MAKALAH ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN 2018/2019
Analisis Kesehatan Masyarakat Di
Daerah Industri Batubara
PROGRAM
PROFESI APOTEKER
FAKULTAS
FARMASI
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
JATINAGOR
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia
memiliki kekayaan alam yang sangat besar itu merupakan anugerah dari Allah SWT,
di antara sumber daya alam yang dimiliki Indonesia yakni bahan tambang. Di
dalam undang – undang Dasar (UUD) Republik Indonesia tahun 1945 pasal 33 ayat 3
dinyatakan sesungguhnya kekayaan sumber daya alam Indonesia di kuasai oleh
negara dan digunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat, sehingga bahan
tambang juga di kuasai oleh negara untuk kemakmuran masyarakat (Wulandari,
2018).
Kalimantan
Timur merupakan salah satu penghasil tambang yang memiliki potensi sumber daya
alam yang kaya di Indonesia, minyak mentah,emas, intan, dan batubara adalah
beberapa hasil tambang yang berskala besar ditiap tahunnya . Tambang batubara
merupakan produk andalan yang berasal dari Kalimantan Timur sekarang ini.
Namun, batubara adalah suatu kategori sumber daya alam yang tak terbaharui,
sehingga keberadaannya harus dijaga. Sehingga pembangunan nasional dapat
bergulir terus-menerus dengan mengedepankan sumber daya alam yang dikelola
secara baik (Fatmawati, 2017).
Pertambangan
batu bara terbesar di Kalimantan Timur adalah PT. Kaltim Prima Coal (PT.KCP)
yang telah berdiri sejak 1982, perusahaan ini anak dari PT. Bumi Resources di
Sangatta, Kabupaten Kutai Timur. Pembangunan di sektor industri yaitu di bidang
pertambangan batu bara yaitu sesuatu upaya di mana pemerintah berusaha
meningkatkan devisa negara dan ditinjau dari pola kehidupan masyarakat
berhubungan langsung dengan peningkatan kebutuhan barang dan jasa, sumber energi,
dan sumber daya alam. Sektor industri utama di dalam tataan ekonomi global,
yaitu pertambangan batu bara (Wulandari, 2018).
Aktifitas
pertambangan dianggap seperti uang logam yang memiliki dua sisi yang saling
berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang
sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sektor ini menyokong pendapatan
Negara selama bertahun-tahun dan penyediaan lapangan kerja. Sebagai perusak
lingkungan, pertambangan terbuka dapat mengubah secara total baik iklim dan
tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan.
Hilangnya vegetasi secara tidak langsung ikut menghilangkan fungsi hutan
sebagai pengatur tata air, pengendalian erosi, banjir, penyerap karbon, pemasok
oksigen dan pengatur suhu (Fatmawati,
2017).
Keberadaan
perusahaan tambang tidak hanya menimbulkan dampak positif tetapi juga dampak
negatif. Kecamatan Sangatta Utara merupakan salah satu Kecamatan yang dekat
dengan kegiatan pertambangan batubara dan merupakan Kecamatan yang paling
merasakan dampak yang diakibatkan dari kegiatan pertambangan batubara, adapun
dampak yang dirasakan masyarakat sekitar, yaitu rusaknya hutan yang berada di
daerah lingkar tambang batubara, jalanan yang rusak dan berlobang, penurunan
kesehatan pada masyarakat dan mengganggu lahan pertanian (Fatmawati, 2017).
Dari data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur Diare
adalah termasuk 10 penyakit terbanyak di Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur
yang di alami oleh masyarakat Sangatta Kabupaten Kutai Timur. Penyakit ini
timbul karena adanya cemaran limbah cair dari pertambangan batubara pada sungai
bendili dan sungai pinang. Akibat pencemaran tersebut air sungai yang dulu
bersih dan digunakan masyarakat Sangatta tiap harinya kini sudah tidak layak
dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari, sebagian masyarakat Sangatta masih
mengkonsumsinya dan menggunakan air tersebut sebagai kebutuhan sehari-hari
dikarenakan tidak menggunakan air PDAM karena faktor ekonomi (Fatmawati, 2017).
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, masalah yang
dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana kondisi geografi dan
demografi masyarakat Kalimantan Timur khususnya yang bermukim di daerah industri batubara?
2.
Bagaimana analisis kesehatan
masyarakat Kalimantan Timur khususnya yang bermukim di daerah industri batubara?
3.
Apa upaya dan solusi yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Kalimantan Timur
khususnya yang bermukim di daerah industri batubara?
1.3 Prioritas Masalah
Adapun prioritas masalah yang akan dibahas dan dikembangkan dalam
penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui kesehatan masyarakat Kalimantan Timur khususnya yang bermukim Di Daerah Industri
Batubara terkait dampak yang ditimbulkan oleh industri
batubara terhadap kesehatan masyarakat sekitar.
1.4 Tujuan
Tujuan
dilakukan analisis kesehatan ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui kondisi geografi dan
demografi masyarakat masyarakat Kalimantan Timur khususnya yang bermukim di daerah industri batubara.
2.
Mengetahui kondisi kesehatan
masyarakat masyarakat Kalimantan Timur khususnya yang bermukim di daerah industri batubara.
3.
Mengetahui upaya dan solusi yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Kalimantan Timur
khususnya yang bermukim di daerah industri batubara.
1.5 Kegunaan
Kajian dalam makalah ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi
dan evaluasi mengenai masalah kesehatan masyarakat Kalimantan
Timur khususnya yang bermukim di
daerah industri batubara, serta memberikan informasi untuk program perencanaan promosi
kesehatan guna meningkatkan status kesehatan masyarakat khususnya yang bermukim di
daerah industri batubara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Geografis
Kabupaten Kutai Timur
adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Kalimantan Timur. Dibentuk
dari hasil pemekaran Kabupaten Kutai berdasarkan undang-undang nomor 47 tahun
1999 tentang pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai
Barat, Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang, dengan ibukota di Sangatta (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
2.1.1 Batas Administrasi
Kabupaten Kutai Timur memiliki luas 35.747,50 km2 atau 17
persen dari luas Provinsi Kalimantan Timur, terletak antara 115º25’26’’ BT -
118º58’19’’ BT dan 0º02’10’’LS - 1º52’39’’LU (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Gambar 2.1 Peta Administrasi Kabupaten
Kutai Timur
Batas-
batas wilayah Kabupaten Kutai Timur secara administratif adalah (Dinas Kesehatan Kabupaten
Kutai Timur, 2016) :
·
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Talisayan dan
Kecamatan Kelay (Kabupaten Berau);
·
Sebelah Selatan : Berbatasan
dengan Kecamatan Bontang Utara (Kota Bontang), Kecamatan Marang Kayu dan
Kecamatan Muara Karam (Kabupaten Kutai Kartanegara);
·
Sebelah Timur : Berbatasan dengan
Selat Makasar dan Laut Sulawesi;
·
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Kembang Janggut
dan Kecamatan Tabang (Kabupaten Kutai Kartanegara).
Pada awal terbentuknya Kabupaten Kutai Timur terdiri dari lima
kecamatan, yaitu Kecamatan Sangatta, Kecamatan Sangkulirang, Kecamatan Muara
Wahau, Kecamatan Muara Bengkal, dan Kecamatan Muara Ancalong. Seiring dengan
berjalannya pemerintahan, lima kecamatan tersebut kemudian dimekarkan menjadi
11 kecamatan, dengan tambahan 6 kecamatan baru, yaitu Kecamatan Bengalon,
Kecamatan Kaliorang, Kecamatan Sandaran, Kecamatan Telen, Kecamatan Kongbeng,
dan Kecamatan Busang. Pada tahun 2005, dilakukan pemekaran kecamatan lagi
dengan menambah 7 kecamatan baru, yaitu: Kecamatan Sangatta Selatan, Kecamatan
Rantau Pulung, Kecamatan Teluk Pandan, Kecamatan Kaubun, Kecamatan Karangan,
Kecamatan Batu Ampar dan Kecamatan Long Mesangat. Sedangkan Kecamatan Sangatta
berubah nama menjadi Kecamatan Sangatta Utara. Sampai akhir tahun 2007,
Kabupaten Kutai Timur secara administratif memiliki 18 kecamatan dan 135 desa (Dinas Kesehatan
Kabupaten Kutai Timur, 2016).
2.1.2 Luas Wilayah
Kabupaten Kutai Timur memiliki luas wilayah 35.747,50 km² atau 17% dari
luas wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Selanjutnya luas wilayah dapat dirinci
menurut luas wilayah per kecamatan sebagai berikut (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016) :
Tabel 2.1. Luas Wilayah Kecamatan dan
Jumlah Desa di Kabupaten Kutai Timur
2.1.3 Topografi
Topografi
Kabupaten Kutai Timur bervariasi dari yang berupa dataran, berbukit hingga
pegunungan, serta pantai dengan ketinggian tanah bervariasi antara 0-7 meter
hingga lebih dari 1.000 meter dari permukaan laut. Kawasan yang relatif datar
dan landai hanya terdapat di Kecamatan Sangatta Utara, Muara Bengkal, Muara
Ancalong dan sebagian Muara Wahau dan Sangkulirang (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Daerah
yang berbatasan dengan Kabupaten Berau pada Kecamatan Sangkulirang, Muara Wahau
dan Muara Ancalong merupakan daerah pegunungan kapur dengan kawasan pegunungan
dan perbukitan yang paling luas yaitu 1.608.915 Ha dan 1.429.922,5 Ha sedangkan
dataran/landai 536.212,5 Ha yang terdiri dari daratan, rawa dan perairan berupa
sungai dan danau. Jaringan sungai terdapat di seluruh kecamatan sedangkan danau
hanya di Kecamatan Muara Bengkal yaitu Danau Ngayau dan Danau Karang (Dinas Kesehatan
Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Wilayah pantai yang berada di sebelah timur kabupaten mempunyai
ketinggian antara 0-7 meter diatas permukaan laut di mana wilayah ini mempunyai
sifat kelerengan yang datar, mudah tergenang rawa dan merupakan daerah endapan.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Kutai Timur mempunyai kelerengan di atas 15%,
wilayah dengan kelerengan di atas 40% mempunyai areal cukup luas, yang tersebar
di seluruh wilayah, khususnya terkonsentrasi di bagian barat laut, di mana
wilayahnya mempunyai ketinggian diatas 500 meter diatas permukaan laut. Wilayah
dengan ketinggian 500 meter diatas permukaan laut mempunyai sifat berbukit
sampai bergunung dengan kelerengan lebih dari 40% dan sangat potensi erosi (Dinas Kesehatan
Kabupaten Kutai Timur, 2016).
2.1.4 Iklim dan Hidrologi
Kabupaten
Kutai Timur beriklim hutan tropika humida dengan suhu udara rata-rata 26:C, di
mana perbedaan suhu terendah dengan suhu tertinggi mencapai 5:C - 7:C, jumlah
curah hujan antara 2000-4000 mm/tahun, dengan jumlah hari hujan rata-rata
adalah 130-150 hari/tahun (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Potensi hidrologi di Kabupaten Kutai Timur cukup besar, terutama adanya
aliran beberapa sungai antara lain Sungai Sangatta, Sungai Marah dan Sungai
Wahau. Peranan sungai di daerah ini sangat penting yaitu sebagai sarana
transportasi air antara daerah pantai dan daerah pedalaman, selain itu juga
dimanfaatkan sebagai sumber air minum penduduk di sepanjang wilayah yang
dilaluinya (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
2.2 Analisis Demografi
Persoalan
kependudukan seperti pertumbuhan penduduk beserta karakteristik faktor yang
mempengaruhinya, baik karena tingkat fertilitas dan mortalitas atau karena
tingkat migrasi, akan berdampak dalam upaya intervensi pembangunan yang
dilaksanakan, seperti: penyediaan infrastruktur yang memadai serta lapangan
pekerjaan yang cukup di masa mendatang. Pada Tabel 2.2, dijelaskan bahwa pada
tahun 2012 jumlah penduduk Kabupaten Kutai Timur sebesar 285.743 jiwa mengalami
pertambahan penduduk sebanyak 16.357 jiwa, menjadi 302.100 jiwa di tahun 2013,
atau mengalami pertumbuhan sebesar 5,41%. Sedangkan di tahun 2015 jumlah
penduduk Kabupaten Kutai Timur sebesar 337.677 jiwa yang terdiri atas 183,653
laki – laki dan 154.024 Perempuan dengan rasio jenis kelamin 119. Angka ini
berarti bahwa terdapat 119 Laki – laki di antara 100 perempuan (Dinas Kesehatan
Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Pertumbuhan
penduduk tersebut sebagian karena migrasi masuk ke Kabupaten Kutai Timur yang
umumnya dikarenakan alasan ekonomi atau mencari pekerjaan baik secara
perseorangan maupun tumbuhnya investasi atau lapangan usaha dalam berbagai
sektor ekonomi, baik sektor primer, sekunder, maupun tersier, mulai dari skala
usaha mikro, kecil, menengah sampai besar (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Tabel 2.2
Perbandingan Jumlah Penduduk Pada Tiap Kecamatan Tahun 2012, 2013 2014 dan 2015
Di Kabupaten Kutai Timur
Jumlah penduduk tertinggi di Kutai Timur
terdapat di Kecamatan Sangatta Utara dengan jumlah penduduk sebesar 95.312
Jiwa, Bengalon sebesar 29.982 jiwa, dan Sangatta Selatan 24.033 Jiwa. Jumlah
penduduk terendah terdapat di Kecamatan Batu Ampar Sebesar 5.549 Jiwa,
Kecamatan Long Mesangat sebesar 5.614 jiwa, dan Kecamatan Busang sebesar 5.715
jiwa (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Jumlah penduduk tahun 2015 ini merupakan
estimasi jumlah penduduk dengan basic data Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010,
dimana pada saat itu jumlah penduduk Kabupaten Kutai Timur disensus sebesar
253.996 jiwa, yang terdiri dari 137.982 jiwa penduduk laki – laki dan 116.014
jiwa penduduk perempuan (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Struktur umur penduduk menurut jenis kelamin
dapat digambarkan dalam bentuk piramida penduduk. Berdasarkan estimasi penduduk
yang telah dilakukan, dapat disusun sebuah piramida penduduk Kutai Timur tahun
2015. Dasar piramida menunjukkan jumlah penduduk, badan piramida bagian kiri
menunjukkan banyaknya penduduk laki – laki dan badan piramida bagian kanan
menunjukkan jumlah penduduk perempuan. Piramida tersebut merupakan gambaran
struktur penduduk yang terdiri dari struktur penduduk muda, dewasa, dan tua.
Struktur penduduk ini menjadi dasar bagi kebijakan kependudukan, sosial, budaya
dan ekonomi (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Gambar 2.2 Estimasi
Piramida Penduduk Pada Kelompok Umur Kabupaten Kutai Timur Tahun 2015
Pada Gambar 2.2 ditunjukkan bahwa struktur
penduduk di Kutai Timur termasuk dalam struktur penduduk muda. Hal ini dapat
diketahui bahwa dari banyaknya jumlah penduduk usia muda (0 -14 tahun) yang
masih tinggi. Angka harapan hidup semakin meningkat yang ditandai dengan
meningkatnya jumlah usia tua, untuk laki – laki dan perempuan. Badan piramida
membesar, ini menunjukkan banyaknya jumlah penduduk usia produktif terutama
pada kelompok usia 25 – 29 tahun dan 30 – 34 tahun, baik laki – laki dan
perempuan. Jumlah golongan penduduk usia tua juga cukup besar. Hal ini dapat
dimaknai dengan semakin tingginya usia harapan hidup (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
2.3 Analisis Kesehatan
Derajat Kesehatan Masyarakat Kabupaten Kutai Timur ditunjukkan dengan suatu indikator status kesehatan, yaitu Angka
Kematian, Angka Kesakitan, Kondisi Sosial Ekonomi, dan Kondisi Fisik dan Lingkungan (BPS Kabupaten Kutai Timur).
Gambarannya
dari berbagai data dan
informasi yang dilaporkan adalah sebagai berikut :
2.3.1 Angka Kematian
a.
Angka Kematian Bayi (AKB)
Angka Kematian
Bayi (AKB) adalah jumlah penduduk yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun yang dinyatakan dalam 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang
sama. Usia bayi merupakan kondisi yang rentan baik terhadap kesakitan maupun
kematian. Dari 87 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup, lebih dari tiga
perempatnya (79%) merupakan kontribusi dari bayi umur 0-28 hari atau neonatus. Kabupaten Kutai Timur selama tahun 2015
berdasarkan sistem pelaporan Pemantauan Wilayah Sekitar Kesehatan Ibu dan Anak
(PWS-KIA) di dapatkan jumlah kematian neonates sebesar 69 kasus kasus
berbanding 5.868 kelahiran hidup di tahun tersebut dengan nilai AKB sebesar
14,83 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini sedikit lebih rendah jika
dibandingkan Angka Kematian Bayi pada tahun 2014 yaitu sebesar 14,87 per 1.000
kelahiran hidup. Capaian di Kutai Timur masih lebih baik jika dibandingkan
dengan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 sebesar 32
per 1.000 kelahiran hidup dan target MDGs 2015 sebesar 23
per 1.000 kelahiran hidup (Dinas
Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Gambar 2.3 Angka kematian
bayi Di Kutai Timur Tahun 2011 –
2015
Kematian
bayi di tahun 2015 disebabkan oleh BBLR 33 Kasus, Asfiksia 18 Kasus, Kelainan
Kongenital 6 Kasus, Diare dan Sepsis masing – masing 2 kasus, serta 27 kasus
akibat penyebab lainnya. Puskesmas Muara Bengkal menjadi daerah dengan kematian
bayi terbesar yaitu sebanyak 11 bayi berbanding 223 kelahiran hidup, disusul
dengan puskesmas Sangatta Selatan dengan 8 bayi dari 428 kelahiran hidup dan
Puskesmas Long Mesangat dengan 7 Bayi dari 125 kelahiran hidup
(Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai
Timur, 2016).
b.
Angka Kematian Balita
Angka Kematian Balita (AKABA) adalah
jumlah anak yang meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun (termasuk kematian
pada neonatus dan bayi) yang dinyatakan sebagai angka per 1.000 kelahiran hidup.
AKABA merepresentasikan risiko terjadinya kematian pada fase antara kelahiran dan
sebelum umur 5 tahun. Berbagai
upaya dapat dilakukan agar adanya penurunan kematian balita. Pada usia neonatal
yaitu : meningkatkan keterjangkauan akses pelayanan neonatal, inisiasi menyusui
dini dan perlindungan tetanus nenatorum. Untuk kelompok Bayi dan anak balita
upaya yang dapat dilakukan berupa : peningkatan cakupan imunisasi dasar, dan
dukungan peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi bayi dan anak balita.
Informasi jumlah kematian neonatal, bayi dan balita menurut jenis kelamin,
kecamatan dan puskesmas disajikan pada Gambar. 2.4 (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Gambar 2.4 Angka Kematian Balita Per 1.000 Kelahiran Hidup
Di Kutai Timur, Tahun 2011 – 2015
c.
Angka Kematian Ibu Maternal
Angka Kematian Ibu (AKI) juga menjadi
salah satu indikator penting dari derajat kesehatan masyarakat. AKI
menggambarkan jumlah wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan
gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil)
selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per
100.000 kelahiran hidup. Angka
kematian ibu pada tahun 2016 naik dibandingkan pada tahun
2015. Hal tersebut ditandai dengan turunnya angka kematian Ibu, jika pada Tahun 2016 sebesar 97,65/100.000 Kelahiran Hidup yaitu sejumlah 12 kasus, sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 11 kasus sebesar 87,5/100.000 (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
2015. Hal tersebut ditandai dengan turunnya angka kematian Ibu, jika pada Tahun 2016 sebesar 97,65/100.000 Kelahiran Hidup yaitu sejumlah 12 kasus, sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 11 kasus sebesar 87,5/100.000 (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Gambar 2.5 Angka Kematian
Ibu Per 100.000 Kelahiran Hidup Di
Kutai Timur, Tahun 2011 – 2015
Untuk
Kabupaten Kutai Timur, AKI pada 5 tahun terakhir menunjukkan tren menurun di
periode 2010 – 2014 namun di tahun 2015 sedikit meningkat 2 poin., seperti
terlihat pada Gambar 2.6. Pada tahun 2015 terjadi kasus kematian ibu sebanyak
12 ibu meninggal dunia jumlah yang sama dengan kasus di tahun 2014 berbanding
kelahiran hidup di tahun 2015 sebanyak 5.868 kelahiran hidup, sedangkan di
tahun 2014 sebesar 5.916, sehingga AKI 2015 adalah 204 per 100.000 kelahiran
hidup meningkat 2 point dibanding tahun 2014. Dengan demikian Kabupaten Kutai
Timur tidak mampu mencapai target MDG’s pada tahun 2015 yaitu kematian ibu
sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup. Kasus kematian pada ibu disebabkan
oleh Hipertensi Dalam Kehamilan (HDK) 8 kasus, Infeksi 2 Kasus, pendarahan dan
ganguan sistem peredaran darah, masing – masing 1 kasus kematian
(Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai
Timur, 2016).
2.3.2 Angka Kesakitan (Morbiditas)
Morbiditas
adalah angka kesakitan, baik insiden maupun prevalen dari suatu penyakit.Morbiditas
menggambarkan kejadian kesakitan dalam suatu populasi pada kurun waktu tertentu.
Morbiditas juga berkiperan dalam penilaian terhadap derajat kesehatan
masyarakat. Kondisi kesehatan masyarakat di Kabupaten Kutai Timur tahun 2015 dapat
dicermati dari pola penyakit penderita yang berkunjung ke sarana kesehatan tingkat
pertama yaitu puskesmas (Dinas
Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Metode pencatatan dan pelaporan kejadian penyakit yang diterapkan di
Kabupaten Kutai dihimpun melalui Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas
(SP2TP) – Laporan Bulanan 1 (LB1), kendala infrastuktur dan letak geografis antara satu
lokasi puskesmas dengan letak puskesmas yang lainnya maupun letak antara puskesmas dengan Dinas
Kesehatan yang jauh menjadi alasan belum bisa diterapkan Sistem Informasi Puskesmas
yang terintegrasi. Berikut menyajikan pola 10 penyakit terbanyak yang berkunjung ke
puskesmas dan sarana kesehatan yang ada (Dinas
Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Tabel 2.3 10
Penyakit Terbanyak di Sarana Kesehatan Tingkat I
Kabupaten Kutai Timur Tahun 2015
Pada tahun
2015 Nasofaringitis akut menjadi penyakit terbesar sama seperti kondisi tahun
2014, 2013 dan 2012, dengan jumlah kasus mencapai 32.250 Kasus, angka ini lebih
tinggi jika dibandingkan jumlah penyakit yang sama di tahun 2014 dan 2013 yaitu
sebesar 30.723 dan 29.662 kasus. Nasofaringitis akut sendiri merupakan keadaan
infeksi anak yang paling lazim, tetapi kemaknaannya terutama tergantung pada
frekuensi relatif dari komplikasi yang terjadi (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Pada anak-anak sindrom ini lebih luas daripada orang
dewasa, sering melibatkan sinus paranasal dan telinga tengah serta nasofaring.
Selain penyakit menular beberapa penyakit tidak menular masuk dalam daftar 10
besar penyakit yang ada di Kutai Timur, yaitu Hipertensi Primer dengan 15.382
kasus, Grastitis dengan 10.348 kasus, Faringitis akuta dengan 7.606 kasus dan
Dispepsia dengan 5.544 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
2.3.3 Kondisi Fisik dan Lingkungan
Masalah
kesehatan merupakan suatu masalah yang sangat komplek, yang saling berkaitan
dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Banyak faktor yang
mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat
(Notoatmodjo, 2003). Menurut model segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul
akibat interaksi satu sama lain yaitu antara faktor lingkungan, agent dan
host (Timmreck, 2004).
Pemeriksaan sumber air sehat pada Sumber air minum melalui perpipaan yang berasal
dari PDAM merupakan pilihan utama masyarakat
Kutai Timur, tercatat sebanyak 58% penduduk mengakses PDAM, namun dengan
terbatasnya akses PDAM masyarakat memilih sumber air minum yang lain diluar
perpipaan khususnya masyarakat yang berdomisili di luar perkotaan. Pemilihan
sumber air minum terbesar diluar perpipaan adalah Sumur Gali Terlindung yaitu
sebanyak 25% disusul penampungan air hujan sebanyak 8%, sumur gali dengan pompa
sebanyak 5%, akses lain – lain yang terdiri atas sumur bor dengan pompa,
terminal air masing – masing, dan mata air terlindung sebesar 4%. Informasi ini
tersaji pada Gambar 2.6 (Dinas
Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Gambar 2.6 Persentase
Penduduk Dengan Akses Berkelanjutan Terhadap Air Minum Berkualitas Di Kabupaten Kutai Timur Tahun 2015
Sanitasi
yang baik merupakan elemen penting yang menunjang kesehatan manusia. Sanitasi
berhubungan dengan kesehatan lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat. Buruknya kondisi sanitasi akan berdampak negatif di banyak aspek
kehidupan, mulai dari turunnya kualitas lingkungan hidup masyarakat,
tercemarnya sumber air minum bagi masyarakat, meningkatnya jumlah kejadian
diare dan munculnya beberapa penyakit (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Akses masyarakat terhadap pemilihan sanitasi rumah
tangga yang ada di Kutai Timur pada tahun 2014 ditampilkan pada Gambar 2.7
berikut.
Gambar 2.7 Penduduk Dengan Akses Terhadap
Fasilitas Sanitasi
Yang Layak (Jamban Sehat) Menurut
Jenis Jamban di
Kabupaten Kutai Timur Tahun 2015
Pada tahun
2015 akses menurut jenis fasilitas sanitasi layak berturut – turut : Jamban
dengan Leher Angsa dengan persentase 87%, jenis cemplung dengan 6%, jenis
komunal dengan 4%, dan Jenis Jamban plengseran dengan persentase 3% Sedangkan akses
masyarakat Terhadap Fasilitas Sanitasi Yang Layak (Jamban Sehat) Menurut Jenis
Jamban di masing–masing kecamatan dan puskesmas disajikan secara terperinci.
Pelaksanaan STBM pada tahun 2015 telah dilakukan di 134 desa atau mencapai 99%
dari jumlah seluruh desa. Sedangkan jumlah desa Stop BABS sejumlah 7 desa atau
mencapai 5% dari jumlah seluruh desa (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
Pengembangan lingkungan sehat di Kabupaten Kutai Timur telah
dilakukan, dan salah satu indikatornya adalah Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat (STBM).STBM mencakup 5 (lima) pilar, yaitu Stop Buang Air Bersih
Sembarangan (BABS), cuci tangan pakai sabun, pengelolaan air minum rumah
tangga, penanganan sampah rumah tangga, dan pengelolaan limbah rumah
tangga. Desa bisa dikatakan STBM apabila bisa memenuhi salah satu
pilar tersebut yang
dinyatakan dengan deklarasi masyarakat
dan ditandatangani oleh camat (Dinas
Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
2.3.4 Kondisi Sosial dan Ekonimi Penduduk
Sekitar 80% dari kabupaten/kota di Indonesia termasuk
kategori endemis dan lebih dari 45% penduduknya berdomisili di desa
endemis, termasuk wilayah Kabupaten Kutai Timur. Wilayah endemis pada
umumnya adalah desa – desa terpencil dengan kondisi lingkungan yang tidak
baik, sarana transportasi dan komunikasi yang sulit, akses pelayanan kesehatan
kurang, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat yang rendah, serta buruknya
perilaku masyarakat terhadap kebiasaan hidup sehat. Pertumbuhan penduduk pada Kabupaten Kutai Timur sebagian
karena migrasi masuk ke Kabupaten Kutai Timur yang umumnya dikarenakan alasan
ekonomi atau mencari pekerjaan baik secara perseorangan maupun tumbuhnya
investasi atau lapangan usaha dalam berbagai sektor ekonomi, baik sektor
primer, sekunder, maupun tersier, mulai dari skala usaha mikro, kecil, menengah
sampai besar (Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2016).
2.4 Gambaran Perilaku Masyarakat
Perilaku Higiene dan Sanitasi merupakan perilaku hidup bersih dan sehat
bagi masyarakat. Studi Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan (Enviromental
Health Risk Assessment = EHRA) menitikberatkan pada perilaku cuci tangan pakai
sabun, perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Untuk perilaku Cuci Tangan
Pakai Sabun (CTPS) di Kabupaten Kutai Timur hasil pendataan survey EHRA
mengatakan sebanyak 95,6 % masyarakat tidak melakukan praktek CTPS, sisanya 4,4
% melakukan cuci tangan pakai sabun. Ketersediaan sarana sabun dalam jamban
menjadi penentu praktek cuci tangan pakai sabun. Untuk ketersediaan sabun dalam
jamban, EHRA menjelaskan bahwa sebanyak 64,3 % masyarakat menyediakan sabun
sedangkan 35,7 % ketersediaan sabun dalam jamban tidak ada. Kapan saja
masyarakat melakukan CTPS di kabupaten Kutai Timur, survey membuktikan waktu
sebelum makan sebanya 88,9 %, sesudah makan memiliki bobot 48,9 %. Setelah
Buang Air Besar (BAB) sebanyak 62.3 %. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada
tabel dibawah ini. Untuk BABS di Kabupaten Kutai Timur menurut hasil analisis
EHRA menyebutkan sebanyak 30,5 % masyarakat masih BABS sedangkan yang sudah
terfokus sebesar 69,5 % (Laporan EHRA Kabupaten Kutai Timur, 2015).
Gambar 2.8 Grafik CTPS Di Lima Waktu Penting
Untuk Kabupaten Kutai Timur
Dari Gambar 2.8
dapat diketahui bahwa praktek Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) di 5 waktu penting
masyarakat Kabupaten Kutai Timur masih relatif rendah. Nilai CPTS tertinggi dengan
nilai sebesar 80,4% (Laporan EHRA Kabupaten Kutai Timur, 2015).
Grafik 2.9 Kebiasaan Ibu mencuci tangan dengan sabun
Dari Gambar 2.9
dapat diketahui bahwa praktek Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS), dilakukann
terbanyak sebelum makan 71,4%, setelah buang air besar 67,2%, sedangkan yang terendah
adalah sebelum ke toilet sebanyak 15,7% (Laporan EHRA Kabupaten Kutai Timur,
2015).
Gambar 2.10 Grafik BABS Di Kabupaten Kutai
Timur
Dari Gambar 2.10
dapat diketahui bahwa praktek Prilaku Buang Air Besar sembarangan dangan tidak
BABS sama 50 % dengan berarti masih ada prilaku yang menyimpang sekitar 50%
yang harus diberikan pemicuan Stop Buang Air besar sembarangan (Laporan EHRA
Kabupaten Kutai Timur, 2015).
2.5 Dampak Lingkungan Galian Tambang Batubara bagi Kesehatan Masyarakat
2.5.1 Pencemaran Air
Adanya
perusahaan pertambangan batubara tentu dampak negatifnya yang banyak terlihat
ataupun menonjol. Sungai Sangatta yang tercemar tentu dapat mengganggu
kesehatan masyarakat. air sungai yang digunakan masyarakat seharihari kini
tidak layak pakai karena telah tercemar (Fatmawati, dkk., 2017).
Memang
kegiatan penambangan batubara merupakan komoditas yang sangat menjanjikan untuk
penambahan devisa bagi negara. Namun disisi lain penambangan batubara merupakan
juga salah satu kegiatan penghasil air limbah dengan kandungan bahan-bahan yang
berbahaya, terlebih jika kegiatan penambangan tersebut berada di hulu sungai,
walaupun limbah cair dari kegiatan
tambang terlebih dahulu diolah melalui kolam pengendap sebelum di alirkan ke
badan air.Pencemaran air yang diakibatkan dari limbah cair dari adanya
perusahaan pertambangan batubara yang ada di kota Sangatta merupakan dampak
lingkungan dari aktivitas pertambangan batubara, yang dimana limbah cair ini
akan sangat dirasakan oleh warga saat musim hujan datang. Selain limbah ini
berdampak kepada kesehatan warga karena air sungai yang tak layak pakai, limbah
merupakn erosi tanah pada saat pembuatan jalan dan pengupasan lahan perusahaan
(Fatmawati, dkk., 2017).
Aktivitas
pertambangan yang meyebabkan tercemarnya sungai-sungai di Sangatta dapat
menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat Sangatta. Sesuai dengan wawancara
bapak Selfinus di atas bahwa limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan
pertambangan dapat mencemari air di sungai dan menganggu kesehatan masyarakat
setempat. Berbahayanya limbah pencucian
(limbah cair) yang mencemari air sungai sehingga warna air sungai menjadi
keruh, asam, dan menyebabkan pendangkalan sungai akibat endapan pencucian
batubara tersebut.Sayangnya, sampai sekarang tidaka ada informasi dari perusahaan
pertambangan terhadapnya bahayanya proses pencucian batubara kepada masyarakat
di sekitar pertambangan. Karena limbah cair dari hasil pencucian batubara ini
dapat menyebabkan penyakit kulit (gatal-gatal), gangguan pencernaan, paru dan
kanker otak. Gejala penyakit tersebut akan terlihat,jika air sungai tempat
buangan limbah digunakan masyarakat secara terus-menerus (Fatmawati, dkk.,
2017).
Aliran
sungai bendili dan sungai pinang tercemar akibat limbah cair dari pertambangan
PT. Kaltim Prima Coal. Akibat pencemaran tersebut air sungai yang dulu bersih
dan digunakan masyarakat Sangatta setiap harinya kini sudah tidak layak
dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari karena dapat mengganggu kesehatan,
tetapi masih ada pula sebagian masyarakat Sangatta masih mengkonsusmsinya dan
menggunakan air tersebut sebagai kebutuhan sehari-hari dikarenakan tidak
menggunakan air PDAM karena faktor ekonomi. Adapun penyakit dari pencemaran air
sungai ini seperti kudis atau gatal-gatal, diare, dan hepatitis A, dari ketiga
penyakit ini memang sering terjadi pada masyarakat yang tinggal dekat dengan
sungai (Fatmawati, dkk., 2017).
Dengan adanya pertambangan, lingkungan masyarakat menjadi tercemar
seperti sungai yang menjadi salah satu kebutuhan masyarakat Sangatta yang kini
tercemar oleh limbah kegiatan pertambangan, tentu hal ini sangat merugikan
semua pihak. Akan tetapi perusahaan PT. Kaltim Prima Coal juga selalu
memberikan bantuan terhadap masyarakat yang ada di Kecamatan Sangatta Utara
karena di ketahui dekat dengan area aktivitas pertambangan (Fatmawati, dkk.,
2017).
2.5.2 Pencemaran Udara
Pencemaran
udara yang terjadi akibat kegiatan penambangan batubara sangat mengganggu
kesehatan masyarakat karna sering menghirup udara kotor atau debu. Dari data
Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur penyakit yang diakibatkan dari polusi
udara masuk dalam 10 penyakit terbanyak tahun 2016 yaitu, penyakit Faringitis
akut yang mana penyakit faringitis akut ini adalah penyakit yang disebabkan
oleh polusi udara atau debu. Penyakit faringitis akut sama saja dengan radang
tenggorokan yang terjadi dari kuman dan semacamnya. Penyakit ini bisa dialami
oleh usia muda dan tua yang tandanya tidak bisa ditandai (Fatmawati, dkk.,
2017).
Dampak
dari adanya kegiatan pertambangan batubara salah satunya yaitu polusi udara
yang diakibatkan debu. Hal ini jelas menganggu bagi para pengguna jalan
khususnya pengguna roda dua karna dapat menganggu penglihatan dan juga hal ini
mempengaruhi jarak pandang di jalan raya. Jika hal ini terjadi terus menerus
bisa mengganggu pernapasan bagi masyarakat daerah sekitar tembang dan apalagi
jika debu bercampur dengan makanan tentu akan menimbulkan penyakit karena
mengandung berbagai macam kotoran hingga virus (Fatmawati, dkk., 2017).
Dari
hasil observasi menunjukkan bahwa kegiatan pertambangan batubara menimbulkan
pencemaran udara atapun polusi udara. Dampak yang ditimbulkan ini banyaknya
masyarakat yang tidak tahan adanya debu yang beterbangan dan diikuti dengan
panasnya matahari di Sangatta, hal ini menimbulkan gangguan kesehatan pada
masyarakat di sekitar dan berbagai penyakit timbul akibat pencemaran ini.
Adapun penyakit yang ditimbulkan berdasarkan kasus adalah gangguan saluran
pernapasan atau faringitis. Adapun data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai
Timur yang menyatakan bahwa penyakit akibat pencemaran udara masuk dalam data
10 penyakit terbanyak di Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur dan berada dalam
urutan ke-9 yaitu penyakit faringitis (Fatmawati, dkk., 2017).
Penyakit faringitis akuta berada dalam urutan ke-9 dari data 10
penyakit terbanyak Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur. Dari jumlah data yang
lama diatas bahwa laki-laki yang menderita faringitis akuta berjumlah 1822
orang sedangkan data yang baru berjumlah 1935 orang. Jumlah data yang lama
perempuan yang menderita faringitis akuta berjumlah 1771 orang sedangkan data
yang baru berjumlah 1853 orang. Jumlah laki-laki yang menderita faringitis
akuta lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perempuan yang menderita
faringitis akuta. Dan total jumlah penderita faringitis akuta laki-laki dan
perempuan adalah sebanyak 7381 orang (Fatmawati, dkk., 2017).
2.5.3 Kerusakan Flora dan Fauna
Kerusakan
flora dan fauna yang terjadi akibat kegiatan pertambangan batubara sudah pasti
terjadi. Akan tetapi dalam hal ini perusahaan juga bertanggung jawab dalam
mengatasi masalah tersebut. Bekas penambangan yang ada di Dusun Kabojaya
dijadikan tempat peternakan sapi dan pihak perusahaan juga membuat sebuah
penangkaran satwa liar di Dusun Kabojaya karena sering terjadi adanya satwa
liar yang masuk kepemukiman warga sehingga mengganggu aktivitas warga. Dan
Pembangunan tersebut terjadi karena adanya kerjasama antara pihak perusahaan
dan masyarakat setempat (Fatmawati, dkk., 2017).
Ada
beberapa lokasi mengalami kerusakan flora dan fauna yaitu satwa liar kehilangan
tempat tinggalnya, lokasinya terdapat di Dusun Kabo Jaya. Akibat kegiatan
pertambangan yang dilakukan, satwa-satwa liar pun kehilangan tempat tinggalnya,
sehingga harus masuk kepemukiman warga. Hal ini dapat membahayakan masyarakat
setempat seperti melukai atau mencakar. Kerusakan perkebunan juga bisa rusak
akibat kegiatan penambangan tersebut, tanaman yang ditanam oleh masyarakat akan
menjadi tidak sehat dan tak layak konsumsi dan lokasi perkebunan masyarakat
terletak di Dusun Kabo Jaya, Singa Gembara dan dijalan Poros Sangatta-Bengalon
berada dekat dengan kegiatan penambangan sehingga dapat merusak kualitas
kelayakan tanaman tersebut. Adapun penyakit yang dapat diderita oleh masyarakat
yaitu gangguan pencernaan ataupun diare. Karena tanaman (sayur-sayuran) atau
buah-buahan yang dikonsumsi masyarakat apabila terkena debu dari kegiatan
pertambangan akan merusak kesehatan masyarakat karena debu yang berasal dari
pertambangan batubara mengandung zat kimia yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat
setempat (Fatmawati, dkk., 2017).
Dengan meluasnya area pertambangan batubara dapat menyebabkan kerusakan
lingkungan serta bertambahnya penurunan kesehatan masyarakat di sekitar
pertambangan. Kerusakan lingkungan tersebut berupa penggundulan hutan, pencemaran
udara, dan, pencemaran air yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Dengan
meluasnya kerusakan hutan dapat menyebabkan banjir dan punahnya hewan maupun
tumbuhan yang ada di sekitar area pertambangan. Karena hutan tempat mereka
tinggal telah rusak, tanah tempat mereka tumbuh juga telah tercemar, dan air
yang merupakan sumber kebutuhan mereka juga tercemar. Sehingga lambat laun
mahkluk hidup yang ada disana akan punah (Fatmawati, dkk., 2017).
2.6 Gambaran Penyakit
Perusahaan tambang batubara di kabupaten Kutai Timur tidak hanya
menimbulkan dampak positif namun juga membawa dampak negatif. Adapun dampak negatif yang terjadi
adalah pencemaran lingkungan. Akibat pencemaran tersebut, air sungai yang dulu
bersih dan digunakan masyarakat setiap harinya kini sudah tidak layak
dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari karena dapat mengganggu kesehatan, namun
ada pula sebagian masyarakat masih mengkonsumsinya dan menggunakan air tersebut
dan tidak menggunakan air PDAM karena faktor ekonomi. Selain itu, buruknya kondisi
sanitasi juga berdampak negatif di banyak aspek kehidupan, mulai dari turunnya
kualitas lingkungan hidup masyarakat, tercemarnya sumber air minum bagi
masyarakat dan meningkatnya jumlah kejadian diare di Kabupaten Kutai Timur
(Fatmawati dkk., 2017). Persentase penemuan dan penanganan kasus diare di
Kabupaten Kutai Timur selama tahun 2010 - 2015 disajikan pada gambar berikut.
Gambar 2.11 Persentase Penemuan dan Penangan
Diare di Kutai Timur Tahun 2010 – 2015
Dari estimasi
kasus sebesar 7.226 kasus selama tahun 2015, ternyata jumlah kasus yang terjadi
mencapai 10.605 kasus. Hal inilah yang menyebabkan persentase kasus diare
mencapai 146,76%. Peningkatan ini tidak lepas dari adanya kemarau panjang yang
terjadi di tahun 2015, sehingga menyebabkan akses masyarakat terhadap air
bersih sangat terbatas. Hal ini terutama terjadi pada kelompok masyarakat yang
belum tercover areal PDAM. Insiden diare
berdasarkan gejala pada seluruh kelompok umur sebesar 3,5% (kisaran menurut
provinsi 1,6%- 6,3%) dan insiden diare pada balita sebesar 6,7% (kisaran
provinsi 3,3%-10,2%). Sedangkan period prevalensi diare pada seluruh kelompok
umur berdasarkan gejala sebesar 7% dan pada balita sebesar 10,2% (Dinas
Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, 2015).
2.7 Diare
2.7.1 Definisi
Diare
adalah peningkatan frekuensi dan penurunan konsistensi pengeluaran feses
dibandingkan dengan pola individu normal (Dipiro, et al, 2009). Menurut WHO,
pengertian diare adalah buang air besar dengan konsistensi cair (mencret)
sebanyak 3 kali atau lebih dalam satu hari (24 jam).
Menurut
Departemen Kesehatan RI (2000), jenis diare dibagi menjadi empat yaitu:
1. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung
kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7 hari). Akibat diare akut adalah
dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian bagi penderita
diare.
2. Disentri, yaitu diare yang disertai darah
dalam tinjanya. Akibat disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan
cepat, kemungkinanterjadinya komplikasi pada mukosa.
3. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung
lebih dari 14 hari secara terus menerus. Akibat diare persisten adalah
penurunan berat badan dan gangguan metabolisme.
4. Diare dengan masalah lain, yaitu anak yang
menderita diare (diare akut dan diare persisten), mungkin juga disertai dengan
penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.
2.7.2 Diagnosis
Langkah diagnosis yang dilakukan pada diare
adalah sebagai berikut : anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium
mencakup tinja, darah, kultur tinja, serologi, juga dilakukan foto dan
endoskopi (Daldiyono, 1997).
a. Anamnesis
Anamnesis pada penderita diare harus cermat
dengan tujuan untuk mengusahakan data yang mengarah pada penggolongan
berdasarkan patofisiologi maupun untuk mencari data penggolongan berdasarkan
etiologi, serta derajat berat ringannya penyakit secara rinci (Daldiyono,
1997). Anamnesis yang perlu diketahui adalah sebagai berikut :
1.
Umur
Umur
penderita perlu diketahui untuk semua keadaan. Pada masalah diare pasien
geriatrik biasanya akibat tumor, divertikulitis, laksan berlebihan. Pada pasien
muda biasanya infeksi, sindrom kolon iritatif (iritabel), investasi parasit,
intoleransi laktase, dan di Eropa suatu penyakit seliak (Daldiyono, 1997).
2.
Jenis
Kelamin
Jenis
kelamin tidak banyak bersangkutan dengan diare (Daldiyono, 1997).
3.
Frekuensi
Diare
Frekuensi
diare sangat penting untuk diketahui. Frekuensi diare harus dipertanyakan
setiap hari dari awal penyakit sampai pasien datang kedokter. Misalnya hari
pertama beberapa kali, hari kedua dan seterusnya. Perlu diketahui apakah
frekuensi diare tersebut yang misalnya 4-5 kali sehari terbagi rata dalam
sehari atau hanya pagi hari saja misalnya. Frekuensi diare oleh infeksi bakteri
biasanya dari hari kehari makin sering, berbeda dengan diare akibat minum
laksan misalnya, atau akibat salah makan (Daldiyono, 1997).
4.
Lamanya
diare
Diare
akut biasanya berlangsung cepat sedang kronik misalnya pada colitis ulserosa,
sindrom kolon iritabel, intoleransi laktase, malabsorbsi biasanya berlangsung
lama (Daldiyono, 1997).
5.
Perjalanan
penyakit
Diare
akut biasanya cepat sembuh sedangkan beberapa penyakit misalnya sindrom
iritabel, hipertiroid, kolitis ulserasi mengalami perode remisi dan eksaserbasi
(Daldiyono, 1997).
6.
Informasi
tentang tinja
Informasi
tentang tinja justru yang terpenting. Dengan mengetahui secara tepat seluk
beluk tinja yang dikeluarkan dapat memimpin fikiran untuk menuju diagnosis.
Idealnya dokter melihat dan membau tinja penderita, tapi ini sering sukar,
bahkan pasien sendiri banyak yang segan melihat tinjanya sendiri. Sebelum
menganalisis tinja yang patologis, baik diterangkan karakteristik tinja normal.
Tinja ideal biasanya berwarna coklat hijau, kekuningan, panjang 15-39 cm pada
dewasa dan bulat lonjong dengan diameter 2-4 cm. tinja berikut keluar sekaligus
secara berurutan tanpa mengejam, dengan berat sekitar 75-200 gr. Kandungan
tinja adalah bakteri, sisa makanan, air 70 %, sel-sel yang lepas, serat dan
sisa makanan lainnya. Bau tinja normal spesifik, akibat sterkobilin, indol dan
skatol serta gas lain yang banyak sekali (Daldiyono, 1997).
b. Pemeriksaan Fisik
Kelainan – kelainan yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik sangat berguna dalam menentukan beratnya diare daripada
menentukan penyebab diare. Status volume dinilai dengan memperhatikan perubahan
ortostatik pada tekanan darah dan nadi, temperatur tubuh dan toksisitas.
Pemeriksaan abdomen yang seksama merupakan hal yang penting. Kualitas bunyi
usus dan ada atau tidaknya distensi abdomen dan nyeri tekan merupakan petunjuk
penting bagi penentuan etiologi (Simadibrata, 2006).
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan tinja selalu penting. Adanya
parasit atau jamur hanya dapat didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis.
Pemeriksaan kultur tinja haruslah tertuju terhadap bakteri tertentu.
Pemeriksaan serologi atau pemeriksaan laboratorium lain banyak diperlukan bagi
diare kronik atau berulang (Daldiyono, 1997). Pada pasien diare perlu
dianalisis tinjanya sebagai berikut :
1.
Volume
Frekuensi defekasi yang sering dengan tinja
yang sedikit, berarti iritasi kolon bagian distal atau rektum misalnya pada
disentri, colitis ulserosa, tumor rektum dan sigmoid dan pada sindrom usus
irritable. Diare dengan tinja yang banyak berarti berasal dari intestine
misalnya pada kolera, atau diare bentuk kolera (cholererform diarrhea),
enteritis bacterial atau akibat laksan. Tinja pada sindrom malabsorbsi biasanya
banyak sekali seperti adonan roti pucat, lengket dengan bau yang menyengat dan
terapung pada air. Sedang pada keadaan lain malabsorbsi tinja dengan air
bercampur dengan sempurna. Tinja yang lunak semisolid bisa normal dan tinja
cair yang keluar sesudah tinja padat juga bisa normal (Daldiyono, 1997).
2.
Warna
Warna tinja normal tergantung makanan yang
dikonsumsi. Sesudah banyak makan pisang atau minum susu tinja berwarna kuning,
bila banyak makan daging, warna tinja coklat, sayuran hijau membuat tinja
berwarna hijau, sedang pepaya, wortel, tomat membuat warna tinja kemerahan,
sedang bila ada peradangan saluran cerna tinja berwarna hitam (Daldiyono,
1997).
3.
Bau
Bau tinja perlu diketahui, bau yang menyengat
busuk terdapat karsinoma kolon, sedang pada kolera baunya anyir (seperti
sperma), bau sekali (menyengat) pada malabsorbsi (Daldiyono, 1997).
4.
Sisa
Makanan
Sisa sayuran pada tinja bisa normal, bila sisa
makanan jelas terlihat hal ini bisa terjadi pada sindrom usus atau fistula
(Daldiyono, 1997).
5.
Lendir dan
Nanah
Tinja berlendir biasa terjadi pada sindrom usus
iritabel, karena itu disebut colitis mukoid. Lender (mucus) bersama dengan
nanah bisa terjadi pada colitis ulserosa dan disentri. Bedanya lendir dan nanah
adalah lendir terlihat bening transparan sedang nanah berwarna kuning keruh
(Daldiyono, 1997).
6.
Darah
Darah pada tinja terjadi pada disentri, infeksi
kampilobakter, tumor dan colitis ulserasi, hemoroid. Adanya darah pada tinja
yang cair menunjukkan situasi yang harus diperhatikan dengan seksama oleh
dokter (Daldiyono, 1997).
7.
Foto
Sinar-X (Rontgen)
Foto Sinar-X (Rontgen) tidak perlu dilakukan
pada diare akut. Terhadap kasus diare akut peranan roentgen sudah digantikan
oleh endoskopi. Lain halnya pada diare kronik dimana pemeriksaan Sinar-X
(Rontgen) memegang peranan yang sama dengan endoskopi (Daldiyono, 1997).
Gambar 2.12 Algoritma untuk evaluasi pasien dengan
diare akut (Simadibrata, 2006)
2.7.3 Patofisiologi
Diare
akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare
non inflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri
dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang
disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti
mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala
dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan
lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear
(Amin, 2015).
Pada
diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan
diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen
biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi
cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada
pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit.
Mekanisme
terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi kelompok
osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik terjadi
bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen
yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah
malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
Diare
sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin
yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu,
asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon
intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat
menyebabkan diare sekretorik.
Diare
eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus maupun
usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau
bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel
disease (IBD) atau akibat radiasi.
Kelompok
lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu tansit usus
menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus
iritabel atau diabetes melitus.
Diare
dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling
tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan
absorbsi di usus. Infeksi bakteri
menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan
terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau
adanya leukosit dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen
meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,
invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan
mukosa usus (Amin, 2015).
2.7.4 Manifestasi Klinik
Diare
akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau demam,
tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.
Diare
yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat
menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang mengakibatkan
renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik
yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus, berat badan berkurang,
mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun
serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonic
(Amin, 2015).
Karena
kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang mengakibatkan
penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan sehingga
frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul). Reaksi ini adalah usaha
tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik kembali normal. Pada
keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat standard juga
rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif (Amin,
2015).
Gangguan
kardiovaskular pada hipovolemik yang
berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan
darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat,
ujung-ujung ekstremitas dingin dan kadang sianosis. Karena kehilangan kalium
pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung (Amin,
2015).
Penurunan
tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan timbul anuria.
Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa nekrosis
tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita menghadapi gagal
ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi
kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih banyak dalam sirkulasi
paru-paru. Observasi ini penting karena dapat menyebabkan edema paru pada
pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali (Amin, 2015).
2.7.5 Hasil Terapi yang Diinginkan
Hasil terapi yang ingin dicapai pada pengobatan diare adalah
mengurangi morbiditas dan mortalitas dengan cara intrusi terakhir yang mungkin.
Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan terapi
antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat
baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan
penyakit, morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut
usia (Zein, 2004).
2.7.6 Penanganan Diare
a. Penggantian cairan dan elektrolit
Aspek
paling penting dari terapi diare adalah
untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan
keseimbangan elektrolit selama episode
akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali
yang tidak dapat minum atau yang terkena
diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena yang membahayakan jiwa. Idealnya, cairan
rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan
20 g glukosa per liter air. Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam
paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial
tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½
sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per
liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti
kalium.. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka
merasa haus pertama kalinya. Jika terapi intra vena diperlukan, cairan
normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan
dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan
kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan
memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah
ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin (Farthing, 2013).
Jumlah
cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari
badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan (dikutip dari 8 BD
plasma) dengan memakai rumus:
Metode
Pierce berdasarkan keadaan klinis :
·
Dehidrasi ringan,
kebutuhan cairan 5% X KgBB
·
Dehidrasi sedang,
kebutuhan cairan 8% X KgBB
·
Dehidrasi berat,
kebutuhan cairan 10% X KgBB
Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi
penilaian/skor (Farthing, 2013).
Tabel 2.4 Skor Daldiyono
Tabel 2.4 Skor Daldiyono
Goldbeger
(1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan cairan (Farthing, 2013) :
·
Cara I :
-
Jika ada rasa haus dan
tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka kehilangan cairan
kira-kira 2% dari berat badan pada waktu itu.
-
Bila disertai mulut
kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari berat badan saat itu.
-
Bila ada tanda-tanda
diatas disertai kelemahan fisik yang jelas, perubahan mental seperti bingung
atau delirium, maka defisit cairan sekitar 7 -14% atau sekitar 3,5 – 7 liter
pada orang dewasa dengan berat badan 50 Kg.
·
Cara II :
Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan
berat badan 4 Kg pada fase akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter.
·
Cara III :
Dengan menggunakan rumus :
Na 2 X BW2 = Na1 X BW1, dimana :
Na1 = Kadar
Natrium plasma normal;
BW1 = Volume
air badan normal, biasanya 60% dari berat badan untuk pria dan 50% untuk wanita
Na2 = Kadar natrium plasma sekarang
BW2 = volume
air badan sekarang
b. Antibiotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada
diare akut infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari
tanpa pemberian anti biotik.
Tabel
2.5 Antibiotik empiris untuk Diare infeksi Bakteri
Pemberian
antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi
seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan
kontaminasi lingkungan, persisten atau
penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien
immunocompromised. Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel
2), tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan
resistensi kuman (Farthing, 2013).
c. Obat anti diare
·
Kelompok antisekresi
selektif
Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai
tersedianya secara luas racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat
enzim enkephalinase sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal.
Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga keseimbangan
cairan dapat dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini tersedia di
bawah nama hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare yang
dapat pula digunakan lebih aman pada anak (Amin, 2015).
·
Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl
serta kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein
adalah 15-60mg 3x sehari, loperamid 2 – 4 mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5mg 3 –
4 x sehari. Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi,
peningkatan absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan
mengurangi frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup
aman dan dapat mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan
gejala demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan (Amin, 2015).
·
Kelompok
absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin,
kaolin, atau smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat
menyeap bahan infeksius atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel
mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang
sekresi elektrolit (Amin, 2015).
·
Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta,
Psyllium, Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat
membentuk kolloid dengan cairan dalam
lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses tetapi tidak
dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/
2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet (Amin,
2015).
·
Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan
Bifidobacteria atau Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan
jumlahnya di saluran cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi
untuk nutrisi dan reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan mengurangi/
menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang adekuat (Amin, 2015).
BAB III
PROMOSI KESEHATAN
3.1 Rancangan Kegiatan Untuk Meningkatkan Kesehatan Masyarakat
Dalam
meningkatkan kualitas kesehatan di wilayah kabupaten Kutai Timur. Rancangan
program yang akan dibuat berupa penyuluhan dan promosi kesehatan yang bertujuan
untuk pencegahan penyakit menular yang saat ini persentasinya sedang naik
dibanding tahun kemarin dengan menjaga kebersihan lingkungan, perilaku hidup
bersih dan sehat.
Dalam
rancangan kegiatan kesehatan ini juga melibatkan perangkat pemerintah maupun
non pemerintah. Perangkat pemerintah melibatkan seperti, kelurahan, kecamatan,
puskesmas, pemerintah pusat, dan perangkat pemerintah lainnya yang dapat
bekerjasama. Sedangkan untuk perangkat non pemerintahan yaitu bekerjasama
dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
3.1.1 Penyuluhan Gaya Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Untuk
mengurangi perkembangbiakan vektor penyakit di daerah Kabupaten Kutai Timur maka
akan dilakukan kegiatan penyuluhan dan promosi kesehatan. Tujuan penyuluhan dan
promosi kesehatan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan
meningkatkan kesadaran upaya menjaga kesehatan serta kebersihan lingkungan.
Penyuluhan dilakukan dalam bentuk simulasi berupa presentasi dan melalui media
cetak seperti leaflet (brosur).
Untuk
membangun kesehatan, Indonesia memiliki visi dan misi pembangunan kesehatan.
Ada 4 indikator yang akan dicapai untuk Indonesia Sehat, yaitu hidup dalam
lingkungan yang sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat, mempunyai kemampuan
untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan menyeluruh serta
memiliki derajat kesehatan yang optimal. Indikator perilaku hidup bersih dan
sehat yang diuraikan dalam beberapa variable merupakan cerminan atau gambaran
kesehatan masyarakat.
PHBS
merupakan seluruh perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga
anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri dalam bidang
kesehatan dan dapat berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di
masyarakat sekitar (Kemenkes, 2016). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ini
merupakan modal utama untuk pencegahan berbagai penyakit. Karena vektor
penyakit akan terus berkembangbiak jika masyarakatnya tidak dapat menjaga
kebersihan dan kesehatan. Perilaku hidup sbersih dan sehat merupakan cerminan
pola hidup keluarga yang senantiasa memperhatikan dan menjaga kesehatan seluruh
seluruh anggota keluarga.
Keluarga mempunyai peran penting dalam meningkatkan kualitas kesehatan
masyarakat, karena dalam keluarga terjadi komunikasi dan interaksi antara
anggota keluarga yang menjadi awal penting dari suatu proses pendidikan
perilaku. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di rumah tangga adalah upaya
untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan
perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di
masyarakat. Untuk mencapai rumah tangga ber-PHBS, terdapat 10 perilaku hidup
bersih dan sehat yang dipantau, yaitu: (1) Persalinan ditolong oleh tenaga
kesehatan, (2) Memberi ASI ekslusif, (3) Menimbang balita setiap bulan, (4)
Menggunakan air bersih, (5) Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, (6)
Menggunakan jamban sehat, (7) Memberantas jentik di rumah sekali seminggu, (8)
Makan buah dan sayur setiap hari, (9) Melakukan aktivitas fisik setiap hari,
dan (10) Tidak merokok di dalam rumah (Dinkes Kutai Timur, 2016).
a. Penyuluhan Penggunaan Air Bersih
o Mengapa kita harus menggunakan air bersih?
Air dipergunakan sehari-hari untuk minum, memasak, mandi,
berkumur, membersihkan lantai, mencuci alat-alat dapur, mencuci pakaian dan
sebagainya. Oleh karena itu, air yang digunakan harus bersih, agar tidak
terkena penyakit atau terhindar dari sakit.
o Apa syarat-syarat air bersih itu?
Air bersih secara fisik dapat dibedakan melalui indera kita,
mantara lain (dapat dilihat, dirasa, dicium dan diraba):
1. Air tidak berwarna harus bening/jernih.
2. Air tidak keruh, harus bebas dari pasir, debu,
lumpur, sampah, busa dan kotoran lainnya.
3. Air tidak berasa, tidak berasa asin, tidak
berasa asam, tidak payau, dan tidak pahit, harus bebas dari bahan kimia
beracun.
4. Air tidak berbau seperti bau amis, anyir, busuk
atau bau belerang.
o Apa manfaat menggunakan air bersih?
1. Terhindar dari gangguan penyakit seperti Diare,
Kolera Disentri, Thypus, kecacingan, penyakit mata, penyakit kulit atau
keracunan.
2. Setiap anggota keluarga terpelihara kebersihan
dirinya.
o Dimana dapat memperoleh air besih?
Mata air, air sumur atau air sumur pompa, air ledeng atau
perusahaan air minum, air hujan, dan air dalam kemasan.
o Bagaimana menjaga kebersihan sumber air besih?
1. Jarak letak sumber air dengan jamban dan tempat
pembuangan sampah, paling sedikit 10 meter.
2. Sumber mata air harus dilindungi dari bahan
pencemar.
3. Sumur gali, sumur pompa, kran umum dan mata air
harus dijaga bangunannya agar tidak rusak, seperti lantai sumur sebaiknya tidak
kedap air dan tidak boleh retak, bibir sumur harus diplester dan sumur
sebaiknya diberi penutup.
4. Harus dijaga kebersihannya seperti tidak ada
genangan air di sekitar sumber air, dan dilengkapi dengan saluran pembuangan
air, tidak ada bercak-bercak kotoran, tidak berlumut, pada lantai/dinding
sumur. Ember/gayung pengambil air harus tetap bersih dan tidak diletakkan di
lantai (ember/gayung digantung di tiang sumur).
o Mengapa air bersih harus dimasak mendidih bila ingin
diminum?
Meski terlihat bersih, air belum tentu bebas
kuman penyakit.Kuman penyakit dalam air mati pada suhu 100 oC (saat
mendidih).
o
Apa peran
keluarga untuk menggunakan air bersih?
1. Menyediakan sumber air bersih di rumah antara
lain dengan membuat sumur, sumur pompa, menyediakan bak penampungan air
sementara, penampungan air hujan bagi daerah sulit air, membuat
saluran/pipa/bambu dari sumber mata air.
2. Apabila sumber air tidak memenuhi persyaratan
air bersih secara fisik, keluarga tersebut diharapkan melapor ke Puskesmas
untuk mendapatkan tindak lanjut.
3.
Manfaatkan
setiap kesempatan di rumah untuk mengingatkan tentang pentingnya menggunakan
air bersih.
b. Penyuluhan Cuci Tangan
Mencuci
tangan adalah menggosok kedua pergelangan tangan dengan kuat secara bersamaan
menggunakan zat pembersih yang sesuai dan dibilas dengan air mengalir dengan
tujuan menghilangkan mikroorganisme sebanyak mungkin.Ada dua prosedur cuci
tangan yang dapat dilakukan. Kegagalan untuk melakukan kebersihan dan kesehatan
tangan yang tepat dianggap sebagai sebab utama infeksi nosokomial yang menular
di pelayanan kesehatan, penyebaran mikroorganisme multiresisten dan telah
diakui sebagai kontributor penting terhadap timbulnya wabah (Boyce dan Pitter,
2002). Cuci tangan dianggap sebgai salah satu langkah paling efektif untuk
mengurangi penularan mikroorganisme dan mencegah infeksi. Tahap-tahap mencuci
tangan dengan baik dan benar yaitu :
1.
Basahi tangan seluruhnya dengan
air bersir mengalir.
2.
Gosok menggunakan sabun ke bagian
telapak tangan, puggung tangan dan sela jari-jari.
4.
Bersihkan pada bagian bawah
kuku-kuku tangan.
5.
Bilas tangan dengan air bersih
mengalir.
6.
Keringkan tangan dengan handuk/
tissue atau keringkan dengan udara dingin/ panas.
c. Penyuluhan Pencegahan Penyakit Menular
Meningkatnya
angka kesakitan dari berbagai jenis penyakit menular di daerah pesisir pantai
Kabupaten Kutai Timur dari tahun ke tahun mengharuskan kita untuk melakukan
upaya terkait pencegahan dan penanggulangan penyakit menular tersebut.
Penyuluhan dilakukan agar kesadaran masyarakat terkait kesehatan diri bisa
menjadi lebih baik. Penyuluhan yang dilakukan antara lain:
1.
Mencegah penyakit menular dengan
berbagai jenis imunisasi
2.
Mencegah penyakit menular dengan
mencuci tangan yang bersih
3.
Mencegah penyakit menular dengan
tidak berbagi barang pribadi
4.
Mencegah penyakit dengan
berolahraga.
5.
Mencegah penyakit menular dengan
setia pada pasangan
7.
Mencegah penyakit menular dengan
menggunakan pelindung tubuh.
Tabel 3.1 Pencegahan
Primer Penyakit Menular
Penyakit
|
Pencegahan Primer
|
Penyakit
yang ditularkan melalui susu
|
Pasteurisasi
susu untuk mengeliminasi pathogen penyebab penyakit
|
Penyakit
yang ditularkan melalui makanan atau air
|
Penyediaan
makanan dan air yang bebas dari kontaminsai pathogen
|
Penyakit
yang bisa dicegah dengan imunisasi
|
Imunisasi
|
Penyakit
dengan abnormalitas genetic
|
Penelusuran
kelainan genetic, misalnya skrining dengan tes darah sederhana pada neonates
untuk mendeteksi feniketouria (PKU), pemyakit metabolism yang dapat diatasi
dengan menghindari gula dalam diet.
|
Penyakit
yang disebabkan oleh merokok tembakau
|
Modifikasi
perilaku (penghentian kebiasaan merokok)
Larangan
menayangkan iklan rokok
Penerapan
area bebas dari asap rokok
Pengenaan
cukai rokok
|
Trauma
otak, fraktura dan cedera lainnya
|
Pengaturan
penggunaan helm dan sabuk pengaman
|
Penyakit
yang ditularkan melalui hubungan seks (HIV, AIDS, hepatitis B)
|
Promosi
penggunaan kondom untuk seks aman
|
SARS
|
Isolasi
dan karantina
|
Tabel 3.2 Pencegahan
Sekunder Penyakit Kronis dan Menular
Penyakit
|
Pencegahan Sekunnder
|
Penyakit menular seksual
|
Kultur rutin bakteriologis
untuk infeksi asimtomatis pada kelompok resiko tinggi
|
Sifilis
|
Tes serologi rutin untuk
infeksi preklinis pada kelompok resiko tinggi
|
Hipertensi klinis
|
Skrining tekanan darah tinggi
|
Kanker leher rahim
|
Hapusan PAP
|
Kanker payudara
|
Skrinning dengan mammografi
|
Kanker kolon
|
Sigmoidoskopi atau kolonoskopi
untuk mendeteksi kanker dini atau lesi-prakanker
|
HIV/AIDS
|
ELISA atau western blot rutin
untuk kelompok resiko tinggi
|
Hepatitis B
|
Immunoglobulin hepatitis B
untuk neonates dari ibu dengan HBsAg positif,
dan orang-orang yang belum pernah diimunisasi dan terpapar oleh virus
hepatitis B
|
d. Penyuluhan Peningkatan Derajat Kesehatan Ibu dan Anak
Kesehatan
ibu dan anak merupakan salah satu bagian dari kesehatan masyarakat. Kesehatan
ibu dan anak merupakan kondisi yang sangat penting bagi bangsa di masa yang
akan datang. Kesehatan seorang ibu, baik secara jasmani maupun rohani, sangat
berpengaruh pada kelahiran anak yang sehat secara jasmani maupun rohani. Anak
yang terlahir sehat merupakan aset penting bagi bangsa. Hal ini dikarenakan
anak merupakan penentu nasib bangsa di masa yang akan datang. Oleh karena itu,
kesehatan ibu dan anak harus diupayakan oleh seluruh pihak, baik pemerintah,
Badan Usaha Milik Negara, Lembaga Swadaya Masyarakat, swasta, bahkan masyarakat
itu sendiri. Upaya ini dapat dilakukan melalui Program Kesehatan Ibu dan Anak.
Strategi
Promosi Peningkatan KIA serta percepatan penurunan AKI dan AKB adalah melalui
Advokasi, Bina Suasana dan Pemberdayaan Masyarakat yang didukung oleh Kemitraan
(Kemenkes, 2010).
a.
Advokasi
Advokasi merupakan upaya strategis dan terencana untuk mendapatkan
komitmen dan dukungan dari para pengambil keputusan dan pihak terkait
(stakeholders) dalam pelayanan KIA.
b.
Bina Suasana
Bina Suasana merupakan upaya menciptakan opini publik atau lingkungan
sosial, baik fisik maupun non fisik, yang mendorong individu, keluarga dan
kelompok untuk mau melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terkait
dengan upaya peningkatan KIA serta mempercepat penurunan AKI dan AKB. Bina
suasana salah satunya dapat dilakukan melalui sosialisasi kepada
kelompok-kelompok potensial, seperti organisasi kemasyarakatan, kelompok opini
dan media massa. Bina suasana perlu dilakukan untuk mendukung pencapaian target
program KIA.
c.
Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya menumbuhkan kesadaran, kemauan,
kemampuan masyarakat dalam mencegah dan mengatasi masalah KIA. Melalui kegiatan
ini, masyarakat diharapkan mampu berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan
berperan serta dalam pemberdayaan masyarakat di bidang KIA.
d.
Kemitraan
Kemitraan dalam penanganan masalah KIA adalah kerjasama formal antara
individu-individu, kelompok-kelompok peduli KIA atau organisasi-organisasi
kemasyarakatan, media massa dan swasta/dunia usaha untuk berperan aktif dalam
upaya peningkatan KIA di masyarakat.
Ada
beberapa kegiatan dalam program kesehatan ibu dan anak, diantaranya (Kemenkes,
2010) :
1.
Pemeliharaan kesehatan ibu hamil
dan menyusui serta bayi, anak balita, dan anak prasekolah.
2.
Deteksi dini faktor resiko ibu
hamil.
3.
Pemantauan tumbuh kembang balita.
5.
Imunisasi Tetanus Toxoid dua kali
pada ibu hamil serta BCG, DPT tiga kali, Polio tiga kali, dan campak satu kali
pada bayi
6.
Penyuluhan kesehatan meliputi
berbagai aspek dalam mencapai tujuan program KIA
7.
Pengobatan bagi ibu, bayi, anak
balita, dan anak prasekolah untuk macam-macam penyakit ringan
8.
Kunjungan rumah untuk mencari ibu
dan anak yang memerlukan pemeliharaan serta bayi-bayi yang lahir ditolong oleh
dukun selama periode neonatal (0-30 hari)
9.
Pengawasan dan bimbingan kepada
taman kanak-kanak dan para dukun bayi serta kader-kader kesehatan
e. Penyuluhan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga yang Baik
Berdasarkan
SK SNI tahun 1990, Sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari zat
organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola
agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Pada
umumnya paradigma masyarakat terhadap sampah dengan sifat padat yang dihasilkan
dari aktivitas rumah tangga atau industri, adalah benda yang yang tidak lagi
diinginkan atau tidak bernilai ekonomis.
Dengan
adanya UU No. 18 /2008 tentang Pengelolaan Sampah maka perlu suatu pengelolaan
sampah dengan maksimal. Adapun upaya pengelolaan sampah dapat dilakukan dengan
cara Reuse, Reduce, dan Recycle (3 R) adalah kegiatan memperlakukan sampah
dengan cara, menggunakan kembali, mengurangi dan mendaur ulang.
1.
Reuse (menggunakan kembali) :
yaitu penggunaan kembali sampah secara langsung, baik untuk fungsi yang sama
maupun fungsi lain.
2.
Reduce (mengurangi) : yaitu
mengurangi segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya sampah.
3.
Recycle (mendaurulang) : yaitu memanfaatkan
kembali sampah setelah mengalami proses pengolahan.
Pengelolaan
Sampah Terpadu Berbasis Masyarakat adalah suatu pendekatan pengelolaan sampah
yang didasarkan pada kebutuhan dan permintaan masyarakat, direncanakan,
dilaksanakan, dikontrol dan dievaluasi bersama masyarakat. Salah satu
pendekatan pengelolaan sampah 3R dan mendekati sumbernya adalah pengelolaan
sampah kawasan dengan TPS pengolah.
Sarana dan prasarana TPS pengolah ini untuk mewujudkan konsep 3R sehingga
sampah yang terangkut ke TPA berkurang atau tidak ada sama sekali.
Untuk
keberhasilan dari kegiatan pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini perlu
bantuan dari fasilitator, Adapun fungsi fasilitator adalah memfasilitasi
masyarakat untuk mencapai tujuan pengelolaan sampah secara baik dan
berkesinambungan. Jika masyarakat mempunyai kelemahan dibidang teknik pemilahan
dan pengomposan maka tugas fasilitator adalah memberikan kemampuan masyarakat
dengan berbagai cara misalnya dengan memberikan pelatihan, begitu juga jika
masyarakat lemah dalam hal pendanaan, maka tugas fasilitator adalah membantu
mencari jalan keluar agar masyarakat mampu mendapat pendanaan yang dibutuhkan,
tetapi harus dilakukan secara hati – hati jangan sampai membuat masyarakat
tergantung.
f. Penyuluhan Penggunana Jamban Sehat
Untuk
mencegah kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia
harus dikelola dengan baik. Suatu jamban memenuhi syarat kesehatan apabila
memenuhi syarat kesehatan: tidak mengotori permukaan tanah, tidak mengotori air
permukaan, tidak dapat di jangkau oleh serangga, tidak menimbulkan bau, mudah
digunakan dan dipelihara, dan murah (Notoatmodjo, 1996).
Tempat
pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko
terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan
keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat
sanitasi (Wibowo, 2003).
Syarat - syarat jamban sehat :
1.
Tidak mencemari sumber air minum
(jarak antara sumber air minum dengan lubang penampungan minimal 10 meter
2.
Tidak berbau
3.
Kotoran tidak dapat dijamah oleh
serangga dan tikus
4.
Tidak mencemari tanah di sekitamya
5.
Mudah dibersihkan dan aman
digunakan
6.
Dilengkapi dinding dan atap
pelindung
7.
Penerangan dan ventilasi cukup
8.
Lantai kedap air dan luas ruangan
memadai
9.
Tersedia air, sabun, dan alat
pembersih
Cara
memelihara jamban sehat :
1.
Lantai jamban selalu bersih dan
tidak ada genangan air
2.
Bersihkan jamban secara teratur
sehingga ruang jamban dalam keadaan bersih
3.
Di dalam jamban tidak ada kotoran
yang terlihat
4.
Tidak ada serangga (kecoa, lalat)
dan tikur yang berkeliaran
5.
Tersedia alat pembersih (sabun,
sikat dan air bersih)
6.
Bila ada kerusakan segera
diperbaiki.
7.
Pakailah karbol pada saat
membersihkan lantai agar bebas penyakit.
8.
Hindarkan menyiram air sabun ke
dalam bak pembuangan/atau ke dalam kloset agar bakteri pembusuk tetap berperan
aktif.
9.
Jangan menggunakan alat pembersih
yang keras agar kloset tidak cepat rusak.
10.
Jangan membuang kotoran yang tidak
mudah larut ke dalam air misal : kertas, kain bekas, dll.
3.1.2
Penanggulangan Diare
Pada
dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni :
a.
Primary Prevention (promosi
kesehatan dan pencegahan khusus)
Pencegahan primer penyakit diare dapat
ditujukan pada faktor penyebab, lingkungan dan faktor pejamu.
1.
Penyediaan Air Bersih
2.
Tempat Pembuangan Tinja
3.
Status Gizi
4.
Kebiasaan Mencuci Tangan
b.
Secondary Prevention (diagnosis
dini serta pengobatan yang tepat)
Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan
kepada sianak yang telah menderita diare atau yang terancam akan menderita
yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan pengobatan yang cepat dan tepat,
serta untuk mencegah terjadinya akibat samping dan komplikasi. Prinsip
pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian oralit (rehidrasi)
dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti
salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. Pengobatan yang diberikan harus
disesuaikan dengan klinis pasien. Obat diare dibagi menjadi tiga, pertama
kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare seperti bakteri atau parasit,
obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan spasmolitik yang membantu
menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan. Sebaiknya jangan
mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter. Dokter akan menentukan
obat yang disesuaikan dengan penyebab diarenya misal bakteri, parasit.
Pemberian kemoterapeutika memiliki efek samping dan sebaiknya diminum sesuai
petunjuk dokter (Fahrial Syam, 2006).
c.
Tertiary Prevention (pencegahan
terhadap cacat dan rehabilitasi)
Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita
diare jangan sampai mengalami kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi
pada tahap ini penderita diare diusahakan pengembalian fungsi fisik, psikologis
semaksimal mungkin. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk
mencegah terjadinya akibat samping dari penyakit diare. Usaha yang dapat
dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi makanan bergizi dan menjaga
keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan terhadap mental penderita
dengan tetap memberikan kesempatan dan ikut memberikan dukungan secara mental
kepada anak. Anak yang menderita diare selain diperhatikan kebutuhan fisik juga
kebutuhan psikologis harus dipenuhi dan kebutuhan sosial dalam berinteraksi
atau bermain dalam pergaulan dengan teman sepermainan.
3.2 Media Promosi Kesehatan
3.2.1 Presentasi
3.2.2 Leaflet
3.2.3 Poster
3.3 Rencana Pelaksanaan Promosi Kesehatan
3.3.1 Nama dan Bentuk Kegiatan
3.3.2 Tujuan Kegiatan
3.3.3 Output
3.3.4 Pelaksanaan Promosi Kesehatan
3.3.5 Sasaran
3.3.6 Evaluasi/ Indikator Keberhasilan
3.3.7 Susunan Kepanitian
3.3.8 Estimasi Biaya
DAFTAR PUSTAKA
Amin, L.Z. 2015.
Tatalaksana Diare Akut. Continuing Medical Education, CDK-230/ vol. 42 no. 7
tahun 2015, Jakarta.
Boyce, J.M. Pittet D., 2002. Guideline for Hand Hygiene in Health Care Settings: recommendations of the HICPAC and HICPAC/SHEA/APIC/IDSA hand hygiene task force. MMWR.Vol. 30: 1-35
Ciesla WP, Guerrant
RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK, et al editors.
Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease. New York: Lange Medical
Books, 2003. 225 - 68.
Daldiyono, 1997. Pendekatan Klinik Diare Kronik Pada Orang Dewasa. Dalam: Sulaiman,
Ali.,
Depkes, R. I., 2000. Buku Pedoman
Pelaksanaan Program P2 Diare.
Jakarta: Ditjen PPM dan PL.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur. 2015. Profil Kesehatan Kabupaten Kutai Timur Tahun
2015. Tersedia di http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KAB_KOTA_2015/6404_Kaltim_Kab_Kutai_Timur_2015.pdf [Diakses pada tanggal 24 September 2018].
Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur. 2016. Profil Kesehatan Kabupaten
Kutai Timur Tahun 2015. Bagian Perencanaan Sekretariat Dinas Kesehatan
Kabupaten Kutai Timur.
Dipiro. JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook
7th edition, Mc Graw Hill, New York.
Fahrial Syam, A,
(2006), Pengobatan Diare yang Tepat. http://www. Medicastore.Com (diakses pada
27 September 2018)
Farthing M, Salam MA,
Lindberg G, Dite P, Khalif I, Salazar-Lindo E, et al. Acute diarrhea in adults
and children: A global perspective. World Gastroenterology Organisation Global
Guidelines. J Clin Gastroenterol. 2013; 47(1): 12-20.
Fatmawati, Budiman, Dyastari, L. 2017. Dampak lingkungan galian tambang
batubara PT. Kaltim Prima Coal bagi kesehatan masyarakat di Kecamatan Sangatta
Utara Kabupaten Kutai Timur. e-Journal
Ilmu Pemerintahan. Vol. 6 (2) : 553-566.
Irianto, J. Dkk,
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare pada Anak Balita, Buletin
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Rencana
Operasional Promosi Kesehatan Ibu dan Anak. Tersedia online di www.promkes.depkes.go.id.
Laporan EHRA Kabupaten Kutai Timur 2015. Program PPSP Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur.
LAPORAN STUDI EHRA.
Lung E, Acute
Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors. Current
Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd edition. New York: Lange Medical
Books, 2003. 131 - 50.
Marcellus, S.K., Setiati, S., eds.Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
408-413.
Notoatmodjo S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S.
(1996), Ilmu Kesehatan Masyarakat, EGC, Jakarta
Penelitian Kesehatan,
Th 1996, No. 24: 494-499.
Rani HAA. Masalah
Dalam Penatalaksanaan Diare Akut pada Orang Dewasa. Dalam: Setiati S, Alwi I,
Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine
2002. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit Dalam FK UI, 2002.
49-56.
Simadibrata, K., Daldiyono. 2006. Diare Akut. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.
Soewondo ES. 2002. Penatalaksanaan diare akut akibat infeksi (Infectious
Diarrhoea). Dalam: Suharto, Hadi U,
Nasronudin, editor. Seri Penyakit Tropik Infeksi Perkembangan Terkini Dalam
Pengelolaan Beberapa penyakit Tropik Infeksi. Surabaya: Airlangga University
Press. Hal. 4 – 40.
Tesis, Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Timmreck CT. 2004. Epidemiologi suatu Pengantar. Jakarta: Buku
Kedokteran. EGC.
Wibowo, dkk. 2003.
Faktor Resiko Kejadian Diare Berdarah pada Balita di Kabupaten Sleman,
Wulandari, H. 2018. Analisis Penambangan Batu
Bara PT. KalTim Prima Coal Kota Sangatta, Kabupaten Kutai Timur Provinsi
Kalimantan Timur. Artikel. Research Gate.
Zein, U., Sagala,
K.H., dan Ginting, J. 2004. Diare Akut Disebabkan Bakteri e-USU Repository
Universitas Sumatera Utara, Fakultas Kedokteran, Divisi Penyakit Tropik dan
Infeksi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Medan.
1 komentar:
The Casino | Mapyro
The casino is located 충청남도 출장안마 in the 청주 출장마사지 Wynn Plaza Hotel & Casino. The casino is connected to the Las Vegas 울산광역 출장샵 Strip 대구광역 출장안마 and offers its own casino with 100 table games, 경기도 출장마사지
Posting Komentar