Minggu, 09 Juni 2019

MAKALAH SWAMEDIKASI PADA PENYAKIT GANGGUAN KULIT (DERMATITIS, JERAWAT, DAN INFEKSI JAMUR)


MAKALAH
SWAMEDIKASI PADA PENYAKIT GANGGUAN KULIT
(DERMATITIS, JERAWAT, DAN INFEKSI JAMUR)

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pelayanan Kefarmasian
Pada Program Profesi Apoteker

 

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS FARMASI
2018


BAB I
DERMATITIS ATOPIK

1.1.      Definisi
Dermatitis atopik adalah inflamasi pada kulit yang bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan (eksaserbasi). Penyakit kulit ini dapat diderita oleh bayi, anak-anak maupun dewasa. Penyakit ini disertai dengan meningkatnya kadar IgE dalam darah dan umumya pasien memiliki riwayat rinitis alergi atau asma (Kariosentono, 2006).

1.2    Penyebab
Inflamasi kulit pada dermatitis atopik merupakan hasil interaksi yang komplek antara kerentanan genetik yang menjadi kulit menjadi rusak, kerusakan sistem imun bawaan, dan kekebalan tinggi terhadap alergen (imunologi) dan anti mikroba. Elemen utama dalam disregulasi imun adalah sel Langerhans (LC), inflammatorydendritic epidermal cells (IDEC), monosit, makrofag, limfosit, sel mast, dan keratinosit (Ong & Leung, 2010)

1.3        Gejala
Gejala yang paling umum pada dermatitis atopik adalah kulit tampak kering dan gatal. Gatal merupakan gejala yang paling penting pada dermatitis atopik. Garukan atau gosokan sebagai reaksi terhadap rasa gatal menyebabkan iritasi pada kulit, menambah peradangan, dan juga akan meningkatkan rasa gatal. Gatal merupakan masalah utama selama tidur, pada waktu kontrol kesadaran terhadap garukan menjadi hilang. Gambaran kulit atopik bergantung pada parahnya garukan yang dialami dan adanya infeksi sekunder pada kulit. Kulit dapat menjadi merah, bersisik, tebal dan kasar, beruntusan atau terdapat cairan yang keluar dan menjadi keropeng (krusta) dan terinfeksi (Dewi, 2004).
Dermatitis atopik memiliki 3 fase, yaitu fase bayi pada usia 3 bulan sampai 2 tahun, anak-anak pada usia 2 sampai 12 tahun, dan dewasa. Pada fase bayi, lesi terdapat di pipi, dahi, scalp, pergelangan tangan, dan ekstensor lengan dan tungkai. Pada fase anak-anak, lesi terdapat pada fleksor lengan dan tungkai, pergelangan tangan, dan pergelangan kaki.Sedangkan pada fase dewasa, lesi terdapat pada fl eksor lengan dan tungkai (antekubiti dan poplitea), wajah terutama daerah periorbita dan leher.Pada anak yang lebih besar dan dewasa, lesi kulit sering berupa likenifi kasi atau penebalan.Tanpa memandang usia, gatal pada DA umumnya berlangsung sepanjang hari dan lebih berat pada malam hari sehingga mengganggu tidur dan mempengaruhi kualitas hidup (Jamal, 2007).

1.4        Patofisiologi
Patofisiologi dan patogenesis dermatitis atopik (DA) merupakan gabungan dari serangkaian interaksi rumit antara kerentanan genetik yang menyebabkan sawar epidermis yang cacat atau tidak sempurna, kelainan pada sistem imun, dan respon imun yang meningkat terhadap alergen dan antigen mikrobial. Perbedaan kulit individu normal dengan kulit individu yang terkena dermatitis atopik dapat dilihat di Gambar 1.1.



Gambar 1.1  Perbedaan Kulit Normal dan Kulit Dermatitis Atopik (Movita, 2014)

 Pada penderita DA ditemukan mutasi gen filagrin sehingga mengganggu pembentukan protein yang esensial untuk pembentukan sawar kulit. Gangguan fungsi sawar epidermis ini menyebabkan gangguan permeabilitas dan pertahanan terhadap mikroorganisme. Transepidermal water loss (TEWL) menjadi lebih tinggi pada DA dibandingkan pada kulit normal karena kandungan lipid stratum korneum pada DA juga berubah. Jumlah dan kandungan ceramide jenis tertentu berkurang dan susunan lipid di stratum korneum juga berubah. Selain itu, ukuran korneosit pada kulit pasien DA jauh lebih kecil dibandingkan korneosit kulit normal. Semuanya menyebabkan bahan-bahan iritan, alergen, dan mikroba mudah masuk ke dalam kulit. Agen infeksius yang paling sering terdapat pada kulit DA adalah Staphylococcus aureus yang membuat koloni pada 90% pasien DA (Movita, 2014).
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti (Streit, 2001).
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mast melepaskan histamin, LT dan PG lain dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler (Beltrani, 2006; Djuanda, 2006).
DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga mengakibatkan molekul permukaan HLA- DR dan adesi intrasel (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF-α, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin (Beltrani, 2006).
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua jenis bahan iritan, yaitu: iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang dan menimbulkan gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri. Sedangkan iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawar, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan, dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut (Djuanda, 2007).
Ketika terkena paparan iritan, kulit menjadi radang, bengkak, kemerahan dan dapat berkembang menjadi vesikel atau papul dan mengeluarkan cairan bila terkelupas. Gatal, perih, dan rasa terbakar terjadi pada bintik merah-merah itu. Reaksi inflamasi bermacam-macam mulai dari gejala awal seperti ini hingga pembentukan luka dan area nekrosis pada kulit. Dalam beberapa hari, penurunan dermatitis dapat terjadi bila iritan dihentikan. Pada pasien yang terpapar iritan secara kronik, area kulit tersebut akan mengalami radang, dan mulai mengkerut, membesar bahkan terjadi hiper atau hipopigmentasi dan penebalan (Verayati, 2011).

1.5        Swamedikasi
Swamedikasi untuk dermatitis atopik dapat dilakukan dengan kortikosteroid topikal dan antihistamin. Selain itu, saat swamedikasi juga diberikan terapi non-farmakologi kepada pasien
1.      Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal untuk swamedikasi dermatitis atopik adalah hidrokortison
a.       Hidrokortison
Hidrokortison untuk swamedikasi digunakan dengan cara dioleskan 3-4 kali dalam sehari dan dapat digunakan dalam waktu tidak lebih dari tiga minggu. Hidrokortison untuk swamedikasi dapat diberikan dalam bentuk sediaan krim tube 1 gram (1%) dan 2,5 gram (2,5%) (ISO, 2013).
Kortikosteroid topikal dipakai untuk mengobati radang kulit yang bukan disebabkan oleh infeksi, melainkan penyakit eksim, dermatitis kontak, gigitan serangga, dan eksim skabies bersama-sama dengan obat skabies. Kortikosteroid sistemik atau topikal yang kuat sebaiknya dihindari atau diberikan pada psoriasis hanya dibawah pengawasan dokter spesialis karena walaupun obat ini dapat menekan psoriasis dalam jangka pendek, bisa timbul kekambuhan karena penghentian obat, bahkan kadang memicu psoriasis postuler yang hebat. Pemakaian kortikosteroid topikal yang kuat pada psoriasis yang luas dapat menimbulkan efek samping sistemik dan lokal. Adapun efek samping diantaranya penyebaran dan perburukan infeksi yang tidak diobati, penipisan kulit yang belum tentu pulih setelah pengobatan, depigmentasi ringan yang mungkin hanya sementara, tetapi bias menetap sebagai bercak-bercak putih, hingga terjadinya penekanan adrenal dan Cushing syndrome yang tergantung dari lamanya pengobatan serta daerah yang diobati (ISO,2013). Penggunaan kortikosteroid  untuk jangka waktu singkat (2-4 minggu) dapat dilakukan untuk psoriasis fleksural (ISO,2013).
2.      Antihistamin
Karena dermatitis atopik seringkali menyebabkan pruritus, antihistamin biasanya digunakan untuk mencegah terjadinya siklus “garuk-gatal”.
Difenhidramin HCl merupakan antihistamin yang dapat digunakan untuk dermatitis atopik. Dosis Difenhidramin HCl yang diberikan yaitu untuk dewasa 25-50 mg sehari tiga kali, dan untuk anak 5 mg/kgBB sehari. Bentuk sediaan Difenhidramin HCl yang dapat diberikan di antaranya berupa tablet salut selaput 25 mg, kapsul 50 mg, tablet 50 mg, cairan obat luar, maupun krim (ISO, 2013).
3.      Pengobatan Non-Farmakologi
Pengobatan non-farmakologi untuk pasien dermatitis atopik di antaranya:
a.       Identifikasi dan eliminasi alergen yang berpotensi memicu atau memperparah dermatitis.
b.      Gunakan air hangat ketika mandi; memakai sabun dengan pelembab (moisturizing cleanser), dan hindari penggunaan sabun yang dapat mengiritasi.
c.       Untuk mengeringkan kulit disarankan menggunakan handuk lembut dengan menekan lembut saja dan tidak menggosok kulit.
d.      Gunakan emolien dalam 3 menit setelah mandi. Emolien dapat berupa losion, krim, dan ointment.
e.       Jaga agar kuku tetap pendek dan bersih untuk mencegah timbulnya guratan ketika menggaruk.
f.        Gunakan sarung tangan berbahan katun untuk mencegah menggaruk di malam hari.
g.      Gunakan baju dan piyama berbahan katun.
h.      Hindari mencuci dengan detergen yang keras.
i.        Gunakan pelembab sesering mungkin untuk menjaga kulit tetap lembut dan halus (minimal 2 kali sehari).
(Movita, 2014; ISO, 2013).

1.6        Contoh Kasus
Seorang ibu datang ke apotek dengan anak perempuannya. Anak perempuan tersebut bernama Julia dan berumur 3 tahun. Ibunya mengatakan bahwa anaknya sering merasa gatal-gatal. Setelah dilihat ditempat yang gatal terdapat lesi eksim di belakang telinga hingga leher, siku dan lutut, dan bintik-bintik merah dibeberapa area yang lain. Terdapat sedikit pendarahan akibat penggarukan namun tidak terlihat terinfeksi. Akhir-akhir ini Julia tidak tidur dengan nyenyak karena gatal dan ingin menggaruk kulitnya. Diketahui bahwa Julia juga memiliki beberapa alergi makanan, seperti telur, udang dan kacang-kacangan.
           
Analisis SOAP
a.       Subjective (S)       
Nama pasien         : Julia
Umur                     : 3 tahun
Jenis Kelamin        : Perempuan
Alergi Obat           : Tidak diketahui
Alergi makanan     : Telur, udang dan kacang-kacangan
Keluhan                 : Gatal-gatal terutama malam hari hingga sulit tidur

b.      Objective (O)
Terdapat lesi eksim di belakang telinga hingga leher, siku dan lutut, dan bintik-bintik merah di beberapa area yang lain. Terdapat sedikit pendarahan akibat penggarukan namun tidak terlihat terinfeksi. Kulit cenderung kering
c.       Assessment (A)
Pasien kemungkinan mengalami dermatitis atopik, ditandai dengan lesi eksim dan bintik-bintik merah pada beberapa bagian kulit. Faktor penyebabnya bisa diakibatkan oleh alergi.
d.      Plan (P)
Rencana atau plan yang akan dilakukan antara lain:
·         Pasien dapat diberi kortikosteroid topical, seperti hidrokorstison cream 1% untuk mengobati dermatitis atopik.
·         Pasien dapat diberi antihistamin oral, seperti sirup difenhidramin jika gatal tidak tertahankan dan agar dapat tidur jika gatal dimalam hari
·         Disarankan agar menggunakan pelembab kulit secara rutin agar kulit tidak kering
·         Dermatitis atopik pasien kemungkinan karena reaksi alergi, maka disarankan untuk menghindari sumber alergi
·         Tidak menggaruk kulit saat terasa gatal
·         Menggunakan pakaian dan alas tempat tidur dengan bahan yang lembut, seperti bahan katun
·         Menggunakan sarung tangan saat tidur untuk mencegah menggaruk kulit
·         Menyarankan agar segera ke dokter jika gejala tidak kunjung membaik


BAB II
JERAWAT

2.1    Definisi 
Acne vulgaris atau jerawat, selanjutnya disebut acne, adalah penyakit kulit obstruktif dan inflamatif kronik pada unit pilosebasea yang sering terjadi pada masa remaja. Acne sering menjadi tanda pertama pubertas dan dapat terjadi satu tahun sebelum haid pertama. Onset acne pada perempuan lebih awal daripada laki-lakikarena masa pubertas perempuan umumnya lebih dulu daripada laki-laki. Prevalensi acne pada masa remaja cukup tinggi, yaitu berkisar antara 47-90% selama masa remaja (Movita, 2013).
Acne memiliki gambaran klinis beragam, mulai dari komedo, papul, pustul, hingga nodus dan jaringan parut, sehingga disebut dermatosis polimorfik dan memiliki peranan poligenetik. Bila kedua orangtua pernah menderita acne berat pada masa remajanya, anak-anak akan memiliki kecenderungan serupa pada masa pubertas (Movita, 2013).
Keadaan ini cenderung diturunkan dalam keluarga dan sama sekali tidak berbahaya. Tetapi beberapa orang yang mengalami kasus jerawat yang berat mungkin merasa sangat tertekan dan kehilangan kepercayaan diri. Sampai saat ini belum ada cara penyembuhan yang tuntas, meskipun ada beberapa cara yang sangat menolong. Kondisi berjerawat akan mengalami perbaikan dengan bertambahnya usia (Kemenkes, 2006).

2.2    Penyebab
Penyebab acne meliputi empat faktor, yaitu hiperproliferasi epidermis folikular sehingga terjadi sumbatan folikel, produksi sebum berlebihan, inflamasi, dan aktivitas Propionibacterium acnes (P. acnes). Androgen berperan penting pada patogenesis acne tersebut. Acne mulai terjadi saat adrenarke, yaitu saat kelenjar adrenal aktif menghasilkan dehidroepiandrosteron sulfat, precursor testosteron.


 Penderita acne memiliki kadar androgen serum dan kadar sebum lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal, meskipun kadar androgen serum penderita acne masih dalam batas normal. Androgen akan meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan merangsang produksi sebum, selain itu juga merangsang proliferasi keratinosit pada duktus seboglandularis dan akroinfundibulum (Movita, 2013).

2.3    Patofisiologi
Acne mulai terjadi saat adrenarke, yaitu saat kelenjar adrenal aktif menghasilkan dehidroepiandrosteron sulfat, prekursor testosteron. Penderita acne memiliki kadar androgen serum dan kadar sebum lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal, meskipun kadar androgen serum penderita acne masih dalam batas normal. Androgen akan meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan merangsang produksi sebum, selain itu juga merangsang proliferasi keratinosit pada duktus seboglandularis dan akroinfundibulum. Hiperproliferasi epidermis folikular juga diduga akibat penurunan asam linoleat kulit dan peningkatan aktivitas interleukin 1 alfa. Epitel folikel rambut bagian atas, yaitu infundibulum, menjadi hiperkeratotik dan kohesi keratinosit bertambah, sehingga terjadi sumbatan pada muara folikel rambut. Selanjutnya di dalam folikel rambut tersebut terjadi akumulasi keratin, sebum, dan bakteri, dan menyebabkan dilatasi folikel rambut bagian atas, membentuk mikrokomedo. Mikrokomedo yang berisi keratin, sebum, dan bakteri, akan membesar dan ruptur. Selanjutnya, isi mikrokomedo yang keluar akan menimbulkan respons inflamasi. Akan tetapi, terdapat bukti bahwa inflamasi dermis telah terjadi mendahului pembentukan komedo (Movita, 2013).
Faktor keempat terjadinya acne adalah P. acnes, bakteri positif gram dan anaerob yang merupakan flora normal kelenjar pilosebasea. Remaja dengan acne memiliki konsentrasi P. acnes lebih tinggi dibandingkan remaja tanpa acne, tetapi tidak terdapat korelasi antara jumlah P. acnes dengan berat acne. Peranan P. acnes pada patogenesis acne adalah memecah trigliserida, salah satu komponen sebum, menjadi asam lemak bebas sehingga terjadi kolonisasi P. acnes yang memicu inflamasi. Selain itu, antibodi terhadap antigen dinding sel P. acnes meningkatkan respons inflamasi melalui aktivasi komplemen (Movita, 2013).
Enzim 5-alfa reduktase, enzim yang mengubah testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT), memiliki aktivitas tinggi pada kulit yang mudah berjerawat, misalnya pada wajah, dada, dan punggung. Pada hiperandrogenisme, selain jerawat, sering disertai oleh seborea, alopesia, hirsutisme, gangguan haid dan disfungsi ovulasi dengan infertilitas dan sindrom metabolik, gangguan psikologis, dan virilisasi. Penyebab utama hiperandrogenisme adalah sindrom polikistik ovarium (polycystic ovarian syndrome, PCOS). Sebagian penderita PCOS, yaitu sebanyak 70%, juga menderita acne. Meskipun demikian, sebagian besar acne pada perempuan dewasa tidak berkaitan dengan gangguan endokrin. Penyebab utama acne pada kelompok ini adalah perubahan respons reseptor androgen kulit terhadap perubahan hormon fisiologis siklus haid. Sebagian besar perempuan mengalami peningkatan jumlah acne pada masa premenstrual atau sebelum haid (Movita, 2013).

2.4    Gejala
            Gejala yang timbul saat munculnya jerawat, di antaranya:
1.      Bintik merah menonjol dan sakit, dapat berisi nanah, biasa di bagianwajah. Bisa juga timbul di bagian kulit kepala, leher, punggung dan dadabagian atas.
2.      Bintik putih/hitam yang menonjol dan tidak sakit

2.5    Penatalaksanaan
Prinsip dalam tatalaksana penanganan penyakit acne didasarkan pada empat faktor utama, yaitu memperbaiki menurunkan populasi bakteri P. Acnes, keratinisasi folikel, menurunkan aktivitas kelenjar sebasea, dan menekan inflamasi (Harper, 2004). Tatalaksana penanganan penyakit acne dapat dilihat pada Gambar 2.1.


Gambar 2.1  Tatalaksana Penanganan Penyakit Acne (Zaenglein et al., 2016)
  
Penanganan acne dibagi kedalam tiga klasifikasi keparahan yang pada dasarnya tidak ada kriteria yang berlaku universal untuk menentukan tingkat keparahan acne pada pasien, namun penilaian keparahan tiap pasien umumnya disesuaikan dengan faktor-faktor seperti tipe acne, jumlah lesi, luas area, jaringan parut (bekas luka jrawat), kualitas hidup dan masalah psikososial akibat acne, dan sebagainya (Tan et al., 2013). Pemeriksaan klinis yang baik diperlukan untuk menentukan jenis acne inflamasi, noninflamasi, atau campuran keduanya, sehingga dapat memberikan terapi yang tepat. Secara umum, acne ringan sampai sedang membutuhkan terapi topikal. Acne sedang sampai berat menggunakan kombinasi terapi topikal dan oral (Movita, 2013).
Benzoil peroksida (BP) merupakan antimikroba yang memiliki aktivitas membunuh P acnes dengan pelepasan agen radikal oksigen bebas dan aktivitas comedolytic. Kasus resistensi BP belum pernah dilaporkan, sehingga dipilih sebagai terapi lini pertama dalam penanganan acne. BP tersedia dengan kekuatan 2,5-10% dalam bentuk sediaan topikal krim, gel, sabun muka, dan lain-lain (Zaenglein et al., 2016).
Retinoid merupakan turunan vitamin A yang berfungsi mencegah pembentukan komedo dengan menormalkan deskuamasi epitel folikular. Beberapa retinoid topikal yang umum digunakan adalah tretinoin, tazaroten, dan adapalene. Tretinoin bersifat komedolitik dan antiinflamasi poten. Secara umum, semua retinoid dapat memiliki efek samping dermatitis kontak iritan, sehingga pasien disarankan untuk menggunakan obat ini tiap dua malam sekali pada beberapa minggu awal penggunaan untuk mengurangi efek iritasi. Tretinoin bersifat photolabile sehingga disarankan diaplikasikan pada malam hari (Haider, 2004).
Antibiotik topikal memiliki aktivitas dan efikasi yang lebih baik jika dikombinasikan dengan BP atau topikal antibiotik lainnya. Penggunaan monoterapi antibiotik topikal tidak disarankan karena dapat menimbulkan resiko resistensi antibiotik. Contoh regimen terapi antibiotik topikal yang digunakan yaitu eritromisin  3% - BP 5%, klindamisin 1% - BP 5%, dan klindamisisn 1% - BP 3,75% (Zaenglein et al., 2016).
Antibiotik oral atau sistemik juga dapat menjadi pilihan dalam penanganan kasus acne terutama dalam tingkat keparahan yang lebih tinggi, dikombinasikan dengan retinoid topikal dan BP. Antibiotik oral yang direkomendasikan diantaranya doksisiklin, minosiklin, tetrasiklin, makrolida, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan lain-lain. Golongan tetrasiklin dapat dijadikan sebagai lini pertama antibiotik oral pada kasus acne menengah hingga parah, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi tertrasiklin (pasien hamil, usia <8 tahun, atau alergi). Doksisiklin dan minosiklin (derivat tetrasiklin) diketahui memiliki efektifitas yang lebih baik dibandingkan dengan tetrasiklin (Garner, 2012). Pasien dengan kontraindikasi tetrasiklin dapat diberikan erithromisin atau azithromycin. Penggunaan antibiotik oral perlu diawasi untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik, cara yang dapat dilakukan yaitu tidak merekomendasikan monoterapi antiboitik dan membatasi periode penggunaan maksimal selama 3 bulan (Zaenglein et al., 2016).

2.6        Swamedikasi
            Swamedikasi untuk penderita acne menurut Kemenkes (2006), di antaranya:
·               Diberikan obat-obatan yang mengandung, seperti sulfur, resorsinol, asam salisilat, benzoil peroksida, triklosan
·               Kegunaan obat yang dapat disampaikan, salah satunya membantu mengatasi gangguan jerawat
·               Cara pemakaian
Cuci wajah hingga bersih. Oleskan obat dengan ujung jari pada bagian yang berjerawat selama 3 hari pertama. Bila tidak terjadi gangguan, gunakan dua kalisehari pada bagian yang berjerawat. Bila timbul kekeringan atau kulit terkelupasdosis dikurangi menjadi satu kali sehari atau dua hari sekali.
·               Perhatian: Hanya untuk pemakaian luar. Hindari kontak dengan mata, pelupuk mata dan mulut.
·               Bentuk sediaan untuk jerawat, seperti bedak, Krim, Gel.
Obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh apoteker di apotik untuk pengobatan Acne vulgaris yaitu antibiotik Eritromisin dengan maksimal 1 sirup (Kemenkes, 1990) dan Clindamisin dengan ketentuan pemberian 1 tube (OWA No. 2) (Kemenkes, 1993).

2.7        Contoh Kasus
S.R adalah remaja berusia 16 tahun yang masih duduk di bangku SMA dan ingin bekerja sebagai penasihat kemah musim panas namun memiliki masalah pada persyaratan fisik pekerjaan tersebut sehingga ia berobat ke klinik. Perawat menemukan jerawat dan menanyakan apakah itu mengganggu bagi dirinya. S.R menjawab bahwa jerawat tersebut sangat mengganggu sejak 3 tahun yang lalu. Dia menceritakan bahwa jerawat tersebut tumbuh bertahap, memiliki bermacam-macam tingkat keparahan, memburuk ketika menstruasi dan tidak pernah berhasil dihilangkan. Dia mengatakan bahwa foto dirinya pada buku tahunan mengecewakan (karena ada jerawat) dan merasa rendah diri karena hal tersebut.
Dia mencoba obat (yang dijual bebas; OTC) yakni benzoil peroksida (BP) 5% dalam bentuk gel dan ia gunakan sebanyak ia mencuci muka dengan produk pembersih (pencuci muka) namun tidak ada perkembangan. S.R kemudian mengikuti saran ibunya untuk mengurangi kunsumsi coklat dan gorengan namun hasilnya tetap nihil. Dia memiliki nilai PAP yang normal dan teswell-woman 3 bulan terakhir. Dia diberi obat norgestimate/etinil estradiol namun tidak dikonsumsi karena takut akan menambah keparahan jerawatnya dan menaikkan berat badannya. Berhubungan dengan tes yang diikuti, siklus menstruasi hasilnya normal dan review sistem endokrin hasilnya negatif.  Dia tidak mengonsumsi obat apapun dan mengaku tidak memiliki alergi. Hasil fisik menunjukkan bahwa dia memiliki 15 komedo yang terbuka dan tertutup, 10 papula, dan 5 pustula pada setengah bagian wajah termasuk dahi, pipi dan dagu. Tidak ada nodul atau kista.

Analisis SOAP
a.       Subjective (S)
Jerawat mengganggu S.R sejak 3 tahun yang lalu. Jerawat tersebut tumbuh bertahap, memiliki bermacam-macam tingkat keparahan, memburuk ketika menstruasi dan tidak pernah berhasil dihilangkan. Jerawat membuat ia menjadi rendah diri dan kurang percaya diri. Pernah mencoba obat BP gel 5% namun tidak berhasil. Sudah mengurangi konsumsi coklat dan gorengan juga tidak berhasil. Mengaku tidak memiliki alergi. 
b.      Objective (O)
Nilai PAP normal dan tes well-woman juga normal. Siklus menstruasi normal. Hasil fisik menunjukkan pada setengah bagian wajah termasuk dahi, pipi dan dagu terdapat 15 komedo yang terbuka dan tertutup, 10 papula, dan 5 pustula. Tidak ada nodul atau kista
c.       Assessment (A)
·         S.R diberi obat norgestimate/etinil estradiol sebagai obat kontrasepsi oral mengobati indikasi jerawat (acne), namun tidak dikonsumsi karena ketakutan akan kenaikan berat badan dan memperparah acne.
·         Obat tanpa Indikasi: Etinil estradiol (kontrasepsi oral) padahal pasien tidak mengalami kelainan pada menstruasi dan hal lainnya.
·         Indikasi tanpa obat: Pengobatan terhadap luka jerawat yang muncul
·         Pemilihan obat yang salah: Pemberian obat kontrasepsi untuk mengobati jerawat
·         Ketepatan dosis: -
·         Reaksi yang tidak diharapkan: Etinil estradiol adalah obat sintetik terkait hormone progresteron yang dapat menyebabkan gangguan pada system menstruasi
·         Interaksi obat: -
·         Kegagalan pengobatan: Pasien tidak mau menggunakan terapi yang diberikan karena takut membuat pasien bertambah berat badan
d.   Plan (P)
·         Karena pasien memiliki lesi inflamasi dan non inflamasi, pendekatan lini pertama yang bijaksana akan menargetkan kedua jenis. Pasien sudah mencoba BP over-the-counter tanpa perbaikan, meningkatkan BP dari 5% sampai 10% ternyata tidak dapat mengobati jerawat inflamasi dan dapat mengeringkan kulit serta mengiritasi kulit. Beberapa penjelasan mengenai rencana pengobatan antara lain:
1)      Retinoid topikal memainkan peran penting dalam pengobatan jerawat ringan sampai sedang dengan mencegah pembentukan microcomedone dan menghambat inflamasi. Namun, salah satu kelemahan dari retinoid topikal adalah eksaserbasi jerawat dalam minggu pertama administrasi yang mungkin tidak bisa diterima seorang gadis 16 tahun
2)      Antibiotik topikal klindamisin dan eritromisin diindikasikan untuk jerawat inflamasi dan bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri. Keduanya tersedia sebagai agen tunggal atau dalam produk kombinasi. Klindamisin tersedia dalam kombinasi tetap dengan tretinoin atau BP (0,25% tretinoin / 1,2% klindamisin, 5% BP / 1% klindamisin, 2,5% BP / 1,2% klindamisin). Eritromisin tersedia dalam kombinasi tetap dengan 5% BP. Antibiotik topikal tersebut lebih efektif sebagai produk kombinasi daripada sebagai agen tunggal. Hal terpenting, penambahan BP meminimalkan resistensi antibiotik
3)      Rekomendasi Global Alliance to Improve Outcomes in Acne menganjurkan terapi bersama pada lebih dari satu faktor patogen. Tidak ada agen topikal tunggal yang menargetkan beberapa mekanisme patogen
4)      Retinoid topikal adalah pengobatan pilihan untuk jerawat comedonal ringan. Untuk jerawat sedang, menambahkan retinoid topikal untuk produk kombinasi BP/antibiotik topikal mempercepat clearance lesi inflamasi. Antibiotik oral dikombinasikan dengan retinoid topikal yang sesuai untuk jerawat sedang sampai berat
5)      Perawatan sistemik seperti antibiotik oral akan mengurangi papulopustular acne tapi mungkin bukan terapi lini pertama yang paling tepat untuk dipertimbangkan dengan tidak adanya nodul, cysts, atau scarring. Tetrasiklin oral tidak ideal untuk pasien karena jika dia menerima kontrasepsi oral, terapi antibiotik oral yang kemungkinan dapat mengganggu efektivitas kontrasepsi. Efek samping yang berhubungan dengan penggunaan antibiotik oral, terutama potensi kandidiasis vaginal, dapat menjadi masalah pada wanita
e.   Pemberian Informasi Obat (PIO)
            Hal–hal yang dilakukan apoteker dalam pemberian informasi obat adalah sebagai berikut :
1)      Pasien yang akan mendapatkan obat adalah benar pasien perempuan berinisial S.R berumur 16 tahun.
2)      Gejala yang dialami pasien adalah jerawat yang mengganggu pada wajah selama 3 tahun ke belakang, yang akan memburuk saat menstruasi. Apoteker dapat melihat pada setengah bagian wajah pasien (termasuk dahi, pipi, dagu) terdapat 15 komedo yang tebuka atau  tertutup, 10 papula, dan 5 pustula. Tidak ada nodula atau kista pada wajah.
3)      Apoteker harus mengetahui tindakan yang sudah dilakukan pasien. Pasien telah melakukan swamedikasi dengan menggunakan gel yang mengandung 5% benzoil peroksida (BP), serta menggunakan berbagai produk pembersih muka.
4)      Apoteker harus mengetahui efek yang terjadi setelah pasien melakukan tindakan untuk mengatasi jerawatnya. Tindakan yang sudah dilakukan pasien ternyata tidak dapat membersihkan jerawat secara sempurna.
            Selanjutnya, informasi obat yang harus diberikan kepada pasien terkait swamedikasi yang baru untuk mengatasi jerawatnya adalah:
1)      Nama obat dan kekuatannya.
·         Adapalene gel 0,1% (retinoid topikal).
·         Krim yang mengandung kombinasi Benzoil Peroksida (BP) 5% dan Klindamisin 1%.
2)      Indikasi dan aturan pakai.
·         Adapalene gel 0,1%: untuk mengatasi komedo. Digunakan 1 kali sehari sebelum tidur.
·         Krim yang mengandung kombinasi Benzoil Peroksida (BP) 5% dan Klindamisin 1%: untuk membunuh bakteri penyebab jerawat (Propionibacterium acnes) dan mengurangi inflamasi/ pembengkakan pada jerawat. Digunakan 2 kali sehari (saat pagi hari sebelum beraktivitas dan saat sebelum tidur).
3)      Cara penggunaan
            Setelah pasien mencuci muka di pagi hari dengan menggunakan air hangat, wajah dikeringkan, kemudian digunakan krim kombinasi BP 5% dan klindamisin 1%. Kosmetik dapat digunakan 1 jam setelah penggunaan krim. Kemudian sebelum pasien tidur, pasien perlu menggunakan gel adapelen 0,1% dan krim BP/klindamisin. Penggunaan gel adapelene tidak melebihi ukuran kacang (hanya digunakan pada bagian jerawat).
4)      Lama penggunaan obat
            Obat dapat digunakan selama 2 minggu hingga 8 minggu (McKeage & Keating, 2008).
5)      Hal yang harus dilakukan jika lupa menggunakan obat
            Pasien tidak perlu menggunakan obat jika waktu penggunaan obat yang kedua sudah dekat. Pasien dapat menggunakan obatnya dalam keadaan wajah bersih dari debu dan kosmetik.
6)      Mekanisme kerja obat.
·         Gel adapelen 0,1%: mencegah pembentukan mikrokomedo dengan cara menormalisasi pori-pori yang tersumbat, sehingga menghindari terbentuknya lesi baru. Gel ini juga dapat menghambat terjadinya inflamasi (Baldwin, 2006).
·         Krim BP/klindamisin: menghambat inflamasi jerawat, serta menghambat sintesis protein bakteri sehingga bakteri akan terbunuh sempurna. Kombinasi BP dan klindamisin dapat menghindari terjadinya resistensi antibiotik (Berson et al., 2003).
7)      Efek pada gaya hidup
            Pasien tetap diperbolehkan mengkonsumsi coklat, makanan yang digoreng, dan makanan dengan kadar gula tinggi, karena makanan-makanan tersebut tidak memiliki bukti hubungan yang jelas dengan munculnya jerawat.
8)      Cara Penyimpanan obat
            Kedua obat dapat disimpan pada suhu ruangan
9)      Efek samping yang akan dialami
            Efek samping yang dapat timbul saat menggunakan obat retinoid topikal (gel adapelene 0,1%) adalah iritasi kulit, kemerah-merahan, kulit kering dan mengelupas (Roebuck, 2006). Namun karena penggunaannya dikombinasikan dengan krim BP/klindamisin, maka efek iritasi yang terjadi lebih rendah (Dosik, Gilbert, and Arsonnaud, 2006). Jika pasien mengalami iritasi yang sangat mengganggu akibat penggunaan krim BP/klindmisin, maka pasien dapat menggunakan krim tersebut 1 kali sehari
10)     Interaksi antara obat dan makanan
            Gel dan krim yang digunakan pasien dapat berinteraksi secara moderate dengan isotretinoin (obat jerawat yang digunakan secara sistemik). Interaksi yang terjadi berupa meningkatnya risiko iritasi kulit
11)     Informasi tambahan lainnya
·         Pasien dianjurkan untuk membersihkan wajahnya 2 kali sehari dengan pembersih yang ringan. Pasien tidak boleh menggosok wajahnya dengan kuat atau menggunakan pencuci muka yang mengandung scrub. Pembersih muka yang dianjurkan adalah pembersih muka dengan pH sedikit asam dan mengandung surfaktan nonionik (pembersih muka cair seperti Neutrogena®). Sabun yang bersifat basa dianjurkan untuk dihindari penggunaannya karena dapat meningkatkan jumlah bakteri penyebab jerawat (Roebuck, 2006)
·         Pasien diperbolehkan menggunakan pelembab untuk meningkatkan penetrasi gel adepelen 0,1% seiring dengan peningkatan hidrasi kulit (Roebuck, 2006).
·         Pasien disarankan untuk menghindari paparan sinar matahari secara langsung. Pasien dapat menggunakan tabir surya dengan SPF 15 atau lebih, atau dapat memakai topi yang lebar untuk menghalangi paparan sinar matahari. Hal ini dilakukan untuk menghindari peningkatan munculnya efek samping obat akibat paparan sinar matahari.
·         Pada minggu pertama pemakaian, jerawat pasien akan memburuk atau tejadi eksaserbasi, namun jerawat akan membaik setelah 2 minggu penggunaan obat.
·         Pengobatan jerawat akan semakin efektif dengan meningkatnya kepercayaan diri pasien (Tan, 2004).
·         Pasien dapat menggunakan terapi hormon (norgestimate-etinil estradiol) untuk mengurangi produksi sebum (minyak) pada muka dengan cara meregulasi hormon androgen. Namun penggunaan ini harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan dokter (Poulin, 2005)


BAB III
INFEKSI JAMUR

3.1    Panu
            Panu merupakan salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur yang menyebabkan bercak berwarna putih pada kulit

3.1.1   Definisi
Infeksi jamur superfisial yang ditandai dengan adanya macula di kulit, skuama halus dan disertai rasa gatal. Panu juga merupakan suatu infeksi jamur pada kulit. Penyakit ini biasanya tidak memberikan keluhan yang berarti. Panu bisa ditemukan pada daerah mana saja di badan termasuk leher dan lengan. Biasanya menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, muka dan kulit kepala yang berambut (Hayati, 2014).

3.1.2   Penyebab
Panu (Tinea versicolor/TV) disebabkan oleh adanya jamur superficialis (Pityriasis Versicolor). Jamur ini menyerang stratum korneum dari epidermis kulit, biasanya diderita oleh seseorang yang sudah mulai banyak beraktifitas dan mengeluarkan banyak keringat. Jamur ini sangat mudah menginfeksi kulit orang yang selalu terkontaminasi dengan air dalam waktu yang lama dan disertai dengan kurangnya kesadaran akan kebersihan diri dan lingkungan disekitar (Hayati, 2014).

3.1.3   Patofisiologi
Melalui lipase, Malassezia memetabolisme berbagai asam lemak, seperti asam arakidonat dan asam azelat yang dilepaskan sebagai salah satu metabolit. Asam ini menghambat aksi enzim dopa-tyrosinase, yang menghambat jalannya tyrosine ke melanin dan akibatnya muncul dalam munculnya bintik-bintik hipokromik. Studi


 histopatologi kulit di daerah-daerah ini menunjukkan adanya melanosom yang lebih kecil daripada yang ditemukan pada kulit normal (Basset, 1998).
Faktanya, kulit dengan bintik-bintik hipokromik tidak mengalami adanya inflamasi. Meskipun lesi TV tidak inflamasi, yang kehadiran sejumlah besar jamur dan metabolitnya mungkin menginduksi deskuamasi baik dari kulit. Hingga saat ini, belum ada penelitian tentang metabolit jamur ini terkait dengan deskuamasi kulit. Studi histologis dari bintik-bintik hiperkromik hanya ditampilkan melanosom dengan diameter yang lebih besar dari biasanya dan kehadiran mereka dalam jumlah yang lebih besar (Luis and Mendez, 2010).

3.1.4   Gejala
            Menurut Marianti (2018), Panu memiliki gejala sebagai berikut:
1.     Bercak yang berwarna lebih muda dari warna kulit sekitarnya pada orang dengan kulit berwarna, atau tampak sebagai bercak lebih gelap pada orang dengan kulit pucat
2.     Gatal terutama bila berkeringat
3.     Jika diraba, terasa ada sisik halus dan tipis
4.     Bentuknya bulat atau tidak beraturan, dapat berbatas tegas atau tidak tegas

3.1.5   Swamedikasi
Krim antijamur banyak tersedia di apotik dan supermarket. Krim yang dijual bebas tersebut biasanya mengandung bahan-bahan tertentu, seperti selenium sulfida, clotrimazole, dan miconazole.
1.      Obat yang mengandung Klotrimazol 1 %
·         Kegunaan obat : untuk infeksi jamur pada kulit
·         Pemakaian
Cairan : beberapa tetes cairan dioleskan pada daerah yang terkena infeksi jamur, gunakan 2-3 kali sehari, sampai infeksi hilang
Krim  : Oleskan secara tipis pada daerah yang terkena infeksi jamur,  gunakan 2-3 kali sehari, sampai infeksi hilang
·         Bentuk sediaan : Krim, cairan
·         Peringatan : hanya untuk pemakaian luar
2.      Obat yang mengandung Mikonasola nitrat 2 %
·         Pemakaian : Oleskan krim atau serbuk sehari sekali sambil digosokkan perlahan. Biasanya sembuh setelah 2-5 minggu, tetap perpanjang pengobatan selama 10 hari, untuk mencegah kambuh.
·         Bentuk sediaan : Krim, Serbuk
·         Peringatan : hanya untuk pemakaian luar
3.      Asam undesilenat, seng undesilenat, kalsium propionat, natrium propionat
·         Kegunaan obat: Untuk mengobati penyakit kulit luar yang ditimbulkan oleh jamur misalnya panu, kadas, kurap, kutu air.
·         Cara pemakaian Cuci dan keringkan sela-sela jari kaki, lalu gunakan obat 2-3 kali sehari
·         Bentuk sediaan : bedak, krim, salep,
·         Perhatian :Hanya untuk Obat luar
Sebagai upaya meningkatkan efektivitas dalam mengobati dan mencegah kembalinya panu, penderita yang memilih pengobatan ini perlu mengikuti cara pemakaian sesuai dosis yang benar. Krim antijamur biasanya dioleskan 1-2 kali sehari selama beberapa minggu. Efek samping yang paling umum dari penggunaan krim antijamur adalah rasa panas dan perih pada area kulit yang dioleskan. Terapi dengan krim antijamur ini cocok pada penderita dengan bercak panu yang masih kecil (Marianti, 2018).
Selain dengan krim antijamur, alternatif kedua dari pengobatan panu adalah dengan menggunakan sampo antijamur. Sampo antijamur yang menggunakan bahan-bahan selenium sulfida dan ketoconazole umumnya tersedia di apotek dan dapat dibeli tanpa memerlukan resep dokter.Jika Anda memilih sampo antijamur sebagai cara pengobatan panu, bacalah aturan pakai serta potensi efek sampingnya sebelum memulai pemakaian. Ada sebagian orang yang mengalami iritasi pada kulit atau perih ketika memakai sampo antijamur. Hal ini dapat ditangani dengan mengencerkan sampo dengan air sebelum digunakan (Marianti, 2018).
Terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
·         Mandi teratur dengan sabun antiseptik
·         Menghindari keringat berlebih dan menjaga kebersihan lingkungan
·         Tidak menggaruk bagian yang gatal karena akan menimbulkan infeksi lain
·         Jangan tidur dalam keadaan rambut basah dan rutin mengganti sprei dan sarung bantal
·         Rutin mengganti handuk (jika mungkin usahakan seminggu sekali)
·         Tidak menggunakan handuk atau baju secara bergantian dengan orang lain
·         Oleskan krim anti jamur
·         Periksa dokter bila menyerang kuku atau gejala menetap
(Direktorat BinFar Komunitas dan Klinik, 2007; Djunarko dan Hendrawati, 2011).

3.1.6   Contoh Kasus
Seorang laki-laki bernama DN (23 tahun) datang ke apotek “Apotek-Care” dengan keluhan bercak putih di leher bagian belakang selama ± 1 minggu yang lalu. Awalnya jumlah bercak putih sedikit, tetapi lama kelamaan bercak putih bertambah banyak dan menyebar ke bagian punggung. DN juga mengeluhkan bercak putih menjadi bersisik jika digores dengan jari. DN memiliki kebiasaan tidak langsung mandi setelah melakukan olahraga (futsal). Bercak dirasakan tidak gatal. Keluhan bercak putih merupakan kali kedua pada DN. Sebelumnya DN mengaku pernah menggunakan obat Econazole nitrat yang berbentuk serbuk, dan merasa tidak nyaman karena merasa kurang praktis dan mengganggu terhadap bajunya. Kemudian DN meminta rekomendasi obat kepada apoteker atas keluhannya tersebut.
  
Penyelesaian kasus:
Berdasarkan keluhan DN dan kebetulan sebelumnya pernah mengalami juga, maka diketahui keluhan tersebut adalah panu (Tinea versicolor) dengan ditandai gejala yang khas yaitu munculnya bercak putih. Diketahui juga pasien pernah mendapatkan obat Econazole nitrat yang berbentuk serbuk dan merasa tidak nyaman. Sehingga disini Apoteker dapat memberikan rekomendasi jenis sediaan lain, salah satunya adalah krim. Krim merupakan jenis sediaan semi solid yang mudah diaplikasikan dan efektif untuk penggunaan terhadap panu karena waktu kontaknya akan lebih lama sehingga proses penyembuhannya bisa lebih cepat. Ditawarkan beberapa krim antijamur yang tersedia di apotek “Apotek-Care”, yaitu Thecort (Rp 63.500), Canesten (Rp 42.500), dan Mycoral (Rp 14.000). Setelah dijelaskan mengenai masing-masing obat tersebut, DN memilih Canesten untuk dipakai sebagai pengobatannya. Setelah selesai pembelian obat, DN diberikan informasi mengenai penggunaan obat tersebut. Informasi yang disampaikan yaitu:
·         Kandungan Canesten        : Klotrimazol 1%
·         Indikasi                             : obat topikal untuk mengobati panu
·         Cara penggunaan              :
mengoleskan krim Canesten secukupnya pada daerah kulit yang terdapat panu 2–3 kali sehari. Obat digunakan sampai sembuh (biasanya sembuh dalam waktu 1–3 minggu)
·         Peringatan dan perhatian  :
pengobatan harus dihentikan jika terjadi iritasi atau sensitivitas yang kemudian bisa diganti dengan obat lain yang lebih tepat.
·         Efek samping                    :
eritema stinging, blistering, peeling, edema, pruritus, urtikaria, burning, dan iritasi umumnya dari kulit
·         Kontraindikasi                  : hipersensitivitas terhadap klotrimazol
·         Tempat penyimpanan        : simpan pada suhu di bawah 25 oC
Selain informasi terkait obat, apoteker juga mempunyai tanggung jawab untuk memberikan informasi terapi non farmakologi, diantaranya:
·         Rajin mandi setelah melakukan aktivitas apalagi olahraga
·         Mengeringkan badan sebelum menggunakan pakaian
·         Rutin mengganti handuk
·         Menggunakan pakaian yang dapat menyerap keringat


3.2    Kurap
            Kurap merupakan salah satu penyakit kulit yang muncul akibat infeksi jamue yang ditandai dengan munculnya bercak merah di suatu area kulit dan menyebar ke bagian tubuh lainnya

3.2.1   Definisi
Kurap atau Tinea korporis adalah suatu infeksi dermatofita dangkal yang ditandai oleh tanda radang maupun luka pada kulit glabrous. Tinea korporis sering terlihat pada daerah dengan iklim yang panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi hangat dan lembab membantu menyebarkan infeksi ini (Sularsito, 2006).

3.2.2   Patofisiologi
Infeksi dermatofita melibatkan 3 langkah utama.
1.      Perlekatan ke keratinosit.
Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada jaringan keratin di antaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal lain, sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Dan asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar sebasea bersifat fungistatik (James, 2006). 
2.      Penetrasi melalui sel atau di antara sel
Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus stratum korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses deskuamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase lipase dan enzim mucinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Fungal mannan di dalam dinding sel dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam epidermis (Berman, 2008).
3.      Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau Delayed Type Hypersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatifita. Pada pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin test hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan oleh limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan barier epidermal menjadi permaebel terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi (James, 2006).

3.2.3   Swamedikasi
Tujuan Farmakoterapi penyakit kurap ialah untuk mengurangi morbiditas dan pencegahan komplikasi. Sediaan antifungal topikal efektif untuk sebagian besar kasus kurap. Terapi sistemik diperlukan bagi pasien yang sudah meluas kurapnya, lalu memiliki gangguan pada sistem imun atau sulit diatasi dengan terapi topikal. Untuk infeksi parah, terapi sistemik dapat dikombinasikan dengan topikal. Beberapa contoh obat atau sediaan topikal yang umum digunakan pasien kurap secara swamedikasi (Penyakit kurap yang ringan) antara lain :
·         Econazole dioleskan sehari satu kali
·         Haloprogin, dioleskan sehari dua kali
·         Ketoconazole cream, dioleskan sehari satu kali
·         Miconazole, dioleskan sehari dua kali
·         Naftifine cream, daily; gel, dioleskan sehari dua kali
·         Oxiconazole, dioleskan sehari dua kali
·         Sulconazole, dioleskan sehari dua kali
·         Terbinafine, dioleskan sehari dua kali
·         Tolnaftate, dioleskan sehari dua kali
Krim antijamur banyak tersedia di apotik dan supermarket. Krim yang dijual bebas tersebut biasanya mengandung bahan-bahan tertentu, seperti selenium sulfida, clotrimazole, dan miconazole. Sebagai upaya meningkatkan efektivitas dalam mengobati dan mencegah kembalinya panu, penderita yang memilih pengobatan ini perlu mengikuti cara pemakaian sesuai dosis yang benar. Krim antijamur biasanya dioleskan 1- 2 kali sehari selama beberapa minggu. Efek samping yang paling umum dari penggunaan krim antijamur adalah rasa panas dan perih pada area kulit yang dioleskan (Widyaningsih, 2018).
Apabila gejala tidak kunjung membaik, terapi sistemik digunakan dengan resep dokter. Obat-obat yang digunakan antara lain :
·         Ketoconazol tablet 200mg, sehari satu kali satu tablet
·         Terbinafine 250 mg, sehari satu kali satu tablet. Digunakan selama 2 minggu (Dipiro, 2011).

3.2.4   Contoh Kasus
Ny. N datang ke apotek mengeluh gatal-gatal di badan, di bawah lipat payudara kanan dan kiri sudah sejak 1 bulan ini. Awalnya muncul sedikit-sedikit saja, disertai warna kemerahan, bentuk seperti keringet buntet, terasa agak basah. Karena merasa gatal, pasien sering menggaruk-garuk bagian tubuhnya sehingga menimbulkan luka, terasa perih dan warna menjadi kehitaman. Gatal terutama dirasakan waktu berkeringat, gatal di daerah kepala tidak ada, gatal di antara jari- jari kaki juga tidak ada. Gatal juga tidak timbul waktu pasien makan-makanan tertentu seperti ikan laut atau ayam potong. Gatal-gatal ini sempat membaik setelah diberi salep hidrocortisone, tapi dalam seminggu ini gatal di bagian badan malah semakin meluas sampai perut dan punggung dan warnanya semakin menghitam disertai rasa kasar di kulit yang gatal tersebut.

a.       Analisis subjektif pasien
·         Identitas pasien
Nama   : Ny.Kusmiati
Usia     : 44 tahun
Agama : Islam
·         Keluhan utama: gatal-gatal di badan
·         Riwayat penyakit dahulu: tidak ada
·         Riwayat Alergi
Pasien juga tidak punya riwayat alergi kalau makan makanan laut atau makananlainnya. Tidak pernah gatal- gatal kalau minum obat-obat tertentu. Pasien tidak punya hipertensi, kencing manis, dan asma
b.      Swamedikasi yang diberikan
Pemberian antifungi topikal yakni krim ketoconazole dioleskan sehari satu kali pada bagian yang terkena infeksi. Sebelum mengoleskan krim ketoconazole, bersihkan dan keringkan bagian yang terinfeksi terlebih dulu. Jangan lupa mencuci tangan setelah mengoleskan obat ini untuk menghindari penyebaran infeksi ke bagian tubuh yang lain atau ke orang lain. Pasien juga diberikan antiseptik berupa talcum yang mengandung salisilat (Dipiro, 2011).
c.       Saran terapi nonfarmakologi
·         Sesudah mandi, badan dikeringkan dan ditaburi bedak antiseptik
·         Pakaian dicuci bersih
·         Menggunakan pakaian tidak terlalu ketat
·         Hindari penggunaan barang pribadi secara bersamaan seperti sisir, handuk, dan pakaian.
·         menjaga kebersihan diri seperti sering mencuci tangan serta rajin membersihkan rumah (Widyaningsih, 2018). 


DAFTAR PUSTAKA 
Basset A. 1998. Clinique et therapeutique des affections à levures lipophiles. Bull Soc Fr Mycol Med. 17:277-82.
Beltrani, Vincent, S. 2006. Contact Dermatitis. A practice Parameter. Annals of Allergy. Asthma, and Immunology.
Berman, Kevin (2008-10-03). “Tinea corporis – All information”. MultiMedia Medical Encyclopedia. University of Maryland Medical Center
Dewi RWN. (2004). Eksim susu pada bayi dan anak. In: Boediardja SA
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015, Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edition. Inggris: McGraw-Hill Education Companies.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2007. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: Departemen Kesehatan. Pp. 46-49.
Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. 2007. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Departemen Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin FK UI. Jakarta.
Djunarko, I dan Hendrawati, Y. 2011. Swamedikasi yang Baik dan Benar. Yogyakarta: Citra Aji Parama. 
Garner SE, Eady A, Bennett C, Newton JN, Thomas K, dan Popescu CM. 2012. Minocycline for acne vulgaris: efficacy and safety. Cochrane Database Syst Rev. Vol. 8:CD002086. 
Haider A, Shaw JC. 2004. Treatment of acne vulgaris. JAMA Vol. 292(6):726-35. 
Harper, JC. 2004. An update on the pathogenesis and management of acne vulgaris. J Am Acad Dermatol. Vol.51(1):36-38.
ISO.2013. ISO Farmakoterapi, Buku 2. Penerbit Ikatan Apoteker Indonesia, Jakarta.
Jamal ST. 2007 Atopic dermatitis: an update review of clinical manifestations and management strategies in general practice. Bulletin of the Kuwait Institute for medical specialization.6;55-62.

James, William D.; Berger, Timothy G.; Elston, Dirk M.; Odom, Richard B. (2006). Andrews’ Diseases of the Skin: Clinical Dermatology (10th ed.). Philadelphia; Saunders Elsevier.p. 302.

Kariosentono, H. 2006. Dermatitis Atopik (Eksema). Surakarta : UNS Press.

Kemenkes. 1990. Keputusan Menteri Kesehatan No.347/MenKes/SK/VII/1990Daftar Obat Wajib Apotek No. 1. Departemen Kesehatan: Jakarta. 

Kemenkes. 1993. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 924|Menkes/Per/X/1993 Tentang Daftar Obat Wajib Apotik No. 2. Departemen Kesehatan: Jakarta. 

Kemenkes. 2006. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik: Jakarta. 

Luis, J and Mendez-Tovar, M.D. 2010. Pathogenesis of dermatophytosis and tinea versicolor. Clinis in Dermatology. 28: 185–189. 

Marianti. 2018. Panu. Dapat diakses di https://www.alodokter.com/panu/pengobatan [Diakses pada 14 Oktober 2018]. 

Movita, T. 2013. Acne Vulgaris. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 40( 4): 267-272.

Movita, Theresia.2014. Tatalaksana Dermatitis Atopik [artikel] CDK-222/ vol. 41 no.11.

Ong PY dan Leung DYM. 2010. The infectious aspects of atopic dermatitis. Immunol Allergy Clin North Am. 30(3):309- 321

Ruth, A.A.S. 2010. The Yeast Handbook. New York: Springer.

Schwinghammer, T, Koehler J. 2009. Pharmacotherapy Casebook : A Patient-Focused Approach. New York : McGraw Hill Medical

Streit,M, Lasse, R.B. 2001. Contact Dermatitis. Clinics and Pathology. Acta Odontal Scand 59.

Sularsito, Sri Adi.Dkk. 2006. Dermatologi Praktis. Jakarta: Perkumpulan Ahli Dermatologi dan Venereologi Indonesia. 

Tan JK, Tang J, Fung K. 2007. Development and validation of a comprehensive acne severity scale. J Cutan Med Surg. Vol.11:211-216.

Verayati, D. 2011. Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri dan Personal Higine Terhadap Keajadian Dermatitis Kontak Akibat Kerja Pada Pemulung Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung Bandar Lampung [Skirpsi] Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung. Lampung.

Wells et al. 2017. Pharmacotherapy Handbook Tenth Edition. New York : McGraw Hill Medical. 

Widyaningsih, Wahyu. 2018. Modul 003 :Pelayanan Swamedikasi. Tersedia online di http://ppg.spada.ristekdikti.go.id/pluginfile.php/18500/mod_resource/content/2/003%20Pelayanan%20Swamedikasi_online.pdf [ Diakses 12 Oktober 2018]. 

Zaenglein, A.L., Arun L. P., Bethanee J. S., Ali Alikhan, Hilary E.B., Diane S.B., Whitney P. B., Emmy M. G., Julie C. H., Sewon Kang,  Jonette E. K., James J. L., Rachel V. Reynolds, Nanette B. S., Linda F. S., Megha M. T., Jonathan S. W., Nancy C. D., Andrew A. S., Mackenzie S., Kevin M. B., dan Reva B. 2016. Guidelines of care for the management of acne vulgaris. J AM ACAD DERMATOL : 1-29.

2 komentar:

michelle mengatakan...


bingung pulang kerja tidak tahu mau mengerjakan apa
ayo di tunggu apa lagi segera bergabung dengan kami
di i/o/n/n/q/q kami tunggu lo ^^

Angela Alex mengatakan...

Herpes adalah penyakit serius dan berulang yang tidak dapat disembuhkan melalui obat-obatan atau suntikan oleh dokter Amerika tetapi cara terbaik untuk menangani Herpes adalah dengan meminum obat herbal alami untuk itu, saya telah membaca tentang DR JAMES, dokter ahli herbal yang menyembuhkan saya dari herpes dengan obat herbal yang kuat. Saya menghubungi dia untuk mengetahui bagaimana dia dapat membantu saya dan dia mengatakan kepada saya untuk tidak pernah khawatir
bahwa dia akan membantu saya dengan ramuan alami dari Tuhan!
Setelah 2 hari menghubunginya, dia memberi tahu saya bahwa obatnya sudah siap dan
dia mengirimkannya kepada saya melalui UPS SPEED POST dan itu sampai kepada saya setelah 3 hari!
Saya menggunakan obat itu seperti yang dia perintahkan kepada saya (PAGI dan MALAM) dan ternyata saya
sembuh!
ini benar-benar seperti mimpi tetapi saya sangat senang! untuk orang yang menderita penyakit berikut: Penyakit Alzheimer, Penyakit Bechet, Penyakit Crohn, Penyakit Parkinson, Skizofrenia, Kanker Paru, Kanker Payudara, Kanker Colo-Rectal, Kanker Darah, Kanker Prostat, siva. Penyakit Dupuytren, Tumor bulat-sel kecil Desmoplastik Diabetes, penyakit Celiac, Penyakit Creutzfeldt-Jakob, Angiopati Amiloid Serebral, Ataksia, Artritis, Amyotrophic Lateral Sclerosis, Fibromyalgia, Fluoroquinolone Toksisitas
Syndrome Fibrodysplasia Ossificans ProgresS sclerosis, Kejang, penyakit Alzheimer, Adrenocortical carcinoma. Asma, penyakit alergi. AIDS, Herpe, Copd, Glaucoma., Katarak, degenerasi makula, penyakit kardiovaskular, penyakit paru-paru, kanker prostat, osteoporosis, kanker prostat
Dementia.Lupus.
, Penyakit Cushing, Gagal Jantung, Multiple Sclerosis, Hipertensi, Kanker Colo_Rectal, Penyakit Lyme, Kanker Darah, Kanker Otak, Kanker Payudara, Kanker Paru-Paru, Kanker Ginjal, HIV, Herpes, Hepatitis B, Radang Hati, Diabetes, Fibroid,
harus menghubungi dia untuk obat herbal karena saya adalah kesaksian hidup dan saya sembuh dari herpes dan obatnya sah. Saya mengiriminya apa yang dia minta dan dia mengirimi saya obatnya yang saya minum selama 2 minggu yang baik dan hari ini saya di sini dengan hasil negatif. Ketika saya pergi untuk tes saya sangat senang setelah minum obat herbal, saya memberi penghormatan kepada negaranya untuk merayakan bersamanya di festival Afrika-nya yang dia katakan biasanya terjadi setiap tahun. Anda dapat menghubunginya melalui VIA E-mail drjamesherbalmix@gmail.com atau nomor whatsapp: +2348152855846

Posting Komentar