MAKALAH
PENGUJIAN SEDIAAN INFUS
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Farmasi Industri
pada Program Profesi Apoteker
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
FAKULTAS
FARMASI
2018
Infus
adalah sediaan steril, dapat berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen, sedapat
mungkin isotonis dengan darah, disuntikkan langsung ke dalam vena dalam volume
yang relatif besar. Infus intravena harus jernih dan praktis bebas partikel
(The Departement of Health, Social Service and Public Safety, 2002 – British
Pharmacope 2009). Kecuali dinyatakan lain, infus intravena tidak boleh
mengandung bakterisida atau dapar (Lachman, 1993).
Persyaratan
yang harus dipenuhi dalam pembuatan infus intravena, yaitu:
1. Sediaan
steril berupa larutan atau emulsi (Departemen Kesehatan RI, 1995).
2. Bebas
pirogen (Departemen Kesehatan RI, 1995).
3. Sedapat
mungkin dibuat isotonis dan isohidris terhadap darah.
4. Infus
intravena tidak mengandung bakterisida dan zat dapar.
5. Larutan
untuk infus intravena harus jernih dan praktis bebas partikel.
6. Volume
netto/volume terukur tidak kurang dari nilai yang ada pada etiket sediaan.
7. Memenuhi
persyaratan lain yang tertera pada injeksi. Kecuali dinyatakan lain, syarat
injeksi meliputi:
·
Keseragaman volume
·
Keseragaman bobot
·
Pirogenitas
·
Sterilitas
·
Penyimpanan dalam wadah dosis tunggal
·
Penandaan: etiket menyatakan konsentrasi
mosmol total dalam satuan mosmol/L (Departemen Kesehatan RI, 1995).
Evaluasi
Fisika
1. Uji
Bahan Partikulat dalam Injeksi (suplemen FI IV, 1533-15)
Tujuan:
Menghitung
partikel asing subvisibel dalam rentang ukuran tertentu.
Prinsip:
Prosedurnya
dengan cara memanfaatkan sensor penghamburan cahaya, jika tidak memenuhi batas
yang ditetapkan maka dilakukan pengujian mikroskopik. Pengujian mikroskopik ini
menghitung bahan partikulat subvisibel setelah dikumpulkan pada penyaring
membran mikropori.
Hasil:
·
Penghamburan
cahaya: hasil perhitungan jumlah total butiran baku yang terkumpul pada
penyaring harus berada dalam batas 20% dari hasil perhitungan partikel kumulatif
rata-rata per mL.
·
Mikroskopik:
injeksi memenuhi syarat jika partikel yang ada (nyata atau menurut perhitungan)
dalam tiap unit tertentu diuji melebihi nilai yang sesuai dengan yang tertera
pada FI.
2. Penetapan
pH
(Suplemen FI IV, hlm. 1572-1573)
Alat:
pH meter
Tujuan:
Mengetahui
pH sediaan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan
Prinsip:
Pengukuran
pH cairan uji menggunakan potensiometri (pH meter) yang telah dibakukan
sebagaimana mestinya yang mampu mengukur harga pH sampai 0,02 unit pH
menggunakan elektrode indikator yang peka, elektrode kaca, dan electrode pembanding
yang sesuai.
Hasil:
pH sesuai
dengan spesifikasi formulasi sediaan yang ditargetkan.
3. Uji
Kejernihan:
Uji
kejernihan untuk larutan steril adalah dengan menggunakan latar belakang putih dan
hitam di bawah cahaya lampu untuk melihat ada tidaknya partikel viable.
4. Uji
Kebocoran
(Goeswin Agoes, 2009, 191-192)
Tujuan:
Memeriksa
keutuhan kemasan untuk menjaga sterilitas dan volume serta kestabilan sediaan.
Prinsip:
Untuk cairan
bening tidak berwarna (a) wadah takaran tunggal yang masih panas setelah
selesai disterilkan dimasukkan ke dalam larutan metilen biru 0,1%. Jika ada wadah
yang bocor maka larutan metilen biru akan masuk ke dalam karena perubahan tekanan
di luar dan di dalam wadah tersebut sehingga larutan dalam wadah akan berwarna
biru.
Untuk cairan
yang berwarna (b) lakukan dengan posisi terbalik, wadah takaran tunggal ditempatkan
diatas kertas saring atau kapas. Jika terjadi kebocoran maka kertas saring atau
kapas akan basah.
Hasil:
Sediaan
memenuhi syarat jika larutan dalam wadah tidak menjadi biru (prosedur a) dan
kertas saring atau kapas tidak basah (prosedur b)
5. Uji
Kejernihan dan Warna
(Goeswin Agoes, 2009, 201-203)
Tujuan:
Memastikan
bahwa setiap larutan obat suntik jernih dan bebas pengotor
Prinsip:
Wadah-wadah
kemasan akhir diperiksa satu persatu dengan menyinari wadah dari samping dengan
latar belakang hitam untuk menyelidiki pengotor berwarna putih dan latar
belakang putih untuk menyelidiki pengotor berwarna.
Hasil:
Memenuhi
syarat bila tidak ditemukan pengotor dalam larutan.
Evaluasi
Kimia
Prosedur
evaluasi kimia harus mengacu terlebih dahulu pada data monografi sediaan (dibuku
Farmakope Indonesia atau buku kompendial lain)
1.
Identifikasi
2.
Penetapan
Kadar
Evaluasi
Biologi
1. Uji
Sterilitas
(suplemen FI IV, 1512-1519)
Tujuan:
Menetapkan
apakah sediaan yang harus steril memenuhi syarat berkenaan dengan uji
sterilitas seperti tertera pada masing-masing monografi.
Prinsip:
Menguji
sterilitas suatu bahan dengan melihat ada tidaknya pertumbuhan mikroba pada
inkubasi bahan uji menggunakan cara inokulasi langsung atau filtrasi secara
aseptik. Media yang digunakan adalah Tioglikonat
cair dan Soybean Casein Digest
Hasil:
Memenuhi
syarat jika tidak terjadi pertumbuhan mikroba setelah inkubasi selama 14 hari.
Jika dapat dipertimbangkan tidak absah maka dapat dilakukan uji ulang dengan
jumlah bahan yang sama dengan uji aslinya.
6. Uji
Endotoksin Bakteri
(suplemen FI IV, 1527-1532)
Tujuan:
Mendeteksi
atau kuantisasi endotoksin bakteri yang mungkin terdapat dalam suatu sediaan.
Prinsip:
Pengujian
dilakukan menggunakan Limulus Amebocyte
Lysate (LAL). Teknik pengujian dengan menggunakan jendal gel dan
fotometrik.
Teknik
Jendal Gel pada titik akhir reaksi dibandingkan langsung enceran dari zat uji
dengan enceran endotoksin yang dinyatakan dalam unit endotoksin FI.
Teknik
fotometrik (metode turbidimetri) yang didasarkan pada pembentukan kekeruhan.
Hasil:
Bahan
memenuhi syarat uji jika kadar endotoksin tidak lebih dari yang ditetapkan pada
masing-masing monografi.
7. Uji
Pirogen
untuk volume sekali penyuntikan > 10 mL (FI IV, 908-909)
Tujuan:
Untuk membatasi resiko reaksi demam
pada tingkat yang dapat diterima oleh pasien pada pemberian sediaan injeksi.
Prinsip:
Pengukuran
kenaikan suhu kelinci setelah penyuntikan larutan uji secara IV dan ditujukan
untuk sediaan yang dapat ditoleransi dengan uji kelinci dengan dosis
penyuntikan tidak lebih dari 10 mL/kg bb dalam jangka waktu tidak lebih dari 10
menit.
Prosedur:
Penyiapan Endotoksin dan LAL
a. Penyiapan Endotoksin
Standar kontrol endotoksin
yang tersedia adalah 2500 EU/vial. Sebanyak 10 mL LAL Reagent Water dimasukkan
ke dalam vial endotoksin sehingga diperoleh endotoksin 250 EU/mL. Kemudian
dilakukan pengenceran endotoksin sebagai berikut :
1.
Endotoksin 25
EU/mL
Sebanyak 1 mL endotoksin 250 EU/mL ditambah dengan 9
mL LAL Reagent Water (LRW).
2.
Endotoksin 2,5
EU/mL
Sebanyak 1 mL endotoksin 25 EU/mL ditambah dengan 9 mL
LRW.
3.
Endotoksin 0,5
EU/mL
Sebanyak 1 mL endotoksin 2,5 EU/mL ditambah dengan 4
mL LRW.
b.
Penyiapan LAL
Pereaksi LAL yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Pyrotell® LAL Single Test Vial yang hanya
dapat digunakan untuk sekali pakai. Sensitivitas dari LAL ini adalah sebesar
0,25 EU/mL. Vial yang berisi LAL dapat langsung digunakan untuk menguji
endotoksin dalam sediaan injeksi natrium klorida yang telah dibuat.
Prosedur Metode Gel-Clot
a. Kontrol positif
Penelitian dilakukan di dalam Laminar
Air Flow (LAF). Pyrosol® Reconstitution Buffer dimasukkan ke dalam
larutan endotoksin 0,5 EU/mL sebanyak 2-3 tetes sampai diperoleh pH dengan
rentang 6-8 . Kemudian larutan endotoksin yang telah ditambah buffer diambil
sebanyak 0,2 mL menggunakan mikropipet dan dimasukkan ke dalam Pyrotell® LAL Single
Test Vial (STV). Campuran dalam vial dikocok menggunakan pencampur vortex
selama 1-2 detik, kemudian vial dimasukkan ke dalam inkubator dan
diinkubasi pada suhu 37±1oC selama 60±2 menit.
b.
Kontrol Negatif
Pyrosol® Reconstitution
Buffer dimasukkan ke dalam LAL Reagent Water (LRW) sebanyak 2-3
tetes sampai diperoleh pH dengan rentang 6-8 . Kemudian LRW yang telah diberi buffer
diambil sebanyak 0,2 mL menggunakan mikropipet dan dimasukkan ke dalam
Pyrotell® LAL Single Test Vial. Campuran dalam vial dikocok menggunakan
pencampur vortex selama 1-2 detik, kemudian vial dimasukkan ke dalam
inkubator dan diinkubasi pada suhu 37±1oC selama 60±2 menit.
c.
Pengujian Sediaan
Injeksi Intravena
(Syah, dkk., 2009).
Hasil:
Setiap
penurunan suhu dianggap nol. Sediaan memenuhi syarat bila tak seekor kelinci
pun dari 3 kelinci menunjukkan kenaikan suhu 0,5° atau lebih. Jika ada kelinci
yang menunjukkan kenaikan suhu 0,5° atau lebih lanjutkan pengujian dengan
menggunakan 5 ekor kelinci. Jika tidak lebih dari 3 ekor dari 8 ekor kelinci
masing-masing menunjukkan kenaikan suhu 0,5° atau lebih dan jumlah kenaikan
suhu maksimum 8 ekor kelinci tidak lebih dari 3,3° sediaan dinyatakan memenuhi
syarat bebas pirogen.
8.
Penetapan
Potensi Antibiotik (khusus
jika zat aktif antibiotik) (suplemen FI IV, 1519-1527)
Aktivitas
(potensi) antibiotik dapat ditunjukkan pada kondisi yang sesuai dengan efek
daya hambatnya
terhadap mikroba.
Tujuan:
Untuk
memastikan aktivitas antibiotik tidak berubah selama proses pembuatan larutan
dan menunjukkan daya hambat antibiotik terhadap mikroba.
Prinsip:
Penetapan
dengan lempeng silider atau “cawan” dan penetapan dengan cara “tabung” atau
turbidimetri.
Hasil:
Potensi
antibiotik ditentukan dengan menggunakan metode garis lurus transformasi log
dengan prosedur penyesuaian kuadrat terkecil dan uji linieritas.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope
Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Halaman 173-174; 519-521; 1044.
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Suplemen
I Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Lachman,
Leon. 1993. Pharmaceutical Dosage Forms:
Parenteral Medications. Volume 2, 2nd edition. New York: Marcell
Dekker Inc.
Goeswin,
A. 2009. Sediaan Farmasi Steril. Bandung:
Penerbit ITB.
Syah,
I.S.K., W. Sohadi dan C. Yessy. 2009. Uji Endotoksin Sediaan Injeksi Intravena
Natrium Klorida Dengan Metode Gel-Clot. Farmaka.
7: 1.
The
Department of Health, Social Service and Public Safety. British Pharmacopoeia. 2002. London. Halaman 1889.
0 komentar:
Posting Komentar