Rabu, 01 Juli 2020

Analisis Kesehatan Masyarakat Di Daerah Industri Batubara


MAKALAH ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN 2018/2019


Analisis Kesehatan Masyarakat Di Daerah Industri Batubara








PROGRAM PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINAGOR

2018

BAB I

PENDAHULUAN


1.1          Latar Belakang


Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar itu merupakan anugerah dari Allah SWT, di antara sumber daya alam yang dimiliki Indonesia yakni bahan tambang. Di dalam undang – undang Dasar (UUD) Republik Indonesia tahun 1945 pasal 33 ayat 3 dinyatakan sesungguhnya kekayaan sumber daya alam Indonesia di kuasai oleh negara dan digunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat, sehingga bahan tambang juga di kuasai oleh negara untuk kemakmuran masyarakat (Wulandari, 2018).

Kalimantan Timur merupakan salah satu penghasil tambang yang memiliki potensi sumber daya alam yang kaya di Indonesia, minyak mentah,emas, intan, dan batubara adalah beberapa hasil tambang yang berskala besar ditiap tahunnya . Tambang batubara merupakan produk andalan yang berasal dari Kalimantan Timur sekarang ini. Namun, batubara adalah suatu kategori sumber daya alam yang tak terbaharui, sehingga keberadaannya harus dijaga. Sehingga pembangunan nasional dapat bergulir terus-menerus dengan mengedepankan sumber daya alam yang dikelola secara baik (Fatmawati, 2017).

Pertambangan batu bara terbesar di Kalimantan Timur adalah PT. Kaltim Prima Coal (PT.KCP) yang telah berdiri sejak 1982, perusahaan ini anak dari PT. Bumi Resources di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur. Pembangunan di sektor industri yaitu di bidang pertambangan batu bara yaitu sesuatu upaya di mana pemerintah berusaha meningkatkan devisa negara dan ditinjau dari pola kehidupan masyarakat berhubungan langsung dengan peningkatan kebutuhan barang dan jasa, sumber energi, dan sumber daya alam. Sektor industri utama di dalam tataan ekonomi global, yaitu pertambangan batu bara (Wulandari, 2018).

Aktifitas pertambangan dianggap seperti uang logam yang memiliki dua sisi yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sektor ini menyokong pendapatan Negara selama bertahun-tahun dan penyediaan lapangan kerja. Sebagai perusak lingkungan, pertambangan terbuka dapat mengubah secara total baik iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan. Hilangnya vegetasi secara tidak langsung ikut menghilangkan fungsi hutan sebagai pengatur tata air, pengendalian erosi, banjir, penyerap karbon, pemasok oksigen dan pengatur suhu (Fatmawati, 2017).

Keberadaan perusahaan tambang tidak hanya menimbulkan dampak positif tetapi juga dampak negatif. Kecamatan Sangatta Utara merupakan salah satu Kecamatan yang dekat dengan kegiatan pertambangan batubara dan merupakan Kecamatan yang paling merasakan dampak yang diakibatkan dari kegiatan pertambangan batubara, adapun dampak yang dirasakan masyarakat sekitar, yaitu rusaknya hutan yang berada di daerah lingkar tambang batubara, jalanan yang rusak dan berlobang, penurunan kesehatan pada masyarakat dan mengganggu lahan pertanian (Fatmawati, 2017).

Dari data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur Diare adalah termasuk 10 penyakit terbanyak di Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur yang di alami oleh masyarakat Sangatta Kabupaten Kutai Timur. Penyakit ini timbul karena adanya cemaran limbah cair dari pertambangan batubara pada sungai bendili dan sungai pinang. Akibat pencemaran tersebut air sungai yang dulu bersih dan digunakan masyarakat Sangatta tiap harinya kini sudah tidak layak dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari, sebagian masyarakat Sangatta masih mengkonsumsinya dan menggunakan air tersebut sebagai kebutuhan sehari-hari dikarenakan tidak menggunakan air PDAM karena faktor ekonomi (Fatmawati, 2017).

1.2          Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut :

1.    Bagaimana kondisi geografi dan demografi masyarakat Kalimantan Timur khususnya yang bermukim di daerah industri batubara?

2.    Bagaimana analisis kesehatan masyarakat Kalimantan Timur khususnya yang bermukim di daerah industri batubara?

3.    Apa upaya dan solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Kalimantan Timur khususnya yang bermukim di daerah industri batubara?

1.3          Prioritas Masalah


Adapun prioritas masalah yang akan dibahas dan dikembangkan dalam penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui kesehatan masyarakat Kalimantan Timur khususnya yang bermukim Di Daerah Industri Batubara terkait dampak yang ditimbulkan oleh industri batubara terhadap kesehatan masyarakat sekitar.

1.4          Tujuan


Tujuan dilakukan analisis kesehatan ini adalah sebagai berikut :

1.    Mengetahui kondisi geografi dan demografi masyarakat masyarakat Kalimantan Timur khususnya yang bermukim di daerah industri batubara.

2.    Mengetahui kondisi kesehatan masyarakat masyarakat Kalimantan Timur khususnya yang bermukim di daerah industri batubara.

3.    Mengetahui upaya dan solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Kalimantan Timur khususnya yang bermukim di daerah industri batubara.

1.5          Kegunaan


Kajian dalam makalah ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan evaluasi mengenai masalah kesehatan masyarakat Kalimantan Timur khususnya yang bermukim di daerah industri batubara, serta memberikan informasi untuk program perencanaan promosi kesehatan guna meningkatkan status kesehatan masyarakat khususnya yang bermukim di daerah industri batubara.

BAB II


TINJAUAN PUSTAKA


2.1         Kondisi Geografis


Kabupaten Kutai Timur adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Kalimantan Timur. Dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Kutai berdasarkan undang-undang nomor 47 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang, dengan ibukota di Sangatta (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

2.1.1   Batas Administrasi


Kabupaten Kutai Timur memiliki luas 35.747,50 km2 atau 17 persen dari luas Provinsi Kalimantan Timur, terletak antara 115º25’26’’ BT - 118º58’19’’ BT dan 0º02’10’’LS - 1º52’39’’LU (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).



Gambar 2.1 Peta Administrasi Kabupaten Kutai Timur


Batas- batas wilayah Kabupaten Kutai Timur secara administratif adalah (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016) :

·      Sebelah Utara  : Berbatasan dengan Kecamatan Talisayan dan Kecamatan Kelay (Kabupaten Berau);

·      Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Bontang Utara (Kota Bontang), Kecamatan Marang Kayu dan Kecamatan Muara Karam (Kabupaten Kutai Kartanegara);

·      Sebelah Timur : Berbatasan dengan Selat Makasar dan Laut Sulawesi;

·      Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Kembang Janggut dan Kecamatan Tabang (Kabupaten Kutai Kartanegara).

Pada awal terbentuknya Kabupaten Kutai Timur terdiri dari lima kecamatan, yaitu Kecamatan Sangatta, Kecamatan Sangkulirang, Kecamatan Muara Wahau, Kecamatan Muara Bengkal, dan Kecamatan Muara Ancalong. Seiring dengan berjalannya pemerintahan, lima kecamatan tersebut kemudian dimekarkan menjadi 11 kecamatan, dengan tambahan 6 kecamatan baru, yaitu Kecamatan Bengalon, Kecamatan Kaliorang, Kecamatan Sandaran, Kecamatan Telen, Kecamatan Kongbeng, dan Kecamatan Busang. Pada tahun 2005, dilakukan pemekaran kecamatan lagi dengan menambah 7 kecamatan baru, yaitu: Kecamatan Sangatta Selatan, Kecamatan Rantau Pulung, Kecamatan Teluk Pandan, Kecamatan Kaubun, Kecamatan Karangan, Kecamatan Batu Ampar dan Kecamatan Long Mesangat. Sedangkan Kecamatan Sangatta berubah nama menjadi Kecamatan Sangatta Utara. Sampai akhir tahun 2007, Kabupaten Kutai Timur secara administratif memiliki 18 kecamatan dan 135 desa (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

2.1.2   Luas Wilayah


Kabupaten Kutai Timur memiliki luas wilayah 35.747,50 km² atau 17% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Selanjutnya luas wilayah dapat dirinci menurut luas wilayah per kecamatan sebagai berikut (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016) :

Tabel 2.1. Luas Wilayah Kecamatan dan Jumlah Desa di Kabupaten Kutai Timur


2.1.3   Topografi


Topografi Kabupaten Kutai Timur bervariasi dari yang berupa dataran, berbukit hingga pegunungan, serta pantai dengan ketinggian tanah bervariasi antara 0-7 meter hingga lebih dari 1.000 meter dari permukaan laut. Kawasan yang relatif datar dan landai hanya terdapat di Kecamatan Sangatta Utara, Muara Bengkal, Muara Ancalong dan sebagian Muara Wahau dan Sangkulirang (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

Daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Berau pada Kecamatan Sangkulirang, Muara Wahau dan Muara Ancalong merupakan daerah pegunungan kapur dengan kawasan pegunungan dan perbukitan yang paling luas yaitu 1.608.915 Ha dan 1.429.922,5 Ha sedangkan dataran/landai 536.212,5 Ha yang terdiri dari daratan, rawa dan perairan berupa sungai dan danau. Jaringan sungai terdapat di seluruh kecamatan sedangkan danau hanya di Kecamatan Muara Bengkal yaitu Danau Ngayau dan Danau Karang (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

Wilayah pantai yang berada di sebelah timur kabupaten mempunyai ketinggian antara 0-7 meter diatas permukaan laut di mana wilayah ini mempunyai sifat kelerengan yang datar, mudah tergenang rawa dan merupakan daerah endapan. Sebagian besar wilayah Kabupaten Kutai Timur mempunyai kelerengan di atas 15%, wilayah dengan kelerengan di atas 40% mempunyai areal cukup luas, yang tersebar di seluruh wilayah, khususnya terkonsentrasi di bagian barat laut, di mana wilayahnya mempunyai ketinggian diatas 500 meter diatas permukaan laut. Wilayah dengan ketinggian 500 meter diatas permukaan laut mempunyai sifat berbukit sampai bergunung dengan kelerengan lebih dari 40% dan sangat potensi erosi (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

2.1.4   Iklim dan Hidrologi


Kabupaten Kutai Timur beriklim hutan tropika humida dengan suhu udara rata-rata 26:C, di mana perbedaan suhu terendah dengan suhu tertinggi mencapai 5:C - 7:C, jumlah curah hujan antara 2000-4000 mm/tahun, dengan jumlah hari hujan rata-rata adalah 130-150 hari/tahun (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

Potensi hidrologi di Kabupaten Kutai Timur cukup besar, terutama adanya aliran beberapa sungai antara lain Sungai Sangatta, Sungai Marah dan Sungai Wahau. Peranan sungai di daerah ini sangat penting yaitu sebagai sarana transportasi air antara daerah pantai dan daerah pedalaman, selain itu juga dimanfaatkan sebagai sumber air minum penduduk di sepanjang wilayah yang dilaluinya (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).


2.2         Analisis Demografi


Persoalan kependudukan seperti pertumbuhan penduduk beserta karakteristik faktor yang mempengaruhinya, baik karena tingkat fertilitas dan mortalitas atau karena tingkat migrasi, akan berdampak dalam upaya intervensi pembangunan yang dilaksanakan, seperti: penyediaan infrastruktur yang memadai serta lapangan pekerjaan yang cukup di masa mendatang. Pada Tabel 2.2, dijelaskan bahwa pada tahun 2012 jumlah penduduk Kabupaten Kutai Timur sebesar 285.743 jiwa mengalami pertambahan penduduk sebanyak 16.357 jiwa, menjadi 302.100 jiwa di tahun 2013, atau mengalami pertumbuhan sebesar 5,41%. Sedangkan di tahun 2015 jumlah penduduk Kabupaten Kutai Timur sebesar 337.677 jiwa yang terdiri atas 183,653 laki – laki dan 154.024 Perempuan dengan rasio jenis kelamin 119. Angka ini berarti bahwa terdapat 119 Laki – laki di antara 100 perempuan (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

Pertumbuhan penduduk tersebut sebagian karena migrasi masuk ke Kabupaten Kutai Timur yang umumnya dikarenakan alasan ekonomi atau mencari pekerjaan baik secara perseorangan maupun tumbuhnya investasi atau lapangan usaha dalam berbagai sektor ekonomi, baik sektor primer, sekunder, maupun tersier, mulai dari skala usaha mikro, kecil, menengah sampai besar (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).



Tabel 2.2 Perbandingan Jumlah Penduduk Pada Tiap Kecamatan Tahun 2012, 2013 2014 dan 2015 Di Kabupaten Kutai Timur


Jumlah penduduk tertinggi di Kutai Timur terdapat di Kecamatan Sangatta Utara dengan jumlah penduduk sebesar 95.312 Jiwa, Bengalon sebesar 29.982 jiwa, dan Sangatta Selatan 24.033 Jiwa. Jumlah penduduk terendah terdapat di Kecamatan Batu Ampar Sebesar 5.549 Jiwa, Kecamatan Long Mesangat sebesar 5.614 jiwa, dan Kecamatan Busang sebesar 5.715 jiwa (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

Jumlah penduduk tahun 2015 ini merupakan estimasi jumlah penduduk dengan basic data Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010, dimana pada saat itu jumlah penduduk Kabupaten Kutai Timur disensus sebesar 253.996 jiwa, yang terdiri dari 137.982 jiwa penduduk laki – laki dan 116.014 jiwa penduduk perempuan (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

Struktur umur penduduk menurut jenis kelamin dapat digambarkan dalam bentuk piramida penduduk. Berdasarkan estimasi penduduk yang telah dilakukan, dapat disusun sebuah piramida penduduk Kutai Timur tahun 2015. Dasar piramida menunjukkan jumlah penduduk, badan piramida bagian kiri menunjukkan banyaknya penduduk laki – laki dan badan piramida bagian kanan menunjukkan jumlah penduduk perempuan. Piramida tersebut merupakan gambaran struktur penduduk yang terdiri dari struktur penduduk muda, dewasa, dan tua. Struktur penduduk ini menjadi dasar bagi kebijakan kependudukan, sosial, budaya dan ekonomi (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).


Gambar 2.2 Estimasi Piramida Penduduk Pada Kelompok Umur Kabupaten Kutai Timur Tahun 2015

Pada Gambar 2.2 ditunjukkan bahwa struktur penduduk di Kutai Timur termasuk dalam struktur penduduk muda. Hal ini dapat diketahui bahwa dari banyaknya jumlah penduduk usia muda (0 -14 tahun) yang masih tinggi. Angka harapan hidup semakin meningkat yang ditandai dengan meningkatnya jumlah usia tua, untuk laki – laki dan perempuan. Badan piramida membesar, ini menunjukkan banyaknya jumlah penduduk usia produktif terutama pada kelompok usia 25 – 29 tahun dan 30 – 34 tahun, baik laki – laki dan perempuan. Jumlah golongan penduduk usia tua juga cukup besar. Hal ini dapat dimaknai dengan semakin tingginya usia harapan hidup (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

2.3         Analisis Kesehatan


Derajat Kesehatan Masyarakat Kabupaten Kutai Timur ditunjukkan dengan suatu indikator status kesehatan, yaitu Angka Kematian, Angka Kesakitan, Kondisi Sosial Ekonomi, dan Kondisi Fisik dan Lingkungan (BPS Kabupaten Kutai Timur). Gambarannya dari berbagai data dan informasi yang dilaporkan adalah sebagai berikut :

2.3.1   Angka Kematian


a.    Angka Kematian Bayi (AKB)

Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah penduduk yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun yang dinyatakan dalam 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Usia bayi merupakan kondisi yang rentan baik terhadap kesakitan maupun kematian. Dari 87 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup, lebih dari tiga perempatnya (79%) merupakan kontribusi dari bayi umur 0-28 hari atau neonatus. Kabupaten Kutai Timur selama tahun 2015 berdasarkan sistem pelaporan Pemantauan Wilayah Sekitar Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA) di dapatkan jumlah kematian neonates sebesar 69 kasus kasus berbanding 5.868 kelahiran hidup di tahun tersebut dengan nilai AKB sebesar 14,83 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini sedikit lebih rendah jika dibandingkan Angka Kematian Bayi pada tahun 2014 yaitu sebesar 14,87 per 1.000 kelahiran hidup. Capaian di Kutai Timur masih lebih baik jika dibandingkan dengan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup dan target MDGs 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).


Gambar 2.3 Angka kematian bayi Di Kutai Timur Tahun 2011 – 2015



Kematian bayi di tahun 2015 disebabkan oleh BBLR 33 Kasus, Asfiksia 18 Kasus, Kelainan Kongenital 6 Kasus, Diare dan Sepsis masing – masing 2 kasus, serta 27 kasus akibat penyebab lainnya. Puskesmas Muara Bengkal menjadi daerah dengan kematian bayi terbesar yaitu sebanyak 11 bayi berbanding 223 kelahiran hidup, disusul dengan puskesmas Sangatta Selatan dengan 8 bayi dari 428 kelahiran hidup dan Puskesmas Long Mesangat dengan 7 Bayi dari 125 kelahiran hidup (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

b.    Angka Kematian Balita

Angka Kematian Balita (AKABA) adalah jumlah anak yang meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun (termasuk kematian pada neonatus dan bayi) yang dinyatakan sebagai angka per 1.000 kelahiran hidup. AKABA merepresentasikan risiko terjadinya kematian pada fase antara kelahiran dan sebelum umur 5 tahun. Berbagai upaya dapat dilakukan agar adanya penurunan kematian balita. Pada usia neonatal yaitu : meningkatkan keterjangkauan akses pelayanan neonatal, inisiasi menyusui dini dan perlindungan tetanus nenatorum. Untuk kelompok Bayi dan anak balita upaya yang dapat dilakukan berupa : peningkatan cakupan imunisasi dasar, dan dukungan peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi bayi dan anak balita. Informasi jumlah kematian neonatal, bayi dan balita menurut jenis kelamin, kecamatan dan puskesmas disajikan pada Gambar. 2.4 (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).


Gambar 2.4 Angka Kematian Balita Per 1.000 Kelahiran Hidup Di Kutai Timur, Tahun 2011 – 2015

c.    Angka Kematian Ibu Maternal

Angka Kematian Ibu (AKI) juga menjadi salah satu indikator penting dari derajat kesehatan masyarakat. AKI menggambarkan jumlah wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu pada tahun 2016 naik dibandingkan pada tahun
2015. Hal tersebut ditandai dengan turunnya angka kematian Ibu, jika pada Tahun 2016 sebesar 97,65/100.000 Kelahiran Hidup yaitu sejumlah 12 kasus, sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 11 kasus sebesar 87,5/100.000
(Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).


Gambar 2.5 Angka Kematian Ibu Per 100.000 Kelahiran Hidup Di Kutai Timur, Tahun 2011 – 2015

Untuk Kabupaten Kutai Timur, AKI pada 5 tahun terakhir menunjukkan tren menurun di periode 2010 – 2014 namun di tahun 2015 sedikit meningkat 2 poin., seperti terlihat pada Gambar 2.6. Pada tahun 2015 terjadi kasus kematian ibu sebanyak 12 ibu meninggal dunia jumlah yang sama dengan kasus di tahun 2014 berbanding kelahiran hidup di tahun 2015 sebanyak 5.868 kelahiran hidup, sedangkan di tahun 2014 sebesar 5.916, sehingga AKI 2015 adalah 204 per 100.000 kelahiran hidup meningkat 2 point dibanding tahun 2014. Dengan demikian Kabupaten Kutai Timur tidak mampu mencapai target MDG’s pada tahun 2015 yaitu kematian ibu sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup. Kasus kematian pada ibu disebabkan oleh Hipertensi Dalam Kehamilan (HDK) 8 kasus, Infeksi 2 Kasus, pendarahan dan ganguan sistem peredaran darah, masing – masing 1 kasus kematian (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

2.3.2   Angka Kesakitan (Morbiditas)


Morbiditas adalah angka kesakitan, baik insiden maupun prevalen dari suatu penyakit.Morbiditas menggambarkan kejadian kesakitan dalam suatu populasi pada kurun waktu tertentu. Morbiditas juga berkiperan dalam penilaian terhadap derajat kesehatan masyarakat. Kondisi kesehatan masyarakat di Kabupaten Kutai Timur tahun 2015 dapat dicermati dari pola penyakit penderita yang berkunjung ke sarana kesehatan tingkat pertama yaitu puskesmas (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

Metode pencatatan dan pelaporan kejadian penyakit yang diterapkan di Kabupaten Kutai dihimpun melalui Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP) – Laporan Bulanan 1 (LB1), kendala infrastuktur dan letak geografis antara satu lokasi puskesmas dengan letak puskesmas yang lainnya maupun letak antara puskesmas dengan Dinas Kesehatan yang jauh menjadi alasan belum bisa diterapkan Sistem Informasi Puskesmas yang terintegrasi. Berikut menyajikan pola 10 penyakit terbanyak yang berkunjung ke puskesmas dan sarana kesehatan yang ada (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).


Tabel 2.3 10 Penyakit Terbanyak di Sarana Kesehatan Tingkat I

                                Kabupaten Kutai Timur Tahun 2015


Pada tahun 2015 Nasofaringitis akut menjadi penyakit terbesar sama seperti kondisi tahun 2014, 2013 dan 2012, dengan jumlah kasus mencapai 32.250 Kasus, angka ini lebih tinggi jika dibandingkan jumlah penyakit yang sama di tahun 2014 dan 2013 yaitu sebesar 30.723 dan 29.662 kasus. Nasofaringitis akut sendiri merupakan keadaan infeksi anak yang paling lazim, tetapi kemaknaannya terutama tergantung pada frekuensi relatif dari komplikasi yang terjadi (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

Pada anak-anak sindrom ini lebih luas daripada orang dewasa, sering melibatkan sinus paranasal dan telinga tengah serta nasofaring. Selain penyakit menular beberapa penyakit tidak menular masuk dalam daftar 10 besar penyakit yang ada di Kutai Timur, yaitu Hipertensi Primer dengan 15.382 kasus, Grastitis dengan 10.348 kasus, Faringitis akuta dengan 7.606 kasus dan Dispepsia dengan 5.544 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

2.3.3   Kondisi Fisik dan Lingkungan


Masalah kesehatan merupakan suatu masalah yang sangat komplek, yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat (Notoatmodjo, 2003). Menurut model segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat interaksi satu sama lain yaitu antara faktor lingkungan, agent dan host (Timmreck, 2004).

Pemeriksaan sumber air sehat pada Sumber air minum melalui perpipaan yang berasal dari PDAM merupakan pilihan utama masyarakat Kutai Timur, tercatat sebanyak 58% penduduk mengakses PDAM, namun dengan terbatasnya akses PDAM masyarakat memilih sumber air minum yang lain diluar perpipaan khususnya masyarakat yang berdomisili di luar perkotaan. Pemilihan sumber air minum terbesar diluar perpipaan adalah Sumur Gali Terlindung yaitu sebanyak 25% disusul penampungan air hujan sebanyak 8%, sumur gali dengan pompa sebanyak 5%, akses lain – lain yang terdiri atas sumur bor dengan pompa, terminal air masing – masing, dan mata air terlindung sebesar 4%. Informasi ini tersaji pada Gambar 2.6 (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).


Gambar 2.6 Persentase Penduduk Dengan Akses Berkelanjutan Terhadap Air Minum Berkualitas Di Kabupaten Kutai Timur Tahun 2015

Sanitasi yang baik merupakan elemen penting yang menunjang kesehatan manusia. Sanitasi berhubungan dengan kesehatan lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Buruknya kondisi sanitasi akan berdampak negatif di banyak aspek kehidupan, mulai dari turunnya kualitas lingkungan hidup masyarakat, tercemarnya sumber air minum bagi masyarakat, meningkatnya jumlah kejadian diare dan munculnya beberapa penyakit (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

Akses masyarakat terhadap pemilihan sanitasi rumah tangga yang ada di Kutai Timur pada tahun 2014 ditampilkan pada Gambar 2.7 berikut.


Gambar 2.7 Penduduk Dengan Akses Terhadap Fasilitas Sanitasi

Yang Layak (Jamban Sehat) Menurut Jenis Jamban di

Kabupaten Kutai Timur Tahun 2015

Pada tahun 2015 akses menurut jenis fasilitas sanitasi layak berturut – turut : Jamban dengan Leher Angsa dengan persentase 87%, jenis cemplung dengan 6%, jenis komunal dengan 4%, dan Jenis Jamban plengseran dengan persentase 3% Sedangkan akses masyarakat Terhadap Fasilitas Sanitasi Yang Layak (Jamban Sehat) Menurut Jenis Jamban di masing–masing kecamatan dan puskesmas disajikan secara terperinci. Pelaksanaan STBM pada tahun 2015 telah dilakukan di 134 desa atau mencapai 99% dari jumlah seluruh desa. Sedangkan jumlah desa Stop BABS sejumlah 7 desa atau mencapai 5% dari jumlah seluruh desa (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

Pengembangan lingkungan sehat di Kabupaten Kutai Timur telah dilakukan, dan salah satu indikatornya adalah Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).STBM mencakup 5 (lima) pilar, yaitu Stop Buang Air Bersih Sembarangan (BABS), cuci tangan pakai sabun, pengelolaan air minum rumah tangga, penanganan sampah rumah tangga, dan pengelolaan limbah rumah tangga. Desa bisa dikatakan STBM apabila bisa memenuhi salah satu pilar tersebut yang dinyatakan dengan deklarasi masyarakat dan ditandatangani oleh camat (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

2.3.4   Kondisi Sosial dan Ekonimi Penduduk


Sekitar 80% dari kabupaten/kota di Indonesia termasuk kategori endemis dan lebih dari 45% penduduknya berdomisili di desa endemis, termasuk wilayah Kabupaten Kutai Timur. Wilayah endemis pada umumnya adalah desa – desa terpencil dengan kondisi lingkungan yang tidak baik, sarana transportasi dan komunikasi yang sulit, akses pelayanan kesehatan kurang, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat yang rendah, serta buruknya perilaku masyarakat terhadap kebiasaan hidup sehat. Pertumbuhan penduduk pada Kabupaten Kutai Timur sebagian karena migrasi masuk ke Kabupaten Kutai Timur yang umumnya dikarenakan alasan ekonomi atau mencari pekerjaan baik secara perseorangan maupun tumbuhnya investasi atau lapangan usaha dalam berbagai sektor ekonomi, baik sektor primer, sekunder, maupun tersier, mulai dari skala usaha mikro, kecil, menengah sampai besar (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).

2.4         Gambaran Perilaku Masyarakat


Perilaku Higiene dan Sanitasi merupakan perilaku hidup bersih dan sehat bagi masyarakat. Studi Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan (Enviromental Health Risk Assessment = EHRA) menitikberatkan pada perilaku cuci tangan pakai sabun, perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Untuk perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) di Kabupaten Kutai Timur hasil pendataan survey EHRA mengatakan sebanyak 95,6 % masyarakat tidak melakukan praktek CTPS, sisanya 4,4 % melakukan cuci tangan pakai sabun. Ketersediaan sarana sabun dalam jamban menjadi penentu praktek cuci tangan pakai sabun. Untuk ketersediaan sabun dalam jamban, EHRA menjelaskan bahwa sebanyak 64,3 % masyarakat menyediakan sabun sedangkan 35,7 % ketersediaan sabun dalam jamban tidak ada. Kapan saja masyarakat melakukan CTPS di kabupaten Kutai Timur, survey membuktikan waktu sebelum makan sebanya 88,9 %, sesudah makan memiliki bobot 48,9 %. Setelah Buang Air Besar (BAB) sebanyak 62.3 %. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Untuk BABS di Kabupaten Kutai Timur menurut hasil analisis EHRA menyebutkan sebanyak 30,5 % masyarakat masih BABS sedangkan yang sudah terfokus sebesar 69,5 % (Laporan EHRA Kabupaten Kutai Timur, 2015).




Gambar 2.8 Grafik CTPS Di Lima Waktu Penting Untuk Kabupaten Kutai Timur

Dari Gambar 2.8 dapat diketahui bahwa praktek Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) di 5 waktu penting masyarakat Kabupaten Kutai Timur masih relatif rendah. Nilai CPTS tertinggi dengan nilai sebesar 80,4% (Laporan EHRA Kabupaten Kutai Timur, 2015).


Grafik 2.9 Kebiasaan Ibu mencuci tangan dengan sabun

Dari Gambar 2.9 dapat diketahui bahwa praktek Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS), dilakukann terbanyak sebelum makan 71,4%, setelah buang air besar 67,2%, sedangkan yang terendah adalah sebelum ke toilet sebanyak 15,7% (Laporan EHRA Kabupaten Kutai Timur, 2015).


Gambar 2.10 Grafik BABS Di Kabupaten Kutai Timur

Dari Gambar 2.10 dapat diketahui bahwa praktek Prilaku Buang Air Besar sembarangan dangan tidak BABS sama 50 % dengan berarti masih ada prilaku yang menyimpang sekitar 50% yang harus diberikan pemicuan Stop Buang Air besar sembarangan (Laporan EHRA Kabupaten Kutai Timur, 2015).

2.5         Dampak Lingkungan Galian Tambang Batubara bagi Kesehatan Masyarakat


2.5.1   Pencemaran Air


Adanya perusahaan pertambangan batubara tentu dampak negatifnya yang banyak terlihat ataupun menonjol. Sungai Sangatta yang tercemar tentu dapat mengganggu kesehatan masyarakat. air sungai yang digunakan masyarakat seharihari kini tidak layak pakai karena telah tercemar (Fatmawati, dkk., 2017).

Memang kegiatan penambangan batubara merupakan komoditas yang sangat menjanjikan untuk penambahan devisa bagi negara. Namun disisi lain penambangan batubara merupakan juga salah satu kegiatan penghasil air limbah dengan kandungan bahan-bahan yang berbahaya, terlebih jika kegiatan penambangan tersebut berada di hulu sungai, walaupun limbah cair dari  kegiatan tambang terlebih dahulu diolah melalui kolam pengendap sebelum di alirkan ke badan air.Pencemaran air yang diakibatkan dari limbah cair dari adanya perusahaan pertambangan batubara yang ada di kota Sangatta merupakan dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan batubara, yang dimana limbah cair ini akan sangat dirasakan oleh warga saat musim hujan datang. Selain limbah ini berdampak kepada kesehatan warga karena air sungai yang tak layak pakai, limbah merupakn erosi tanah pada saat pembuatan jalan dan pengupasan lahan perusahaan (Fatmawati, dkk., 2017).

Aktivitas pertambangan yang meyebabkan tercemarnya sungai-sungai di Sangatta dapat menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat Sangatta. Sesuai dengan wawancara bapak Selfinus di atas bahwa limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan dapat mencemari air di sungai dan menganggu kesehatan masyarakat setempat. Berbahayanya  limbah pencucian (limbah cair) yang mencemari air sungai sehingga warna air sungai menjadi keruh, asam, dan menyebabkan pendangkalan sungai akibat endapan pencucian batubara tersebut.Sayangnya, sampai sekarang tidaka ada informasi dari perusahaan pertambangan terhadapnya bahayanya proses pencucian batubara kepada masyarakat di sekitar pertambangan. Karena limbah cair dari hasil pencucian batubara ini dapat menyebabkan penyakit kulit (gatal-gatal), gangguan pencernaan, paru dan kanker otak. Gejala penyakit tersebut akan terlihat,jika air sungai tempat buangan limbah digunakan masyarakat secara terus-menerus (Fatmawati, dkk., 2017).

Aliran sungai bendili dan sungai pinang tercemar akibat limbah cair dari pertambangan PT. Kaltim Prima Coal. Akibat pencemaran tersebut air sungai yang dulu bersih dan digunakan masyarakat Sangatta setiap harinya kini sudah tidak layak dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari karena dapat mengganggu kesehatan, tetapi masih ada pula sebagian masyarakat Sangatta masih mengkonsusmsinya dan menggunakan air tersebut sebagai kebutuhan sehari-hari dikarenakan tidak menggunakan air PDAM karena faktor ekonomi. Adapun penyakit dari pencemaran air sungai ini seperti kudis atau gatal-gatal, diare, dan hepatitis A, dari ketiga penyakit ini memang sering terjadi pada masyarakat yang tinggal dekat dengan sungai (Fatmawati, dkk., 2017). 

Dengan adanya pertambangan, lingkungan masyarakat menjadi tercemar seperti sungai yang menjadi salah satu kebutuhan masyarakat Sangatta yang kini tercemar oleh limbah kegiatan pertambangan, tentu hal ini sangat merugikan semua pihak. Akan tetapi perusahaan PT. Kaltim Prima Coal juga selalu memberikan bantuan terhadap masyarakat yang ada di Kecamatan Sangatta Utara karena di ketahui dekat dengan area aktivitas pertambangan (Fatmawati, dkk., 2017).

2.5.2   Pencemaran Udara


Pencemaran udara yang terjadi akibat kegiatan penambangan batubara sangat mengganggu kesehatan masyarakat karna sering menghirup udara kotor atau debu. Dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur penyakit yang diakibatkan dari polusi udara masuk dalam 10 penyakit terbanyak tahun 2016 yaitu, penyakit Faringitis akut yang mana penyakit faringitis akut ini adalah penyakit yang disebabkan oleh polusi udara atau debu. Penyakit faringitis akut sama saja dengan radang tenggorokan yang terjadi dari kuman dan semacamnya. Penyakit ini bisa dialami oleh usia muda dan tua yang tandanya tidak bisa ditandai (Fatmawati, dkk., 2017).  

Dampak dari adanya kegiatan pertambangan batubara salah satunya yaitu polusi udara yang diakibatkan debu. Hal ini jelas menganggu bagi para pengguna jalan khususnya pengguna roda dua karna dapat menganggu penglihatan dan juga hal ini mempengaruhi jarak pandang di jalan raya. Jika hal ini terjadi terus menerus bisa mengganggu pernapasan bagi masyarakat daerah sekitar tembang dan apalagi jika debu bercampur dengan makanan tentu akan menimbulkan penyakit karena mengandung berbagai macam kotoran hingga virus (Fatmawati, dkk., 2017).

Dari hasil observasi menunjukkan bahwa kegiatan pertambangan batubara menimbulkan pencemaran udara atapun polusi udara. Dampak yang ditimbulkan ini banyaknya masyarakat yang tidak tahan adanya debu yang beterbangan dan diikuti dengan panasnya matahari di Sangatta, hal ini menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat di sekitar dan berbagai penyakit timbul akibat pencemaran ini. Adapun penyakit yang ditimbulkan berdasarkan kasus adalah gangguan saluran pernapasan atau faringitis. Adapun data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur yang menyatakan bahwa penyakit akibat pencemaran udara masuk dalam data 10 penyakit terbanyak di Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur dan berada dalam urutan ke-9 yaitu penyakit faringitis (Fatmawati, dkk., 2017). 

Penyakit faringitis akuta berada dalam urutan ke-9 dari data 10 penyakit terbanyak Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur. Dari jumlah data yang lama diatas bahwa laki-laki yang menderita faringitis akuta berjumlah 1822 orang sedangkan data yang baru berjumlah 1935 orang. Jumlah data yang lama perempuan yang menderita faringitis akuta berjumlah 1771 orang sedangkan data yang baru berjumlah 1853 orang. Jumlah laki-laki yang menderita faringitis akuta lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perempuan yang menderita faringitis akuta. Dan total jumlah penderita faringitis akuta laki-laki dan perempuan adalah sebanyak 7381 orang (Fatmawati, dkk., 2017).

2.5.3   Kerusakan Flora dan Fauna


Kerusakan flora dan fauna yang terjadi akibat kegiatan pertambangan batubara sudah pasti terjadi. Akan tetapi dalam hal ini perusahaan juga bertanggung jawab dalam mengatasi masalah tersebut. Bekas penambangan yang ada di Dusun Kabojaya dijadikan tempat peternakan sapi dan pihak perusahaan juga membuat sebuah penangkaran satwa liar di Dusun Kabojaya karena sering terjadi adanya satwa liar yang masuk kepemukiman warga sehingga mengganggu aktivitas warga. Dan Pembangunan tersebut terjadi karena adanya kerjasama antara pihak perusahaan dan masyarakat setempat (Fatmawati, dkk., 2017).

Ada beberapa lokasi mengalami kerusakan flora dan fauna yaitu satwa liar kehilangan tempat tinggalnya, lokasinya terdapat di Dusun Kabo Jaya. Akibat kegiatan pertambangan yang dilakukan, satwa-satwa liar pun kehilangan tempat tinggalnya, sehingga harus masuk kepemukiman warga. Hal ini dapat membahayakan masyarakat setempat seperti melukai atau mencakar. Kerusakan perkebunan juga bisa rusak akibat kegiatan penambangan tersebut, tanaman yang ditanam oleh masyarakat akan menjadi tidak sehat dan tak layak konsumsi dan lokasi perkebunan masyarakat terletak di Dusun Kabo Jaya, Singa Gembara dan dijalan Poros Sangatta-Bengalon berada dekat dengan kegiatan penambangan sehingga dapat merusak kualitas kelayakan tanaman tersebut. Adapun penyakit yang dapat diderita oleh masyarakat yaitu gangguan pencernaan ataupun diare. Karena tanaman (sayur-sayuran) atau buah-buahan yang dikonsumsi masyarakat apabila terkena debu dari kegiatan pertambangan akan merusak kesehatan masyarakat karena debu yang berasal dari pertambangan batubara mengandung zat kimia yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat setempat (Fatmawati, dkk., 2017).

Dengan meluasnya area pertambangan batubara dapat menyebabkan kerusakan lingkungan serta bertambahnya penurunan kesehatan masyarakat di sekitar pertambangan. Kerusakan lingkungan tersebut berupa penggundulan hutan, pencemaran udara, dan, pencemaran air yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Dengan meluasnya kerusakan hutan dapat menyebabkan banjir dan punahnya hewan maupun tumbuhan yang ada di sekitar area pertambangan. Karena hutan tempat mereka tinggal telah rusak, tanah tempat mereka tumbuh juga telah tercemar, dan air yang merupakan sumber kebutuhan mereka juga tercemar. Sehingga lambat laun mahkluk hidup yang ada disana akan punah (Fatmawati, dkk., 2017).

2.6         Gambaran Penyakit


Perusahaan tambang batubara di kabupaten Kutai Timur tidak hanya menimbulkan dampak positif namun juga membawa dampak negatif. Adapun dampak negatif yang terjadi adalah pencemaran lingkungan. Akibat pencemaran tersebut, air sungai yang dulu bersih dan digunakan masyarakat setiap harinya kini sudah tidak layak dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari karena dapat mengganggu kesehatan, namun ada pula sebagian masyarakat masih mengkonsumsinya dan menggunakan air tersebut dan tidak menggunakan air PDAM karena faktor ekonomi. Selain itu, buruknya kondisi sanitasi juga berdampak negatif di banyak aspek kehidupan, mulai dari turunnya kualitas lingkungan hidup masyarakat, tercemarnya sumber air minum bagi masyarakat dan meningkatnya jumlah kejadian diare di Kabupaten Kutai Timur (Fatmawati dkk., 2017). Persentase penemuan dan penanganan kasus diare di Kabupaten Kutai Timur selama tahun 2010 - 2015 disajikan pada gambar berikut.


Gambar 2.11 Persentase Penemuan dan Penangan Diare di Kutai Timur Tahun 2010 – 2015

Dari estimasi kasus sebesar 7.226 kasus selama tahun 2015, ternyata jumlah kasus yang terjadi mencapai 10.605 kasus. Hal inilah yang menyebabkan persentase kasus diare mencapai 146,76%. Peningkatan ini tidak lepas dari adanya kemarau panjang yang terjadi di tahun 2015, sehingga menyebabkan akses masyarakat terhadap air bersih sangat terbatas. Hal ini terutama terjadi pada kelompok masyarakat yang belum tercover areal PDAM.  Insiden diare berdasarkan gejala pada seluruh kelompok umur sebesar 3,5% (kisaran menurut provinsi 1,6%- 6,3%) dan insiden diare pada balita sebesar 6,7% (kisaran provinsi 3,3%-10,2%). Sedangkan period prevalensi diare pada seluruh kelompok umur berdasarkan gejala sebesar 7% dan pada balita sebesar 10,2% (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2015).

2.7         Diare


2.7.1   Definisi


Diare adalah peningkatan frekuensi dan penurunan konsistensi pengeluaran feses dibandingkan dengan pola individu normal (Dipiro, et al, 2009). Menurut WHO, pengertian diare adalah buang air besar dengan konsistensi cair (mencret) sebanyak 3 kali atau lebih dalam satu hari (24 jam).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2000), jenis diare dibagi menjadi empat yaitu:

1.  Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7 hari). Akibat diare akut adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian bagi penderita diare.

2.  Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, kemungkinanterjadinya komplikasi pada mukosa.

3.  Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan metabolisme.

4.  Diare dengan masalah lain, yaitu anak yang menderita diare (diare akut dan diare persisten), mungkin juga disertai dengan penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.

2.7.2   Diagnosis


Langkah diagnosis yang dilakukan pada diare adalah sebagai berikut : anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium mencakup tinja, darah, kultur tinja, serologi, juga dilakukan foto dan endoskopi (Daldiyono, 1997).

a.    Anamnesis

Anamnesis pada penderita diare harus cermat dengan tujuan untuk mengusahakan data yang mengarah pada penggolongan berdasarkan patofisiologi maupun untuk mencari data penggolongan berdasarkan etiologi, serta derajat berat ringannya penyakit secara rinci (Daldiyono, 1997). Anamnesis yang perlu diketahui adalah sebagai berikut :

1.        Umur

Umur penderita perlu diketahui untuk semua keadaan. Pada masalah diare pasien geriatrik biasanya akibat tumor, divertikulitis, laksan berlebihan. Pada pasien muda biasanya infeksi, sindrom kolon iritatif (iritabel), investasi parasit, intoleransi laktase, dan di Eropa suatu penyakit seliak (Daldiyono, 1997).

2.        Jenis Kelamin

Jenis kelamin tidak banyak bersangkutan dengan diare (Daldiyono, 1997).

3.        Frekuensi Diare

Frekuensi diare sangat penting untuk diketahui. Frekuensi diare harus dipertanyakan setiap hari dari awal penyakit sampai pasien datang kedokter. Misalnya hari pertama beberapa kali, hari kedua dan seterusnya. Perlu diketahui apakah frekuensi diare tersebut yang misalnya 4-5 kali sehari terbagi rata dalam sehari atau hanya pagi hari saja misalnya. Frekuensi diare oleh infeksi bakteri biasanya dari hari kehari makin sering, berbeda dengan diare akibat minum laksan misalnya, atau akibat salah makan (Daldiyono, 1997).

4.        Lamanya diare

Diare akut biasanya berlangsung cepat sedang kronik misalnya pada colitis ulserosa, sindrom kolon iritabel, intoleransi laktase, malabsorbsi biasanya berlangsung lama (Daldiyono, 1997).

5.        Perjalanan penyakit

Diare akut biasanya cepat sembuh sedangkan beberapa penyakit misalnya sindrom iritabel, hipertiroid, kolitis ulserasi mengalami perode remisi dan eksaserbasi (Daldiyono, 1997).

6.        Informasi tentang tinja

Informasi tentang tinja justru yang terpenting. Dengan mengetahui secara tepat seluk beluk tinja yang dikeluarkan dapat memimpin fikiran untuk menuju diagnosis. Idealnya dokter melihat dan membau tinja penderita, tapi ini sering sukar, bahkan pasien sendiri banyak yang segan melihat tinjanya sendiri. Sebelum menganalisis tinja yang patologis, baik diterangkan karakteristik tinja normal. Tinja ideal biasanya berwarna coklat hijau, kekuningan, panjang 15-39 cm pada dewasa dan bulat lonjong dengan diameter 2-4 cm. tinja berikut keluar sekaligus secara berurutan tanpa mengejam, dengan berat sekitar 75-200 gr. Kandungan tinja adalah bakteri, sisa makanan, air 70 %, sel-sel yang lepas, serat dan sisa makanan lainnya. Bau tinja normal spesifik, akibat sterkobilin, indol dan skatol serta gas lain yang banyak sekali (Daldiyono, 1997).

b.    Pemeriksaan Fisik

Kelainan – kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat berguna dalam menentukan beratnya diare daripada menentukan penyebab diare. Status volume dinilai dengan memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan nadi, temperatur tubuh dan toksisitas. Pemeriksaan abdomen yang seksama merupakan hal yang penting. Kualitas bunyi usus dan ada atau tidaknya distensi abdomen dan nyeri tekan merupakan petunjuk penting bagi penentuan etiologi (Simadibrata, 2006).

c.    Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan tinja selalu penting. Adanya parasit atau jamur hanya dapat didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan kultur tinja haruslah tertuju terhadap bakteri tertentu. Pemeriksaan serologi atau pemeriksaan laboratorium lain banyak diperlukan bagi diare kronik atau berulang (Daldiyono, 1997). Pada pasien diare perlu dianalisis tinjanya sebagai berikut :

1.        Volume

Frekuensi defekasi yang sering dengan tinja yang sedikit, berarti iritasi kolon bagian distal atau rektum misalnya pada disentri, colitis ulserosa, tumor rektum dan sigmoid dan pada sindrom usus irritable. Diare dengan tinja yang banyak berarti berasal dari intestine misalnya pada kolera, atau diare bentuk kolera (cholererform diarrhea), enteritis bacterial atau akibat laksan. Tinja pada sindrom malabsorbsi biasanya banyak sekali seperti adonan roti pucat, lengket dengan bau yang menyengat dan terapung pada air. Sedang pada keadaan lain malabsorbsi tinja dengan air bercampur dengan sempurna. Tinja yang lunak semisolid bisa normal dan tinja cair yang keluar sesudah tinja padat juga bisa normal (Daldiyono, 1997).

2.        Warna

Warna tinja normal tergantung makanan yang dikonsumsi. Sesudah banyak makan pisang atau minum susu tinja berwarna kuning, bila banyak makan daging, warna tinja coklat, sayuran hijau membuat tinja berwarna hijau, sedang pepaya, wortel, tomat membuat warna tinja kemerahan, sedang bila ada peradangan saluran cerna tinja berwarna hitam (Daldiyono, 1997).

3.        Bau

Bau tinja perlu diketahui, bau yang menyengat busuk terdapat karsinoma kolon, sedang pada kolera baunya anyir (seperti sperma), bau sekali (menyengat) pada malabsorbsi (Daldiyono, 1997).

4.        Sisa Makanan

Sisa sayuran pada tinja bisa normal, bila sisa makanan jelas terlihat hal ini bisa terjadi pada sindrom usus atau fistula (Daldiyono, 1997).

5.        Lendir dan Nanah

Tinja berlendir biasa terjadi pada sindrom usus iritabel, karena itu disebut colitis mukoid. Lender (mucus) bersama dengan nanah bisa terjadi pada colitis ulserosa dan disentri. Bedanya lendir dan nanah adalah lendir terlihat bening transparan sedang nanah berwarna kuning keruh (Daldiyono, 1997).

6.        Darah

Darah pada tinja terjadi pada disentri, infeksi kampilobakter, tumor dan colitis ulserasi, hemoroid. Adanya darah pada tinja yang cair menunjukkan situasi yang harus diperhatikan dengan seksama oleh dokter (Daldiyono, 1997).

7.        Foto Sinar-X (Rontgen)

Foto Sinar-X (Rontgen) tidak perlu dilakukan pada diare akut. Terhadap kasus diare akut peranan roentgen sudah digantikan oleh endoskopi. Lain halnya pada diare kronik dimana pemeriksaan Sinar-X (Rontgen) memegang peranan yang sama dengan endoskopi (Daldiyono, 1997).


Gambar 2.12 Algoritma untuk evaluasi pasien dengan diare akut (Simadibrata, 2006)

2.7.3   Patofisiologi


Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non inflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear (Amin, 2015).

Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit. 

Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.

Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.

Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.

Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus iritabel atau diabetes melitus.  

Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri  menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.

Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus (Amin, 2015).

2.7.4   Manifestasi Klinik


Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.

Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonic (Amin, 2015).

Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul). Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif (Amin, 2015).

Gangguan kardiovaskular pada  hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin dan kadang sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung (Amin, 2015).

Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting karena dapat menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali (Amin, 2015).

2.7.5   Hasil Terapi yang Diinginkan


Hasil terapi yang ingin dicapai pada pengobatan diare adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas dengan cara intrusi terakhir yang mungkin. Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan penyakit, morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia (Zein, 2004).

2.7.6   Penanganan Diare


a.    Penggantian cairan dan elektrolit


Aspek paling penting  dari terapi diare adalah untuk menjaga  hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit   selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana  harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat minum  atau yang terkena diare hebat yang memerlukan  hidrasi intavena  yang membahayakan jiwa. Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g  Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air. Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan  dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium.. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya. Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan  kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan  urin, dan penyesuaian  infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin (Farthing, 2013).

Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan (dikutip dari 8 BD plasma) dengan memakai rumus:


Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :

·      Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% X KgBB

·      Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% X KgBB

·      Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% X KgBB

Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor (Farthing, 2013).

Tabel 2.4 Skor Daldiyono


Goldbeger (1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan cairan (Farthing, 2013) :

·           Cara I :

-       Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka kehilangan cairan kira-kira 2% dari berat badan pada waktu itu.

-       Bila disertai mulut kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari berat badan saat itu.

-       Bila ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas, perubahan mental seperti bingung atau delirium, maka defisit cairan sekitar 7 -14% atau sekitar 3,5 – 7 liter pada orang dewasa dengan berat badan 50 Kg.

·           Cara II :

Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 Kg pada fase akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter.

·           Cara III :

Dengan menggunakan rumus : 

Na 2 X BW2 = Na1 X BW1, dimana :

Na1 = Kadar Natrium plasma normal;

BW1 = Volume air badan normal, biasanya 60% dari berat badan untuk pria dan 50% untuk wanita Na2 = Kadar natrium plasma sekarang

BW2 = volume air badan sekarang

b.    Antibiotik


Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian anti biotik.

Tabel 2.5 Antibiotik empiris untuk Diare infeksi Bakteri


Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau  penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel 2), tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman (Farthing, 2013).











Tabel 2.6 Pemberian antibiotik pada diare infeksi akut


c.    Obat anti diare


·      Kelompok antisekresi selektif 

Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim enkephalinase sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal. Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga keseimbangan cairan dapat dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini tersedia di bawah nama hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare yang dapat pula digunakan lebih aman pada anak (Amin, 2015).

·      Kelompok opiat 

Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60mg 3x sehari, loperamid 2 – 4 mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5mg 3 – 4 x sehari. Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman dan dapat mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan (Amin, 2015).

·      Kelompok absorbent 

Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit (Amin, 2015).

·      Zat Hidrofilik

Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium, Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid dengan cairan  dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet (Amin, 2015).

·      Probiotik

Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan mengurangi/ menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang adekuat (Amin, 2015).


BAB III


PROMOSI KESEHATAN


3.1  Rancangan Kegiatan Untuk Meningkatkan Kesehatan Masyarakat


Dalam meningkatkan kualitas kesehatan di wilayah kabupaten Kutai Timur. Rancangan program yang akan dibuat berupa penyuluhan dan promosi kesehatan yang bertujuan untuk pencegahan penyakit menular yang saat ini persentasinya sedang naik dibanding tahun kemarin dengan menjaga kebersihan lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat.

Dalam rancangan kegiatan kesehatan ini juga melibatkan perangkat pemerintah maupun non pemerintah. Perangkat pemerintah melibatkan seperti, kelurahan, kecamatan, puskesmas, pemerintah pusat, dan perangkat pemerintah lainnya yang dapat bekerjasama. Sedangkan untuk perangkat non pemerintahan yaitu bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).







3.1.1   Penyuluhan Gaya Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)


Untuk mengurangi perkembangbiakan vektor penyakit di daerah Kabupaten Kutai Timur maka akan dilakukan kegiatan penyuluhan dan promosi kesehatan. Tujuan penyuluhan dan promosi kesehatan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan meningkatkan kesadaran upaya menjaga kesehatan serta kebersihan lingkungan. Penyuluhan dilakukan dalam bentuk simulasi berupa presentasi dan melalui media cetak seperti leaflet (brosur).

Untuk membangun kesehatan, Indonesia memiliki visi dan misi pembangunan kesehatan. Ada 4 indikator yang akan dicapai untuk Indonesia Sehat, yaitu hidup dalam lingkungan yang sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat, mempunyai kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan menyeluruh serta memiliki derajat kesehatan yang optimal. Indikator perilaku hidup bersih dan sehat yang diuraikan dalam beberapa variable merupakan cerminan atau gambaran kesehatan masyarakat.

PHBS merupakan seluruh perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan dan dapat berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat sekitar (Kemenkes, 2016). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ini merupakan modal utama untuk pencegahan berbagai penyakit. Karena vektor penyakit akan terus berkembangbiak jika masyarakatnya tidak dapat menjaga kebersihan dan kesehatan. Perilaku hidup sbersih dan sehat merupakan cerminan pola hidup keluarga yang senantiasa memperhatikan dan menjaga kesehatan seluruh seluruh anggota keluarga.

Keluarga mempunyai peran penting dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, karena dalam keluarga terjadi komunikasi dan interaksi antara anggota keluarga yang menjadi awal penting dari suatu proses pendidikan perilaku. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di rumah tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. Untuk mencapai rumah tangga ber-PHBS, terdapat 10 perilaku hidup bersih dan sehat yang dipantau, yaitu: (1) Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, (2) Memberi ASI ekslusif, (3) Menimbang balita setiap bulan, (4) Menggunakan air bersih, (5) Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, (6) Menggunakan jamban sehat, (7) Memberantas jentik di rumah sekali seminggu, (8) Makan buah dan sayur setiap hari, (9) Melakukan aktivitas fisik setiap hari, dan (10) Tidak merokok di dalam rumah (Dinkes Kutai Timur, 2016).

a.    Penyuluhan Penggunaan Air Bersih


o  Mengapa kita harus menggunakan air bersih?

Air dipergunakan sehari-hari untuk minum, memasak, mandi, berkumur, membersihkan lantai, mencuci alat-alat dapur, mencuci pakaian dan sebagainya. Oleh karena itu, air yang digunakan harus bersih, agar tidak terkena penyakit atau terhindar dari sakit.

o  Apa syarat-syarat air bersih itu?

Air bersih secara fisik dapat dibedakan melalui indera kita, mantara lain (dapat dilihat, dirasa, dicium dan diraba):

1.    Air tidak berwarna harus bening/jernih.

2.    Air tidak keruh, harus bebas dari pasir, debu, lumpur, sampah, busa dan kotoran lainnya.

3.    Air tidak berasa, tidak berasa asin, tidak berasa asam, tidak payau, dan tidak pahit, harus bebas dari bahan kimia beracun.

4.    Air tidak berbau seperti bau amis, anyir, busuk atau bau belerang.

o  Apa manfaat menggunakan air bersih?

1.    Terhindar dari gangguan penyakit seperti Diare, Kolera Disentri, Thypus, kecacingan, penyakit mata, penyakit kulit atau keracunan.

2.    Setiap anggota keluarga terpelihara kebersihan dirinya.

o  Dimana dapat memperoleh air besih?

Mata air, air sumur atau air sumur pompa, air ledeng atau perusahaan air minum, air hujan, dan air dalam kemasan.

o  Bagaimana menjaga kebersihan sumber air besih?

1.    Jarak letak sumber air dengan jamban dan tempat pembuangan sampah, paling sedikit 10 meter.

2.    Sumber mata air harus dilindungi dari bahan pencemar.

3.    Sumur gali, sumur pompa, kran umum dan mata air harus dijaga bangunannya agar tidak rusak, seperti lantai sumur sebaiknya tidak kedap air dan tidak boleh retak, bibir sumur harus diplester dan sumur sebaiknya diberi penutup.

4.    Harus dijaga kebersihannya seperti tidak ada genangan air di sekitar sumber air, dan dilengkapi dengan saluran pembuangan air, tidak ada bercak-bercak kotoran, tidak berlumut, pada lantai/dinding sumur. Ember/gayung pengambil air harus tetap bersih dan tidak diletakkan di lantai (ember/gayung digantung di tiang sumur).

o  Mengapa air bersih harus dimasak mendidih bila ingin diminum?

Meski terlihat bersih, air belum tentu bebas kuman penyakit.Kuman penyakit dalam air mati pada suhu 100 oC (saat mendidih).

o  Apa peran keluarga untuk menggunakan air bersih?

1.    Menyediakan sumber air bersih di rumah antara lain dengan membuat sumur, sumur pompa, menyediakan bak penampungan air sementara, penampungan air hujan bagi daerah sulit air, membuat saluran/pipa/bambu dari sumber mata air.

2.    Apabila sumber air tidak memenuhi persyaratan air bersih secara fisik, keluarga tersebut diharapkan melapor ke Puskesmas untuk mendapatkan tindak lanjut.

3.    Manfaatkan setiap kesempatan di rumah untuk mengingatkan tentang pentingnya menggunakan air bersih.

b.    Penyuluhan Cuci Tangan


Mencuci tangan adalah menggosok kedua pergelangan tangan dengan kuat secara bersamaan menggunakan zat pembersih yang sesuai dan dibilas dengan air mengalir dengan tujuan menghilangkan mikroorganisme sebanyak mungkin.Ada dua prosedur cuci tangan yang dapat dilakukan. Kegagalan untuk melakukan kebersihan dan kesehatan tangan yang tepat dianggap sebagai sebab utama infeksi nosokomial yang menular di pelayanan kesehatan, penyebaran mikroorganisme multiresisten dan telah diakui sebagai kontributor penting terhadap timbulnya wabah (Boyce dan Pitter, 2002). Cuci tangan dianggap sebgai salah satu langkah paling efektif untuk mengurangi penularan mikroorganisme dan mencegah infeksi. Tahap-tahap mencuci tangan dengan baik dan benar yaitu :

1.      Basahi tangan seluruhnya dengan air bersir mengalir.

2.      Gosok menggunakan sabun ke bagian telapak tangan, puggung tangan dan sela jari-jari.

4.      Bersihkan pada bagian bawah kuku-kuku tangan.

5.      Bilas tangan dengan air bersih mengalir.

6.      Keringkan tangan dengan handuk/ tissue atau keringkan dengan udara dingin/ panas.

c.    Penyuluhan Pencegahan Penyakit Menular


Meningkatnya angka kesakitan dari berbagai jenis penyakit menular di daerah pesisir pantai Kabupaten Kutai Timur dari tahun ke tahun mengharuskan kita untuk melakukan upaya terkait pencegahan dan penanggulangan penyakit menular tersebut. Penyuluhan dilakukan agar kesadaran masyarakat terkait kesehatan diri bisa menjadi lebih baik. Penyuluhan yang dilakukan antara lain:

1.    Mencegah penyakit menular dengan berbagai jenis imunisasi

2.    Mencegah penyakit menular dengan mencuci tangan yang bersih

3.    Mencegah penyakit menular dengan tidak berbagi barang pribadi

4.    Mencegah penyakit dengan berolahraga.

5.    Mencegah penyakit menular dengan setia pada pasangan

7.    Mencegah penyakit menular dengan menggunakan pelindung tubuh.

Tabel 3.1 Pencegahan Primer Penyakit Menular

Penyakit
Pencegahan Primer
Penyakit yang ditularkan melalui susu
Pasteurisasi susu untuk mengeliminasi pathogen penyebab penyakit
Penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air
Penyediaan makanan dan air yang bebas dari kontaminsai pathogen
Penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi
Imunisasi
Penyakit dengan abnormalitas genetic
Penelusuran kelainan genetic, misalnya skrining dengan tes darah sederhana pada neonates untuk mendeteksi feniketouria (PKU), pemyakit metabolism yang dapat diatasi dengan menghindari gula dalam diet.
Penyakit yang disebabkan oleh merokok tembakau
Modifikasi perilaku (penghentian kebiasaan merokok)
Larangan menayangkan iklan rokok
Penerapan area bebas dari asap rokok
Pengenaan cukai rokok
Trauma otak, fraktura dan cedera lainnya
Pengaturan penggunaan helm dan sabuk pengaman
Penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks (HIV, AIDS, hepatitis B)
Promosi penggunaan kondom untuk seks aman
SARS
Isolasi dan karantina



Tabel 3.2 Pencegahan Sekunder Penyakit Kronis dan Menular

Penyakit
Pencegahan Sekunnder
Penyakit menular seksual
Kultur rutin bakteriologis untuk infeksi asimtomatis pada kelompok resiko tinggi
Sifilis
Tes serologi rutin untuk infeksi preklinis pada kelompok resiko tinggi
Hipertensi klinis
Skrining tekanan darah tinggi
Kanker leher rahim
Hapusan PAP
Kanker payudara
Skrinning dengan mammografi
Kanker kolon
Sigmoidoskopi atau kolonoskopi untuk mendeteksi kanker dini atau lesi-prakanker
HIV/AIDS
ELISA atau western blot rutin untuk kelompok resiko tinggi
Hepatitis B
Immunoglobulin hepatitis B untuk neonates dari ibu dengan HBsAg positif,  dan orang-orang yang belum pernah diimunisasi dan terpapar oleh virus hepatitis B


d.   Penyuluhan Peningkatan Derajat Kesehatan Ibu dan Anak


Kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu bagian dari kesehatan masyarakat. Kesehatan ibu dan anak merupakan kondisi yang sangat penting bagi bangsa di masa yang akan datang. Kesehatan seorang ibu, baik secara jasmani maupun rohani, sangat berpengaruh pada kelahiran anak yang sehat secara jasmani maupun rohani. Anak yang terlahir sehat merupakan aset penting bagi bangsa. Hal ini dikarenakan anak merupakan penentu nasib bangsa di masa yang akan datang. Oleh karena itu, kesehatan ibu dan anak harus diupayakan oleh seluruh pihak, baik pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga Swadaya Masyarakat, swasta, bahkan masyarakat itu sendiri. Upaya ini dapat dilakukan melalui Program Kesehatan Ibu dan Anak.

Strategi Promosi Peningkatan KIA serta percepatan penurunan AKI dan AKB adalah melalui Advokasi, Bina Suasana dan Pemberdayaan Masyarakat yang didukung oleh Kemitraan (Kemenkes, 2010).

a.       Advokasi

Advokasi merupakan upaya strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari para pengambil keputusan dan pihak terkait (stakeholders) dalam pelayanan KIA.

b.      Bina Suasana

Bina Suasana merupakan upaya menciptakan opini publik atau lingkungan sosial, baik fisik maupun non fisik, yang mendorong individu, keluarga dan kelompok untuk mau melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terkait dengan upaya peningkatan KIA serta mempercepat penurunan AKI dan AKB. Bina suasana salah satunya dapat dilakukan melalui sosialisasi kepada kelompok-kelompok potensial, seperti organisasi kemasyarakatan, kelompok opini dan media massa. Bina suasana perlu dilakukan untuk mendukung pencapaian target program KIA.

c.       Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya menumbuhkan kesadaran, kemauan, kemampuan masyarakat dalam mencegah dan mengatasi masalah KIA. Melalui kegiatan ini, masyarakat diharapkan mampu berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan berperan serta dalam pemberdayaan masyarakat di bidang KIA.

d.      Kemitraan

Kemitraan dalam penanganan masalah KIA adalah kerjasama formal antara individu-individu, kelompok-kelompok peduli KIA atau organisasi-organisasi kemasyarakatan, media massa dan swasta/dunia usaha untuk berperan aktif dalam upaya peningkatan KIA di masyarakat.

Ada beberapa kegiatan dalam program kesehatan ibu dan anak, diantaranya (Kemenkes, 2010) :

1.      Pemeliharaan kesehatan ibu hamil dan menyusui serta bayi, anak balita, dan anak prasekolah.

2.      Deteksi dini faktor resiko ibu hamil.

3.      Pemantauan tumbuh kembang balita.

5.      Imunisasi Tetanus Toxoid dua kali pada ibu hamil serta BCG, DPT tiga kali, Polio tiga kali, dan campak satu kali pada bayi

6.      Penyuluhan kesehatan meliputi berbagai aspek dalam mencapai tujuan program KIA

7.      Pengobatan bagi ibu, bayi, anak balita, dan anak prasekolah untuk macam-macam penyakit ringan

8.      Kunjungan rumah untuk mencari ibu dan anak yang memerlukan pemeliharaan serta bayi-bayi yang lahir ditolong oleh dukun selama periode neonatal (0-30 hari)

9.      Pengawasan dan bimbingan kepada taman kanak-kanak dan para dukun bayi serta kader-kader kesehatan

e.    Penyuluhan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga yang Baik


Berdasarkan SK SNI tahun 1990, Sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Pada umumnya paradigma masyarakat terhadap sampah dengan sifat padat yang dihasilkan dari aktivitas rumah tangga atau industri, adalah benda yang yang tidak lagi diinginkan atau tidak bernilai ekonomis.

Dengan adanya UU No. 18 /2008 tentang Pengelolaan Sampah maka perlu suatu pengelolaan sampah dengan maksimal. Adapun upaya pengelolaan sampah dapat dilakukan dengan cara Reuse, Reduce, dan Recycle (3 R) adalah kegiatan memperlakukan sampah dengan cara, menggunakan kembali, mengurangi dan mendaur ulang.

1.      Reuse (menggunakan kembali) : yaitu penggunaan kembali sampah secara langsung, baik untuk fungsi yang sama maupun fungsi lain.

2.      Reduce (mengurangi) : yaitu mengurangi segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya sampah.

3.      Recycle (mendaurulang) : yaitu memanfaatkan kembali sampah setelah mengalami proses pengolahan.

Pengelolaan Sampah Terpadu Berbasis Masyarakat adalah suatu pendekatan pengelolaan sampah yang didasarkan pada kebutuhan dan permintaan masyarakat, direncanakan, dilaksanakan, dikontrol dan dievaluasi bersama masyarakat. Salah satu pendekatan pengelolaan sampah 3R dan mendekati sumbernya adalah pengelolaan sampah  kawasan dengan TPS pengolah. Sarana dan prasarana TPS pengolah ini untuk mewujudkan konsep 3R sehingga sampah yang terangkut ke TPA berkurang atau tidak ada sama sekali.

Untuk keberhasilan dari kegiatan pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini perlu bantuan dari fasilitator, Adapun fungsi fasilitator adalah memfasilitasi masyarakat untuk mencapai tujuan pengelolaan sampah secara baik dan berkesinambungan. Jika masyarakat mempunyai kelemahan dibidang teknik pemilahan dan pengomposan maka tugas fasilitator adalah memberikan kemampuan masyarakat dengan berbagai cara misalnya dengan memberikan pelatihan, begitu juga jika masyarakat lemah dalam hal pendanaan, maka tugas fasilitator adalah membantu mencari jalan keluar agar masyarakat mampu mendapat pendanaan yang dibutuhkan, tetapi harus dilakukan secara hati – hati jangan sampai membuat masyarakat tergantung.

f.     Penyuluhan Penggunana Jamban Sehat


Untuk mencegah kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik. Suatu jamban memenuhi syarat kesehatan apabila memenuhi syarat kesehatan: tidak mengotori permukaan tanah, tidak mengotori air permukaan, tidak dapat di jangkau oleh serangga, tidak menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara, dan murah (Notoatmodjo, 1996).

Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2003).

          Syarat - syarat jamban sehat :

1.      Tidak mencemari sumber air minum (jarak antara sumber air minum dengan lubang penampungan minimal 10 meter

2.      Tidak berbau

3.      Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus

4.      Tidak mencemari tanah di sekitamya

5.      Mudah dibersihkan dan aman digunakan

6.      Dilengkapi dinding dan atap pelindung

7.      Penerangan dan ventilasi cukup

8.      Lantai kedap air dan luas ruangan memadai

9.      Tersedia air, sabun, dan alat pembersih

Cara memelihara jamban sehat :

1.      Lantai jamban selalu bersih dan tidak ada genangan air

2.      Bersihkan jamban secara teratur sehingga ruang jamban dalam keadaan bersih

3.      Di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat

4.      Tidak ada serangga (kecoa, lalat) dan tikur yang berkeliaran

5.      Tersedia alat pembersih (sabun, sikat dan air bersih)

6.      Bila ada kerusakan segera diperbaiki.

7.      Pakailah karbol pada saat membersihkan lantai agar bebas penyakit.

8.      Hindarkan menyiram air sabun ke dalam bak pembuangan/atau ke dalam kloset agar bakteri pembusuk tetap berperan aktif.

9.      Jangan menggunakan alat pembersih yang keras agar kloset tidak cepat rusak.

10.  Jangan membuang kotoran yang tidak mudah larut ke dalam air misal : kertas, kain bekas, dll.

3.1.2   Penanggulangan Diare

Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni :

a.    Primary Prevention (promosi kesehatan dan pencegahan khusus)

Pencegahan primer penyakit diare dapat ditujukan pada faktor penyebab, lingkungan dan faktor pejamu.

1.        Penyediaan Air Bersih

2.        Tempat Pembuangan Tinja

3.        Status Gizi

4.        Kebiasaan Mencuci Tangan

b.    Secondary Prevention (diagnosis dini serta pengobatan yang tepat)

Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada sianak yang telah menderita diare atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping dan komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. Pengobatan yang diberikan harus disesuaikan dengan klinis pasien. Obat diare dibagi menjadi tiga, pertama kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare seperti bakteri atau parasit, obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan spasmolitik yang membantu menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan. Sebaiknya jangan mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter. Dokter akan menentukan obat yang disesuaikan dengan penyebab diarenya misal bakteri, parasit. Pemberian kemoterapeutika memiliki efek samping dan sebaiknya diminum sesuai petunjuk dokter (Fahrial Syam, 2006).

c.    Tertiary Prevention (pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi)

Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita diare jangan sampai mengalami kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare diusahakan pengembalian fungsi fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyakit diare. Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi makanan bergizi dan menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan terhadap mental penderita dengan tetap memberikan kesempatan dan ikut memberikan dukungan secara mental kepada anak. Anak yang menderita diare selain diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus dipenuhi dan kebutuhan sosial dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan dengan teman sepermainan.

3.2  Media Promosi Kesehatan


3.2.1   Presentasi


3.2.2   Leaflet


3.2.3   Poster


3.3  Rencana Pelaksanaan Promosi Kesehatan


3.3.1   Nama dan Bentuk Kegiatan


3.3.2   Tujuan Kegiatan


3.3.3   Output


3.3.4   Pelaksanaan Promosi Kesehatan


3.3.5   Sasaran


3.3.6   Evaluasi/ Indikator Keberhasilan


3.3.7   Susunan Kepanitian


3.3.8   Estimasi Biaya




DAFTAR PUSTAKA


Amin, L.Z. 2015. Tatalaksana Diare Akut. Continuing Medical Education, CDK-230/ vol. 42 no. 7 tahun 2015, Jakarta.







Boyce, J.M. Pittet D., 2002. Guideline for Hand Hygiene in Health Care Settings: recommendations of the HICPAC and HICPAC/SHEA/APIC/IDSA hand hygiene task force. MMWR.Vol. 30: 1-35

Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK, et al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease. New York: Lange Medical Books, 2003. 225 - 68.

Daldiyono, 1997. Pendekatan Klinik Diare Kronik Pada Orang Dewasa. Dalam: Sulaiman, Ali.,

Depkes, R. I., 2000. Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta: Ditjen PPM dan PL.

Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur. 2015.  Profil Kesehatan Kabupaten Kutai Timur Tahun 2015. Tersedia di http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KAB_KOTA_2015/6404_Kaltim_Kab_Kutai_Timur_2015.pdf  [Diakses pada tanggal 24 September 2018].

Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur. 2016. Profil Kesehatan Kabupaten Kutai Timur Tahun 2015. Bagian Perencanaan Sekretariat Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur.

Dipiro. JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York.

Fahrial Syam, A, (2006), Pengobatan Diare yang Tepat. http://www. Medicastore.Com (diakses pada 27 September 2018)

Farthing M, Salam MA, Lindberg G, Dite P, Khalif I, Salazar-Lindo E, et al. Acute diarrhea in adults and children: A global perspective. World Gastroenterology Organisation Global Guidelines. J Clin Gastroenterol. 2013; 47(1): 12-20.

Fatmawati, Budiman, Dyastari, L. 2017. Dampak lingkungan galian tambang batubara PT. Kaltim Prima Coal bagi kesehatan masyarakat di Kecamatan Sangatta Utara Kabupaten Kutai Timur. e-Journal Ilmu Pemerintahan. Vol. 6 (2) : 553-566.

Irianto, J. Dkk, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare pada Anak Balita, Buletin

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Rencana Operasional Promosi Kesehatan Ibu dan Anak. Tersedia online di  www.promkes.depkes.go.id.

Laporan EHRA Kabupaten Kutai Timur 2015. Program PPSP Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur. LAPORAN STUDI EHRA.

Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd edition. New York: Lange Medical Books, 2003. 131 - 50.

Marcellus, S.K., Setiati, S., eds.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 408-413.

Notoatmodjo S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (1996), Ilmu Kesehatan Masyarakat, EGC, Jakarta

Penelitian Kesehatan, Th 1996, No. 24: 494-499.

Rani HAA. Masalah Dalam Penatalaksanaan Diare Akut pada Orang Dewasa. Dalam: Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2002. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit Dalam FK UI, 2002. 49-56.

Simadibrata, K., Daldiyono. 2006. Diare Akut. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.

Soewondo ES. 2002. Penatalaksanaan diare akut akibat infeksi (Infectious Diarrhoea). Dalam:  Suharto, Hadi U, Nasronudin, editor. Seri Penyakit Tropik Infeksi Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa penyakit Tropik Infeksi. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 4 – 40.

Tesis, Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Timmreck CT. 2004. Epidemiologi suatu Pengantar. Jakarta: Buku Kedokteran. EGC.

Wibowo, dkk. 2003. Faktor Resiko Kejadian Diare Berdarah pada Balita di Kabupaten Sleman,

Wulandari, H. 2018. Analisis Penambangan Batu Bara PT. KalTim Prima Coal Kota Sangatta, Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur. Artikel. Research Gate.

Zein, U., Sagala, K.H., dan Ginting, J. 2004. Diare Akut Disebabkan Bakteri e-USU Repository Universitas Sumatera Utara, Fakultas Kedokteran, Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Medan.

1 komentar:

valkyrievaliante mengatakan...

The Casino | Mapyro
The casino is located 충청남도 출장안마 in the 청주 출장마사지 Wynn Plaza Hotel & Casino. The casino is connected to the Las Vegas 울산광역 출장샵 Strip 대구광역 출장안마 and offers its own casino with 100 table games, 경기도 출장마사지

Posting Komentar