DISKUSI
KELOMPOK
‘VALUE
MANAGEMENT’
Diajukan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Manajemen Farmasi
pada Program Studi Profesi Apoteker
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
FAKULTAS
FARMASI
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
2018
1
Bagaimana praktek kefarmasian di
Indonesia sekarang ini? Berhubungan dengan kejadian PCC
Paracetamol Caffein Carisoprodol (PCC)
merupakan tablet yang mengandung zat aktif Carisoprodol, dimana zat tersebut
memiliki efek samping kehilangan keseimbangan, sakit kepala yang berlebih
sampai denyut jantung tidak stabil, kejang-kejang, pingsan, hingga kematian.
Mulanya pil PCC bukan tergolong narkotika, bahkan awalnya memang diproduksi
untuk digunakan sebagai penenang, pelemas otot, maupun obat jantung.
Menyalahgunakan kemampuan profesi apoteker untuk
produksi obat tanpa izin BPOM sama sekali tidak dibenarkan. Produksi
obat-obatan terlarang maupun ilegal dilarang oleh negara, dibawah pengawasan
BPOM. Paracetamol caffein carisoprodol (PCC) pada kasus tersebut sebagian
diracik sendiri oleh 2 orang pelaku pengedar yang berprofesi sebagai apoteker
dan asisten apoteker. Para pelaku melakukan proses retabletasi yakni dari yang
awalnya tablet lalu dihancurkan, kemudian dibentuk kembali dengan memadukan dua
zat, yaitu acetaminophen dan carisoprodol. Acetaminophen biasanya
didapati dalam obat pengurang rasa nyeri atau paracetamol dengan
bahan aktif dalam obat PCC. Adapun secara aturan, bahan
aktif acetaminophen tidak dilarang, tetapi pelaku menambahkan reaksi
obat tersebut dengan mencampurnya bersama obat carisoprodol yang telah
dilarang sejak tahun 2013.
Undang-Undang
No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang berbunyi:
(1)
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin
edar.
(2)
Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi
persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
(3)
Pemerintah berwenang mencabuti izin edar
dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan
mutu dan/atau kemanfaan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
“Setiap
orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau
alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah)”.
Maraknya
peredaran berbagai jenis obat keras beberapa waktu terakhir membuat kalangan
apoteker menjadi sorotan negatif. Ditambah lagi semakin tersebarnya penjualan
obat ilegal yang mudah ditemukan di pasaran. Melalui PP 51/2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian, peran apoteker secara konkret sudah didefinisikan dengan
gamblang. Menurut PP tersebut praktik apoteker di komunitas atau di apotek
adalah memberikan pelayanan obat dengan resep dokter dan pemberian informasi
obat pada pasien. Dengan aktifitas tersebut, apoteker diharapkan lebih fokus
untuk memberikan pharmaceutical care agar
pasien mendapatkan outcome yang
optimal dari obat dan pengobatan yang diperoleh. Sebagai pemeran utama usaha
pelayanan kefarmasian, kewajiban apoteker juga telah diatur dengan jelas dalam
Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, yaitu:
·
Selalu berbuat baik dalam melakukan
pekerjaan
·
Menjamin mutu barang yang diproduksi
dan diperjualbelikan dimana
ketentuan
standar mutu barang atau jasa telah ditetapkan;
·
Informasi yang diberikan merupakan
informasi yang benar dan akurat serta diberikan secara jelas dan jujur;
·
Berlaku sopan dalam melayani konsumen;
·
Memberikan jaminan atas barang yang
dibuat atau diperjualbelikan; memberikan ganti rugi atas kerugian akibat dari
penggunaan barang atau jasa yang diperjualbelikan.
Dalam
menanggapi penyalahgunaan obat seperti PCC, peran apoteker yang kami rangkum
adalah sebagai berikut:
a.
Melakukan Pekerjaan Kefarmasian secara
Professional dan Bertanggungjawab
Professionalitas
dan tanggungjawab apoteker meliputi tiga hal berikut:
·
Tidak melayani penjualan obat keras bagi
pembeli yang tidak memiliki resep dokter, utamanya yang terkait dengan
obat-obatan jenis psikotropika dan narkotika.
·
Harus hadir sesuai dengan jam
praktik yang ditentukan.
·
Menjalankan seluruh aturan yang berlaku
di pelayanan kefarmasian sesuai standar pelayanan kefarmasian di apotek
berdasarkan Permenkes No 73 tahun 2016.
Apabila
para apoteker telah melakukan praktek yang bertanggungjawab sesuai peraturan
yang berlaku dengan mengikuti standar pembelian pada perusahaan resmi atau
distributor resmi, dapat dipastikan apotek tersebut akan terhindar dari obat
yang ilegal dan kuliatasnya dapat terjamin.
b.
Memerangi Obat Ilegal
Salah
satu caranya adalah dengan mengedukasi masyarakat tentang penggunaan obat yang
baik dan benar, mengenalkan peran apoteker yang bertanggungjawab untuk menjamin
keamanan konsumsi obat, dan sebagainya. Diantara informasi yang bisa diberikan
adalah: DAGUSIBU, ikon yang dibuat
oleh IAI dalam rangka mensosialisasi penggunaan obat yang benar melalui Gerakan
Keluarga Sadar Obat.
Pertama,
DA yaitu dapatkan obat di tempat
yang benar, agar terjamin manfaatnya, keamanannya dan kualitasnya. Benar di
sini dalam arti legalitasnya ada, misal apotek, rumah sakit, toko obat berijin,
apotek klinik, dan sebagainya. Saat menerima obat, pastikan ada nomor
registrasi obat, masih tersegel rapat, dan pastikan obat tidak rusak serta
tidak kadaluwarsa.
Kedua,
GU adalah gunakanlah obat sesuai
dengan indikasinya (diagnosa penyakit), sesuai dosisnya, sesuai aturan
pakainya, dan sesuai cara pemberiannya. Gunakan obat sesuai indikasi medis yang
sesuai dengan yang ditetapkan oleh dokter, jangan menggunakan obat tidak sesuai
dengan indikasi medisnya. Karena obat adalah racun, yang indikasi medis dan
dosisnya tidak sesuai maka obat itu tidak akan berefek terapi dan malah menjadi
racun.
Ketiga,
SI ialah simpan obat sesuai suhu
yang tertulis di kemasan, kecuali bila harus disimpan secara khusus. Aada obat
yang harus disimpan di suhu kamar, ada obat yang harus terhindar matahari, ada
obat yang harus disimpan dibawah 20 derajat, dan ada obat yang harus disimpan
dibawah 8 derajat atau dibawah 2 derajat.
Keempat,
BU yaitu membuang obat juga ada tata
caranya. Obat dibuang, dikarenakan sudah rusak atau kadaluwarsa, sehingga tidak
dapat lagi digunakan. Membuang obat tidak boleh
sembarangan, membuang obat sembarangan dapat dimanfaatkan oleh
orang-orang yang tidak bertanggungjawab, oknum tertentu, atau dimanfaatkan oleh
orang awam.
Informasi
tersebut disampaikan juga saat World
Pharmacist Day atau Hari Apoteker Sedunia yang jatuh setiap 25
September sebagai ajang untuk kembali menata diri dan meningkatkan
profesionalisme.
Adapun
praktek kefarmasian saat ini menjadi lebih diawasi BPOM dan kepolisisan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga harus
diperkuat, bukan hanya pengawasan administratif, namun di lapangan juga harus
ditingkatkan. BPOM harus bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai
Kementerian Keuangan untuk memastikan obat yang masuk ke tanah air aman
dikonsumsi masyarakat.
Disamping itu, terjadinya distribusi sediaan farmasi impor
dan ilegal-carisoprodol yang diketahui telah dilarang sejak tahun 2013 baik
dalam bentuk tunggal maupun kombinasi, menandakan masih lemahnya pengawasan
terhadap obat ilegal. Bahan baku produksi PCC diketahui diperoleh dari India
dan Cina (Republika, 2017). Hal ini menunjukkan perlunya dilakukan
peningkatan pengawasan pada titik-titik jalur masuk sediaan farmasi impor,
seperti di pelabuhan, bandara, ataupun perbatasan. Termasuk titik-titik
distribusi obat seperti PBF pusat, cabang hingga apotek. Pengawasan pada
titik-titik tersebut diharapkan dapat meminimalisir masuknya sediaan farmasi impor
yang illegal sehingga kasus penyalahgunaan obat seperti PCC tidak terulang
kembali
2
Keterampilan manajemen apa yang
dibutuhkan untuk menunjang perkembangan peran farmasis dalam meningkatkan
pelayanan terhadap konsumen dan hasil terapi obat?
a.
Peningkatan Manajemen Supplay Chain
Supplay chain merupakan sistem rantai pasok dari barang setelah diproduksi
di industri sampai ke tangan konsumen. Supplay
chain yang baik haruslah mengikuti kaidah CDOB, dimana tidak ada resiko masuknya
obat ilegal di masyarakat. Supplay chain
yang baik adalah supplay chain yang
dimulai dari produk akhir industri ke PBF lalu ke Apotek atau sarana kesehatan
yang membutuhkan obat. Supplay chain
yang buruk adalah supplay chain yang
tidak memperhatikan dimana obat itu didapatkan melainkan hanya memenuhi
kebutuhan obat yang illegal, yaitu obat yang tidak sesuai dengan kaidah CDOB,
yang tidak jelas keaslian, keamanan, dan khasiatnya. Apoteker sebagai garda
terdepan yang dimulai dari proses produksi hingga pelayanan harus memotong
rantai obat illegal melalui program-program yang sesuai agar peredaman obat
illegal yang berbahaya dapat dikurangi atau diberantas.
b.
Peningkatan Manajemen
Komunikasi dalam Pelayanan Informasi Obat dan Terapi Obat Tercapai Secara Tepat
Penyalahgunaan obat seperti pada kasus PCC yaitu dimana
orang-orang memanfaatkan efek samping dari pemakaian obat tersebut dengan dosis
berlebih yang dengan sengaja membuat efek tidak diinginkan menjadi ada Salah
satu hal yang dapat meminimalisir kejadian ini adalah dengan memberikan
pelayanan informasi obat kepada konsumen untuk mencapai hasil terapi pengobatan
yang baik dan tepat. Salah satunya adalah dengan meningkatkan pengetahuan (knowledge) dari seorang apoteker dan
asisten apoteker. Banyaknya pengetahuan mengenai suatu obat, yaitu dimulai dari
bentuk sediaan, dosis, cara penggunaan, indikasi, mekanisme kerja obat dan
lain-lain, dapat meningkatkan pelayanan seorang farmasis kepada konsumen. Contohnya
saat pemberian informasi obat kepada pasien dengan pengetahuan yang dimiliki,
kita dapat menjelaskan kepada pasien secara baik hal-hal mengenai obat
tersebut, sehingga meningkatkan kepercayaan pasien serta menambah pengetahuan
pasien tentang terapi pengobatan yang benar itu seperti apa dan dapat
meminimilasir kesalahan pemakaian obat pada pasien. Sehingga seorang farmasis dapat
memberikan obat sesuai indikasi, dosis pemakaian yang tepat dan juga cara
penggunaan obat yang tepat, contoh (berapa kali dalam sehari obat itu digunkan,
waktu penggunaan sesudah atau sebelum makan, jumlah obat yang harus di gunakan
dan lain-lain yang terkait cara penggunaan obat). Sehingga harapan dari terapi
pengobatan dari suatu obat dapat tercapai dan memberikan hasil yang maksimal
yaitu kesembuhan pasien.
c.
Peningkatan Manajemen Skill dalam
Praktek Kefarmasian Apoteker
Berdasarkan
data penelitian (Mulyagustina, 2017) pada Kota Jambi, sebanyak 48% apoteker
bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kesehatan, BPOM,
Rumah Sakit dan Puskesmas sedangkan 52% Non-PNS. Hal ini tentu akan
mempengaruhi keberadaan apoteker yang menjadi sulit ditemukan pada saat jam
layanan apotek, sehingga hanya sebagian kecil apoteker yang berpraktik pada
saat jam buka apotek dan perannya digantikan oleh pemilik sarana apotek atau
tenaga teknis kefarmasian yang tentunya memiliki mindset berbeda dalam hal pelaksanaan pelayanan kefarmasian.
Pengambil alihan peran apoteker sebagai profesional yang telah terkualifikasi
dengan non-profesional berkualitas yang bekerja di apotek komunitas tentu akan
semakin menurunkan eksistensi dari apoteker. Bukan hanya karena pekerjaan
lain, adat buruk yang sedang berjalan saat ini tentu dipengaruhi oleh
pola pendidikan apoteker dan masalah pengawasan regulasi. Sebelum menuntut
pengawasan regulasi yang kurang ketat dan tidak bisa dilaksanakan secara rutin
oleh suatu badan penegak hukum, aturan ini harus dikembalikan lagi oleh
masing-masing individu apoteker yang telah diakui secara profesional sebagai
pelayanan kesehatan. Pola pendidikan yang bukan hanya memberikan pengetahuan
dalam hal materi, namun berperan dalam membentuk moril serta mindset tiap individu agar dapat
mengamalkan ilmu untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.
d.
Peningkatan Manajemen
Publikasi Terkait Informasi Obat Melalui Media Sosial
Sebagai seorang farmasis, harus memiliki kemampuan dalam
mengkampanyekan penggunaan obat yang efektif, efisien, dan tepat, sehingga
dengan menyandingkan teknologi sosial media maupun media informasi seperti instagram, facebook, selebaran,
spanduk, dan poster, diharapkan semua masyarakat dapat secara dewasa dalam
memilih obat untuk terapi, Selain itu, masyarakat luas dapat menilai
obat-obat di sekeliling yang sekiranya dapat merugikan akibat penyalahgunaan oleh
masyarakat. Khususnya anak milenial sekarang ini.
e.
Peningkatan Manajemen Sumber Daya
Manusa (SDM) Agar Visi dan Misi Farmasis Berjalan dengan Baik
Jika setiap pribadi apoteker mempunyai kemampuan untuk
mengelola atau memanajemen SDM di mana tempat dia berkerja, serta dapat
memberikan dedikasi yang benar terhadap SDM yang ada. Seorang apoteker juga
bisa mengendalikan jalannya praktek kefarmasian secara lebih baik dan benar
karena jika persepsi para karyawan/staf sudah sama maka akan terjalin
keselarasan kinerja antara apoteker dengan SDM lainnya dalam suatu tempat
pelayanan kefarmasian.
f.
Peningkatan Manajemen
Kolaborasi Edukasi
Manajemen dalam menghasilkan Apoteker yang kompeten dan
bertanggung jawab terbagi mnjadi point perguruan tinggi, organisasi profesi dan
pemerintahan sebagai pembuat regulasi. Perguruan tinggi sebagai tempat untuk
belajar ilmu kefarmasian bertanggung jawab membuat kurikulum yang berbasis
keprofesian yang profesional dan bertanggung jawab, berdasarkan nilai luhur
ketuhanan, iptek science dan
teknologi serta nilai-nilai kebangsaan pancasila. Organisasi profesi sebagai
wadah organisasi setelah seorang apoteker di sumpah wajib membuat standar
kompetensi minimum dan dikuti pembinaan berjenjang agar kuliatas apoteker di Indonesia
semakin berkualitas. Pemerintah sebagai pembuat regulasi harus membuat regulasi
yang rigid dan mengikat agar apoteker memiliki payung hukum yang sesuai dan
juga koridor koridor yang sesuai agar pemerintah sebagai pembuat regulasi
berkomunikasi dengan organisasi kepolisisan agar apoteker semakin profesional
dan berkualitas kedepannya sehingga berkurang penyalahgunaan kompetensi di
lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyagustina,
Wiedyaningsih, C., Kristina, S.A., 2017. Implementasi standar pelayanan
kefarmasian di apotek jambi. p-ISSN 2088-8139 vol. 7 no. 2, UGM, Yogyakarta.
https://farmasi.ugm.ac.id/mengubah-paradigma-praktik-kefarmasian/
http://farmasetika.com/2018/03/18/tips-apoteker-dalam-mengatasi-penyalahgunaan-obat-di-apotek/
http://digilib.uinsby.ac.id/21304/4/Bab%201.pdf
0 komentar:
Posting Komentar