angiotensin aldosteron adalah penurunan produksi aldosteron, yang mengakibatkan
bertambahnya ekskresi natrium dan air serta berkurangnya ekskresi kalium.
Kombinasi dari kedua jenis obat kini mulai digunakan untuk lebih efektif
menurunkan tekanan darah (efek aditif ringan).
Penghambat
reseptor angiotensin II sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien
hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti renovaskuler dan hipertensi
genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang
rendah. Pada pasien dengan hipovolemia, maka dosis penghambat reseptor
angiotensin II perlu diturunkan.
Pemberian
penghambat reseptor angiotensin II menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi
frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan hipertensi
rebound. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa
darah.
Contoh obat ini terdiri dari:
losartan, valsartan, irbesartan, candesartan, eprosartan, telmisartan dan
olmesartan (Tjay dan Rahardja, 2007 : 560).
Losartan
merupakan protipe obat golongan penghambat reseptor angiotensin II yang bekerja
selektif pada reseptor angiotensin I. Pemberian obat ini akan menghambat semua
efek angiotensin II, seperti: vasokonstriksi, sekresi aldosteron, rangsangan
saraf simpatis, efek sentral angiotensin II (sekresi vasopresin, rangsangan
haus), stimulasi jantung, efek renal serta efek jangka panjang berupa
hipertrofi otot polos pembuluh darah dan miokard. Penghambat reseptor
angiotensin II menimbulkan efek yang mirip dengan pemberian penghambat ACE.
Tapi karena tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin, maka obat ini dilaporkan
tidak memiliki efek samping batuk kering dan angiodema seperti yang sering
terjadi dengan penghambat ACE.
Kontraindikasi penghambat reseptor angiotensin II
pada kehamilan trisemester 2 dan 3, wanita menyusui, stenosis arteri renalis
bilateral atau stenosis pada satu-satunya ginjal yang masih berfungsi.
Penghambat reseptor angiotensin II bersifat fetotoksik sehingga harus
dihentikan bila pemakainya ternyata hamil.
Efek
samping penghambat reseptor angiotensin II berupa hipotensi yang dapat
terjadi pada pasien dengan kadar renin yang tinggi seperti hipovolemia, gagal
jantung, hipertensi renovaskular, dan sirosis hepatis. Hiperkalemia biasanya
terjadi dalam keadaan tertentu, seperti: insufisiensi ginjal, atau bila
dikombinasi dengan obat-obat yang cenderung meretensi kalium seperti diuretik
hemat kalium, antiinflamasi non steroid dan juga bila asupan kalium berlebihan
(Mardjono, 2007).
6. Obat yang Bekerja Pada Sistem Saraf Pusat
Mekanisme kerja agonis alfa-2
adrenergik menstimulasi reseptor alfa-2 adrenergik yang banyak sekali
terdapat di susunan saraf pusat (otak dan medulla). Akibat perangsangan ini
terjadi penurunan aktivitas saraf adrenergik perifer. Pelepasan noradrenalin
menurun dengan efek menurunnya resistensi perifer dan tekanan darah. Agonis
alfa-2 adrenergik digunakan pada semua bentuk hipertensi dan biasanya
dikombinasi dengan diuretik. Zat ini bukan merupakan pilihan pertama, melainkan
hanya sebagai obat cadangan bila obat-obat hipertensi lainnya kurang
efektif.
Efek
samping yang sering terjadi berupa efek sentral, antara lain: sedasi, mulut
kering, sukar tidur, hidung mampat, pusing, penglihatan kurang, bradikardi,
impotensi, depresi, dan gelisah. Pada umumnya efek ini sering terjadi pada
klonidin dan jarang pada moxonidin, metildopa, dan guanfasin. Hipertensi
rebound dapat terjadi pada penghentian mendadak, terutama pada klonidin dan
reserpin.
Metildopa
dapat digunakan oleh wanita hamil dengan hipertensi, sedangkan obat-obat
lainnya belum memiliki cukup data. Klonidin, moxonidin, dan metildopa
dikontraindikasikan pada wanita menyusui karena obat dapat masuk ke dalam air
susu ibu. Selain itu obat ini dikontraindikasikan pada pasien depresi, gagal
ginjal berat dan penyakit hati. (Tjay dan Rahardja, 2007).
Interaksi
Obat:
•
Methyldopa-simpatomimetik :
meningkatkan tekanan darah, dengan mekanisme menyebabkan penggantian
noradrenalin di ujung saraf adrenergik oleh methylnoradrenaline, yang memiliki
lemah pressor (alpha) aktivitas tapi lebih besar aktivitas vasodilator (beta).
Dengan aktivitas vasodilator diblokir oleh oxprenolol, vasokonstriktor yang
(pressor) aktivitas fenilpropanolamin yang akan terlindung dan berlebihan.
•
Methyldopa-haloperidol :
menurunkan tekanan darah, efek hipotensi mungkin menjadi aditif. Efek SSP tidak
diketahui, meskipun metildopa dapat menyebabkan sedasi, depresi dan demensia,
dan haloperidol dapat menyebabkan mengantuk, pusing dan depresi.
7. Vasodilator Langsung
Mekanisme kerja vasodilator adalah dengan terjadinya vasodilatasi
terhadap arteri dan dengan demikian menurunkan tekanan darah tinggi.
Vasodilator digunakan sebagai obat hipertensi pilihan ketiga bersama dengan
penyekat β adrenoreseptor dan diuretik, bila kombinasi kedua obat penyekat β
adrenoreseptor dan diuretik kurang memberikan hasil. Kombinasi tersebut
menguntungkan karena efek samping vasodilator berupa takikardi dan retensi
garam dan air ditiadakan oleh masing-masing beta bloker dan diuretik.
Efek
samping vasodilator adalah pusing, nyeri kepala, muka merah, hidung mampat,
debar jantung dan gangguan lambung. Biasanya efek ini bersifat sementara.
Hanya
hidralazin dapat digunakan oleh wanita hamil dengan aman, sedangkan dari
dihidralazin dan minoxidil belum tersedia cukup data. Hidralazin, dihidralazin
dan minoxidil dikontraindikasikan pada wanita menyusui karena dapat mencapai
air susu ibu (Tjay dan Rahardja, 2007).
Interaksi Obat:
-
Kombinasi dengan obat kortikosteroid dapat mengurangi efek hipotensi.
-
Kombinasi dengan obat antihipertensi lain, golongan prostaglandin I2
dapat menimbulkan hipotensi.
-
Meningkatkan risiko perdarahan pada penggunaan bersama dengan
antikoagulan, antiplatelet, fibrinolitik
DAFTAR PUSTAKA
MIMS. 2007. MIMS Indonesia
Petunjuk Konsultasi. Edisi 7 2007/2008. Jakarta : CMP Medica.
Brian, H., Golbout,
M. D., Michael, H., Davidson, M. D. 2005. Cardiovascular Disease Practical
Application of the NCEP ATP III Update Patient Care. The Journal of Best Clinical Practices for Tody’s Pyhsicians.
Kementrian
Kesehatan RI. 2014. Info DATIN Pusat Data
dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. KEMENKES RI : Jakarta
Chobanian,
A.V., Bakris, J.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A. , Izzo, Jr, J.L., Jones, DW., et al.,
2003. The seventh report of The Joint National
Committee on prevention, detection, evaluation and treatment of high blood
pressure. http://hyper.ahajournals.org/cgi/content/full/42/6/1206
[diakses 27 Desember 2018].
Delacroix
S, Chokka RG, Worthley SG. 2014. Hypertension: Pathophysiology and Treatment.
Tersedia online di https://www.omicsonline.org/open-access/hypertension-pathophysiology-and-treatment-2155-9562-5-1000250.php?aid=35433#15
[Diakses 27 Desember 2018].
Dipiro J. T., Talbert, R. L., Yee, G.
C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey L. M.. 2015. Pharmacotherapy
: A Patophysiologic Approach, 9th edition. New York: McGraw Hill.
Goodman
dan Gilman. 2008. Dasar Farmakologi Terapi Vol 1. Edisi 10. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC.
ISFI.
2007. Pembekalan Tenaga Farmasi Rumah Sakit Tentang Penyakit Jantung, Diabetes
Mellitus, dan Hipertensi. Media Informasi Farmasi Indonesia . MEDISINA. 1. (3) : 57.
James
PA, Ortiz E, et al. 2014.
evidence-based guideline for the management of high blood pressure in adults:
(JNC8). JAMA. 2014 Feb
5;311(5):507-20
Mardjono,
M. 2007. Departemen Farmakologi Klinik
dan Terapetik. Edisi ke-5. Fakultas Kedokteran. Jakarta : Universitas Indonesia .
PERKI.
2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada
Penyakit Kardiovaskular Edisi Pertama. Jakarta : PERKI
Robbins,
S.L., Cotran, R.S., Kumar, V. 2007. Buku
Ajar Patologi Vol 2. Edisi 7. Diterjemahkan oleh Pendit, B.U. Jakarta :
Buku Kedokteran EGC.
Syahrini,
Erlyna Nur. 2012. Faktor – Faktor Risiko Hipertensi Primer di Puskesmas
Tlogosari Kulon Kota Semarang. Thesis.
Universitas Diponegoro Semarang.
Tjay,
T.H, dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat
Penting. Edisi VI. Cetakan Pertama. Jakarta : PT Elex Media Komputindo
Gramedia.
Weber MA, Schiffrin EL, White WB, Mann
S, Lindholm LH et al. 2014. Clinical
Practice Guidelines for the Management of Hypertension in the Community A
Statement by the American Society of Hypertension and the International Society
of Hypertension. The Journal of Clinical Hypertension 16(1): 14-26.
1 komentar:
According to Stanford Medical, It's really the SINGLE reason this country's women get to live 10 years longer and weigh an average of 19 kilos less than us.
(And by the way, it is not related to genetics or some hard exercise and really, EVERYTHING to around "how" they are eating.)
P.S, What I said is "HOW", and not "WHAT"...
CLICK this link to uncover if this short questionnaire can help you discover your real weight loss potential
Posting Komentar