Minggu, 09 Juni 2019

MAKALAH Swamedikasi Pemberian Obat dengan Alat Bantu Khsusus (Suppositoria dan Ovula, Inhaler, Tetes Mata, Tetes Telinga, Kontrasepsi dan Mini Pil, Penggunaan Enema)


MAKALAH
Swamedikasi Pemberian Obat dengan Alat Bantu Khsusus
(Suppositoria dan Ovula, Inhaler, Tetes Mata, Tetes Telinga, Kontrasepsi dan Mini Pil, Penggunaan Enema)
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pelayanan Kefarmasian
Pada Program Profesi Apoteker
 
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS FARMASI
2018


BAB I
SWAMEDIKASI
1.1.    Pengertian Swamedikasi
Swamedikasi atau pelayanan sendiri merupakan pelayanan kesehatan yang menjadi suatu sumber kesehatan masyarakat yang utama. Pada swamedikasi, masyarakat dapat melakukan penggunaan obat untuk tujuan pengobatan sakit ringan, tanpa resep atau intervensi dari seorang dokter (Shanker, et al., 2002).
        Dalam hal ini, pengobatan sendiri dibatasi hanya untuk obat-obatan yang termasuk golongan obat bebas dan obat bebas terbatas. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banak dialami masyarakat, antara lain demam, nyeri, batuk, flu, serta berbagai penyakit lain (Depkes, 2006).
        Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam swamedikasi, yaitu:
a.          Pada swamedikasi, pasien bertanggung jawab terhadap obat yang digunakan. Oleh karenaitu sebaiknya baca label obat secara seksama dan teliti
b.         Jika pasien memilih untuk melakukan pengobatan sendiri, maka ia harus dapat:
1.   Mengenali gejala yang dirasakan
2.   Menentukan apakah kondisi mereka sesuai untuk melakukan pengobatan sendiri atau tidak
3.   Memilih produk obat yang sesuai dengan kondisinya
4.   Mengikuti instruksi yang sesuai pada label obat yang dikonsumsi
c.          Pasien juga harus mempunyai informasi yang tepat mengenai obat yang mereka konsumsi. Konsultasi dengan dokter merupakan pilihan yang terbaik bila dirasakan bahwa pengobatan sendiri atau swamedikasi yang dilakukan tidak memberikan hasil sesuai dengan apa yang diharapkan
d.         Setiap orang yang melakukan swamedikasi harus menyadari kelebihan dan kekurangan dari swamedikasi yang dilakukan (Fauzi, 2011).

BAB II
SWAMEDIKASI PENGGUNAAN SUPPOSITORIA DAN OVULA

2.1.   Contoh Kasus
Bapak A adalah seorang pria berumur 45 tahun yang datang ke apotek bersama istrinya. Dia mengeluhkan sembelit sejak 6 hari yang lalu. Ia sering mulas dan sering bolak-balik ke kamar mandi, namun sulit untuk BAB. Pasien telah mengkonsumsi dulcolax tablet sejak 3 hari yang lalu namun sembelitnya tidak kunjung reda. Pasien jarang mengkonsmsi sayur dan buah yang berserat karena kesukaannya hanyalah sayur kangkung. Pasien datang dengan meminta rekomendasi apoteker untuk pengobatan sembelitnya. Apoteker merekomendasikan bisakodil suppositoria untuk mengatasi sembelit Bapak A
2.2.   Patofisiologi
2.2.1     Pengertian Konstipasi
·   Konstipasi bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan gejala yang mengindikasikan adanya penyakit atau masalah.
·   Yang dapat menyebabkan konstipasi antara lain kelainan saluran pencernaan (contoh: divertikulitis), gangguan metabolisme (contoh: diabetes), gangguan endokrin (contoh: hipotiroidism).
·   Konstipasi pada umumnya terjadi akibat dari rendahnya konsumsi serat atau penggunaan obat-obat yang dapat menimbulkan konstipasi seperti opiat.
·   Konstipasi kadang-kadang dapat juga diakibatkan oleh faktor psikologis.
2.2.2     Penyebab Konstipasi
·   Penyakit atau kondisi yang dapat menimbulkan konstipasi:
a. Gangguan saluran pencernaan:
1.      Obstruksi gastroduodonal akibat ulser atau kanker
2.      Irritable bowel syndrome
3.      Diverticulities
4.      Hemmorhoids, anal fissures
5.      Ulcerative proctitis

6.      Tumor
b.Gangguan metabolisme dan endokrin
1.      Diabetes mellitus
2.      Hipotiroidism
3.      Panhipopituitarism
4.      Peokromositoma
5.      Hiperkalsemia
c. Kehamilan
d.Konstipasi neurogenik
1.      Head trauma
2.      Central nervous system tumors
3.      Stroke
4.      Parkinson’s disease
e. Konstipasi psikogenik
1.      Gangguan psikiatri
2.      Inappropriate bowel habits
f. Obat-obat yang menginduksi konstipasi
1.      Analgesik
·         Penghambat sintesis prostaglandin
·         Opiat
2.      Antikolinergik 
·         Antihistamin
·         Antiparkinson
·         Fenotiazin
3.      Antidepresan trisiklik
4.      Antasida yang mengandung kalsium karbonat atau aluminum hidroksida
5.      Barium sulfat
6.      Blok kanal kalsium
7.      Klonidin
8.      Diuretik (nonpotassium sparing)
9.      Ganglion brokers
10.  Preparat besi
11.  Muscle blockers (d-tubokurarin, suksinilkolin)
12.  Polistiren sodium sulfonat (Adnyana, 2008).
2.2.3     Klasifikasi Konstipasi
Berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi konstipasi akibat kelainan struktural dan konstipasi fungsional.
ü  Konstipasi akibat kelainan struktural terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja,
ü  Konstipasi fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau anorektal.
Konstipasi yang dikeluhkan oleh sebagian besar pasien umumnya merupakan konstipasi fungsional.Pada awalnya beberapa istilah pernah digunakan untuk menerangkan konstipasi fungsional, seperti retensi tinja fungsional, konstipasi retentif atau megakolon psikogenik. Istilah tersebut diberikan karena adanya usaha anak untuk menahan buang air besar akibat adanya rasa takut untuk berdefekasi. Retensi tinja fungsional umumnya mempunyai dua puncak kejadian, yaitu pada saat latihan berhajat dan pada saat anak mulai bersekolah. Konstipasi fungsional dapat dikelompokkan menjadi bentuk primer atau sekunder bergantung pada ada tidaknya penyebab yang mendasarinya. Konstipasi fungsional primer ditegakkan bila penyebab dasar konstipasi tidak dapat ditentukan. Keadaan ini ditemukan pada sebagian besar pasien dengan konstipasi. Konstipasi fungsional sekunder ditegakkan bila kita dapat menentukan penyebab dasar keluhan tersebut. Penyakit sistemik dan efek samping pemakaian beberapa obat tertentu merupakan penyebab konstipasi fungsional yang sering dilaporkan.Klasifikasi lain yang perlu dibedakan pula adalah apakah keluhan tersebut bersifat akut atau kronis. Konstipasi akut bila kejadian baru berlangsung selama 1-4 minggu, sedangkan konstipasi kronis bila keluhan telah berlangsung lebih dari 4 minggu (Endyarni, 2004).

2.2.4     Patofisiologi Konstipasi




2.3.   Tatalaksana
2.3.1     Tujuan terapi :
a. Mengurangi gejala agar tidak terulang
b.Mengembalikan konsistensi feses menjadi normal
c. Mengembalikan fungsi flora normal usus
2.3.2     Guideline Terapi untuk Konstipasi :



                                                                                         (Sianipar, 2015).
2.3.3     Rekomendasi Terapi untuk Bapak A
           Terapi konstipasi menggunakan tablet dulcolax sebaiknya dihentikan. Karena keadaan Bapak A tidak kunjung membaik. Maka dari itu, Bapak A direkomendasikan untuk bisacodyl suppositoria untuk mengatasi sembelitnya. Namun, jika setelah 5 hari tidak ada perubahan, pasien disarankan untuk datang ke dokter.
2.3.4     Terapi Non Farmakologi
·      Makan makanan tinggi serat
·      Minum minimal 8 gelas (±200 mL) sehari
·      Minum susu (Meningkatkan pergerakan usus)
·      Aktivitas fisik
Resiko konstipasi berkurang dengan meningkatnya aktivitas fisik
·      Posisi defekasi
Posisi paling baik jongkok, jika duduk, tubuh condong ke bawah (Antara badan dan kaki 30o)
                                                                                             (Sianipar, 2015).
2.4.    Farmakoterapi
(Bisakodil Rektal)
Indikasi
Konstipasi, bekerja dalam 20-60 menit
Dosis
Dalam supositoria untuk konstipasi, 10 mg pada pagi hari, anak-anak di bawah 10 tahun 5 mg.
EfekSamping
Dapat menyebabkan kram perut, diare, gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan, vertigo, dan muntah
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, gejala apendisitis atau bedahperutakut, pendarahanrektal
Peringatan
Penggunaanjangkapanjangmengakibatkanketidakseimbanganelektrolitdancairan, sertadiare.
KategoriKehamilandanMenyusui
Belumdiketahui. Ibuhamildanmenyusuiharusberkonsultasikepadadoktersebelummenggunakanobatini.
Merekdagang yang tersedia
Dulcolax (kekuatan 5mg dan 10 mg) danStolax (kekuatan 5mg dan 10mg)

2.5.Swamedikasi Penggunaan Suppositoria
Petunjuk Pemakaian Obat Supositoria (Depkes RI, 2007)
1.      Cuci tangan, suppositoria dikeluarkan dari kemasan, suppositoria dibasahi
dengan air.
2.      Sobek bagian kemasan (pembungkus) dari suppositoria
3.      Penderita berbaring dengan posisi miring dan suppositoria dimasukkan ke
dalam rectum
4.      Masukan supositoria dengan cara bagian ujung supositoria didorong denganujung jari sampai melewati otot sfingter rektal; kira-kira ½ - 1 inchi pada bayidan 1 inchi pada dewasa.
5.      Jika suppositoria terlalu lembek untuk dapat dimasukkan, maka sebelum
digunakan sediaan ditempatkan dalam lemari pendingin selama 30 menit
kemudian tempatkan pada air mengalir sebelum kemasan dibuka
6.      Setelah penggunaan suppositoria, tangan penderita dicuci bersih.
7.      Pasien tetap berbaring selama kurang lebih 1 jam agar tidak menyebabkan kegagalan penggunaan obat suppositoria

Skema Penggunaan Suppositoria







·         SEDIAAN OVULA
Pengertian Ovula
Ovula adalah sediaan setengah padat berbentuk bulat telur digunakan untuk obat luar khusus untuk vagina (Depkes RI, 2008). Ovula mudah meleleh dalam suhu tubuhdanmudah melarut. Bahan dasar ovula harus larut dalam air dan dapat meleleh pada suhu tubuh contohnya lemak coklat dan campuran PEG dalam berbagai perbandingan. Bobot uvola adalah 3-6 gram dan pada umumnya adalah 5 gram. Cara penyimpanan ovula adalah disimpan pada wadah tertutup baik dan disimpan di tempat yang sejuk (Syamsuni, 2002).

Kelebihan dari sediaan ovula
·         dapat digunakan untuk obat yang tidak bisa diberikan secara oral, karena gangguan cerna, pingsan dsb.
·         dapat diberikan pada lansia yang susah menelan
·         bisa menghindari first pass effect dihati
Kekurangan dari sediaan ovula
·         daerah absorpsinya lebih kecil
·         absorpsi hanya melalui difusi pasif
·         pemakaian kurang praktis
·         tidak dapat digunakan untuk zat yang rusak pada pH vagina.
CONTOH OBAT OVULA
1.      Vagistin (Nystatin, Metronidazol)

Nystatin adalah obat antijamur yang digunakan untuk mengatasi infeksi jamur Candida pada rongga mulut, tenggorokan, usus,  dan vagina. Dalam meredakan infeksi, nystatin bekerja dengan cara merusak sel jamur dan menghentikan pertumbuhan Candida. Nystatin tersedia dalam 3 bentuk obat, yaitu cairan suspensi, tablet vagina (ovula), dan salep.
2.      Alboltyl Ovula

Alboltyl Ovula mengandung Policresulen, obat yang merupakan hasil pemadatan dari metanal dan asam metakresolsulfonat. Obat ini termasuk antiseptik topikal dan tersedia dalam bentuk ovula (obat yang dimasukkan ke dalam vagina). Setiap 1 ovula mengandung Policresulen 90 mg. Alboltyl bekerja dengan cara menggumpalkan dan melepaskan jaringan yang rusak tanpa mempengaruhi jaringan sehat. Pada pemakaian ke dalam vagina, obat ini dapat membunuh bakteri, jamur, dan parasit di vagina dan mulut rahim.Alboltyl Ovula digunakan untuk radang vagina (vaginitis), radang mulut rahim (servisitis), keputihan karena berbagai sebab, dan luka pada mulut rahim.             

Swamedikasi Cara Penggunaan Ovula
Ada dua cara penggunaan ovula (tablet vagina), yaitu dengan aplikator dan tanpa aplikator
1.      Cara Penggunaan Tablet Vagina Dengan Aplikator

1)      Cuci tangan, pastikan tangan bersih
2)      Keluarkan tablet vagina (ovula) dari pembungkus
3)      Tempatkan tablet ke bagian yang terbuka dari aplikator
4)      Berbaring telentang, tekuk lutut sedikit dan lebarkan paha (lihat gambar)
5)      Sisipkan secara pelan-pelan aplikator berisi tablet ke bagian depan vagina sedalam mungkin, tanpa kekuatan
6)      Tekan ujung aplikator sehingga tablet terlepas
7)      Tarik aplikator
8)      Buang aplikator jika merupakan alat sekali pakai, cucilah kedua bagian aplikator dengan sabun dan air hangat jika bukan merupakan alat sekali pakai
9)      Cuci tangan


 2.      Tablet vagina Tanpa Aplikator
1)      Cuci tangan terlebih dahulu
2)      Buka pembungkus tablet vagina
3)      Celupkan tablet dalam air suam-suam kuku untuk sekadar melembabkan
4)      Berbaring telentang, tekuk lutut dan lebarkan paha (lihat gambar)
5)      Sisipkan secara pelan-pelan tablet ke bagian depan vagian sedalam mungkin, tanpa menggunakan kekuatan
6)     
Cuci tangan 


BAB III
SWAMEDIKASI PENGGUNAAN INHALER
3.1.   Jenis Terapi Inhalasi
 Terapi inhalasi merupakan pilihan terapi pemberian obat dengan tujuan untuk mengontrol atau terapi kondisi akut pada penderita penyakit saluran pernafasan.Terapi inhaler dapat diberikan dengan metered dose inhaler (MDI) atau disebut juga inhaler dengan dosis terukur, dry powder inhaler, dan nebulizer.
1.      Metered Dose Inhaler (MDI) / Inhaler dengan Dosis Terukur
MDI merupakan alat bantu inhaler yang memiliki dosis tertentu pada sekali penggunaannya (dosis terukur). Keuntungan menggunakan MDI antara lain ukuran kecil, mudah dibawa, nyaman, obat langsung mencapai ke targetserangan dapat diatasi dgn cepat dan relatif tidak mahal. Hanya saja biasanya terjadi kesulitan antara koordinasi tangan dan saat menarik napas hingga obat lebih banyak yang tertinggal di orofaring dan hanya sedikit yang mencapai saluran napas bawah.Terkadang penggunaan MDI juga dibantu dengan penggunaan spacer. 
    


                                        Gambar 1. (a) MDI; (b) MDI dengan spacer

Cara menggunakan MDI
a.       Kanister dikocok agar obat tetap homogen
b.      Posisi badan tegak
c.       Lakukan ekspirasi

d.      Mulut inhaler diletakkan diantara bibir, kemudian bibir dirapatkan dan lakukan inspirasi perlahan hingga maksimal
e.       Tekan inhaler ketika inspirasi dalam dan pelan
f.        Teruskan inspirasi sampai maksimal
g.      Tahan napas selama 10 detik pada inspirasi maksimal
h.      Keluarkan napas 

Gambar 2. Tata cara menggunakan MDI

2.      Dry Powder Inhaler (DPI)
DPI merupakan tipe inhaler yang breath-actuated artinya aliran inhalasi pengguna diperlukan untuk menghamburkan bubuk obat.Keuntungan menggunakan DPI antara lain menghilangkan kesalahan akibat kurang mengerti cara pemakaian seperti pada MDI. Saat ini dikembangkan DPI yang tidak memerlukan propelan dan ramah lingkungan.Alat ini merupakan breath-ativated, sehingga tidak diperlukan koordinasi yang maksimal dan pengendapan di paru dapat lebih besar.Alat DPI memiliki 3 bentuk, yaitu rotahaler, diskhaler, dan turbuhaler.

Gambar 3. (a) turbuhaler; (b) diskhaler; (c) rotahaler 

3.      Nebulizer
Nebulizer merupakan alat bantu inhalasi yang lebih kompleks dan umumnya digunakan pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Prinsip nebulizer adalah mengubah obat dalam bentuk larutan menjadi aerosol sehingga dapat dihirup pasien dengan menggunakan mouthpiece atau masker. Nebulizer berbeda dengan MDI dan DPI, nebulizer memiliki kelengkapan alat yang banyak, yaitu generator aerosol, alat bantu inhalasi (kanul nasal, masker, mouthpiece) dan obatnya sendiri.

Gambar 4. Nebulizer

3.2.   Contoh Kasus
Seorang Ibu (Ny. SC) membawa anaknya (DS, 5 tahun) ke dokter spesialis anak. Sang ibu mengatakan anaknya memiliki gejala sering batuk pada malam hari, bunyi mengi saat bernafas, dan kadang-kadang terlihat kesuliatan bernafas setelah bermain dengan temannya. Pada saat berkonsultasi dengan dokter, DS sedang tidak mengalami gejala tersebut.Ny. SC mengatakan bahwa beliau memiliki riwayat penyakit asma, dan ayah sang anak juga memiliki riwayat alergi. Setelah melakukan pemeriksaan, DS didiagnosa memiliki penyakit asma ringan.Dokter meresepkan albuterol inhaler yang digunakan 100mcg 4-6 jam sekali (tergantung pada serangan) untuk penggunaan pada serangan asma mendadak. Dokter juga menyarankan Ibu SC untuk mempelajari apa saja yang menyebabkan DS alergi, dan menghindari segala penyebab alergi DS agar tidak memicu serangan asma. DS juga disarankan untuk beristirahat yang cukup.

3.3.Patofisiologi 

Gambar 5. Patofisiologis Penyakit Asma

Etiologi dan Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas.Berbagai sel inflamasi berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada pasien asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif (hipereaktifitas) jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam dan/atau dini hari.Episodik tersebut berkaitan dengan sumbatan saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.


Gambar 6. Mekanisme Asma

1.   Faktor Risiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host) dan faktor lingkungan.
(a)   Faktor pejamu
Faktor penjamu antara lain predisposisi genetik asma, alergi, hipereaktifitas bronkus, jenis kelamin, dan ras/etnik.
(b)   Faktor lingkungan
Faktor ini terdiri dari dua, yaitu factor yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan /predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma (contohnya: allergen dan polusi di dalam maupun di luar ruangan, seperti allergen hewan dan serbuk bunga, dan asap rokok), dan factor yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan/atau menyebabkan gejala asma menetap (contohnya: allergen dan polusi di dalam maupun di luar ruangan, infeksi pernapasan, olah raga dan hiperventilasi, perubahan cuaca, makanan, obat-obatan, seperti asetil salisilat, ekspresi emosi yang berlebihan)
2.   Gejala
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan.Gejala awal berupa batuk terutama pada malam atau dini hari sesak napas, napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya, rasa berat di dada, dan dahak sulit keluar. Sedangkan gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa, seperti serangan batuk yang hebat, sesak napas yang berat dan tersengal-sengal, sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut), sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk, dan kesadaran menurun .
3.   Diagnosis
Diagnosis asma adalah berdasarkan gejala yang bersifat episodik, pemeriksaan fisiknya dijumpai napas menjadi cepat dan dangkal dan terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada (pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi, karena pasien sudah lelah untuk bernapas).Dan yang cukup penting adalah pemeriksaan fungsi paru, yang dapat diperiksa dengan spirometri atau peak expiratory flow meter.
4.   Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara.Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.
3.4.    Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan Asma adalah mencapai asma terkontrol sehingga penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pada prinsipnya penatalaksanaan asma dibagi menjadi 2, yaitu: penatalaksanaan asma jangka panjang dan penatalaksanaan asma akut atau saat serangan.
1.   Tatalaksana asma jangka panjang
Prinsip utama tatalaksana jangka panjang adalah edukasi, obat asma (pengontrol dan pelega), dan menjaga kebugaran (senam asma).Obat pelega diberikan pada saat serangan, obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus.
2.   Tatalaksana asma akut pada anak dan dewasa
Tujuan tatalaksana serangan asma akut:
ü  Mengatasi gejala serangan asma
ü  Mengembalikan fungsi paru ke keadaan sebelum serangan
ü  Mencegah terjadinya kekambuhan
ü  Mencegah kematian karena serangan asma
Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu medikasi dan pengobatan berdasarkan derajat.
Kriteria asma terkontrol pada anak dan dewasa, yaitu:
1.      Tidak ada gejala atau minimal
2.      Tidak ada serangan asma pada malam hari
3.      Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
4.      Tidak ada pemakaian obat-obat pelega atau minimal
5.      Variasi harian APE (Arus Puncak Ekspirasi) kurang dari 20%
6.      Nilai APE normal atau mendekati normal
7.      Efek samping obat minimal (tidak ada)
8.      Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat
Penyakit asma merupakan penyakit keturunan.Bila salah satu atau kedua orang tua, kakek, atau nenek menderita asma, maka bisa diturunkan ke anak.Penyakit asma juga tidak dapat disembuhkan dan obat-obatan yang ada saat ini hanya berfungsi menghilangkan gejala. Namun, dengan mengontrol penyakit asma, penderita bisa bebas  dari gejala penyakit asma yang mengganggu, sehingga dapat menjalani aktivitas hidup sehari-hari. Mengingat banyaknya faktor risiko yang berperan, maka prioritas pengobatan penyakit asma sejauh ini ditujukan untuk mengontrol gejala.Kontrol yang baik ini diharapkan dapat mencegah terjadinya eksaserbasi (kumatnya gejala penyakit asma), menormalkan fungsi paru, memperoleh aktivitas sosial yang baik dan meningkatkan kualitas hidup pasien.


Algoritma tata laksana asma mandiri di rumah


Algoritma tata laksana asma di fasilitas kesehatan tingkat pertama

Tata Laksana berdasarkan kasus pasien
Obat yang diresepkan yaitu albuterol atau yang lebih dikenal salbutamol (Golongan agonis β2) dengan bentuk sediaan aerosol untuk inhalasi. Obat ini diindikasikan untuk pasien yang mengalami serangan asma akut. Mekanisme golongan agonis β2 adalah stimulasi reseptor  β. Obat simpatomimetik selektif β2 memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi asma.Agonis β2 kerja singkat (seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol, terbutalin) adalah terapi pilihan untuk menghilangkan gejala akut dan bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik.
Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan) yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik.
Monitoring
      Efektivitas
Albuterol à Penurunan frekuensi kekambuhan asma.
      Efek samping
Karena penggunaannya secara inhalasi (lokal), maka efek samping yang umum terjadi adalah mulut berasa pahit dan candidiasis (infeksi  kandida pada mulut).
3.5.      Farmakoterapi
Albuterol/Salbutamol Inhaler

Indikasi
:
Asma dan kondisi lain yang berkaitan dengan obstruksi saluran napas yang reversibel.
Kontra Indikasi
:
Takikardia sekunder dari kondisi jantung, hipersensitivitas
Dosis
:
100-200 mcg (1-2 hirupan). Untuk gejala yang persisten 3-4 kali sehari, anak 100 mcg (1hirupan) dapat dinaikkan menjadi 200 mcg (2 hirupan) bila perlu. Profilaksis untuk bronkospasme akibat latihan fisik, 200 mcg (2 hirupan), anak 100 mcg (1 hirupan)
Efek samping
:
Efek samping dari agonis adrenoseptor beta-2 termasuk tremor (terutama di tangan), ketegangan, sakit kepala, kram otot, dan palpitasi. Efek samping lain termasuk takikardi, aritmia, vasodilatasi perifer, gangguan tidur dan tingkah laku. Bronkospasme paradoksikal, urtikaria, angiodema, hipotensi, dan kolaps juga telah dilaporkan. Agonis adrenoseptor beta-2 menyebabkan hipokalemi pada dosis tinggi. Nyeri dapat terjadi pada pemberian injeksi intramuskular.
Merek Dagang
:
Profentil, Pro Air HFA
Kehamilan dan menyusui
:
Kategori C
(BPOM, 2015)
Beberapa daftar obat wajib apotek (DOWA) untuk penyakit asma sebagai berikut.
No.
DOWA (Obat Asma)
Jumlah Tiap Obat Per Pasien
1.
Aminofilin
Maksimal 20
2.
Ketotifen
Tablet sirup 1 botol
3.
Terbutalin SO4
Maksimal 20
4.
Salbutamol
Maksimal 20
(Menkes RI, 1990)
1.      Aminofilin
Indikasi
:
obstruksi saluran napas reversibel, asma akut berat
Kontra Indikasi
:
Gagal jantung kongestif, hipotiroidism, gagal ginjal pada bayi, penyakit hati, edema paru, kejang.
Dosis
:
Oral 100-300 mg, 3-4 kali sehari sesudah makan
Efek samping
:
takikardia, palpitasi, mual dan gangguan saluran cerna yang lain, sakit kepala, stimulasi sistem saraf pusat, insomnia, aritmia, dan konvulsi terutama bila diberikan melalui injeksi intravena cepat.
Merek Dagang
:
Aminofilin, decafil, erphafillin, phaminov, dsb.
Interaksi
:
Simetidin, propanolol, verapamil, isoniazid, azitromisin, klaritromisin, eritromisin, siprofloksasin, norfloksasin, barbiturat, verapamil, diltiazem, kortikosteroid, metotreksat, fenitoin, ketokonazol, flukonazol, dsb.
(BPOM, 2015)
2.   Ketotifen
Indikasi
:
Profilaksis asma
Kontra Indikasi
:
Hipersensitivitas, gangguan hati dan ginjal, glaukoma, epilepsi.
Dosis
:
1 mg 2 kali sehari waktu makan, bila perlu dinaikkan menjadi 2 mg 2 kali sehari; terapi awal pada pasien yang sudah tersedasi 0,5-1 mg malam; Anak di atas 2 tahun 1 mg 2 kali sehari.
Efek samping
:
mengantuk, mulut kering, pusing; stimulasi SSP, dilaporkan kenaikan berat badan
Merek Dagang
:
intifen, profilas, tosma, zaditen
Interaksi
:
Antidiabetik oral
(BPOM, 2015)
3.   Terbutalin Sulfat
Indikasi
:
Asma dan kondisi lain yang berkaitan dengan obstruksi saluran napas yang reversibel.
Kontra Indikasi
:
Takikardia sekunder dari kondisi jantung, hipersensitivitas
Dosis
:
oral: 2,5 mg 3 kali sehari selama 1-2 minggu, kemudian dinaikkan menjadi 5 mg 3 kali sehari. Anak: 75 mcg/kg bb 3 kali sehari, 7-15 tahun 2,5 mg 2-3 kali sehari
Efek samping
:
Efek samping dari agonis adrenoseptor beta-2 termasuk tremor (terutama di tangan), ketegangan, sakit kepala, kram otot, dan palpitasi. Efek samping lain termasuk takikardi, aritmia, vasodilatasi perifer, gangguan tidur dan tingkah laku. Bronkospasme paradoksikal, urtikaria, angiodema, hipotensi, dan kolaps juga telah dilaporkan. Agonis adrenoseptor beta-2 menyebabkan hipokalemi pada dosis tinggi. Nyeri dapat terjadi pada pemberian injeksi intramuskular.
Merek Dagang
:
Asmabet, astherin, bricanyl, bricasma, lasmalin, dsb.
Interaksi
:
Teofilin, glikosida jantung, kortikosteroid, diuretik kuat, metildopa.
(BPOM, 2015)
3.6.   Cara Penggunaan Inhaler
Jika tiba-tiba gejala asma kambuh, lakukan tiga hal utama berikut.Yang pertama adalah segera keluarkan inhaler jenis pereda dan isap sebanyak 1 atau 2 kali. Setelah itu, lakukan langkah kedua dengan cara duduk tenang dan cobalah bernapas secara stabil. Apabila gejala asma masih belum mereda, maka lakukan langkah ketiga dengan cara mengisap inhaler Anda kembali sebanyak 2 kali (atau hingga 10 kali jika diperlukan) tiap dua menit sekali.
Apabila seluruh langkah tersebut tetap tidak meredakan gejala asma dan Anda khawatir kondisi bisa menjadi lebih buruk, maka segera telepon ambulans atau minta orang-orang di sekeliling Anda untuk membawa Anda ke rumah sakit.Sebelum Anda benar-benar mendapatkan penanganan rumah sakit, ulangi terus langkah ketiga.
Berikut adalah tatacara penggunaan inhaler yang benar :
1.      Lepaskan tutup inhaler kemudian kocok.
2.      Hembuskan nafas Anda
3.      Tarik nafas sambil memencet inhaler
4.      Tahan nafas Anda selama 10 detik
5.      Perlahan, hembuskan kembali nafas Anda


Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan inhaler adalah dengan menjaga kebersihannya.Penting untuk menjaga inhaler tetap bersih, terutama pada bagian mouthpiece.
Berikut beberapa langkah yang dapat membantu Anda menjaga kebersihan inhaler.
1.      Lepaskan kaleng logam dari inhaler (jika inhaler Anda adalah metered-dose).
2.      Pastikan tidak ada benda yang menyumbat area tersebut.
3.      Bilas dengan air hangat hanya pada mouthpiece dan tutupnya.
4.      Biarkan mengering secara alami sepanjang malam (Jangan gunakan kain untuk mengelapnya hingga kering).
5.      Di pagi hari, pasang kembali kaleng logam ke dalamnya. Pasang tutupnya.
6.      Jangan bilas bagian lainnya.



BAB IV
SWAMEDIKASI PENGGUNAAN TETES MATA
4.1.      Konjungtivitis
Konjungtivitis yang juga dikenal sebagai mata merah, adalah salah satu keluhan oftalmik yang paling umum yang dilihat oleh dokter umum. Konjungtiva yang meradang adalah penyebab paling umum mata merah. Berikut adalah algoritma diagnosis banding menentukan pengobatan atau kebutuhan yang tepat untuk rujukan:
Gambar algoritma diagnosis banding konjungtivitis
(Chisholm-Burns et al, 2008).
a.       Konjungtivitis bakteri
1)      Etiologi
Sebagian besar kasus konjungtivitis bersifat viral. Untuk konjungtivitis bakteri akut, penyebabnya adalah organisme grampositive. Patogen primer pada konjungtivitis bakteri akut adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Haemophilus influenzae. Staphylococcus, Moraxella, atau bakteri oportunistik lainnya biasanya menyebabkan konjungtivitis kronis. Konjungtivitis bakteri akut dan kronis bersifat self-limiting kecuali jika disebabkan oleh staphylococci. Karena ini, patogen jarang dikulturkan kecuali jika kasusnya tidak responsif terhadap pengobatan. Sementara infeksi biasanya dimulai pada satu mata, seringkali akan menyebar ke keduanya dalam waktu 48 jam. Konjungtivitis bakteria akut berhubungan dengan infeksi gonococcal pada pasien yang aktif secara seksual. Agen penyebabnya adalah Neisseria gonorrhoeae atau N. meningitidis. Diperlukan persiapan dan perawatan yang cepat, karena perforasi kornea terjadi pada 10% kasus dalam waktu 48 jam. Dokter mata harus menyelesaikan tes pengikisan dan pengujian kerentanan konjungtiva.
(Chisholm-Burns et al, 2008).
2)      Pengobatan
Pemilihan agen antibiotik untuk konjungtivitis bakteri akut sebagian besar empiris. Perlakuan awal harus mencakup cakupan Staphylococcus, tetapi juga dapat dipilih berdasarkan biaya dan profil efek samping. Secara umum, salep adalah bentuk sediaan yang baik untuk anak-anak. Orang dewasa lebih suka tetes karena mereka tidak mengganggu penglihatan. Larutan Trimetoprim / polymyxin B, polimiksin B dengan salep bacitracin, atau salep eritromisin merupakan terapi lini pertama yang efektif biaya. Aminoglikosida (tobramycin, neomycin, dan gentamicin) adalah alternatif tetapi memiliki cakupan gram positif yang tidak lengkap. Aminoglikosida dapat menyebabkan toksisitas epitel kornea. Neomycin sering menyebabkan reaksi alergi. Tobramycin adalah yang terbaik  ditoleransi dari kelas tetapi juga yang paling mahal. Sulfacetamide 10% tetes menunjukkan peningkatan resistensi. Jika infeksi berulang, gunakan fluoroquinolone topikal seperti ofloxacin, ciprofloxacin, norfloxacin, gatifloxacin, moxifloxacin, atau levofloxacin. Fluoroquinolone tidak digunakan pada lini pertama untuk konjungtivitis karena memiliki cakupan Streptococcus yang buruk dan mahal. Pengembangan resistansi juga menjadi perhatian dengan fluoroquinolones. Mengobati konjungtivitis bakteri hyperacute dengan dosis tunggal 1 g ceftriaxone intramuskular dalam kombinasi dengan antibiotik topikal. Pasien dengan konjungtivitis bakteri kronis sering memiliki kasus bersamaan blepharitis. Tambahkan rejimen kebersihan tutup untuk pengobatan antibiotik topikal.
(Chisholm-Burns et al, 2008).


Gambar Algoritma pengobatan konjungtivitis bakteri
(Chisholm-Burns et al, 2008).

b.      Konjungtivitis Viral
1)      Etiologi
Penyebab paling umum dari konjungtivitis virus adalah adenovirus. Hal ini sering disebut "mata merah." Infeksi konjungtivitis virus mudah menyebar melalui kolam renang dan jari-jari yang terkontaminasi dan instrumen medis. Pasien sering datang dengan infeksi saluran pernapasan atas atau paparan baru-baru ini terhadap konjungtivitis virus. Sementara infeksi dimulai di satu mata, itu akan menyebar ke kedua mata 50% dari waktu. Konjungtivitis virus biasanya sembuh sendiri, memburuk setelah 4 sampai 7 hari tetapi kemudian sembuh dalam 2 sampai 4 minggu. Lima persen pasien tetap menular 16 hari setelah munculnya gejala.
(Chisholm-Burns et al, 2008).
2)      Pengobatan
a)      Terapi Nonfarmakologis
Tindakan nonfarmakologis sangat penting untuk mencegah penyebaran konjungtivitis virus. Pasien tidak boleh berbagi handuk atau benda yang terkontaminasi lainnya, harus menghindari kontak dekat dengan orang lain dan menghindari berenang selama 2 minggu. Virus ini tetap hidup pada permukaan kering selama lebih dari 2 minggu. Hati-hati dalam pengaturan medis untuk benar-benar mendekontaminasi instrumen dan mencuci tangan. Pasien dapat memperoleh bantuan bergejala dengan menggunakan kompres dingin dan air mata buatan. Jika larutan air mata buatan menyengat, rekomendasikan formula bebas pengawet.
(Chisholm-Burns et al, 2008).
b)      Terapi farmakologis
Antiviral topikal tidak digunakan untuk mengobati konjungtivitis adenovirus. Antibiotik topikal sering diresepkan untuk konjungtivitis virus, seolah-olah untuk mencegah superinfeksi bakteri. Kenyataannya, ini adalah kasus pasien yang memaksakan obat untuk mempercepat penyembuhan. Hindari penggunaan antibiotik untuk infeksi virus. Menghilangkan penggunaan antibiotik berlebihan juga membantu mencegah perkembangan resistensi antibiotik. Jika pasien memiliki infiltrasi subepitelial yang berat, steroid topikal mungkin diperlukan. Namun, steroid topikal dapat menyebabkan komplikasi mata yang serius dan dapat memperburuk konjungtivitis herpes, yang memiliki gejala mirip dengan konjungtivitis virus. Selain itu, periode penularan virus dapat diperpanjang hingga 50% oleh prednisolon topikal. Hanya dokter mata yang harus meresepkan steroid topikal.
(Chisholm-Burns et al, 2008).
c)      Evaluasi Hasil
Rujuk pasien yang tidak mengalami peningkatan dalam 7 hingga 10 hari ke dokter mata untuk menyingkirkan herpes dan proses infeksi lainnya. Jika rasa sakit atau fotofobia terjadi, curigai keterlibatan kornea dan rujuk pasien. Ini biasanya terjadi 10 hingga 14 hari setelah onset konjungtivitis (Chisholm-Burns et al, 2008).
c.       Konjungtivitis alergi
1)      Etiologi
Alergi mata adalah istilah luas yang mencakup beberapa penyakit dengan gejala gatal, sering disertai dengan robek, pembengkakan konjungtiva, dan hidung tersumbat. Alergi okular musiman adalah tipe konjungtivitis alergi yang paling umum. Ini adalah hipersensitivitas yang dimediasi IgE terhadap serbuk sari atau alergen udara lainnya. Seringkali, riwayat pasien positif untuk kondisi atopik seperti rinitis alergi, asma, atau eksim. Konjungtivitis alergi tahunan memiliki gejala yang serupa tetapi kurang berat dan mungkin tidak terikat pada waktu tertentu dalam setahun. Akhirnya, obat-obatan konjungtivitis adalah alergi kontak dengan obat topikal, seringkali antibiotik.
(Chisholm-Burns et al, 2008).

2)      Patofisiologi
Konjungtiva mata sering merupakan tempat pertama kontak dengan lingkungan alergen. Degranulasi sel sel terjadi, menghasilkan pelepasan mediator. Mediator yang paling awal adalah histamin, yang menyebabkan gatal, kemerahan, dan pembengkakan. Leukotrien dan prostaglandin menyebabkan peningkatan sekresi lendir dan seluler infiltrasi bersama dengan chemosis, menghasilkan vasodilatasi konjungtiva. Sel mast juga melepaskan sitokin, kemokin, dan faktor pertumbuhan yang memicu proses inflamasi. Pengobatan alergi okuler ditujukan untuk memperlambat atau menghentikan proses-proses ini. Antihistamin memblokir reseptor histamin dan beberapa mencegah produksi histamin dan / atau menghambat pelepasan mediator dari sel mast. Stabilisator sel mast menghambat degranulasi sel mast, mencegah pelepasan mediator. Beberapa agen topikal memiliki beberapa mekanisme aksi, menggabungkan antihistaminic, stabilisasi sel mast, dan sifat antiinflamasi.
(Chisholm-Burns et al, 2008).
3)      Pengobatan
a)      Terapi Nonfarmakologis
Perawatan utama adalah menghilangkan dan menghindari alergen. Untuk obat-obatan konjungtivitis, hentikan obat-obatan yang mengganggu. Terapkan kompres dingin tiga hingga empat kali sehari untuk mengurangi kemerahan dan gatal dan untuk meredakan gejala (Chisholm-Burns et al, 2008).
b)      Terapi farmakologis
Gunakan pendekatan langkah perawatan untuk pengobatan konjungtivitis alergi. Langkah pertama adalah larutan air mata buatan non-obat. Larutan mencairkan atau menghilangkan alergen, memberikan bantuan saat melumasi mata. Larutan diterapkan dua hingga empat kali sehari sesuai kebutuhan. Salep dapat digunakan di malam hari untuk melembabkan permukaan mata lebih jauh. Jika air mata buatan tidak mencukupi, langkah pengobatan kedua adalah antihistamin topikal atau kombinasi antihistamin / dekongestan. Kombinasi antihistamin / dekongestan lebih efektif daripada hanya agen saja. Dekongestan adalah vasokonstriktor yang mengurangi kemerahan dan tampaknya memiliki efek sinergis yang kecil dengan antihistamin. Satu-satunya dekongestan topikal yang digunakan dalam produk kombinasi adalah naphazoline. Dekongestan topikal membakar dan menyengat pada instilasi dan biasanya menyebabkan midriasis, terutama pada pasien dengan mata berwarna lebih terang. Penggunaan jangka panjang menyebabkan rebound kongesti atau conjunctivitis medicamentosa. Penggunaan dekongestan topikal harus dibatasi kurang dari 10 hari. Antihistamin topikal direkomendasikan sebelum obat oral dalam terapi karena peningkatan risiko efek samping sistemik dengan obat oral. Selain itu, antihistamin topikal memberikan bantuan lebih cepat dari gejala okular. Pertimbangkan antihistamin oral ketika gejala sistemik hadir. Jika bantuan tidak cukup diperoleh dari produk-produk ini, baik stabilisator sel mast atau agen multi-tindakan adalah tepat. Gunakan stabilisator sel mast secara profilaksis sepanjang musim alergi. Respons penuh bisa memakan waktu 4 hingga 6 minggu. Jika stabilisator sel mast atau agen multi-aksi tidak berhasil, percobaan OAINS topikal adalah tepat. Ketorolac adalah satu-satunya agen topikal yang disetujui untuk gatal mata. NSAID tidak menutupi infeksi mata, mempengaruhi penyembuhan luka, meningkatkan tekanan intraokular, atau berkontribusi terhadap pembentukan katarak seperti kortikosteroid topikal. Namun, untuk konjungtivitis alergi, ketorolak topikal tidak seefektif olopatadine atau emedastine dalam uji coba. Efikasi penuh ketorolak membutuhkan waktu hingga 2 minggu. Jika semua jalan ini tidak efektif, kortikosteroid topikal jangka pendek dan imunoterapi adalah perawatan lini ketiga untuk alergi okular.
(Chisholm-Burns et al, 2008).
c)      Evaluasi Hasil
Pantau pasien untuk menghilangkan gejala. Pastikan percobaan yang memadai dari agen. Jika tidak ada perbaikan yang terlihat, ikuti pendekatan perawatan langkah demi langkah. Rujuk kasus-kasus berat yang tidak menanggapi dokter mata untuk kortikosteroid topikal jangka pendek.



Gambar dosis dan efek samping yang umum terjadi pada pengobatan ocular allergy
(Chisholm-Burns et al, 2008)

4.2.   Contoh Kasus Konjungtivitis
Pasien laki-laki (10 tahun) mengeluh kelopak mata bengkak (hilang setelah di kompres dingin) dan matanya merah sudah satu hari dan mengganggu aktivitas sehari-hari (bermain dan belajar). Pasien juga mengeluh tidurnya tidak nyenyak karena kedua mata terasa gatal, dan pagi hari saat bangun tidur terdapat kotoran mata, serta mata juga terasa tidak nyaman seperti ada pasir, terkadang keluar cairan bening dan air mata. Sebelumnya pasien memiliki riwayat keluhan yang sama 3 bulan lalu dan diberikan obat tetes mata oleh dokter (pasien lupa nama obat yang diberikan). Pasien memiliki riwayat alergi debu, jika terkena debu , maka pasien akan mengeluh gatal dan merah pada hidungnya disertai bersin-bersin. Ibu pasien memiliki riwayat alergi debu. Nadi pasien 110 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu tubuh 36,60C. Dokter mendiganosis ODS Konjungtivitis akut ec suspek alergi. Pengobatan yang diberikan dokter:
·         Vernacel tetes mata 3x1 tetes/hari
·         Xitrol tetes mata 3x1 tetes/hari
·         Lyteers tetes mata 3x1 tetes/hari
Pemeriksaan Lokal Mata
Pemeriksaan
OD (Oculus Dexter)
OS (Oculus Sinister)
Visus
Lebih dari 3/60
Lebih dari 3/60
Palpebra
Hiperemi (+)
Edema (+)
Hiperemi (+)
Edema (+)
Konjungtiva
Hiperemi (+)
Secret mukoserous (+)
Papilla (+)
CVI (+)
Hiperemi (+)
Secret mukoserous (+)
Papilla (+)
CVI (+)
Sclera
Normal
Normal
Kornea
Jernih
Jernih
Bilik mata depan
Normal
Normal
Iris/Pupil
Bulat, reguler
Bulat, reguler
Refleks pupil
Positif
Positif
Lensa
Jernih
Jernih
Tes fluoresin
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan



4.3.      Penyelesaian Kasus
Penyelesaian : Metode SOAP
a.      Subjek
Jenis kelamin                    : Laki-laki
Umur                                : 10 tahun
Keluhan                             : Mata merah, bengkak, terasa gatal, tidak nyaman seperti ada pasir, mata berair, terdapat kotoran mata pada pagi hari.
Riwayat penyakit             : Keluhan yang sama 3 bulan lalu, Alergi debu
Riwayat pengobatan        : obat tetes mata (pasien lupa nama obat) à3 bulan lalu
Riwayat keluarga             : Ibu memiliki alergi debu
b.      Objektif
Nadi         : 110 kali/menit
Respirasi   : 20 kali/menit
Temperature : 36,60C
Pemeriksaan Lokal :
Pemeriksaan
OD (Oculus Dexter)
OS (Oculus Sinister)
Visus
Lebih dari 3/60
Lebih dari 3/60
Palpebra
Hiperemi (+)
Edema (+)
Hiperemi (+)
Edema (+)
Konjungtiva
Hiperemi (+)
Secret mukoserous (+)
Papilla (+)
CVI (+)
Hiperemi (+)
Secret mukoserous (+)
Papilla (+)
CVI (+)
Sclera
Normal
Normal
Kornea
Jernih
Jernih
Bilik mata depan
Normal
Normal
Iris/Pupil
Bulat, reguler
Bulat, reguler
Refleks pupil
Positif
Positif
Lensa
Jernih
Jernih
Tes fluoresin
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

c.       Assessment
-          Dilihat dari hasil pemeriksaan lokal, pasien mengalami konjungtivitis (peradangan konjungtiva) pada mata kanan dan kiri yang disebabkan oleh allergenàKonjungtivitis Alergi
-          Pasien diberikan 3 jenis tetes mata yaitu vernacel (napazolin sebagai antihistamin), xitrol (sebagai pencegahan komplikasi infeksi sekunder), dan lyteers (sebagai pelumas untuk mengatasi iritasi mata dan memberikan rasa nyaman)
d.      Plan
-          Disarankan bagi pasien untuk menghindari faktor allergen, menjaga hygiene mata, dan istirahat (bed rest)
-          Disarankan untuk memberitahu orang tua pasien supaya menjaga kebersihan atau higienitas disekitar pasien
-          Memberitahu orang tua pasien untuk tidak lupa memberikan obat tepat waktu dan membantu memberikan obat tetes mata pada pasien dikarenakan pasien seorang anak laki-laki yang berumur 10 tahun (dikhawatirkan pasien takut untuk melakukan sendiri)
-          Terapi non farmakologi : kompres dingin untuk mengurangi peradangan
Pelayanan Swamedikasi
1.      Urutan Pemberian Obat
Apoteker menjelaskan urutan obat yang digunakan kepada orang tua pasien
§  Lyteers : obat yang pertama diberikan kepada pasien, karena berperan untuk membersihkan mata, memberikan rasa nyaman dan mengatasi iritasi mata
§  Vernacel : obat yang diberikan setelah Lyteers, merupakan obat vasokontriksi-antihistamin untuk mengatasi mata merah dan gatal-gatal.
§  Xitrol : obat yang terakhir diberikan setelah Lyteers dan Vernacel. Xitrol berperan sebagai antibakteri untuk mencegah komplikasi infeksi sekunder.
2.      Cara Penggunaan Obat Tetes Mata
1)      Cuci Tangan, sebelum meneteskan OTM (obat tetes mata ) pastikan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir bertujuan untuk mencegah terjadi kontaminasi
2)      Cek selalu kemasan OTM ada cacat pada kemasan atau tidak, dan ingat bahwa mulut tempat keluar obat adalah bagian yang steril sehingga pastikan tangan yang dicuci tidak mengenai bagian tersebut
3)      Posisikan tubuh berbaring atau kepala mendongak (pilih posisi yang paling nyaman), buka mata lebar-lebar, arahkan pandangan mata ke atas
4)      Tarik kelopak mata bawah sebelum meneteskan obat dengan satu atau dua jari sehingga membentuk kantong tempat meneteskan obat.
5)      Dengan menggunakan tangan lain, pegang OTM dan posisikan ujung pipet atau mulut tempat obat keluar berjarak 2,5 cm dari mata. Pencet perlahan OTM agar dosis obat yang keluar tidak berlebih. Hati-hati agar mulut tempat obat keluar tidak menyentuh appaun karena dapat terkontaminasi kuman
6)      Tutup mata, jangan berkedip diamkan selama 2-3 menit agar mata dapat menyerap obat
7)      Jika OTM yang digunakan lebih dari satu jenis OTM, maka berikan jarak lima menit sebelum menggunakan OTM yang lain
Cara Penggunaan Salep Mata
1.      Ujung tube salep jangan tersentuh oleh benda apapun (termasuk mata).
2.      Cuci tangan, kepala ditengadahkan, dengan jari telunjuk kelopak mata bagian bawah ditarik ke bawah untuk membuka kantung konjungtiva, tube salep mata ditekan hingga salep masuk dalam kantung konjungtiva dan mata ditutup selama 1-2 menit. Mata digerakkan ke kiri-kanan, atas-bawah.
3.      Setelah digunakan, ujung kemasan salep diusap dengan tissue bersih (jangan dicuci dengan air hangat) dan wadah salep ditutup rapat.
4.      Cuci tangan untuk menghilangkan obat yang mungkin terpapar pada tangan.

 (Depkes RI, 2007).

4.4.    Mata Kering
a.         Patofisiologi
Permukaan okular dan kelenjar mata yang mengeluarkan air mata sekarang diketahui berfungsi sebagai unit terpadu. Unit ini menyegarkan pasokan air mata dan membersihkan air mata yang digunakan. Sebuah loop refleks saraf otonom menstimulasi sekresi cairan air mata dan protein oleh kelenjar lakrimal. Sensitivitas permukaan okular menurun ketika produksi air mata dan pembersihan air mata menurun. Hal ini menyebabkan penurunan reflek terangsang sensorik yang memperparah mata kering. Seiring waktu, memakai lensa kontak juga menurunkan daya sensitif kornea dengan stimulasi konstan. Disfungsi mungkin disebabkan oleh penuaan, penyakit inflamasi sistemik, penurunan hormon androgen, pembedahan, penyakit permukaan okular (seperti herpes zoster), penyakit sistemik, atau obat yang mempengaruhi saraf kolinergik eferen. Penurunan sekresi air mata menghasilkan respon inflamasi pada permukaan okular yang disebut keratoconjunctivitis sicca.
(Chisholm-Burns et al, 2008).

(Chisholm-Burns et al, 2008).

b.      Pengobatan
1)         Terapi Nonfarmakologi
Pertimbangkan untuk menambahkan humidifier di area yang rendah kelembaban. Jadwalkan istirahat reguler dari kerja komputer atau membaca. Turunkan layar komputer ke bawah tingkat mata untuk mengurangi bukaan tutup. Evaluasi penggunaan obat dan lakukan penggantian terapeutik pada obat-obatan yang tidak memperparah mata kering. Kacamata bisa mengurangi penguapan air mata. Jika terapi farmakologis dan lainnya tidak cukup, oklusi punctal atau tarsorrhaphy lateral bisa menjadi pilihan. Oklusi Punctal adalah penyumbatan situs drainase punctal dengan colokan kolagen (sementara) atau Silastic (permanen). Jahitan tarsorrhaphy lateral menutupi bagian tepi kelopak mata untuk mengurangi hilangnya air mata yang menguap. Prosedur ini dicadangkan untuk kasus mata kering yang parah akibat penyakit lain.
(Chisholm-Burns et al, 2008).
2)         Terapi farmakologis
Terlepas dari penyebabnya, pengobatan utama untuk mata kering adalah air mata buatan. Air mata buatan menambah lapisan air mata secara topikal dan memberikan bantuan. Jika seorang pasien menggunakan air mata buatan lebih dari empat kali sehari, rekomendasikan formulasi bebas pengawet. Formulasi bebas pengawet juga tepat jika pasien mengembangkan alergi terhadap pengawet mata. Air mata buatan tersedia dalam bentuk gel, salep, dan emulsi yang memberikan durasi lega yang lebih lama dan memungkinkan pemberian instilasi yang lebih jarang. Penggunaan salep tepat pada waktu tidur. Agen anti-inflamasi dapat digunakan bersama dengan air mata buatan. Satu-satunya agen yang disetujui adalah emulsi siklosporin. Diberikan secara topikal, diduga bertindak sebagai imunomodulator parsial yang menekan peradangan okular, tetapi mekanisme pastinya tidak diketahui. Emulsi siklosporin meningkatkan produksi air mata pada beberapa pasien. Penggunaan kortikosteroid topikal untuk jangka pendek (misalnya, 2 minggu) dapat menekan peradangan dan gejala iritasi mata. Agonis kolinergik oral pilocarpine dan cevimeline digunakan untuk pasien dengan kombinasi mata kering dan mulut kering (mis., Sindrom Sjögren) atau mata kering yang parah. Dengan mengikat reseptor muskarinik, agonis kolinergik dapat meningkatkan produksi air mata.
(Chisholm-Burns et al, 2008).

3)         Evaluasi Hasil
·         Pantau pasien untuk menghilangkan gejala
·         Secara berkala menilai kembali kepatuhan dan pemahaman pasien terhadap penyakit tersebut
·         Mungkin diperlukan waktu 6 minggu sebelum perbaikan terlihat dengan terapi pilocarpine
·         Terapi siklosporin membutuhkan waktu hingga 6 bulan untuk keberhasilan penuh
·         Jika pasien mengalami kehilangan penglihatan, nyeri sedang atau berat, ulserasi kornea, atau kurangnya respons terhadap terapi, rujuk pasien ke dokter spesialis mata untuk evaluasi cepat.
                                                            (Chisholm-Burns et al, 2008).

4.5.   Contoh KasusKeratoconjungtivitis Sicca
A.                Kasus
            Tuan Z 45 tahun, seorang supir truck mengeluh sakit mata sejak dua hari yang lalu setelah mengantarkan material dari toko bangunan. Tutur pasien matanya terasa panas, seperti berpasir dan mengaku penglihatannya sedikit buram. Diujung kelopak mata kanan pasien juga nampak merah seperti peradangan. Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat dan debu. Dokterpun mendiagnosis keratoconjungtivitis sicca dan diberi obat Restasis (cyclosporine)
B.        Penyelesaian : Metode SOAP
a)      Subjek
Jenis kelamin               : Laki-laki
Umur                           : 45 tahun
Keluhan                       : matanya terasa panas, seperti berpasir, penglihatannya sedikit buram. Diujung kelopak mata kanan pasien juga nampak merah seperti peradangan.
Riwayat penyakit        : -
Riwayat Pengobatan   : -
Riwayat keluarga        : -
b)      Objektif
·         Selain keluhan diatas, pasien tidak meliliki sakit yang lain
·         Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat ataupun debu
c)      Assessment
·         Jika dilihat dari keluhan, dokter mendiagnosa keratoconjungtiviti sicca (penyakit mata kering)
·         Diberikan dua kali sehari dalam rentang waktu 12 jam 1-2 tetes (cyclosporine berfungsi untuk mengurangi radang dan meningkatkan jumlah air mata yang diproduksi oleh mata. Siklosporin merupakan mediator imunosupresif)
d)      Plan
·         Disarankan agar pasien tersebut beristirahat dahulu untuk beberapa waktu.
·         Tidak menggosok mata yang sakit dan kemudian menyentuh mata yang sehat.
·         Mencuci tangan setelah setiap kali memegang mata yang sakit.
Terapi non-farmakologi :
Ø  Menggunakan kain lap, handuk, dan sapu tangan baru yang terpisah untuk membersihkan mata yang sakit.
Ø  Kompres dengan air dingin agar mengurangi peradangan
B.                 Pelayanan Swamedikasi
1)         Pemberian obat
·      Restasis (cyclosporine) obat ini berfungsi untuk mengurangi radang dan meningkatkan jumlah air mata.
2)         Cara penggunaan obat tetes mata
·      Cyclosporine, obat ini diteteskan pada mata dua kali sehari dalam rentang waktu 12 jam atau sesuai anjuran dokter
·      Sebelum meneteskan obat ini, cucilah tangan anda terlebih dahulu. Untuk menghindari kontaminasi, jangan menyentuh ujung botol atau mata Anda. Sebelum diteteskan, pastikan obat tetes telah dikocok. Obat tetes ini berwarna putih susu.
·      Miringkan kepala anda ke belakang sambil melihat ke atas, lalu tarik kelopak bawah mata Anda sehingga terbentuk kantung. Teteskan 1 tetes obat tepat di atas kantung sambil melihat ke bawah kemudian tutup mata Anda selama 1 sampai 2 menit. Jangan berkedip atau menggosok mata Anda.
·      Jika Anda memakai lensa kontak, lepaskanlah terlebih dahulu sebelum meneteskan obat ini dan jangan dipakai lagi sampai 15 setelah obat diteteskan.
·      Jika Anda ingin meneteskan obat mata lain, harap tunggu selama 15 menit kemudian setelah obat ini diteteskan.


BAB V
SWAMEDIKASI PENGGUNAAN TETES TELINGA
5.1.      Anatomi Telinga
Telinga merupakan organ yang berfungsi sebagai indera pendengaran dan fungsi keseimbangan tubuh. Telinga sebagai indera pendengar terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar,telinga tengah dan telinga dalam. Struktur anatomi telinga seperti diperlihatkan.

Anatomi Telinga

5.2.            Patofisiologi Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran dapat meliputi telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.Telinga luar mempunyai fungsi untuk mengumpulkan dan menghantarkangelombang bunyi ke struktur- struktur telinga tengah. Gangguan pada telinga luardi daerah liang telinga.
1.        Penutupan Telinga
Penggunaan penutup telinga, topi, helm ataupun pakaian yang menutuptelinga dapat menyebabkan gangguan transmisi bunyi untuk masuk menujutelinga tengah dan dalam sehingga menimbulkan gangguan fungsi pendengaranyang sifat tidak permanen.
2.        Serumen
Merupakan kelenjar sekret kelenjar sebasea dan apokrin yang terdapatpada bagian kartilaginosa liang telinga. Pada keadaan normal serumen terdapatdi sepertiga luar liang telinga. Serumen mempunyai fungsi sebagai saranapengangkut debris epitel kontaminan untuk dikeluarkan dari membaranatimpani, serumen sebagai pelumas dan dapat mencegah kekeringan danpembentukan fisura pada epidermis. Serumen memiliki dua tipe konsistensinyayang bersifat basah yang bersifat dominan sehingga terlihat basah, lengket danberwarna madu yang dapat mengubah warna menjadi gelap bila terpapar danbiasanya banyak terjadi pada ras Kaukasia dan tipe konsistensi serumen kering,bersisik dan terdapat pada ras Mongoloid.
Serumen yang membentuk gumpalan yang menumpuk di liang telinga
dapat menimbulkan gangguan pendengaran berupa tuli konduktif. Terutamaketika telinga masuk air sewaktu mandi dan berenang, serumen akan menjadimengembang dan menimbulkan rasa yang tertekan dan dapat terjadi gangguanpada pendengaran.
3.        Otitis Eksterna
Merupakan radang telinga akut maupun kronis yang dapat disebabkan
oleh infeksi bakteri, jamur dan virus. Faktor yang dapat mempermudahterjadinya radang pada telinga luar adalah perubahan pH di liang telinga.Normal pH pada liang telinga asam, jika terdapatnya pH yang berubah menjadibasa karena proteksi terhadap infeksi menurun. Pada keadaan udara yangsangat hangat dan lembab, kuman dan jamur akan mempermudah untukmenjadi tumbuh di liang telinga.
4.        Otitis Media
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dantanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemikdapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual,muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Padapemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003).
5.3. Tatalaksana
Pengobatan OMA tergantung dari stadium penyakitnya. Pada stadium oklusi pengobatan diutamakan untuk membuka kembali tuba Eustachius, untuk itu diberikan dekongestan nasal (HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak < 12 tahun, dan HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik bagi yang berumur > 12 tahun) (Djaafar et.al, 2015).
Untuk pengobatan infeksinya diberikan antibiotika untuk. Sesuai prevalensi organisme penyebab otitis media akut, maka terapi terpilihnya adalah amoksisilin (80 – 90 mg/kg BB/hari) yang dibagi dua dosis untuk 10 hari. Terapi terpilih lainnya ialah penisilin. Bila pasien alergi terhadap penisilin, dapat diberikan eritromisin (40 mg/kg BB/hari). Pada stadium hiperemis pengobatan diberikan antibiotika, analgetika untuk nyeri, serta dekongestan nasal dan antihistamin atau kombinasi keduanya (Alberta Medical Assosiation, 2008).
Pada stadium supurasi disamping diberikan terapi seperti pada stadium hiperemis, idealnya harus disertai dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi gejalagejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari (Djaafar et.al, 2015).
Pada stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang terlihat sekret keluar secara berdenyut(pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotika adekuat.Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7–10 hari. Harus dihindarkan masuknya air ke dalam liang telinga sampai penyembuhan sempurna, karena dapat disertai kontaminasi mikroorganisme (Djaafar et.al, 2015).
Pada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membrana timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu.Bila 3 minggu setelah pengobatan sekret masih tetap banyak ,kemungkinan telah terjadi mastoiditis (Djaafar et.al, 2015).
Obat-obatan lain yang sering digunakan untuk mengobati OMA (Ramakrishnanet.al, 2007) :


5.4. Swamedikasi
Penggunaan obat tetes telinga yang benar adalah sebagai berikut:
·         Bersihkan telinga dengan lap basah kemudian keringkan
·         Hangatkan obat tetes telinga dengan cara menggeggam di tangan
·         Jika bentuk sediaan berupa suspensi kocok dahulu sekitar sepuluh detik
·         Periksa apakah pipet penetes tidak tersumbat
·         Tarik obat dengan menggunakan pipet sesuai dosis yang dianjurkan
·         Miringkan telinga yang dikehendaki atau berbaringlah
·         Jangan sentuhkan ujung pipet dengan bagian telinga
·         Teteskan jumlah obat yang dikehendaki dan goyang-goyang telinga dengan perlahan untuk memasukkan obat yang diteteskan
·         Tutup telinga dengan kapas untuk beberapa saat agar obat tidak keluar (Depkes RI, 2007).



BAB VI
SWAMEDIKASI PENGGUNAAN KONTRASEPSI DAN MINI PIL
Kontrasepsi Oral Progesteron (KOP)
Kontrasepsi oral progesteron (KOP) memiliki angka kegagalan yang lebih tinggi daripada Kontrasepsi Oral Kombinasi (KOK). Kontrasepsi oral progesteron (KOP) merupakan alternatif kontrasepsi hormonal bagi wanita yang tidak dapat menerima estrogen, termasuk pasien dengan riwayat trombosis vena. KOP ini cocok untuk wanita lansia, perokok berat, penderita hipertensi, kelainan katup jantung, diabetes melitus, atau migrain. Dengan KOP ini ketidakteraturan pola haid lebih sering terjadi pada awal penggunaannya tapi akan teratasi setelah penggunaan jangka panjang.Semua KOP (termasuk bentuk injeksi) dapat digunakan sebagai alternatif dari KOK sebelum pelaksanaan pembedahan besar, seperti pembedahan pada kaki atau pembedahan yang mempengaruhi immobilisasi jangka panjang lengan bawah.
a.      Interaksi
Efektivitas KOP tidak dipengaruhi oleh antibakteri yang tidak menginduksi enzim hati. Tetapi efektivitas KOP dikurangi oleh obat penginduksi enzim, sehingga dianjurkan menggunakan metode kontrasepsi alternatif atau tambahan selama penggunaan obat atau 4 minggu setelah penghentian obat.
b.      Cara Penggunaan
Mulai pemberian 1 tablet perhari, dimulai hari pertama siklus dan diminum pada waktu yang sama setiap hari (jika terlupa minum lebih dari 3 jam, daya lindung obat hilang). Tidak perlu tambahan kontrasepsi saat memulai minum obat. Setelah melahirkan, mulai setelah 3 minggu melahirkan (meningkatkan breakthrough bleeding jika diberikan lebih awal), tidak mempengaruhi menyusui. Bila 1 pil terlupa, segera makan saat disadari, dan lanjutkan jadwal yang biasa. Bila terlambat 3 jam makan pil, maka daya lindung pil hilang. Lanjutkan makan pil, tetapi jangan lakukan sanggama selama 7 hari berikutnya atau gunakan kondom.
c.       Efek Samping
Muntah dalam waktu 2 jam setelah pemberian kontrasepsi oral atau terjadi diare yang sangat berat dapat mengganggu absorpsi. Diperlukan kontrasepsi tambahan selama muntah/diare dan 2 hari setelah sembuh. Selain itu efek samping yang umum terjadi adalah perubahan suasana hati, sakit kepala, mual, sakit pada perut, nyeri pada payudara dan peningkatan berat badan
Pil KB Kombinasi
a.         Cara Penggunaan
Di pasaran dikenal 2 jenis pil KB yaitu pil dengan kemasan 21 dan pil dengan kemasan 28. Pil dengan kemasan 21 membutuhkan jeda waktu 7 hari tanpa minum pil sebelum pengguna pil meneruskan minum pil dari kemasan yang baru. Pil dengan kemasan 28 tdak membutuhkan jeda waktu 7 hari tanpa minum pil sebelum pengguna pil meneruskan minum pil dari kemasan yang baru.
Minum pil harus dimulai pada saat menstruasi, untuk menjamin bahwa tdak sedang terjadi kehamilan pada wanita tersebut. Pil pertama yang diminum pada kemasan 28 haruslah pil yang ditandai dengan bagian yang diarsir pada bagian belakang kemasan tablet. Untuk menghindarkan wanita terlupa minum pil, sangat dianjurkan untuk minum pil pada jam yang sama setap hari sesuai dengan hari dan mengikut tanda panah yang ada pada bagian belakang kemasan tablet. Sangat dianjurkan untuk minum pil pada waktu yang sama setap harinya, agar perlindungan terhadap kehamilan dapat dimaksimalkan.
b.        Apabila Terlupa
·           Lupa minum 1 pil: minum pil yang terlupa segera setelah teringat, dan minum pil berikutnya sesuai jadwal. Contoh: pasien terbiasa minum pil jam 9 malam, dan baru teringat jam 7 pagi keesokan harinya. Maka dianjurkan segera minum pil yang terlupa pada jam 7 pagi, dan pada jam 9 malam minum pil sepert biasa.
·           Lupa minum 2 pil: minum 2 pil yang terlupa segera setelah teringat, dan hari berikutnya minum 2 pil lagi. Selanjutnya minum pil sesuai jadwal. Contoh: pasien terlupa minum pil pada hari Kamis dan Jum’at. Maka pada hari Sabtu saat teringat, dianjurkan untuk segera minum 2 pil jatah hari Kamis dan Jumat. Pada hari Minggu, sesuai jadwal, minum 2 pil jatah hari Sabtu dan Minggu. Hari Senin dan seterusnya minum pil sepert biasa. Jika pasien melakukan hubungan seksual dalam waktu 7 hari setelah terlupa minum pil, jangan lupa menggunakan kondom
·           Lupa minum 1 atau 2 pil pada saat sisa pil pada kemasan tablet kurang dari 7: minum pil yang terlupa segera setelah teringat, selanjutnya dianjurkan minum pil sepert biasa, tetapi pada saat pil di kemasan tersebut habis:
·           Jika pasien minum pil kemasan 21: segera lanjutkan minum pil dari kemasan baru tanpa jeda 7 hari
·           Jika pasien minum pil kemasan 28: buang 7 pil pertama yang pada bagian belakang kemasannya diarsir dari kemasan baru dan lanjutkan minum pil yang bagian belakang kemasannya tdak diarsir dari kemasan baru. Jika melakukan hubungan seks dalam waktu 7 hari setelah terlupa minum pil, dianjurkan jangan lupa gunakan kondom.
Mini Pil
a.         Cara Penggunaan
Cara penggunaan mini pil ini adalah dengan diminum terus-menerus tanpa ada 7 hari jeda. Bagi ibu yang ingin memberikan air susu eksklusif, dianjurkan memulai minum mini pill pada minggu keenam setelah melahirkan. Sedangkan bagi ibu yang tdak memberikan air susu eksklusif atau memberikan susu formula bersama dengan ASI, maka dianjurkan mulai minum pil sejak minggu ketga setelah melahirkan. Jika melakukan hubungan seksual pada rentang waktu 48 jam pertama setelah meminum mini pill, dianjurkan untuk menggunakan kondom. Seperti halnya pil, mini pill juga sangat dianjurkan diminum pada jam yang sama setap harinya
b.        Apabila Terlupa
·           1 tablet: jika kurang dari 3 jam, dianjurkan segera minum pil
yang terlupa. Tablet berikutnya diminum sepert biasa.
·           1 tablet dan baru teringat lebih dari 3 jam kemudian, atau
terlupa minum lebih dari 1 tablet : dianjurkan minum pil terakhir yang terlupa, dan dosis selanjutnya diminum sepert biasa. Hal ini bisa berart minum 2 tablet dalam satu hari. Jika melakukan hubungan seks pada rentang waktu 48
jam pertama setelah meminum mini pill, dianjurkan untuk menggunakan kondom.
·           3 tablet atau lebih: kemungkinan telah terjadinya kehamilan harus dipertmbangkan sebelum memutuskan untuk meneruskan minum mini pill.
Efek Samping Pil KB
Beberapa efek samping kontrasepsi oral diantaranya flek (pendarahan antar periode menstruasi), bobot badan meningkat, bercak hitam di wajah (chloasma), payudara kencang dan sakit, serta mual. Selain itu beberapa penelitan yang dilakukan beberapa tahun terakhir dilaporkan bahwa terdapat risiko efek samping tromboembolisme vena pada penggunaan jangka panjang kontrasepsi oral kombinasi. Namun risiko ini tdak lebih tnggi dibandingkan risiko terjadinya tromboembolisme vena pada kehamilan.
Tromboembolisme vena merupakan suatu kondisi yang umumnya diakibatkan bekuan darah pada vena dalam bagian paha atau panggul. Jika bekuan darah tersebut terlepas dalam sirkulasi darah, maka dapat menghalangi aliran darah ke paruparu (emboli paru) dengan konsekuensi yang fatal. Faktor risiko untuk penyakit tromboembolisme vena antara lain usia lanjut, merokok, obesitas, dan kehamilan.
Terkait dengan efek samping yang mungkin muncul, maka kontrasepsi oral tdak disarankan sebagai kontrasepsi pada wanita yang: mempunyai riwayat serangan jantung atau stroke mengalami penggumpalan darah di kaki atau paru-paru (Deep Vein Thrombosis (DVT) atau pulmonary embolism) mempunyai riwayat nyeri dada (angina pektoris) mempunyai riwayat atau risiko kanker payudara, kanker rahim atau kanker leher rahim. mengalami pendarahan tanpa diketahui penyebabnya mempunyai gangguan hat berusia > 35 tahun yang juga perokok.

BAB VII
SWAMEDIKASI PENGGUNAAN ENEMA

Cara Penggunaan Enema Laksatif (Microlax®)
·         Pasien harus dalam posisi berbaring dengan posisi tubuh menghadap ke samping
·         Buka penutup enema
·         Pencet tubenya sedikit agar sejumlah kecil isinya keluar
·         Oleskan pada bagian luar dari pipa aplikatornya
·         Masukkan sepertiga bagian pipa ke dalam anus
·         Tekan tube tersebut agar seluruh isinya keluar
·         Cabut kembali pipa dari anus tanoa melepaskan tekanan pada tube

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. 2008. ISO Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan: Jakarta.
American Academy of Ophthalmology. 2013. Guidelines Conjungtivitis. San Fransisco: Academy's H. Dunbar Hoskins Jr.
American Optometric Association. 2002. Optometric Clinical Practice Guideline Care of The Patient With Conjunctivitis. USA
Azari, Amir A and Neal P. Barney. 2014. Conjuctivitis : A Systemic Review of Dignosis and Treatment. Available at https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4049531/ (Diakses pada tanggal 18 Oktober 2018)
Alberta Medical Assosiation. 2008. Guideline For The Diagnosis And Management Of Acute Otitis Media. Edmonton : TOP Program.
Buchman, C.A., 2003. Infection of The Ear. In: Lee, K.J., ed. EssentialOtolaryngology Head and Neck Surgery. 8thed. USA: McGraw-HillCompanies, Inc., 462-51
BPOM RI. 2015, IONI, diakses  pada 15 Oktober 2018, <http://pionas.pom.go.id/>.
BPOMRI.Bisakodil.PusatInformasiObatNasionalBadanPengawasObatdanMakanan[Online]. Diakses pada tanggal 18 Oktober 2018,http://pionas.pom.go.id/monografi/bisakodil
BPOM RI. 2018. Petunjuk Praktis Penggunaan Obat. Tersedia di http://pionas.pom.go.id/ioni/lampiran-6-petunjuk-praktis-penggunaan-obat-yang-benar/petunjuk-praktis-penggunaan-obat (Diakses pada tanggal 18 Oktober 2018).
Chisholm-Burns, Marie; B.G. Wells; T.L. Schwinghammer; P.M. Malone; et al. 2008. Pharmacotherapy Principles & Practice. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Coticchia, JM., et al., 2013. New Paradigms in The Pathogenesis of Otitis Mediain Children. Frontiers in Pediatrics, 1 (52): 1–7.
Depkes RI. 2007. Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian di Sarana Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. 2008. Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan Dan Keterampilan Memilih Obat Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional.
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R. D., Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D. 2015. Buku AjarIlmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Ketujuh.Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Depkes RI. 2007. Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas. Jakarta: Bina Farmasi Komunitas dan Klinik.
Depkes RI. 2006. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta : Depkes RI.
Depkes RI. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. 
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik.
Endyarni, Bernie, dan Badriul Hegar Syarif. 2004. Sari Pediatri. Vol. 6(2): 75-80.
Fauzi. 2011. Swamedikasi Pengobatan Sendiri. Available online at www.faikshare.com. [diakses pada  tanggal 7 oktober 2018].
Hello Sehat. 2018. Cara Pakai Inhaler dengan Benar. diakses pada 15 Oktober 2018, <https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/ppok/cara-pakai-inhaler/> .
Insani, Maulidia Laela.,dkk. 2017. Karakteristik dan Manajemen Konjungtivitis Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Indera Denpasar Periode Januari-April 2014. E-Jurnal medika Vol.6.
Johnston, L.2012. Keratoconjunctivitis sicca (dry eye). J Cell Mol Med, 79(1) :33-37.
Menteri Kesehatan RI. 1990. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 347/Menkes/SK/VII/1990 Tentang Obat  Wajib Apotik Menteri Kesehatan.
Medscape.Bisacodyl rectal (OTC). Medscape Reference Drug, Diseases & Procedures [Online]. Diakses pada tanggal 18 Oktober 2018, https://reference.medscape.com/drug/fleet-bisacodyl-enema-suppository-bisacodyl-rectal-999325#0
Pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI (2007,2013). InfoDatin-asma.
Ramakrishnan, Kalyanakrishnan., Rhonda Sparks.,and Wayne E. Berryhill. 2007. Diagnosis and Treatment of Otitis Media. American Family Physician, Vol 76(11):1650-1658.
Shanker, et al., 2002. Swamedikasi Cara-Cara Mengobati Gangguan Sehari-haridengan Obat-Obat Bebas Sederhana. Malang : Bayu Media.
Sianipar, Nicholas B. 2015. Konstipasi Pada Pasien Geriatri. Continuing Medical Education. Vol. 42 (8). p 572-576.
Silverman, Sallan. (2004). Buku Saku Dokter Anak. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Syamsuni, H.A. 2002. Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.

1 komentar:

michelle mengatakan...


bingung pulang kerja tidak tahu mau mengerjakan apa
ayo di tunggu apa lagi segera bergabung dengan kami
di i/o/n/n/q/q kami tunggu lo ^^

Posting Komentar