MAKALAH
Swamedikasi
Pemberian Obat dengan Alat Bantu Khsusus
(Suppositoria dan Ovula, Inhaler, Tetes Mata, Tetes Telinga, Kontrasepsi dan Mini Pil,
Penggunaan Enema)
Diajukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Pelayanan Kefarmasian
Pada Program Profesi
Apoteker
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
FAKULTAS
FARMASI
2018
BAB
I
SWAMEDIKASI
1.1.
Pengertian Swamedikasi
Swamedikasi
atau pelayanan sendiri merupakan pelayanan kesehatan yang menjadi suatu sumber
kesehatan masyarakat yang utama. Pada swamedikasi, masyarakat dapat melakukan
penggunaan obat untuk tujuan pengobatan sakit ringan, tanpa resep atau
intervensi dari seorang dokter (Shanker, et
al., 2002).
Dalam hal ini, pengobatan sendiri
dibatasi hanya untuk obat-obatan yang termasuk golongan obat bebas dan obat
bebas terbatas. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan
dan penyakit ringan yang banak dialami masyarakat, antara lain demam, nyeri,
batuk, flu, serta berbagai penyakit lain (Depkes, 2006).
Terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam swamedikasi, yaitu:
a.
Pada swamedikasi, pasien
bertanggung jawab terhadap obat yang digunakan. Oleh karenaitu sebaiknya baca
label obat secara seksama dan teliti
b.
Jika pasien memilih untuk
melakukan pengobatan sendiri, maka ia harus dapat:
1. Mengenali
gejala yang dirasakan
2. Menentukan
apakah kondisi mereka sesuai untuk melakukan pengobatan sendiri atau tidak
3. Memilih
produk obat yang sesuai dengan kondisinya
4. Mengikuti
instruksi yang sesuai pada label obat yang dikonsumsi
c.
Pasien juga harus
mempunyai informasi yang tepat mengenai obat yang mereka konsumsi. Konsultasi
dengan dokter merupakan pilihan yang terbaik bila dirasakan bahwa pengobatan
sendiri atau swamedikasi yang dilakukan tidak memberikan hasil sesuai dengan
apa yang diharapkan
d.
Setiap orang yang
melakukan swamedikasi harus menyadari kelebihan dan kekurangan dari swamedikasi
yang dilakukan (Fauzi, 2011).
BAB
II
SWAMEDIKASI PENGGUNAAN
SUPPOSITORIA DAN OVULA
2.1.
Contoh
Kasus
Bapak
A adalah seorang pria berumur 45 tahun yang datang ke apotek bersama istrinya.
Dia mengeluhkan sembelit sejak 6 hari yang lalu. Ia sering mulas dan sering
bolak-balik ke kamar mandi, namun sulit untuk BAB. Pasien telah mengkonsumsi
dulcolax tablet sejak 3 hari yang lalu namun sembelitnya tidak kunjung reda.
Pasien jarang mengkonsmsi sayur dan buah yang berserat karena kesukaannya
hanyalah sayur kangkung. Pasien datang dengan meminta rekomendasi apoteker
untuk pengobatan sembelitnya. Apoteker merekomendasikan bisakodil suppositoria untuk
mengatasi sembelit Bapak A
2.2.
Patofisiologi
2.2.1
Pengertian Konstipasi
·
Konstipasi bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan
gejala yang mengindikasikan adanya penyakit atau masalah.
·
Yang dapat menyebabkan konstipasi antara lain kelainan
saluran pencernaan (contoh: divertikulitis), gangguan metabolisme (contoh:
diabetes), gangguan endokrin (contoh: hipotiroidism).
·
Konstipasi pada umumnya terjadi akibat dari rendahnya
konsumsi serat atau penggunaan obat-obat yang dapat menimbulkan konstipasi
seperti opiat.
·
Konstipasi kadang-kadang dapat juga diakibatkan oleh
faktor psikologis.
2.2.2
Penyebab Konstipasi
·
Penyakit atau kondisi yang dapat menimbulkan
konstipasi:
a. Gangguan saluran
pencernaan:
1. Obstruksi
gastroduodonal akibat ulser atau kanker
2. Irritable bowel syndrome
3. Diverticulities
4. Hemmorhoids, anal fissures
5. Ulcerative proctitis
6. Tumor
b.Gangguan metabolisme dan
endokrin
1. Diabetes mellitus
2. Hipotiroidism
3. Panhipopituitarism
4. Peokromositoma
5. Hiperkalsemia
c. Kehamilan
d.Konstipasi neurogenik
1. Head trauma
2. Central nervous system tumors
3. Stroke
4. Parkinson’s
disease
e. Konstipasi
psikogenik
1. Gangguan psikiatri
2. Inappropriate bowel habits
f. Obat-obat yang
menginduksi konstipasi
1. Analgesik
·
Penghambat sintesis prostaglandin
·
Opiat
2. Antikolinergik
·
Antihistamin
·
Antiparkinson
·
Fenotiazin
3. Antidepresan
trisiklik
4. Antasida yang
mengandung kalsium karbonat atau aluminum hidroksida
5. Barium sulfat
6. Blok kanal kalsium
7. Klonidin
8. Diuretik (nonpotassium sparing)
9. Ganglion brokers
10. Preparat besi
11. Muscle blockers (d-tubokurarin,
suksinilkolin)
12. Polistiren sodium
sulfonat (Adnyana, 2008).
2.2.3 Klasifikasi
Konstipasi
Berdasarkan
patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi konstipasi akibat
kelainan struktural dan konstipasi fungsional.
ü
Konstipasi
akibat kelainan struktural terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja,
ü
Konstipasi
fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau anorektal.
Konstipasi yang
dikeluhkan oleh sebagian besar pasien umumnya merupakan konstipasi
fungsional.Pada awalnya beberapa istilah pernah digunakan untuk menerangkan
konstipasi fungsional, seperti retensi tinja fungsional, konstipasi retentif
atau megakolon psikogenik. Istilah tersebut diberikan karena adanya usaha anak
untuk menahan buang air besar akibat adanya rasa takut untuk berdefekasi.
Retensi tinja fungsional umumnya mempunyai dua puncak kejadian, yaitu pada saat
latihan berhajat dan pada saat anak mulai bersekolah. Konstipasi fungsional
dapat dikelompokkan menjadi bentuk primer atau sekunder bergantung pada ada
tidaknya penyebab yang mendasarinya. Konstipasi fungsional primer ditegakkan
bila penyebab dasar konstipasi tidak dapat ditentukan. Keadaan ini ditemukan
pada sebagian besar pasien dengan konstipasi. Konstipasi fungsional sekunder
ditegakkan bila kita dapat menentukan penyebab dasar keluhan tersebut. Penyakit
sistemik dan efek samping pemakaian beberapa obat tertentu merupakan penyebab
konstipasi fungsional yang sering dilaporkan.Klasifikasi lain yang perlu
dibedakan pula adalah apakah keluhan tersebut bersifat akut atau kronis.
Konstipasi akut bila kejadian baru berlangsung selama 1-4 minggu, sedangkan konstipasi
kronis bila keluhan telah berlangsung lebih dari 4 minggu (Endyarni, 2004).
2.2.4
Patofisiologi Konstipasi
2.3.
Tatalaksana
2.3.1
Tujuan terapi :
a.
Mengurangi gejala agar
tidak terulang
b.Mengembalikan
konsistensi feses menjadi normal
c.
Mengembalikan fungsi flora
normal usus
2.3.2
Guideline Terapi untuk
Konstipasi :
(Sianipar, 2015).
2.3.3 Rekomendasi
Terapi untuk Bapak A
Terapi konstipasi menggunakan tablet
dulcolax sebaiknya dihentikan. Karena keadaan Bapak A tidak kunjung membaik.
Maka dari itu, Bapak A direkomendasikan untuk bisacodyl suppositoria untuk
mengatasi sembelitnya. Namun, jika setelah 5 hari tidak ada perubahan, pasien
disarankan untuk datang ke dokter.
2.3.4
Terapi Non Farmakologi
·
Makan makanan tinggi
serat
· Minum minimal 8 gelas (±200 mL) sehari
·
Minum susu
(Meningkatkan pergerakan usus)
·
Aktivitas fisik
Resiko konstipasi berkurang dengan meningkatnya aktivitas
fisik
·
Posisi defekasi
Posisi
paling baik jongkok, jika duduk, tubuh condong ke bawah (Antara badan dan kaki
30o)
(Sianipar,
2015).
2.4.
Farmakoterapi
(Bisakodil Rektal)
Indikasi
|
Konstipasi, bekerja dalam 20-60 menit
|
Dosis
|
Dalam supositoria untuk
konstipasi, 10 mg pada pagi hari, anak-anak di bawah 10 tahun 5 mg.
|
EfekSamping
|
Dapat menyebabkan kram perut,
diare, gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan, vertigo, dan muntah
|
Kontraindikasi
|
Hipersensitivitas,
gejala apendisitis atau bedahperutakut, pendarahanrektal
|
Peringatan
|
Penggunaanjangkapanjangmengakibatkanketidakseimbanganelektrolitdancairan,
sertadiare.
|
KategoriKehamilandanMenyusui
|
Belumdiketahui.
Ibuhamildanmenyusuiharusberkonsultasikepadadoktersebelummenggunakanobatini.
|
Merekdagang yang tersedia
|
Dulcolax (kekuatan 5mg
dan 10 mg) danStolax (kekuatan 5mg dan 10mg)
|
2.5.Swamedikasi Penggunaan
Suppositoria
Petunjuk
Pemakaian Obat Supositoria (Depkes RI, 2007)
1.
Cuci tangan, suppositoria dikeluarkan
dari kemasan, suppositoria dibasahi
dengan air.
dengan air.
2.
Sobek bagian kemasan (pembungkus)
dari suppositoria
3.
Penderita berbaring dengan posisi
miring dan suppositoria dimasukkan ke
dalam rectum
dalam rectum
4.
Masukan supositoria dengan cara
bagian ujung supositoria didorong denganujung jari sampai melewati otot
sfingter rektal; kira-kira ½ - 1 inchi pada bayidan 1 inchi pada dewasa.
5.
Jika suppositoria terlalu lembek
untuk dapat dimasukkan, maka sebelum
digunakan sediaan ditempatkan dalam lemari pendingin selama 30 menit
kemudian tempatkan pada air mengalir sebelum kemasan dibuka
digunakan sediaan ditempatkan dalam lemari pendingin selama 30 menit
kemudian tempatkan pada air mengalir sebelum kemasan dibuka
6.
Setelah penggunaan suppositoria,
tangan penderita dicuci bersih.
7. Pasien
tetap berbaring selama kurang lebih 1 jam agar tidak menyebabkan kegagalan
penggunaan obat suppositoria
Skema
Penggunaan Suppositoria
·
SEDIAAN
OVULA
Pengertian Ovula
Ovula adalah sediaan setengah
padat berbentuk bulat telur digunakan untuk obat luar khusus untuk vagina
(Depkes RI, 2008). Ovula mudah meleleh dalam suhu tubuhdanmudah melarut. Bahan dasar ovula harus larut dalam air dan dapat meleleh
pada suhu tubuh contohnya lemak coklat dan campuran PEG dalam berbagai
perbandingan. Bobot uvola adalah 3-6 gram dan pada umumnya adalah 5 gram. Cara
penyimpanan ovula adalah disimpan pada wadah tertutup baik dan disimpan di
tempat yang sejuk (Syamsuni, 2002).
Kelebihan dari sediaan ovula
·
dapat digunakan untuk obat yang tidak bisa diberikan secara oral, karena
gangguan cerna, pingsan dsb.
·
dapat diberikan pada lansia yang susah menelan
·
bisa menghindari first pass effect
dihati
Kekurangan dari sediaan ovula
·
daerah absorpsinya lebih kecil
·
absorpsi hanya melalui difusi pasif
·
pemakaian kurang praktis
·
tidak dapat digunakan untuk zat yang rusak pada pH vagina.
CONTOH OBAT OVULA
1.
Vagistin (Nystatin, Metronidazol)
Nystatin adalah obat antijamur yang
digunakan untuk mengatasi infeksi jamur Candida pada
rongga mulut, tenggorokan, usus, dan vagina. Dalam meredakan infeksi,
nystatin bekerja dengan cara merusak sel jamur dan menghentikan
pertumbuhan Candida. Nystatin tersedia dalam 3 bentuk obat, yaitu
cairan suspensi, tablet vagina (ovula), dan salep.
2.
Alboltyl Ovula
Alboltyl Ovula mengandung Policresulen, obat yang merupakan
hasil pemadatan dari metanal dan asam metakresolsulfonat. Obat ini termasuk
antiseptik topikal dan tersedia dalam bentuk ovula (obat yang dimasukkan ke
dalam vagina). Setiap 1 ovula mengandung Policresulen 90 mg. Alboltyl bekerja
dengan cara menggumpalkan dan melepaskan jaringan yang rusak tanpa mempengaruhi
jaringan sehat. Pada pemakaian ke dalam vagina, obat ini dapat membunuh
bakteri, jamur, dan parasit di vagina dan mulut rahim.Alboltyl Ovula digunakan
untuk radang vagina (vaginitis), radang mulut rahim (servisitis), keputihan
karena berbagai sebab, dan luka pada mulut rahim.
Swamedikasi
Cara Penggunaan Ovula
Ada dua cara penggunaan ovula (tablet vagina), yaitu
dengan aplikator dan tanpa aplikator
1.
Cara
Penggunaan Tablet Vagina Dengan Aplikator
1)
Cuci
tangan, pastikan tangan bersih
2)
Keluarkan
tablet vagina (ovula) dari pembungkus
3)
Tempatkan
tablet ke bagian yang terbuka dari aplikator
4)
Berbaring
telentang, tekuk lutut sedikit dan lebarkan paha (lihat gambar)
5)
Sisipkan
secara pelan-pelan aplikator berisi tablet ke bagian depan vagina sedalam
mungkin, tanpa kekuatan
6)
Tekan
ujung aplikator sehingga tablet terlepas
7)
Tarik
aplikator
8)
Buang
aplikator jika merupakan alat sekali pakai, cucilah kedua bagian aplikator
dengan sabun dan air hangat jika bukan merupakan alat sekali pakai
9)
Cuci
tangan
1)
Cuci
tangan terlebih dahulu
2)
Buka
pembungkus tablet vagina
3)
Celupkan
tablet dalam air suam-suam kuku untuk sekadar melembabkan
4)
Berbaring
telentang, tekuk lutut dan lebarkan paha (lihat gambar)
5)
Sisipkan
secara pelan-pelan tablet ke bagian depan vagian sedalam mungkin, tanpa
menggunakan kekuatan
6)
Cuci tangan
BAB III
SWAMEDIKASI PENGGUNAAN
INHALER
3.1.
Jenis
Terapi Inhalasi
Terapi inhalasi merupakan pilihan terapi
pemberian obat dengan tujuan untuk mengontrol atau terapi kondisi akut pada
penderita penyakit saluran pernafasan.Terapi inhaler dapat diberikan dengan
metered dose inhaler (MDI) atau disebut juga inhaler dengan dosis terukur, dry
powder inhaler, dan nebulizer.
1. Metered
Dose Inhaler (MDI) / Inhaler dengan Dosis Terukur
MDI
merupakan alat bantu inhaler yang memiliki dosis tertentu pada sekali
penggunaannya (dosis terukur). Keuntungan menggunakan MDI antara lain ukuran
kecil, mudah dibawa, nyaman, obat langsung mencapai ke targetserangan dapat
diatasi dgn cepat dan relatif tidak mahal. Hanya saja biasanya terjadi kesulitan
antara koordinasi tangan dan saat menarik napas hingga obat lebih banyak yang
tertinggal di orofaring dan hanya sedikit yang mencapai saluran napas
bawah.Terkadang penggunaan MDI juga dibantu dengan penggunaan spacer.
Gambar 1. (a) MDI; (b)
MDI dengan spacer
Cara menggunakan
MDI
a. Kanister
dikocok agar obat tetap homogen
b. Posisi
badan tegak
c. Lakukan
ekspirasi
d. Mulut
inhaler diletakkan diantara bibir, kemudian bibir dirapatkan dan lakukan
inspirasi perlahan hingga maksimal
e. Tekan
inhaler ketika inspirasi dalam dan pelan
f.
Teruskan inspirasi sampai
maksimal
g. Tahan
napas selama 10 detik pada inspirasi maksimal
h. Keluarkan
napas
Gambar 2. Tata cara
menggunakan MDI
2. Dry
Powder Inhaler (DPI)
DPI merupakan tipe
inhaler yang breath-actuated artinya aliran inhalasi pengguna diperlukan
untuk menghamburkan bubuk obat.Keuntungan menggunakan DPI antara lain
menghilangkan kesalahan akibat kurang mengerti cara pemakaian seperti pada MDI.
Saat ini dikembangkan DPI yang tidak memerlukan propelan dan ramah
lingkungan.Alat ini merupakan breath-ativated, sehingga tidak diperlukan
koordinasi yang maksimal dan pengendapan di paru dapat lebih besar.Alat DPI
memiliki 3 bentuk, yaitu rotahaler, diskhaler, dan turbuhaler.
Gambar
3. (a) turbuhaler; (b) diskhaler; (c) rotahaler
3. Nebulizer
Nebulizer
merupakan alat bantu inhalasi yang lebih kompleks dan umumnya digunakan pada
pasien yang dirawat di rumah sakit. Prinsip nebulizer adalah mengubah obat
dalam bentuk larutan menjadi aerosol sehingga dapat dihirup pasien dengan
menggunakan mouthpiece atau masker. Nebulizer berbeda dengan MDI dan
DPI, nebulizer memiliki kelengkapan alat yang banyak, yaitu generator aerosol,
alat bantu inhalasi (kanul nasal, masker, mouthpiece) dan obatnya
sendiri.
Gambar
4. Nebulizer
3.2. Contoh Kasus
Seorang
Ibu (Ny. SC) membawa anaknya (DS, 5 tahun) ke dokter spesialis anak. Sang ibu
mengatakan anaknya memiliki gejala sering batuk pada malam hari, bunyi mengi
saat bernafas, dan kadang-kadang terlihat kesuliatan bernafas setelah bermain
dengan temannya. Pada saat berkonsultasi dengan dokter, DS sedang tidak
mengalami gejala tersebut.Ny. SC mengatakan bahwa beliau memiliki riwayat
penyakit asma, dan ayah sang anak juga memiliki riwayat alergi. Setelah
melakukan pemeriksaan, DS didiagnosa memiliki penyakit asma ringan.Dokter
meresepkan albuterol inhaler yang digunakan 100mcg 4-6 jam sekali (tergantung
pada serangan) untuk penggunaan pada serangan asma mendadak. Dokter juga
menyarankan Ibu SC untuk mempelajari apa saja yang menyebabkan DS alergi, dan
menghindari segala penyebab alergi DS agar tidak memicu serangan asma. DS juga
disarankan untuk beristirahat yang cukup.
3.3.Patofisiologi
Gambar 5. Patofisiologis
Penyakit Asma
Etiologi dan Patogenesis
Asma
merupakan inflamasi kronik saluran napas.Berbagai sel inflamasi berperan,
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab
atau pencetus inflamasi saluran napas pada pasien asma. Inflamasi terdapat pada
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.Inflamasi
kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif (hipereaktifitas) jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa
berat dan batuk-batuk terutama pada malam dan/atau dini hari.Episodik tersebut
berkaitan dengan sumbatan saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Gambar
6. Mekanisme Asma
1. Faktor Risiko
Risiko
berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host) dan
faktor lingkungan.
(a) Faktor
pejamu
Faktor
penjamu antara lain predisposisi genetik asma, alergi, hipereaktifitas bronkus,
jenis kelamin, dan ras/etnik.
(b) Faktor
lingkungan
Faktor
ini terdiri dari dua, yaitu factor yang mempengaruhi individu dengan
kecenderungan /predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma (contohnya:
allergen dan polusi di dalam maupun di luar ruangan, seperti allergen hewan dan
serbuk bunga, dan asap rokok), dan factor yang menyebabkan eksaserbasi
(serangan) dan/atau menyebabkan gejala asma menetap (contohnya: allergen dan
polusi di dalam maupun di luar ruangan, infeksi pernapasan, olah raga dan
hiperventilasi, perubahan cuaca, makanan, obat-obatan, seperti asetil
salisilat, ekspresi emosi yang berlebihan)
2. Gejala
Gejala asma
bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan.Gejala
awal berupa batuk terutama pada malam atau dini hari sesak napas, napas
berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya, rasa berat
di dada, dan dahak sulit keluar. Sedangkan gejala yang berat adalah keadaan
gawat darurat yang mengancam jiwa, seperti serangan batuk yang hebat, sesak
napas yang berat dan tersengal-sengal, sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai
dari sekitar mulut), sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam
keadaan duduk, dan kesadaran menurun .
3. Diagnosis
Diagnosis asma
adalah berdasarkan gejala yang bersifat episodik, pemeriksaan fisiknya dijumpai
napas menjadi cepat dan dangkal dan terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada
(pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi, karena pasien
sudah lelah untuk bernapas).Dan yang cukup penting adalah pemeriksaan fungsi
paru, yang dapat diperiksa dengan spirometri atau peak expiratory flow meter.
4. Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan
berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran
udara.Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan
perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi
tingkat pengobatan.
3.4. Tatalaksana
Tujuan
utama penatalaksanaan Asma adalah mencapai asma terkontrol sehingga penderita
asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma dibagi menjadi 2, yaitu: penatalaksanaan
asma jangka panjang dan penatalaksanaan asma akut atau saat serangan.
1. Tatalaksana asma jangka panjang
Prinsip utama
tatalaksana jangka panjang adalah edukasi, obat asma (pengontrol dan pelega),
dan menjaga kebugaran (senam asma).Obat pelega diberikan pada saat serangan,
obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan dan diberikan dalam jangka
panjang dan terus menerus.
2. Tatalaksana asma akut pada anak dan dewasa
Tujuan tatalaksana serangan asma akut:
ü Mengatasi
gejala serangan asma
ü Mengembalikan
fungsi paru ke keadaan sebelum serangan
ü Mencegah
terjadinya kekambuhan
ü Mencegah
kematian karena serangan asma
Untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua faktor yang perlu
dipertimbangkan, yaitu medikasi dan pengobatan berdasarkan derajat.
Kriteria asma
terkontrol pada anak dan dewasa, yaitu:
1. Tidak
ada gejala atau minimal
2. Tidak
ada serangan asma pada malam hari
3. Tidak
ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
4. Tidak
ada pemakaian obat-obat pelega atau minimal
5. Variasi
harian APE (Arus Puncak Ekspirasi) kurang dari 20%
6. Nilai
APE normal atau mendekati normal
7. Efek
samping obat minimal (tidak ada)
8. Tidak
ada kunjungan ke unit gawat darurat
Penyakit asma merupakan penyakit
keturunan.Bila salah satu atau kedua orang tua, kakek, atau nenek menderita
asma, maka bisa diturunkan ke anak.Penyakit asma juga tidak dapat disembuhkan
dan obat-obatan yang ada saat ini hanya berfungsi menghilangkan gejala. Namun,
dengan mengontrol penyakit asma, penderita bisa bebas dari gejala penyakit asma yang mengganggu,
sehingga dapat menjalani aktivitas hidup sehari-hari. Mengingat banyaknya faktor
risiko yang berperan, maka prioritas pengobatan penyakit asma sejauh ini
ditujukan untuk mengontrol gejala.Kontrol yang baik ini diharapkan dapat
mencegah terjadinya eksaserbasi (kumatnya gejala penyakit asma), menormalkan
fungsi paru, memperoleh aktivitas sosial yang baik dan meningkatkan kualitas
hidup pasien.
Algoritma
tata laksana asma mandiri di rumah
Algoritma
tata laksana asma di fasilitas kesehatan tingkat pertama
Tata Laksana berdasarkan kasus pasien
Obat yang diresepkan yaitu albuterol atau yang lebih
dikenal salbutamol (Golongan agonis β2)
dengan bentuk sediaan aerosol untuk inhalasi. Obat ini diindikasikan untuk pasien yang mengalami serangan asma
akut. Mekanisme golongan agonis β2 adalah stimulasi
reseptor β. Obat simpatomimetik
selektif β2 memiliki
manfaat yang besar dan bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping
yang minimal pada terapi asma.Agonis β2 kerja singkat (seperti albuterol,
bitolterol, pirbuterol, terbutalin) adalah terapi pilihan untuk menghilangkan
gejala akut dan bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik.
Penggunaan
langsung melalui inhalasi akan meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan efek
yang lebih cepat dan memberikan efek perlindungan yang lebih besar terhadap
rangsangan (misalnya alergen, latihan) yang menimbulkan bronkospasme
dibandingkan bila diberikan secara sistemik.
Monitoring
• Efektivitas
Albuterol Ã
Penurunan frekuensi kekambuhan asma.
• Efek
samping
Karena penggunaannya secara inhalasi
(lokal), maka efek samping yang umum terjadi adalah mulut berasa pahit dan candidiasis
(infeksi kandida pada mulut).
3.5.
Farmakoterapi
Indikasi
|
:
|
Asma dan kondisi lain yang berkaitan dengan obstruksi
saluran napas yang reversibel.
|
Kontra Indikasi
|
:
|
Takikardia sekunder dari kondisi jantung, hipersensitivitas
|
Dosis
|
:
|
100-200 mcg (1-2 hirupan). Untuk gejala yang
persisten 3-4 kali sehari, anak 100 mcg (1hirupan) dapat dinaikkan menjadi
200 mcg (2 hirupan) bila perlu. Profilaksis untuk bronkospasme akibat latihan
fisik, 200 mcg (2 hirupan), anak 100 mcg (1 hirupan)
|
Efek samping
|
:
|
Efek samping dari agonis adrenoseptor beta-2 termasuk
tremor (terutama di tangan), ketegangan, sakit kepala, kram otot, dan
palpitasi. Efek samping lain termasuk takikardi, aritmia, vasodilatasi
perifer, gangguan tidur dan tingkah laku. Bronkospasme
paradoksikal, urtikaria, angiodema, hipotensi, dan kolaps juga telah
dilaporkan. Agonis adrenoseptor beta-2 menyebabkan hipokalemi pada dosis
tinggi. Nyeri dapat terjadi pada pemberian injeksi intramuskular.
|
Merek Dagang
|
:
|
Profentil, Pro Air HFA
|
Kehamilan dan
menyusui
|
:
|
Kategori C
|
(BPOM, 2015)
Beberapa daftar obat
wajib apotek (DOWA) untuk penyakit asma sebagai berikut.
No.
|
DOWA (Obat Asma)
|
Jumlah Tiap Obat Per Pasien
|
1.
|
Aminofilin
|
Maksimal 20
|
2.
|
Ketotifen
|
Tablet sirup 1 botol
|
3.
|
Terbutalin SO4
|
Maksimal 20
|
4.
|
Salbutamol
|
Maksimal 20
|
(Menkes RI, 1990)
1.
Aminofilin
Indikasi
|
:
|
obstruksi saluran napas reversibel, asma akut berat
|
Kontra Indikasi
|
:
|
Gagal jantung kongestif, hipotiroidism, gagal ginjal
pada bayi, penyakit hati, edema paru, kejang.
|
Dosis
|
:
|
Oral 100-300 mg, 3-4 kali sehari sesudah makan
|
Efek samping
|
:
|
takikardia, palpitasi, mual dan gangguan saluran
cerna yang lain, sakit kepala, stimulasi sistem saraf pusat, insomnia,
aritmia, dan konvulsi terutama bila diberikan melalui injeksi intravena
cepat.
|
Merek Dagang
|
:
|
Aminofilin, decafil, erphafillin, phaminov, dsb.
|
Interaksi
|
:
|
Simetidin, propanolol, verapamil, isoniazid, azitromisin,
klaritromisin, eritromisin, siprofloksasin, norfloksasin, barbiturat,
verapamil, diltiazem, kortikosteroid, metotreksat, fenitoin, ketokonazol,
flukonazol, dsb.
|
(BPOM, 2015)
2.
Ketotifen
Indikasi
|
:
|
Profilaksis asma
|
Kontra Indikasi
|
:
|
Hipersensitivitas, gangguan hati dan ginjal,
glaukoma, epilepsi.
|
Dosis
|
:
|
1 mg 2 kali sehari waktu makan, bila perlu dinaikkan
menjadi 2 mg 2 kali sehari; terapi awal pada pasien yang sudah tersedasi
0,5-1 mg malam; Anak di
atas 2 tahun 1 mg 2 kali sehari.
|
Efek samping
|
:
|
mengantuk, mulut kering, pusing; stimulasi SSP,
dilaporkan kenaikan berat badan
|
Merek Dagang
|
:
|
intifen, profilas, tosma, zaditen
|
Interaksi
|
:
|
Antidiabetik oral
|
(BPOM, 2015)
3.
Terbutalin Sulfat
Indikasi
|
:
|
Asma dan kondisi lain yang berkaitan dengan obstruksi
saluran napas yang reversibel.
|
Kontra Indikasi
|
:
|
Takikardia sekunder dari kondisi jantung,
hipersensitivitas
|
Dosis
|
:
|
oral: 2,5 mg 3 kali sehari
selama 1-2 minggu, kemudian dinaikkan menjadi 5 mg 3 kali sehari. Anak: 75 mcg/kg bb 3 kali sehari, 7-15 tahun 2,5
mg 2-3 kali sehari
|
Efek samping
|
:
|
Efek samping dari agonis adrenoseptor beta-2 termasuk
tremor (terutama di tangan), ketegangan, sakit kepala, kram otot, dan
palpitasi. Efek samping lain termasuk takikardi, aritmia, vasodilatasi
perifer, gangguan tidur dan tingkah laku. Bronkospasme
paradoksikal, urtikaria, angiodema, hipotensi, dan kolaps juga telah
dilaporkan. Agonis adrenoseptor beta-2 menyebabkan hipokalemi pada dosis
tinggi. Nyeri dapat terjadi pada pemberian injeksi intramuskular.
|
Merek Dagang
|
:
|
Asmabet, astherin, bricanyl, bricasma, lasmalin, dsb.
|
Interaksi
|
:
|
Teofilin, glikosida jantung, kortikosteroid, diuretik kuat, metildopa.
|
(BPOM, 2015)
3.6.
Cara
Penggunaan Inhaler
Jika tiba-tiba gejala
asma kambuh, lakukan tiga hal utama berikut.Yang pertama adalah segera
keluarkan inhaler jenis pereda dan isap sebanyak 1 atau 2 kali. Setelah itu,
lakukan langkah kedua dengan cara duduk tenang dan cobalah bernapas secara
stabil. Apabila gejala asma masih belum mereda, maka lakukan langkah ketiga
dengan cara mengisap inhaler Anda kembali sebanyak 2 kali (atau hingga 10 kali
jika diperlukan) tiap dua menit sekali.
Apabila seluruh
langkah tersebut tetap tidak meredakan gejala asma dan Anda khawatir kondisi
bisa menjadi lebih buruk, maka segera telepon ambulans atau minta orang-orang
di sekeliling Anda untuk membawa Anda ke rumah sakit.Sebelum Anda benar-benar
mendapatkan penanganan rumah sakit, ulangi terus langkah ketiga.
Berikut adalah
tatacara penggunaan inhaler yang benar :
1. Lepaskan
tutup inhaler kemudian kocok.
2. Hembuskan
nafas Anda
3. Tarik
nafas sambil memencet inhaler
4. Tahan
nafas Anda selama 10 detik
Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam menggunakan inhaler adalah dengan menjaga kebersihannya.Penting untuk
menjaga inhaler tetap bersih, terutama pada bagian mouthpiece.
Berikut beberapa langkah yang dapat
membantu Anda menjaga kebersihan inhaler.
1.
Lepaskan kaleng logam dari inhaler
(jika inhaler Anda adalah metered-dose).
2.
Pastikan tidak ada benda yang
menyumbat area tersebut.
3.
Bilas dengan air hangat hanya
pada mouthpiece dan tutupnya.
4.
Biarkan mengering secara alami
sepanjang malam (Jangan gunakan kain untuk mengelapnya hingga kering).
5.
Di pagi hari, pasang kembali kaleng
logam ke dalamnya. Pasang tutupnya.
6.
Jangan bilas bagian lainnya.
BAB IV
SWAMEDIKASI PENGGUNAAN TETES MATA
4.1. Konjungtivitis
Konjungtivitis yang juga dikenal sebagai mata merah,
adalah salah satu keluhan oftalmik yang paling umum yang dilihat oleh dokter
umum. Konjungtiva yang meradang adalah penyebab paling umum mata merah. Berikut
adalah algoritma diagnosis banding menentukan pengobatan atau kebutuhan yang
tepat untuk rujukan:
Gambar algoritma
diagnosis banding konjungtivitis
(Chisholm-Burns
et al, 2008).
a.
Konjungtivitis
bakteri
1)
Etiologi
Sebagian besar kasus konjungtivitis bersifat viral. Untuk konjungtivitis
bakteri akut, penyebabnya adalah organisme grampositive. Patogen primer pada
konjungtivitis bakteri akut adalah Streptococcus
pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Haemophilus
influenzae. Staphylococcus, Moraxella,
atau bakteri oportunistik lainnya biasanya menyebabkan konjungtivitis kronis.
Konjungtivitis bakteri akut dan kronis bersifat self-limiting kecuali jika disebabkan oleh staphylococci. Karena ini, patogen jarang dikulturkan kecuali jika kasusnya tidak responsif terhadap
pengobatan. Sementara infeksi biasanya dimulai pada satu mata, seringkali akan
menyebar ke keduanya dalam waktu 48 jam. Konjungtivitis bakteria akut
berhubungan dengan infeksi gonococcal
pada pasien yang aktif secara seksual. Agen penyebabnya adalah Neisseria gonorrhoeae atau N. meningitidis. Diperlukan persiapan
dan perawatan yang cepat, karena perforasi kornea terjadi pada 10% kasus dalam
waktu 48 jam. Dokter mata harus menyelesaikan tes pengikisan dan pengujian
kerentanan konjungtiva.
(Chisholm-Burns
et al, 2008).
2)
Pengobatan
Pemilihan agen antibiotik untuk konjungtivitis bakteri
akut sebagian besar empiris. Perlakuan awal harus mencakup cakupan Staphylococcus, tetapi juga dapat
dipilih berdasarkan biaya dan profil efek samping. Secara umum, salep adalah
bentuk sediaan yang baik untuk anak-anak. Orang dewasa lebih suka tetes karena
mereka tidak mengganggu penglihatan. Larutan Trimetoprim / polymyxin B, polimiksin
B dengan salep bacitracin, atau salep eritromisin merupakan terapi lini pertama
yang efektif biaya. Aminoglikosida (tobramycin, neomycin, dan gentamicin)
adalah alternatif tetapi memiliki cakupan gram positif yang tidak lengkap.
Aminoglikosida dapat menyebabkan toksisitas epitel kornea. Neomycin sering
menyebabkan reaksi alergi. Tobramycin adalah yang terbaik ditoleransi dari kelas tetapi juga yang
paling mahal. Sulfacetamide 10% tetes menunjukkan peningkatan resistensi. Jika
infeksi berulang, gunakan fluoroquinolone topikal seperti ofloxacin,
ciprofloxacin, norfloxacin, gatifloxacin, moxifloxacin, atau levofloxacin.
Fluoroquinolone tidak digunakan pada lini pertama untuk konjungtivitis karena
memiliki cakupan Streptococcus yang
buruk dan mahal. Pengembangan resistansi juga menjadi perhatian dengan
fluoroquinolones. Mengobati konjungtivitis bakteri hyperacute dengan dosis
tunggal 1 g ceftriaxone intramuskular dalam kombinasi dengan antibiotik
topikal. Pasien dengan konjungtivitis bakteri kronis sering memiliki kasus
bersamaan blepharitis. Tambahkan rejimen kebersihan tutup untuk pengobatan
antibiotik topikal.
(Chisholm-Burns
et al, 2008).
(Chisholm-Burns
et al, 2008).
b. Konjungtivitis Viral
1)
Etiologi
Penyebab paling
umum dari konjungtivitis virus adalah adenovirus. Hal ini sering disebut
"mata merah." Infeksi konjungtivitis virus mudah menyebar melalui
kolam renang dan jari-jari yang terkontaminasi dan instrumen medis. Pasien
sering datang dengan infeksi saluran pernapasan atas atau paparan baru-baru ini
terhadap konjungtivitis virus. Sementara infeksi dimulai di satu mata, itu akan
menyebar ke kedua mata 50% dari waktu. Konjungtivitis virus biasanya sembuh
sendiri, memburuk setelah 4 sampai 7 hari tetapi kemudian sembuh dalam 2 sampai
4 minggu. Lima persen pasien tetap menular 16 hari setelah munculnya gejala.
(Chisholm-Burns
et al, 2008).
2)
Pengobatan
a)
Terapi
Nonfarmakologis
Tindakan
nonfarmakologis sangat penting untuk mencegah penyebaran konjungtivitis virus.
Pasien tidak boleh berbagi handuk atau benda yang terkontaminasi lainnya, harus
menghindari kontak dekat dengan orang lain dan menghindari berenang selama 2
minggu. Virus ini tetap hidup pada permukaan kering selama lebih dari 2 minggu.
Hati-hati dalam pengaturan medis untuk benar-benar mendekontaminasi instrumen
dan mencuci tangan. Pasien dapat memperoleh bantuan bergejala dengan
menggunakan kompres dingin dan air mata buatan. Jika larutan air mata buatan
menyengat, rekomendasikan formula bebas pengawet.
(Chisholm-Burns
et al, 2008).
b)
Terapi farmakologis
Antiviral
topikal tidak digunakan untuk mengobati konjungtivitis adenovirus. Antibiotik
topikal sering diresepkan untuk konjungtivitis virus, seolah-olah untuk
mencegah superinfeksi bakteri. Kenyataannya, ini adalah kasus pasien yang
memaksakan obat untuk mempercepat penyembuhan. Hindari penggunaan antibiotik
untuk infeksi virus. Menghilangkan penggunaan antibiotik berlebihan juga
membantu mencegah perkembangan resistensi antibiotik. Jika pasien memiliki
infiltrasi subepitelial yang berat, steroid topikal mungkin diperlukan. Namun,
steroid topikal dapat menyebabkan komplikasi mata yang serius dan dapat
memperburuk konjungtivitis herpes, yang memiliki gejala mirip dengan
konjungtivitis virus. Selain itu, periode penularan virus dapat diperpanjang
hingga 50% oleh prednisolon topikal. Hanya dokter mata yang harus meresepkan
steroid topikal.
(Chisholm-Burns
et al, 2008).
c)
Evaluasi Hasil
Rujuk pasien yang tidak mengalami peningkatan dalam 7
hingga 10 hari ke dokter mata untuk menyingkirkan herpes dan proses infeksi
lainnya. Jika rasa sakit atau fotofobia terjadi, curigai keterlibatan kornea
dan rujuk pasien. Ini biasanya terjadi 10 hingga 14 hari setelah onset
konjungtivitis (Chisholm-Burns et al, 2008).
c.
Konjungtivitis alergi
1)
Etiologi
Alergi mata
adalah istilah luas yang mencakup beberapa penyakit dengan gejala gatal, sering
disertai dengan robek, pembengkakan konjungtiva, dan hidung tersumbat. Alergi
okular musiman adalah tipe konjungtivitis alergi yang paling umum. Ini adalah
hipersensitivitas yang dimediasi IgE terhadap serbuk sari atau alergen udara
lainnya. Seringkali, riwayat pasien positif untuk kondisi atopik seperti
rinitis alergi, asma, atau eksim. Konjungtivitis alergi tahunan memiliki gejala
yang serupa tetapi kurang berat dan mungkin tidak terikat pada waktu tertentu
dalam setahun. Akhirnya, obat-obatan konjungtivitis adalah alergi kontak dengan
obat topikal, seringkali antibiotik.
(Chisholm-Burns
et al, 2008).
2)
Patofisiologi
Konjungtiva mata
sering merupakan tempat pertama kontak dengan lingkungan alergen. Degranulasi
sel sel terjadi, menghasilkan pelepasan mediator. Mediator yang paling awal
adalah histamin, yang menyebabkan gatal, kemerahan, dan pembengkakan.
Leukotrien dan prostaglandin menyebabkan peningkatan sekresi lendir dan seluler
infiltrasi bersama dengan chemosis, menghasilkan vasodilatasi konjungtiva. Sel
mast juga melepaskan sitokin, kemokin, dan faktor pertumbuhan yang memicu
proses inflamasi. Pengobatan alergi okuler ditujukan untuk memperlambat atau
menghentikan proses-proses ini. Antihistamin memblokir reseptor histamin dan
beberapa mencegah produksi histamin dan / atau menghambat pelepasan mediator
dari sel mast. Stabilisator sel mast menghambat degranulasi sel mast, mencegah
pelepasan mediator. Beberapa agen topikal memiliki beberapa mekanisme aksi,
menggabungkan antihistaminic, stabilisasi sel mast, dan sifat antiinflamasi.
(Chisholm-Burns
et al, 2008).
3)
Pengobatan
a)
Terapi
Nonfarmakologis
Perawatan utama adalah menghilangkan dan menghindari
alergen. Untuk obat-obatan konjungtivitis, hentikan obat-obatan yang
mengganggu. Terapkan kompres dingin tiga hingga empat kali sehari untuk
mengurangi kemerahan dan gatal dan untuk meredakan gejala (Chisholm-Burns et
al, 2008).
b)
Terapi farmakologis
Gunakan
pendekatan langkah perawatan untuk pengobatan konjungtivitis alergi. Langkah
pertama adalah larutan air mata buatan non-obat. Larutan mencairkan atau
menghilangkan alergen, memberikan bantuan saat melumasi mata. Larutan
diterapkan dua hingga empat kali sehari sesuai kebutuhan. Salep dapat digunakan
di malam hari untuk melembabkan permukaan mata lebih jauh. Jika air mata buatan
tidak mencukupi, langkah pengobatan kedua adalah antihistamin topikal atau
kombinasi antihistamin / dekongestan. Kombinasi antihistamin / dekongestan
lebih efektif daripada hanya agen saja. Dekongestan adalah vasokonstriktor yang
mengurangi kemerahan dan tampaknya memiliki efek sinergis yang kecil dengan
antihistamin. Satu-satunya dekongestan topikal yang digunakan dalam produk
kombinasi adalah naphazoline. Dekongestan topikal membakar dan menyengat pada
instilasi dan biasanya menyebabkan midriasis, terutama pada pasien dengan mata
berwarna lebih terang. Penggunaan jangka panjang menyebabkan rebound kongesti
atau conjunctivitis medicamentosa. Penggunaan dekongestan topikal harus
dibatasi kurang dari 10 hari. Antihistamin topikal direkomendasikan sebelum
obat oral dalam terapi karena peningkatan risiko efek samping sistemik dengan
obat oral. Selain itu, antihistamin topikal memberikan bantuan lebih cepat dari
gejala okular. Pertimbangkan antihistamin oral ketika gejala sistemik hadir.
Jika bantuan tidak cukup diperoleh dari produk-produk ini, baik stabilisator
sel mast atau agen multi-tindakan adalah tepat. Gunakan stabilisator sel mast
secara profilaksis sepanjang musim alergi. Respons penuh bisa memakan waktu 4
hingga 6 minggu. Jika stabilisator sel mast atau agen multi-aksi tidak
berhasil, percobaan OAINS topikal adalah tepat. Ketorolac adalah satu-satunya
agen topikal yang disetujui untuk gatal mata. NSAID tidak menutupi infeksi
mata, mempengaruhi penyembuhan luka, meningkatkan tekanan intraokular, atau
berkontribusi terhadap pembentukan katarak seperti kortikosteroid topikal.
Namun, untuk konjungtivitis alergi, ketorolak topikal tidak seefektif
olopatadine atau emedastine dalam uji coba. Efikasi penuh ketorolak membutuhkan
waktu hingga 2 minggu. Jika semua jalan ini tidak efektif, kortikosteroid
topikal jangka pendek dan imunoterapi adalah perawatan lini ketiga untuk alergi
okular.
(Chisholm-Burns
et al, 2008).
c)
Evaluasi Hasil
Pantau pasien
untuk menghilangkan gejala. Pastikan percobaan yang memadai dari agen. Jika
tidak ada perbaikan yang terlihat, ikuti pendekatan perawatan langkah demi
langkah. Rujuk kasus-kasus berat yang tidak menanggapi dokter mata untuk
kortikosteroid topikal jangka pendek.
Gambar dosis dan
efek samping yang umum terjadi pada pengobatan ocular allergy
(Chisholm-Burns
et al, 2008)
4.2. Contoh Kasus Konjungtivitis
Pasien laki-laki (10 tahun) mengeluh kelopak mata bengkak
(hilang setelah di kompres dingin) dan matanya merah sudah satu hari dan
mengganggu aktivitas sehari-hari (bermain dan belajar). Pasien juga mengeluh
tidurnya tidak nyenyak karena kedua mata terasa gatal, dan pagi hari saat
bangun tidur terdapat kotoran mata, serta mata juga terasa tidak nyaman seperti
ada pasir, terkadang keluar cairan bening dan air mata. Sebelumnya pasien
memiliki riwayat keluhan yang sama 3 bulan lalu dan diberikan obat tetes mata
oleh dokter (pasien lupa nama obat yang diberikan). Pasien memiliki riwayat
alergi debu, jika terkena debu , maka pasien akan mengeluh gatal dan merah pada
hidungnya disertai bersin-bersin. Ibu pasien memiliki riwayat alergi debu. Nadi
pasien 110 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu tubuh 36,60C.
Dokter mendiganosis ODS Konjungtivitis akut ec suspek alergi. Pengobatan yang
diberikan dokter:
·
Vernacel tetes mata
3x1 tetes/hari
·
Xitrol tetes mata 3x1
tetes/hari
·
Lyteers tetes mata
3x1 tetes/hari
Pemeriksaan Lokal Mata
Pemeriksaan
|
OD (Oculus Dexter)
|
OS (Oculus Sinister)
|
Visus
|
Lebih dari 3/60
|
Lebih dari 3/60
|
Palpebra
|
Hiperemi (+)
Edema (+)
|
Hiperemi (+)
Edema (+)
|
Konjungtiva
|
Hiperemi (+)
Secret mukoserous (+)
Papilla (+)
CVI (+)
|
Hiperemi (+)
Secret mukoserous (+)
Papilla (+)
CVI (+)
|
Sclera
|
Normal
|
Normal
|
Kornea
|
Jernih
|
Jernih
|
Bilik mata depan
|
Normal
|
Normal
|
Iris/Pupil
|
Bulat, reguler
|
Bulat, reguler
|
Refleks pupil
|
Positif
|
Positif
|
Lensa
|
Jernih
|
Jernih
|
Tes fluoresin
|
Tidak dilakukan
|
Tidak dilakukan
|
4.3. Penyelesaian Kasus
Penyelesaian : Metode SOAP
a.
Subjek
Jenis
kelamin : Laki-laki
Umur : 10 tahun
Keluhan :
Mata merah, bengkak, terasa gatal, tidak nyaman seperti ada pasir, mata berair,
terdapat kotoran mata pada pagi hari.
Riwayat penyakit :
Keluhan yang sama 3 bulan lalu, Alergi debu
Riwayat pengobatan :
obat tetes mata (pasien lupa nama obat) Ã 3 bulan lalu
Riwayat keluarga :
Ibu memiliki alergi debu
b.
Objektif
Nadi : 110 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Temperature
: 36,60C
Pemeriksaan Lokal :
Pemeriksaan
|
OD (Oculus Dexter)
|
OS (Oculus Sinister)
|
Visus
|
Lebih dari 3/60
|
Lebih dari 3/60
|
Palpebra
|
Hiperemi (+)
Edema (+)
|
Hiperemi (+)
Edema (+)
|
Konjungtiva
|
Hiperemi (+)
Secret mukoserous (+)
Papilla (+)
CVI (+)
|
Hiperemi (+)
Secret mukoserous (+)
Papilla (+)
CVI (+)
|
Sclera
|
Normal
|
Normal
|
Kornea
|
Jernih
|
Jernih
|
Bilik mata depan
|
Normal
|
Normal
|
Iris/Pupil
|
Bulat, reguler
|
Bulat, reguler
|
Refleks pupil
|
Positif
|
Positif
|
Lensa
|
Jernih
|
Jernih
|
Tes fluoresin
|
Tidak dilakukan
|
Tidak dilakukan
|
c.
Assessment
-
Dilihat dari hasil
pemeriksaan lokal, pasien mengalami konjungtivitis (peradangan konjungtiva)
pada mata kanan dan kiri yang disebabkan oleh allergenà Konjungtivitis Alergi
-
Pasien diberikan 3
jenis tetes mata yaitu vernacel
(napazolin sebagai antihistamin), xitrol
(sebagai pencegahan komplikasi infeksi sekunder), dan lyteers (sebagai pelumas untuk mengatasi iritasi mata dan
memberikan rasa nyaman)
d.
Plan
-
Disarankan bagi
pasien untuk menghindari faktor allergen, menjaga hygiene mata, dan istirahat
(bed rest)
-
Disarankan untuk
memberitahu orang tua pasien supaya menjaga kebersihan atau higienitas
disekitar pasien
-
Memberitahu orang tua
pasien untuk tidak lupa memberikan obat tepat waktu dan membantu memberikan
obat tetes mata pada pasien dikarenakan pasien seorang anak laki-laki yang
berumur 10 tahun (dikhawatirkan pasien takut untuk melakukan sendiri)
-
Terapi non
farmakologi : kompres dingin untuk mengurangi peradangan
Pelayanan Swamedikasi
1.
Urutan Pemberian Obat
Apoteker
menjelaskan urutan obat yang digunakan kepada orang tua pasien
§ Lyteers : obat yang pertama diberikan kepada pasien,
karena berperan untuk membersihkan mata, memberikan rasa nyaman dan mengatasi
iritasi mata
§ Vernacel : obat yang diberikan setelah Lyteers, merupakan
obat vasokontriksi-antihistamin untuk mengatasi mata merah dan gatal-gatal.
§ Xitrol : obat yang terakhir diberikan setelah Lyteers dan
Vernacel. Xitrol berperan sebagai antibakteri untuk mencegah komplikasi infeksi
sekunder.
2.
Cara Penggunaan Obat
Tetes Mata
1)
Cuci Tangan, sebelum
meneteskan OTM (obat tetes mata ) pastikan mencuci tangan dengan sabun dan air
mengalir bertujuan untuk mencegah terjadi kontaminasi
2)
Cek selalu kemasan
OTM ada cacat pada kemasan atau tidak, dan ingat bahwa mulut tempat keluar obat
adalah bagian yang steril sehingga pastikan tangan yang dicuci tidak mengenai
bagian tersebut
3)
Posisikan tubuh
berbaring atau kepala mendongak (pilih posisi yang paling nyaman), buka mata
lebar-lebar, arahkan pandangan mata ke atas
4)
Tarik kelopak mata
bawah sebelum meneteskan obat dengan satu atau dua jari sehingga membentuk
kantong tempat meneteskan obat.
5)
Dengan menggunakan
tangan lain, pegang OTM dan posisikan ujung pipet atau mulut tempat obat keluar
berjarak 2,5 cm dari mata. Pencet perlahan OTM agar dosis obat yang keluar
tidak berlebih. Hati-hati agar mulut tempat obat keluar tidak menyentuh appaun
karena dapat terkontaminasi kuman
6)
Tutup mata, jangan
berkedip diamkan selama 2-3 menit agar mata dapat menyerap obat
7)
Jika OTM yang
digunakan lebih dari satu jenis OTM, maka berikan jarak lima menit sebelum
menggunakan OTM yang lain
Cara Penggunaan
Salep Mata
1.
Ujung tube salep
jangan tersentuh oleh benda apapun (termasuk mata).
2.
Cuci tangan,
kepala ditengadahkan, dengan jari telunjuk kelopak mata bagian bawah ditarik ke
bawah untuk membuka kantung konjungtiva, tube salep mata ditekan hingga salep
masuk dalam kantung konjungtiva dan mata ditutup selama 1-2 menit. Mata
digerakkan ke kiri-kanan, atas-bawah.
3.
Setelah
digunakan, ujung kemasan salep diusap dengan tissue bersih (jangan dicuci
dengan air hangat) dan wadah salep ditutup rapat.
4.4. Mata Kering
a.
Patofisiologi
Permukaan okular dan kelenjar mata yang mengeluarkan air
mata sekarang diketahui berfungsi sebagai unit terpadu. Unit ini menyegarkan
pasokan air mata dan membersihkan air mata yang digunakan. Sebuah loop refleks
saraf otonom menstimulasi sekresi cairan air mata dan protein oleh kelenjar
lakrimal. Sensitivitas permukaan okular menurun ketika produksi air mata dan
pembersihan air mata menurun. Hal ini menyebabkan penurunan reflek terangsang
sensorik yang memperparah mata kering. Seiring waktu, memakai lensa kontak juga
menurunkan daya sensitif kornea dengan stimulasi konstan. Disfungsi mungkin
disebabkan oleh penuaan, penyakit inflamasi sistemik, penurunan hormon
androgen, pembedahan, penyakit permukaan okular (seperti herpes zoster),
penyakit sistemik, atau obat yang mempengaruhi saraf kolinergik eferen.
Penurunan sekresi air mata menghasilkan respon inflamasi pada permukaan okular
yang disebut keratoconjunctivitis sicca.
(Chisholm-Burns
et al, 2008).
b.
Pengobatan
1)
Terapi Nonfarmakologi
Pertimbangkan
untuk menambahkan humidifier di area yang rendah kelembaban. Jadwalkan
istirahat reguler dari kerja komputer atau membaca. Turunkan layar komputer ke
bawah tingkat mata untuk mengurangi bukaan tutup. Evaluasi penggunaan obat dan
lakukan penggantian terapeutik pada obat-obatan yang tidak memperparah mata
kering. Kacamata bisa mengurangi penguapan air mata. Jika terapi farmakologis
dan lainnya tidak cukup, oklusi punctal atau tarsorrhaphy lateral bisa menjadi
pilihan. Oklusi Punctal adalah penyumbatan situs drainase punctal dengan
colokan kolagen (sementara) atau Silastic (permanen). Jahitan tarsorrhaphy
lateral menutupi bagian tepi kelopak mata untuk mengurangi hilangnya air mata
yang menguap. Prosedur ini dicadangkan untuk kasus mata kering yang parah
akibat penyakit lain.
(Chisholm-Burns
et al, 2008).
2)
Terapi farmakologis
Terlepas dari
penyebabnya, pengobatan utama untuk mata kering adalah air mata buatan. Air
mata buatan menambah lapisan air mata secara topikal dan memberikan bantuan.
Jika seorang pasien menggunakan air mata buatan lebih dari empat kali sehari,
rekomendasikan formulasi bebas pengawet. Formulasi bebas pengawet juga tepat
jika pasien mengembangkan alergi terhadap pengawet mata. Air mata buatan tersedia
dalam bentuk gel, salep, dan emulsi yang memberikan durasi lega yang lebih lama
dan memungkinkan pemberian instilasi yang lebih jarang. Penggunaan salep tepat
pada waktu tidur. Agen anti-inflamasi dapat digunakan bersama dengan air mata
buatan. Satu-satunya agen yang disetujui adalah emulsi siklosporin. Diberikan
secara topikal, diduga bertindak sebagai imunomodulator parsial yang menekan
peradangan okular, tetapi mekanisme pastinya tidak diketahui. Emulsi
siklosporin meningkatkan produksi air mata pada beberapa pasien. Penggunaan
kortikosteroid topikal untuk jangka pendek (misalnya, 2 minggu) dapat menekan
peradangan dan gejala iritasi mata. Agonis kolinergik oral pilocarpine dan
cevimeline digunakan untuk pasien dengan kombinasi mata kering dan mulut kering
(mis., Sindrom Sjögren) atau mata kering yang parah. Dengan mengikat reseptor
muskarinik, agonis kolinergik dapat meningkatkan produksi air mata.
(Chisholm-Burns
et al, 2008).
3)
Evaluasi Hasil
·
Pantau pasien untuk
menghilangkan gejala
·
Secara berkala
menilai kembali kepatuhan dan pemahaman pasien terhadap penyakit tersebut
·
Mungkin diperlukan
waktu 6 minggu sebelum perbaikan terlihat dengan terapi pilocarpine
·
Terapi siklosporin
membutuhkan waktu hingga 6 bulan untuk keberhasilan penuh
·
Jika pasien mengalami
kehilangan penglihatan, nyeri sedang atau berat, ulserasi kornea, atau
kurangnya respons terhadap terapi, rujuk pasien ke dokter spesialis mata untuk
evaluasi cepat.
(Chisholm-Burns et al, 2008).
4.5. Contoh KasusKeratoconjungtivitis
Sicca
A.
Kasus
Tuan
Z 45 tahun, seorang supir truck mengeluh sakit mata sejak dua hari yang lalu
setelah mengantarkan material dari toko bangunan. Tutur pasien matanya terasa
panas, seperti berpasir dan mengaku penglihatannya sedikit buram. Diujung
kelopak mata kanan pasien juga nampak merah seperti peradangan. Pasien tidak
memiliki riwayat alergi obat dan debu. Dokterpun mendiagnosis
keratoconjungtivitis sicca dan diberi obat Restasis (cyclosporine)
B. Penyelesaian : Metode SOAP
a)
Subjek
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 45 tahun
Keluhan :
matanya terasa panas, seperti berpasir, penglihatannya sedikit buram. Diujung
kelopak mata kanan pasien juga nampak merah seperti peradangan.
Riwayat penyakit : -
Riwayat Pengobatan : -
Riwayat keluarga : -
b)
Objektif
·
Selain
keluhan diatas, pasien tidak meliliki sakit yang lain
·
Pasien
tidak memiliki riwayat alergi obat ataupun debu
c)
Assessment
·
Jika
dilihat dari keluhan, dokter mendiagnosa keratoconjungtiviti sicca (penyakit
mata kering)
·
Diberikan
dua kali sehari dalam rentang waktu 12 jam 1-2 tetes (cyclosporine berfungsi
untuk mengurangi radang dan meningkatkan jumlah air mata yang diproduksi oleh
mata. Siklosporin merupakan mediator imunosupresif)
d)
Plan
·
Disarankan
agar pasien tersebut beristirahat dahulu untuk beberapa waktu.
·
Tidak
menggosok mata yang sakit dan kemudian menyentuh mata yang sehat.
·
Mencuci
tangan setelah setiap kali memegang mata yang sakit.
Terapi non-farmakologi :
Ø
Menggunakan
kain lap, handuk, dan sapu tangan baru yang terpisah untuk membersihkan mata
yang sakit.
Ø
Kompres
dengan air dingin agar mengurangi peradangan
B.
Pelayanan Swamedikasi
1)
Pemberian
obat
·
Restasis
(cyclosporine) obat ini berfungsi untuk mengurangi radang dan meningkatkan
jumlah air mata.
2)
Cara
penggunaan obat tetes mata
·
Cyclosporine,
obat ini diteteskan pada mata dua kali sehari dalam rentang waktu 12 jam atau
sesuai anjuran dokter
·
Sebelum
meneteskan obat ini, cucilah tangan anda terlebih dahulu. Untuk menghindari
kontaminasi, jangan menyentuh ujung botol atau mata Anda. Sebelum diteteskan,
pastikan obat tetes telah dikocok. Obat tetes ini berwarna putih susu.
·
Miringkan
kepala anda ke belakang sambil melihat ke atas, lalu tarik kelopak bawah mata
Anda sehingga terbentuk kantung. Teteskan 1 tetes obat tepat di atas kantung
sambil melihat ke bawah kemudian tutup mata Anda selama 1 sampai 2 menit.
Jangan berkedip atau menggosok mata Anda.
·
Jika
Anda memakai lensa kontak, lepaskanlah terlebih dahulu sebelum meneteskan obat
ini dan jangan dipakai lagi sampai 15 setelah obat diteteskan.
·
Jika
Anda ingin meneteskan obat mata lain, harap tunggu selama 15 menit kemudian
setelah obat ini diteteskan.
BAB V
SWAMEDIKASI PENGGUNAAN TETES TELINGA
5.1. Anatomi Telinga
Telinga merupakan organ yang
berfungsi sebagai indera pendengaran dan fungsi
keseimbangan tubuh.
Telinga
sebagai indera pendengar terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar,telinga
tengah dan telinga dalam. Struktur anatomi telinga seperti diperlihatkan.
Anatomi Telinga
5.2.
Patofisiologi
Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran dapat meliputi telinga luar, telinga tengah
dan telinga
dalam.Telinga luar mempunyai fungsi untuk mengumpulkan dan
menghantarkangelombang bunyi ke struktur- struktur telinga tengah. Gangguan
pada telinga luardi daerah liang telinga.
1.
Penutupan Telinga
Penggunaan penutup telinga,
topi, helm ataupun pakaian yang menutuptelinga dapat menyebabkan gangguan
transmisi bunyi untuk masuk menujutelinga tengah dan dalam sehingga menimbulkan
gangguan fungsi pendengaranyang sifat tidak permanen.
2.
Serumen
Merupakan kelenjar sekret
kelenjar sebasea dan apokrin yang terdapatpada bagian kartilaginosa liang
telinga. Pada keadaan normal serumen terdapatdi sepertiga luar liang telinga.
Serumen mempunyai fungsi sebagai saranapengangkut debris epitel kontaminan untuk dikeluarkan dari
membaranatimpani, serumen sebagai pelumas dan dapat mencegah kekeringan
danpembentukan fisura pada epidermis. Serumen memiliki dua tipe
konsistensinyayang bersifat basah yang bersifat dominan sehingga terlihat
basah, lengket danberwarna madu yang dapat mengubah warna menjadi gelap bila
terpapar danbiasanya banyak terjadi pada ras Kaukasia dan tipe konsistensi
serumen kering,bersisik dan terdapat pada ras Mongoloid.
Serumen yang membentuk
gumpalan yang menumpuk di liang telinga
dapat menimbulkan gangguan pendengaran berupa tuli konduktif. Terutamaketika telinga masuk air sewaktu mandi dan berenang, serumen akan menjadimengembang dan menimbulkan rasa yang tertekan dan dapat terjadi gangguanpada pendengaran.
dapat menimbulkan gangguan pendengaran berupa tuli konduktif. Terutamaketika telinga masuk air sewaktu mandi dan berenang, serumen akan menjadimengembang dan menimbulkan rasa yang tertekan dan dapat terjadi gangguanpada pendengaran.
3.
Otitis Eksterna
Merupakan radang telinga akut
maupun kronis yang dapat disebabkan
oleh infeksi bakteri, jamur dan virus. Faktor yang dapat mempermudahterjadinya radang pada telinga luar adalah perubahan pH di liang telinga.Normal pH pada liang telinga asam, jika terdapatnya pH yang berubah menjadibasa karena proteksi terhadap infeksi menurun. Pada keadaan udara yangsangat hangat dan lembab, kuman dan jamur akan mempermudah untukmenjadi tumbuh di liang telinga.
oleh infeksi bakteri, jamur dan virus. Faktor yang dapat mempermudahterjadinya radang pada telinga luar adalah perubahan pH di liang telinga.Normal pH pada liang telinga asam, jika terdapatnya pH yang berubah menjadibasa karena proteksi terhadap infeksi menurun. Pada keadaan udara yangsangat hangat dan lembab, kuman dan jamur akan mempermudah untukmenjadi tumbuh di liang telinga.
4.
Otitis Media
Otitis Media adalah peradangan
pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,tuba Eustachius, antrum
mastoid, dan sel-sel mastoid.Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga
tengah dengan gejala dantanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan
tanda klinik lokal atau sistemikdapat terjadi secara lengkap atau sebagian,
baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual,muntah, diare, serta otore, apabila
telah terjadi perforasi membran timpani. Padapemeriksaan otoskopik juga
dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003).
5.3. Tatalaksana
Pengobatan
OMA tergantung dari stadium penyakitnya. Pada stadium oklusi pengobatan diutamakan untuk membuka kembali
tuba Eustachius, untuk itu diberikan
dekongestan nasal (HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak < 12
tahun, dan HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik bagi yang berumur > 12
tahun) (Djaafar et.al,
2015).
Untuk
pengobatan infeksinya diberikan antibiotika untuk.
Sesuai prevalensi organisme penyebab otitis media akut, maka terapi terpilihnya
adalah amoksisilin (80 – 90 mg/kg BB/hari) yang dibagi dua dosis untuk 10 hari.
Terapi terpilih lainnya ialah penisilin. Bila pasien alergi terhadap penisilin,
dapat diberikan eritromisin (40 mg/kg BB/hari). Pada stadium hiperemis
pengobatan diberikan antibiotika, analgetika untuk nyeri, serta dekongestan
nasal dan antihistamin atau kombinasi keduanya (Alberta Medical Assosiation, 2008).
Pada stadium
supurasi disamping diberikan terapi seperti pada stadium hiperemis, idealnya
harus disertai dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan
miringotomi gejalagejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari (Djaafar et.al,
2015).
Pada stadium
perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang terlihat sekret
keluar secara berdenyut(pulsasi). Pengobatan
yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta
antibiotika adekuat.Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup
kembali dalam waktu 7–10 hari. Harus dihindarkan masuknya air ke dalam liang
telinga sampai penyembuhan sempurna, karena dapat disertai kontaminasi
mikroorganisme (Djaafar et.al, 2015).
Pada stadium
resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi
dan perforasi membran timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya
akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membrana
timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga
tengah. Pada keadaan demikian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3
minggu.Bila 3 minggu setelah pengobatan sekret masih tetap banyak ,kemungkinan
telah terjadi mastoiditis (Djaafar et.al, 2015).
5.4. Swamedikasi
Penggunaan obat tetes telinga yang benar adalah
sebagai berikut:
·
Bersihkan
telinga dengan lap basah kemudian keringkan
·
Hangatkan
obat tetes telinga dengan cara menggeggam di tangan
·
Jika
bentuk sediaan berupa suspensi kocok dahulu sekitar sepuluh detik
·
Periksa
apakah pipet penetes tidak tersumbat
·
Tarik
obat dengan menggunakan pipet sesuai dosis yang dianjurkan
·
Miringkan
telinga yang dikehendaki atau berbaringlah
·
Jangan
sentuhkan ujung pipet dengan bagian telinga
·
Teteskan
jumlah obat yang dikehendaki dan goyang-goyang telinga dengan perlahan untuk
memasukkan obat yang diteteskan
·
Tutup
telinga dengan kapas untuk beberapa saat agar obat tidak keluar (Depkes RI,
2007).
BAB VI
SWAMEDIKASI PENGGUNAAN
KONTRASEPSI DAN MINI PIL
Kontrasepsi Oral Progesteron (KOP)
Kontrasepsi
oral progesteron (KOP) memiliki angka kegagalan yang lebih tinggi daripada Kontrasepsi
Oral Kombinasi (KOK). Kontrasepsi oral progesteron (KOP) merupakan alternatif
kontrasepsi hormonal bagi wanita yang tidak dapat menerima estrogen, termasuk
pasien dengan riwayat trombosis vena. KOP ini cocok untuk wanita lansia,
perokok berat, penderita hipertensi, kelainan katup jantung, diabetes melitus,
atau migrain. Dengan KOP ini ketidakteraturan pola haid lebih sering terjadi
pada awal penggunaannya tapi akan teratasi setelah penggunaan jangka
panjang.Semua KOP (termasuk bentuk injeksi) dapat digunakan sebagai alternatif
dari KOK sebelum pelaksanaan pembedahan besar, seperti pembedahan pada kaki
atau pembedahan yang mempengaruhi immobilisasi jangka panjang lengan bawah.
a.
Interaksi
Efektivitas KOP tidak dipengaruhi oleh antibakteri yang tidak menginduksi enzim hati. Tetapi efektivitas KOP dikurangi oleh obat penginduksi enzim, sehingga dianjurkan menggunakan metode kontrasepsi alternatif atau tambahan selama penggunaan obat atau 4 minggu setelah penghentian obat.
Efektivitas KOP tidak dipengaruhi oleh antibakteri yang tidak menginduksi enzim hati. Tetapi efektivitas KOP dikurangi oleh obat penginduksi enzim, sehingga dianjurkan menggunakan metode kontrasepsi alternatif atau tambahan selama penggunaan obat atau 4 minggu setelah penghentian obat.
b.
Cara Penggunaan
Mulai pemberian
1 tablet perhari, dimulai hari pertama siklus dan diminum pada waktu yang sama
setiap hari (jika terlupa minum lebih dari 3 jam, daya lindung obat hilang).
Tidak perlu tambahan kontrasepsi saat memulai minum obat. Setelah melahirkan,
mulai setelah 3 minggu melahirkan (meningkatkan breakthrough
bleeding jika diberikan lebih awal), tidak mempengaruhi
menyusui. Bila 1 pil terlupa, segera makan saat disadari, dan lanjutkan jadwal
yang biasa. Bila terlambat 3 jam makan pil, maka daya lindung pil hilang.
Lanjutkan makan pil, tetapi jangan lakukan sanggama selama 7 hari berikutnya
atau gunakan kondom.
c.
Efek Samping
Muntah dalam
waktu 2 jam setelah pemberian kontrasepsi oral atau terjadi diare yang sangat
berat dapat mengganggu absorpsi. Diperlukan kontrasepsi tambahan selama
muntah/diare dan 2 hari setelah sembuh. Selain itu efek samping yang umum
terjadi adalah perubahan
suasana hati, sakit kepala, mual, sakit pada perut, nyeri pada payudara dan
peningkatan berat badan
Pil
KB Kombinasi
a.
Cara Penggunaan
Di
pasaran dikenal 2 jenis pil KB yaitu pil dengan kemasan 21
dan pil dengan kemasan 28. Pil dengan kemasan 21 membutuhkan
jeda waktu 7 hari tanpa minum pil sebelum pengguna
pil meneruskan minum pil dari kemasan yang baru. Pil
dengan kemasan 28 tdak membutuhkan jeda waktu 7 hari tanpa
minum pil sebelum pengguna pil meneruskan minum pil dari
kemasan yang baru.
Minum
pil harus dimulai pada saat menstruasi, untuk menjamin
bahwa tdak sedang terjadi kehamilan pada wanita
tersebut. Pil pertama yang diminum pada kemasan 28 haruslah
pil yang ditandai dengan bagian yang diarsir pada bagian belakang kemasan
tablet. Untuk menghindarkan wanita terlupa
minum pil, sangat dianjurkan untuk minum pil pada jam
yang sama setap hari sesuai dengan hari dan mengikut tanda
panah yang ada pada bagian belakang kemasan tablet. Sangat
dianjurkan untuk minum pil pada waktu yang sama setap
harinya, agar perlindungan terhadap kehamilan dapat dimaksimalkan.
b.
Apabila
Terlupa
·
Lupa
minum 1 pil: minum pil yang terlupa segera setelah teringat,
dan minum pil berikutnya sesuai jadwal. Contoh: pasien
terbiasa minum pil jam 9 malam, dan baru teringat jam
7 pagi keesokan harinya. Maka dianjurkan segera minum
pil yang terlupa pada jam 7 pagi, dan pada jam 9 malam
minum pil sepert biasa.
·
Lupa
minum 2 pil: minum 2 pil yang terlupa segera setelah teringat,
dan hari berikutnya minum 2 pil lagi. Selanjutnya minum
pil sesuai jadwal. Contoh: pasien terlupa minum pil
pada hari Kamis dan Jum’at. Maka pada hari Sabtu saat teringat,
dianjurkan untuk segera minum 2 pil jatah hari Kamis
dan Jumat. Pada hari Minggu, sesuai jadwal, minum 2 pil
jatah hari Sabtu dan Minggu. Hari Senin dan seterusnya minum
pil sepert biasa. Jika pasien melakukan hubungan seksual
dalam waktu 7 hari setelah terlupa minum pil, jangan
lupa menggunakan kondom
·
Lupa
minum 1 atau 2 pil pada saat sisa pil pada kemasan tablet
kurang dari 7: minum pil yang terlupa segera setelah teringat,
selanjutnya dianjurkan minum pil sepert biasa, tetapi
pada saat pil di kemasan tersebut habis:
·
Jika
pasien minum pil kemasan 21: segera lanjutkan minum
pil dari kemasan baru tanpa jeda 7 hari
·
Jika
pasien minum pil kemasan 28: buang 7 pil pertama yang
pada bagian belakang kemasannya diarsir dari kemasan
baru dan lanjutkan minum pil yang bagian belakang
kemasannya tdak diarsir dari kemasan baru. Jika
melakukan hubungan seks dalam waktu 7 hari setelah terlupa
minum pil, dianjurkan jangan lupa gunakan kondom.
Mini Pil
a.
Cara
Penggunaan
Cara penggunaan mini pil ini adalah dengan
diminum terus-menerus tanpa ada 7 hari jeda. Bagi
ibu yang ingin memberikan air susu eksklusif, dianjurkan
memulai minum mini pill pada minggu keenam setelah
melahirkan. Sedangkan bagi ibu yang tdak memberikan air susu
eksklusif atau memberikan susu formula bersama dengan
ASI, maka dianjurkan mulai minum pil sejak minggu
ketga setelah melahirkan. Jika melakukan hubungan
seksual pada rentang waktu 48 jam pertama setelah meminum mini
pill, dianjurkan untuk menggunakan kondom. Seperti
halnya pil, mini pill juga sangat dianjurkan diminum pada
jam yang sama setap harinya
b.
Apabila
Terlupa
·
1
tablet: jika kurang dari 3 jam, dianjurkan segera minum pil
yang terlupa. Tablet berikutnya diminum sepert biasa.
yang terlupa. Tablet berikutnya diminum sepert biasa.
·
1
tablet dan baru teringat lebih dari 3 jam kemudian, atau
terlupa minum lebih dari 1 tablet : dianjurkan minum pil terakhir yang terlupa, dan dosis selanjutnya diminum sepert biasa. Hal ini bisa berart minum 2 tablet dalam satu hari. Jika melakukan hubungan seks pada rentang waktu 48
jam pertama setelah meminum mini pill, dianjurkan untuk menggunakan kondom.
terlupa minum lebih dari 1 tablet : dianjurkan minum pil terakhir yang terlupa, dan dosis selanjutnya diminum sepert biasa. Hal ini bisa berart minum 2 tablet dalam satu hari. Jika melakukan hubungan seks pada rentang waktu 48
jam pertama setelah meminum mini pill, dianjurkan untuk menggunakan kondom.
·
3
tablet atau lebih: kemungkinan telah terjadinya kehamilan harus
dipertmbangkan sebelum memutuskan untuk meneruskan
minum mini pill.
Efek Samping Pil KB
Beberapa
efek samping kontrasepsi oral diantaranya flek (pendarahan
antar periode menstruasi), bobot badan meningkat, bercak hitam di wajah (chloasma), payudara kencang
dan sakit, serta mual. Selain itu beberapa penelitan yang
dilakukan beberapa tahun terakhir dilaporkan bahwa terdapat
risiko efek samping tromboembolisme vena pada penggunaan
jangka panjang kontrasepsi oral kombinasi. Namun
risiko ini tdak lebih tnggi dibandingkan risiko terjadinya
tromboembolisme vena pada kehamilan.
Tromboembolisme
vena merupakan suatu kondisi yang umumnya
diakibatkan bekuan darah pada vena dalam bagian paha
atau panggul. Jika bekuan darah tersebut terlepas dalam sirkulasi
darah, maka dapat menghalangi aliran darah ke paruparu (emboli paru) dengan
konsekuensi yang fatal. Faktor risiko untuk penyakit tromboembolisme vena
antara lain usia lanjut, merokok, obesitas, dan kehamilan.
Terkait dengan efek
samping yang mungkin muncul, maka kontrasepsi
oral tdak disarankan sebagai kontrasepsi pada wanita
yang: mempunyai riwayat serangan jantung atau
stroke mengalami penggumpalan darah di kaki atau
paru-paru (Deep Vein Thrombosis (DVT) atau pulmonary
embolism) mempunyai riwayat nyeri dada (angina
pektoris) mempunyai riwayat atau risiko kanker
payudara, kanker rahim atau kanker leher rahim. mengalami
pendarahan tanpa diketahui penyebabnya mempunyai
gangguan hat berusia > 35 tahun yang juga perokok.
BAB VII
SWAMEDIKASI PENGGUNAAN
ENEMA
Cara
Penggunaan Enema Laksatif (Microlax®)
·
Buka penutup enema
·
Pencet tubenya sedikit agar sejumlah kecil isinya keluar
·
Oleskan pada bagian luar dari pipa aplikatornya
·
Masukkan sepertiga bagian pipa ke dalam anus
·
Tekan tube tersebut agar seluruh isinya keluar
·
Cabut kembali pipa dari anus tanoa melepaskan tekanan pada tube
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit,
J. I., Sukandar, E. Y. 2008. ISO Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan: Jakarta.
American Academy of
Ophthalmology. 2013. Guidelines Conjungtivitis. San Fransisco: Academy's H.
Dunbar Hoskins Jr.
American Optometric
Association. 2002. Optometric Clinical Practice Guideline Care of The Patient
With Conjunctivitis. USA
Azari, Amir A and Neal P.
Barney. 2014. Conjuctivitis : A Systemic Review of Dignosis and Treatment.
Available at https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4049531/ (Diakses
pada tanggal 18 Oktober 2018)
Alberta Medical Assosiation.
2008. Guideline
For The Diagnosis And Management Of Acute Otitis Media. Edmonton : TOP Program.
Buchman,
C.A., 2003. Infection of The Ear. In: Lee, K.J., ed. EssentialOtolaryngology
Head and Neck Surgery. 8thed. USA:
McGraw-HillCompanies, Inc., 462-51
BPOM
RI. 2015, IONI, diakses pada 15 Oktober 2018, <http://pionas.pom.go.id/>.
BPOMRI.Bisakodil.PusatInformasiObatNasionalBadanPengawasObatdanMakanan[Online]. Diakses pada tanggal 18 Oktober 2018,http://pionas.pom.go.id/monografi/bisakodil
BPOM RI. 2018. Petunjuk
Praktis Penggunaan Obat. Tersedia di http://pionas.pom.go.id/ioni/lampiran-6-petunjuk-praktis-penggunaan-obat-yang-benar/petunjuk-praktis-penggunaan-obat (Diakses pada tanggal 18 Oktober 2018).
Chisholm-Burns, Marie; B.G.
Wells; T.L. Schwinghammer; P.M. Malone; et
al. 2008. Pharmacotherapy Principles
& Practice. United States of America: The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Coticchia,
JM., et al., 2013. New Paradigms in The Pathogenesis of Otitis
Mediain Children. Frontiers in Pediatrics, 1 (52): 1–7.
Depkes
RI. 2007. Pedoman Konseling Pelayanan
Kefarmasian di Sarana Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. 2008. Materi Pelatihan
Peningkatan Pengetahuan Dan Keterampilan Memilih Obat Bagi Tenaga Kesehatan.
Jakarta: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional.
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R. D.,
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D. 2015. Buku AjarIlmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Ketujuh.Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Depkes RI. 2007. Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas
Terbatas. Jakarta: Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik.
Depkes
RI. 2006. Pedoman Penggunaan Obat Bebas
dan Bebas Terbatas. Jakarta : Depkes RI.
Depkes
RI. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma.
Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. 2007. Pedoman
Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Direktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik.
Endyarni, Bernie, dan Badriul Hegar Syarif. 2004. Sari Pediatri. Vol. 6(2): 75-80.
Fauzi.
2011. Swamedikasi Pengobatan Sendiri. Available online at www.faikshare.com.
[diakses pada tanggal 7 oktober 2018].
Hello
Sehat. 2018. Cara Pakai Inhaler dengan
Benar. diakses pada 15 Oktober 2018,
<https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/ppok/cara-pakai-inhaler/> .
Insani, Maulidia Laela.,dkk. 2017. Karakteristik
dan Manajemen Konjungtivitis Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Indera Denpasar
Periode Januari-April 2014. E-Jurnal medika Vol.6.
Johnston, L.2012. Keratoconjunctivitis sicca (dry
eye). J Cell Mol Med, 79(1) :33-37.
Menteri
Kesehatan RI. 1990. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 347/Menkes/SK/VII/1990
Tentang Obat Wajib Apotik Menteri
Kesehatan.
Medscape.Bisacodyl rectal (OTC). Medscape
Reference Drug, Diseases & Procedures [Online]. Diakses pada tanggal 18
Oktober 2018, https://reference.medscape.com/drug/fleet-bisacodyl-enema-suppository-bisacodyl-rectal-999325#0
Pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI
(2007,2013). InfoDatin-asma.
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-asma.pdf.
(Diakses pada tanggal 17/10/2018).
Ramakrishnan, Kalyanakrishnan., Rhonda Sparks.,and Wayne E. Berryhill.
2007. Diagnosis and Treatment of Otitis Media. American Family Physician, Vol
76(11):1650-1658.
Shanker,
et al., 2002. Swamedikasi Cara-Cara
Mengobati Gangguan Sehari-haridengan Obat-Obat Bebas Sederhana. Malang :
Bayu Media.
Sianipar, Nicholas B.
2015. Konstipasi Pada Pasien Geriatri. Continuing Medical Education.
Vol. 42 (8). p 572-576.
Silverman, Sallan. (2004). Buku Saku
Dokter Anak. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Syamsuni, H.A. 2002. Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC.
1 komentar:
bingung pulang kerja tidak tahu mau mengerjakan apa
ayo di tunggu apa lagi segera bergabung dengan kami
di i/o/n/n/q/q kami tunggu lo ^^
Posting Komentar