Jumat, 01 Mei 2020

DISKUSI KELOMPOK "VALUE MANAGEMENT"


DISKUSI KELOMPOK

 


 VALUE MANAGEMENT’

 


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Farmasi

pada Program Studi Profesi Apoteker










PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2018


 


1           Bagaimana praktek kefarmasian di Indonesia sekarang ini? Berhubungan dengan kejadian PCC






Paracetamol Caffein Carisoprodol (PCC) merupakan tablet yang mengandung zat aktif Carisoprodol, dimana zat tersebut memiliki efek samping kehilangan keseimbangan, sakit kepala yang berlebih sampai denyut jantung tidak stabil, kejang-kejang, pingsan, hingga kematian. Mulanya pil PCC bukan tergolong narkotika, bahkan awalnya memang diproduksi untuk digunakan sebagai penenang, pelemas otot, maupun obat jantung.

Menyalahgunakan kemampuan profesi apoteker untuk produksi obat tanpa izin BPOM sama sekali tidak dibenarkan.  Produksi obat-obatan terlarang maupun ilegal dilarang oleh negara, dibawah pengawasan BPOM. Paracetamol caffein carisoprodol (PCC) pada kasus tersebut sebagian diracik sendiri oleh 2 orang pelaku pengedar yang berprofesi sebagai apoteker dan asisten apoteker. Para pelaku melakukan proses retabletasi yakni dari yang awalnya tablet lalu dihancurkan, kemudian dibentuk kembali dengan memadukan dua zat, yaitu acetaminophen dan carisoprodol. Acetaminophen biasanya didapati dalam obat pengurang rasa nyeri atau paracetamol dengan bahan aktif dalam obat PCC. Adapun secara aturan, bahan aktif acetaminophen tidak dilarang, tetapi pelaku menambahkan reaksi obat tersebut dengan mencampurnya bersama obat carisoprodol yang telah dilarang sejak tahun 2013.

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang berbunyi:

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.

(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.

(3)  Pemerintah berwenang mencabuti izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau kemanfaan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”.

Maraknya peredaran berbagai jenis obat keras beberapa waktu terakhir membuat kalangan apoteker menjadi sorotan negatif. Ditambah lagi semakin tersebarnya penjualan obat ilegal yang mudah ditemukan di pasaran. Melalui PP 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, peran apoteker secara konkret sudah didefinisikan dengan gamblang. Menurut PP tersebut praktik apoteker di komunitas atau di apotek adalah memberikan pelayanan obat dengan resep dokter dan pemberian informasi obat pada pasien. Dengan aktifitas tersebut, apoteker diharapkan lebih fokus untuk memberikan pharmaceutical care agar pasien mendapatkan outcome yang optimal dari obat dan pengobatan yang diperoleh. Sebagai pemeran utama usaha pelayanan kefarmasian, kewajiban apoteker juga telah diatur dengan jelas dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, yaitu:

·         Selalu berbuat baik dalam melakukan pekerjaan

·         Menjamin mutu barang yang diproduksi dan diperjualbelikan dimana

ketentuan standar mutu barang atau jasa telah ditetapkan;

·         Informasi yang diberikan merupakan informasi yang benar dan akurat serta diberikan secara jelas dan jujur;

·         Berlaku sopan dalam melayani konsumen;

·         Memberikan jaminan atas barang yang dibuat atau diperjualbelikan; memberikan ganti rugi atas kerugian akibat dari penggunaan barang atau jasa yang diperjualbelikan.



Dalam menanggapi penyalahgunaan obat seperti PCC, peran apoteker yang kami rangkum adalah sebagai berikut:

a.          Melakukan Pekerjaan Kefarmasian secara Professional dan Bertanggungjawab

Professionalitas dan tanggungjawab apoteker meliputi tiga hal berikut:

·         Tidak melayani penjualan obat keras bagi pembeli yang tidak memiliki resep dokter, utamanya yang terkait dengan obat-obatan jenis psikotropika dan narkotika.

·         Harus hadir sesuai dengan jam praktik yang ditentukan.

·         Menjalankan seluruh aturan yang berlaku di pelayanan kefarmasian sesuai standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Permenkes No 73 tahun 2016.

Apabila para apoteker telah melakukan praktek yang bertanggungjawab sesuai peraturan yang berlaku dengan mengikuti standar pembelian pada perusahaan resmi atau distributor resmi, dapat dipastikan apotek tersebut akan terhindar dari obat yang ilegal dan kuliatasnya dapat terjamin.



b.         Memerangi Obat Ilegal

Salah satu caranya adalah dengan mengedukasi masyarakat tentang penggunaan obat yang baik dan benar, mengenalkan peran apoteker yang bertanggungjawab untuk menjamin keamanan konsumsi obat, dan sebagainya. Diantara informasi yang bisa diberikan adalah: DAGUSIBU, ikon yang dibuat oleh IAI dalam rangka mensosialisasi penggunaan obat yang benar melalui Gerakan Keluarga Sadar Obat.

Pertama, DA yaitu dapatkan obat di tempat yang benar, agar terjamin manfaatnya, keamanannya dan kualitasnya. Benar di sini dalam arti legalitasnya ada, misal apotek, rumah sakit, toko obat berijin, apotek klinik, dan sebagainya. Saat menerima obat, pastikan ada nomor registrasi obat, masih tersegel rapat, dan pastikan obat tidak rusak serta tidak kadaluwarsa.

Kedua, GU adalah gunakanlah obat sesuai dengan indikasinya (diagnosa penyakit), sesuai dosisnya, sesuai aturan pakainya, dan sesuai cara pemberiannya. Gunakan obat sesuai indikasi medis yang sesuai dengan yang ditetapkan oleh dokter, jangan menggunakan obat tidak sesuai dengan indikasi medisnya. Karena obat adalah racun, yang indikasi medis dan dosisnya tidak sesuai maka obat itu tidak akan berefek terapi dan malah menjadi racun.

Ketiga, SI ialah simpan obat sesuai suhu yang tertulis di kemasan, kecuali bila harus disimpan secara khusus. Aada obat yang harus disimpan di suhu kamar, ada obat yang harus terhindar matahari, ada obat yang harus disimpan dibawah 20 derajat, dan ada obat yang harus disimpan dibawah 8 derajat atau dibawah 2 derajat.

Keempat, BU yaitu membuang obat juga ada tata caranya. Obat dibuang, dikarenakan sudah rusak atau kadaluwarsa, sehingga tidak dapat lagi digunakan. Membuang obat tidak boleh  sembarangan, membuang obat sembarangan dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, oknum tertentu, atau dimanfaatkan oleh orang awam.

Informasi tersebut disampaikan juga saat World Pharmacist Day atau Hari Apoteker Sedunia yang jatuh setiap 25 September sebagai ajang untuk kembali menata diri dan meningkatkan profesionalisme. 

Adapun praktek kefarmasian saat ini menjadi lebih diawasi BPOM dan kepolisisan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga harus diperkuat, bukan hanya pengawasan administratif, namun di lapangan juga harus ditingkatkan. BPOM harus bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan untuk memastikan obat yang masuk ke tanah air aman dikonsumsi masyarakat.

Disamping itu, terjadinya distribusi sediaan farmasi impor dan ilegal-carisoprodol yang diketahui telah dilarang sejak tahun 2013 baik dalam bentuk tunggal maupun kombinasi, menandakan masih lemahnya pengawasan terhadap obat ilegal. Bahan baku produksi PCC diketahui diperoleh dari India dan Cina (Republika, 2017). Hal ini menunjukkan perlunya dilakukan  peningkatan pengawasan pada titik-titik jalur masuk sediaan farmasi impor, seperti di pelabuhan, bandara, ataupun perbatasan. Termasuk titik-titik distribusi obat seperti PBF pusat, cabang hingga apotek. Pengawasan pada titik-titik tersebut diharapkan dapat meminimalisir masuknya sediaan farmasi impor yang illegal sehingga kasus penyalahgunaan obat seperti PCC tidak terulang kembali



2           Keterampilan manajemen apa yang dibutuhkan untuk menunjang perkembangan peran farmasis dalam meningkatkan pelayanan terhadap konsumen dan hasil terapi obat?



a.          Peningkatan Manajemen Supplay Chain

Supplay chain merupakan sistem rantai pasok dari barang setelah diproduksi di industri sampai ke tangan konsumen. Supplay chain yang baik haruslah mengikuti kaidah CDOB, dimana tidak ada resiko masuknya obat ilegal di masyarakat. Supplay chain yang baik adalah supplay chain yang dimulai dari produk akhir industri ke PBF lalu ke Apotek atau sarana kesehatan yang membutuhkan obat. Supplay chain yang buruk adalah supplay chain yang tidak memperhatikan dimana obat itu didapatkan melainkan hanya memenuhi kebutuhan obat yang illegal, yaitu obat yang tidak sesuai dengan kaidah CDOB, yang tidak jelas keaslian, keamanan, dan khasiatnya. Apoteker sebagai garda terdepan yang dimulai dari proses produksi hingga pelayanan harus memotong rantai obat illegal melalui program-program yang sesuai agar peredaman obat illegal yang berbahaya dapat dikurangi atau diberantas.



b.         Peningkatan Manajemen Komunikasi dalam Pelayanan Informasi Obat dan Terapi Obat Tercapai Secara Tepat

Penyalahgunaan obat seperti pada kasus PCC yaitu dimana orang-orang memanfaatkan efek samping dari pemakaian obat tersebut dengan dosis berlebih yang dengan sengaja membuat efek tidak diinginkan menjadi ada Salah satu hal yang dapat meminimalisir kejadian ini adalah dengan memberikan pelayanan informasi obat kepada konsumen untuk mencapai hasil terapi pengobatan yang baik dan tepat. Salah satunya adalah dengan meningkatkan pengetahuan (knowledge) dari seorang apoteker dan asisten apoteker. Banyaknya pengetahuan mengenai suatu obat, yaitu dimulai dari bentuk sediaan, dosis, cara penggunaan, indikasi, mekanisme kerja obat dan lain-lain, dapat meningkatkan pelayanan seorang farmasis kepada konsumen. Contohnya saat pemberian informasi obat kepada pasien dengan pengetahuan yang dimiliki, kita dapat menjelaskan kepada pasien secara baik hal-hal mengenai obat tersebut, sehingga meningkatkan kepercayaan pasien serta menambah pengetahuan pasien tentang terapi pengobatan yang benar itu seperti apa dan dapat meminimilasir kesalahan pemakaian obat pada pasien. Sehingga seorang farmasis dapat memberikan obat sesuai indikasi, dosis pemakaian yang tepat dan juga cara penggunaan obat yang tepat, contoh (berapa kali dalam sehari obat itu digunkan, waktu penggunaan sesudah atau sebelum makan, jumlah obat yang harus di gunakan dan lain-lain yang terkait cara penggunaan obat). Sehingga harapan dari terapi pengobatan dari suatu obat dapat tercapai dan memberikan hasil yang maksimal yaitu kesembuhan pasien.



c.          Peningkatan Manajemen Skill dalam Praktek Kefarmasian Apoteker

Berdasarkan data penelitian (Mulyagustina, 2017) pada Kota Jambi, sebanyak 48% apoteker bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kesehatan,  BPOM,  Rumah Sakit dan Puskesmas sedangkan 52% Non-PNS. Hal ini tentu akan mempengaruhi keberadaan apoteker yang menjadi sulit ditemukan pada saat jam layanan apotek, sehingga hanya sebagian kecil apoteker yang berpraktik pada saat jam buka apotek dan perannya digantikan oleh pemilik sarana apotek atau tenaga teknis kefarmasian yang tentunya memiliki mindset berbeda dalam hal pelaksanaan pelayanan kefarmasian. Pengambil alihan peran apoteker sebagai profesional yang telah terkualifikasi dengan non-profesional berkualitas yang bekerja di apotek komunitas tentu akan semakin menurunkan eksistensi dari apoteker. Bukan hanya karena pekerjaan lain,  adat buruk yang sedang berjalan saat ini tentu dipengaruhi oleh pola pendidikan apoteker dan masalah pengawasan regulasi. Sebelum menuntut pengawasan regulasi yang kurang ketat dan tidak bisa dilaksanakan secara rutin oleh suatu badan penegak hukum, aturan ini harus dikembalikan lagi oleh masing-masing individu apoteker yang telah diakui secara profesional sebagai pelayanan kesehatan. Pola pendidikan yang bukan hanya memberikan pengetahuan dalam hal materi,  namun berperan dalam membentuk moril serta mindset tiap individu agar dapat mengamalkan ilmu untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.



d.         Peningkatan Manajemen Publikasi Terkait Informasi Obat Melalui Media Sosial

Sebagai seorang farmasis, harus memiliki kemampuan dalam mengkampanyekan penggunaan obat yang efektif, efisien, dan tepat, sehingga dengan menyandingkan teknologi sosial media maupun media informasi  seperti instagram, facebook, selebaran, spanduk, dan poster, diharapkan semua masyarakat dapat secara dewasa dalam memilih obat untuk terapi,  Selain itu, masyarakat luas dapat menilai obat-obat di sekeliling yang sekiranya dapat merugikan akibat penyalahgunaan oleh masyarakat. Khususnya anak milenial sekarang ini.



e.          Peningkatan Manajemen Sumber Daya Manusa (SDM) Agar Visi dan Misi Farmasis Berjalan dengan Baik

Jika setiap pribadi apoteker mempunyai kemampuan untuk mengelola atau memanajemen SDM di mana tempat dia berkerja, serta dapat memberikan dedikasi yang benar terhadap SDM yang ada. Seorang apoteker juga bisa mengendalikan jalannya praktek kefarmasian secara lebih baik dan benar karena jika persepsi para karyawan/staf sudah sama maka akan terjalin keselarasan kinerja antara apoteker dengan SDM lainnya dalam suatu tempat pelayanan kefarmasian.



f.          Peningkatan Manajemen Kolaborasi Edukasi

Manajemen dalam menghasilkan Apoteker yang kompeten dan bertanggung jawab terbagi mnjadi point perguruan tinggi, organisasi profesi dan pemerintahan sebagai pembuat regulasi. Perguruan tinggi sebagai tempat untuk belajar ilmu kefarmasian bertanggung jawab membuat kurikulum yang berbasis keprofesian yang profesional dan bertanggung jawab, berdasarkan nilai luhur ketuhanan, iptek science dan teknologi serta nilai-nilai kebangsaan pancasila. Organisasi profesi sebagai wadah organisasi setelah seorang apoteker di sumpah wajib membuat standar kompetensi minimum dan dikuti pembinaan berjenjang agar kuliatas apoteker di Indonesia semakin berkualitas. Pemerintah sebagai pembuat regulasi harus membuat regulasi yang rigid dan mengikat agar apoteker memiliki payung hukum yang sesuai dan juga koridor koridor yang sesuai agar pemerintah sebagai pembuat regulasi berkomunikasi dengan organisasi kepolisisan agar apoteker semakin profesional dan berkualitas kedepannya sehingga berkurang penyalahgunaan kompetensi di lapangan.





DAFTAR PUSTAKA



Mulyagustina,  Wiedyaningsih, C.,  Kristina, S.A., 2017. Implementasi standar pelayanan kefarmasian di apotek jambi. p-ISSN 2088-8139 vol. 7 no. 2, UGM, Yogyakarta.

https://farmasi.ugm.ac.id/mengubah-paradigma-praktik-kefarmasian/

http://farmasetika.com/2018/03/18/tips-apoteker-dalam-mengatasi-penyalahgunaan-obat-di-apotek/



http://digilib.uinsby.ac.id/21304/4/Bab%201.pdf


0 komentar:

Posting Komentar