Minggu, 01 Maret 2020

MAKALAH Keseimbangan pH, Cairan Tubuh dan Elektrolit


MAKALAH

Keseimbangan pH, Cairan Tubuh dan Elektrolit





UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS FARMASI

2018




A.    KESEIMBANGAN PH

1.      Fisiologis pH

Derajat keasaman (pH) tubuh dipengaruhi oleh asam dan basa. Asam dapat didefinisikan sebagai zat yang dapat mendonorkan atau memberikan ion H+ kepada senyawa lain. Basa merupakan zat yang dapat menerima atau akseptor ion H+ dari senyawa lain (Horne, 2000).

Organ tubuh yang mempengaruhi keseimbangan asam basa antara lain ginjal dan paru. Ginjal berperan dalam proses pelepasan asam sedangkan paru berperan dalam pelepasan CO2 (Karbindioksida) (Seifter, 2014).

Derajat keasaman (pH) dalam tubuh manusia haruslah dikontrol karena mempengaruhi pada proses metabolise tubuh. Proses metabolism tubuh dan fungsi organ dapat bekerja secara optimal jika (pH) tubuh dalam kondisi normal, pH normal darah manusia berkisar antara 7.35 – 7.45. Jika terjadi ketidakseimbangan pH dalam tubuh, dapat dibagi menjadi 2 kondisi, dimana jika kondisi pH tubuh < 7.35 maka disebut asidosis dan jika pH tubuh > 7.45 maka disebut alkalosis (Seifter, 2014).



2.      Gangguan pH

Ketidakseimbangan pH dalam tubuh sangat mempengaruhi system metabolism dan system fungsi organ. Ketidakseimbangan pH tubuh ada 2 macam, asidosis (terlalu asam) dan alkalosis (terlalu basa).



2.1.Asidosis respiratorik

Asidosis respiratorik merupakan kondisi asam yang berlebihan karena terjadi penumpukkan CO2 dalam darah karena memburuknya kondisi paru-paru, atau pernapasan melambat. Kecepatan dan kedalaman pernafasan mengendalikan jumlah karbondioksida dalam darah. Dalam keadaan normal, jika terkumpul karbondioksida, pH darah akan turun dan darah menjadi asam. Tingginya kadar karbondioksida dalam darah merangsang otak yang mengatur pernafasan, sehingga pernafasan menjadi lebih cepat dan lebih dalam. Asidosis respiratorik dapat juga terjadi bila penyakit-penyakit dari saraf atau otot dada menyebabkan gangguan terhadap mekanisme pernafasan (Hawfield, 2010).

Gejala pertama berupa sakit kepala dan rasa mengantuk. Jika keadaannya memburuk, rasa mengantuk akan berlanjut menjadi stupor (penurunan kesadaran) dan koma. Stupor dan koma dapat terjadi dalam beberapa saat jika pernafasan terhenti atau jika pernafasan sangat terganggu; atau setelah berjam-jam jika pernafasan tidak terlalu terganggu. Ginjal berusaha untuk mengkompensasi asidosis dengan menahan bikarbonat, namun proses ini memerlukan waktu beberapa jam bahkan beberapa hari. Biasanya diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan pH darah dan pengukuran karbondioksida dari darah arteri (Hawfield, 2010).



2.2.Asidosis metabolic

Asidosis metabolic merupakan kondisi asam yang berlebihan dalam darah yang ditandai dengan menurunnya kadar bikarbonat dalam darah. Seiring dengan menurunnya pH darah, pernafasan menjadi lebih dalam dan lebih cepat sebagai usaha tubuh untuk menurunkan kelebihan asam dalam darah dengan cara menurunkan jumlah karbon dioksida. Pada akhirnya, ginjal juga berusaha mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara mengeluarkan lebih banyak asam dalam air kemih. Tetapi kedua mekanisme tersebut bisa terlampaui jika tubuh terus menerus menghasilkan terlalu banyak asam, sehingga terjadi asidosis berat dan berakhir dengan keadaan koma (Hawfield, 2010).

Asidosis metabolik ringan bisa tidak menimbulkan gejala, namun biasanya penderita merasakan mual, muntah dan kelelahan. Pernafasan menjadi lebih dalam atau sedikit lebih cepat. Sejalan dengan memburuknya asidosis, penderita mulai merasakan kelelahan yang luar biasa, rasa mengantuk, semakin mual dan mengalami kebingungan. Bila asidosis semakin memburuk, tekanan darah dapat turun, menyebabkan syok, koma dan kematian (Hawfield, 2010).

Untuk mengetahui penyebabnya, dilakukan pengukuran kadar karbon dioksida dan bikarbonat dalam darah. Mungkin diperlukan pemeriksaan tambahan untuk membantu menentukan penyebabnya. Misalnya kadar gula darah yang tinggi dan adanya keton dalam urin biasanya menunjukkan suatu diabetes yang tak terkendali. Adanya bahan toksik dalam darah menunjukkan bahwa asidosis metabolik yang terjadi disebabkan oleh keracunan atau overdosis. Kadang-kadang dilakukan pemeriksaan air kemih secara mikroskopis dan pengukuran pH air kemih (Hawfield, 2010).



2.3.Alkalosis respiratorik

Alkalosis respiratorik merupakan kondisi basa berlebih dalam darah karena pernapasan yang dalam dan cepat (hiperventilasi), sehingga terjadi penurunan karbondioksida dalam darah. Alkalosis respiratorik dapat membuat penderita merasa cemas dan dapat menyebabkan rasa gatal disekitar bibir dan wajah. Jika keadaannya makin memburuk, bisa terjadi kejang otot dan penurunan kesadaran (Hawfield, 2010).



2.4.Alkalosis metabolic

Alkalosis metabolic merupakan kondisi basa berlebih dalam darah dengan terjadinya peningkatan kadar bikarbonat dalam darah. Alkalosis metabolik terjadi jika tubuh kehilangan terlalu banyak asam. Seperti kehilangan sejumlah asam lambung selama periode muntah yang berkepanjangan atau bila asam lambung disedot dengan selang lambung. Alkalosis metabolik dapat terjadi pada seseorang yang mengkonsumsi terlalu banyak basa dari bahan-bahan seperti soda bikarbonat. Selain itu, alkalosis metabolik dapat terjadi bila kehilangan natrium atau kalium dalam jumlah yang banyak mempengaruhi kemampuan ginjal dalam mengendalikan keseimbangan asam basa darah (Hawfield, 2010).

Alkalosis metabolik dapat menyebabkan iritabilitas (mudah tersinggung), otot berkedut dan kejang otot; atau tanpa gejala sama sekali. Bila terjadi alkalosis yang berat, dapat terjadi kontraksi (pengerutan) dan spasme (kejang) otot yang berkepanjangan (tetani) (Hawfield, 2010).



3.      Penanganan Gangguan pH

Pemberian natrium bikarbonat adalah satu satunya pilihan pada asidosis apapun penyebabnya. Ini dilakukan jika kadar HCO3 < 5 mmol/L Bikarbonat harus ditambahkan pada larutan hipotonis dan diberikan dalam 1 jam. Pada diare cair akut HCO3 dalam tinja bisa mencapai 40 mEq/\l, ini menyebabkan asidosis metabolik derajat sedang sampai berat. Pada saat rehidrasi dibutuhkan penambahan HCO3 ke dalam cairan intravena. Tapi sebelum menambahkan HCO3 harus diukur dulu kadar K+ serum, sebab penambahan HCO3 akan menyebabkan hipokalemia, sehingga akan memperburuk hipokalemia jika sebelumnya sudah terjadi hipokalemia. Jadi pada pasien dengan asidosis sedang sampai berat (10 sampai 15 mEq/L) atau pH > 7.2, diperlukan koreksi dehidrasi dan kehilangan elektrolitnya agar ginjal dapat mengeluarkan kelebihan H+ secara efektif (Juffrie, 2004).

Selain itu terapi dipusatkan pada pengobatan penyebab utamanya. Pada alkalosis derajat sedang sampai berat pemberian Cl- akan memacu ginjal untuk mengeluarkan kelebihan basa. Pada alkalosis berat pemberian asam hidrochloride mungkin dibutuhkan. Alternatif lain adalah pemberian ammonium klorid atau arginin mono klorid walaupun kontraindikasi pada penyakit hepar dan ginjal. Pada muntah dan aspirasi nasogastrik pemberian garam klorida 1-2 mEq/kg per hari dianjurkan. Karena alkalosis biasanya disertai dengan hipokalemia maka keadaan hipokalemia ini harus segera dikoreksi (Juffrie, 2004).



B.     KESEIMBANGAN CAIRAN TUBUH DAN ELEKTROLIT

Perubahan komposisi dan volume cairan tubuh yang disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit disebabkan oleh berbagai macam keadaan atau penyakit. Di dalam tubuh homeostasis dijaga oleh aktifitas yang merupakan kerjasama antara lingkungan, hormonal, ginjal, adaptasi vaskuler untuk perubahan volume dan tekanan osmotik. Total cairan tubuh yang mengambil 55-72% massa tubuh, beragam menurut jenis kelamin, umur dan kadar lemak yang mengambil bagian antara intraseluler dan ekstraseluler. Cairan ekstra seluler yang merupakan 1/3 total cairan tubuh, terdiri dari cairan plasma intravaskuler, dan cairan interstisial ekstravaskuler. Ion-ion elektrolit yang utama adalah Na+, Cl-, HCO3, sedangkan yang jumlahnya sedikit adalah K+, Mg, Ca, fosfat, sulfat, asam organik, dan protein. Komponen cairan intraseluler ialah K+, protein, Mg, Sulfat, dan Fosfat. Dalam cairan ekstraseluler Na+ dan Cl- mengisi lebih dari 90% larutannya (Juffrie, 2004).

Elektrolit adalah senyawa di dalam larutan yang berdisosiasi menjadi partikel yang bermuatan (ion) positif atau negatif. Ion bermuatan positif disebut kation dan ion bermuatan negatif disebut anion. Keseimbangan keduanya disebut sebagai elektronetralitas. Sebagian besar proses metabolisme memerlukan dan dipengaruhi oleh elektrolit. Konsentrasi elektrolit yang tidak normal dapat menyebabkan banyak gangguan (Darwis, et al., 2008).



1.      Natrium

1.1.Fisiologi

Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10-14 mEq/L) berada dalam cairan intrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel ditentukan oleh garam yang mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat (NaHCO3) sehingga perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan perubahan konsentrasi natrium. Pemasukan dan pengeluaran natrium perhari mencapai 48-144 mEq  (Darwis, et al., 2008).

Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan antara natrium yang masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan natrium yang berasal dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi dan pengeluarannya melalui ginjal atau saluran cerna atau keringat di kulit  (Darwis, et al., 2008).

Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini dilakukan untuk mempertahankan homeostasis natrium, yang sangat diperlukan untuk mempertahankan volume cairan tubuh. Natrium difiltrasi bebas di glomerulus, direabsorpsi secara aktif 60-65% di tubulus proksimal bersama dengan H2O dan klorida yang direabsorpsi secara pasif, sisanya direabsorpsi di lengkung henle (25-30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes (4%). Sekresi natrium di urin <1%. Aldosterone menstimulasi tubulus distal untuk mereabsorpsi natrium bersama air secara pasif dan mensekresi kalium pada sistem renin –angiotensin-aldosteron untuk mempertahankan elektroneutralitas (Stefan and Lang, 2007).

Nilai rujukan kadar natrium pada:

- Serum bayi                            : 134-150 mmol/L

- Serum anak dan dewasa       : 135-145 mmol/L

- Urine anak dan dewasa        : 40-220 mmol/24 jam

- Cairan serebrospinal              : 136-150 mmol/L

- Feses                                     : kurang dari 10 mmol/hari



1.2.Gangguan Keseimbangan Natrium

Gangguan Keseimbangan Natrium yaitu seseorang dikatakan hiponatremia, bila konsentrasi natrium plasma dalam tubuhnya turun lebih dari beberapa miliekuivalen dibawah nilai normal (135-145 mEq/L) dan hipernatremia bila konsentrasi natrium plasma meningkat di atas normal. Hiponatremia biasanya berkaitan dengan hipoosmolalitas dan hipernatremia berkaitan dengan hiperosmolalitas (Fischbach, et al., 2009).

Penyebab Hiponatremia Kehilangan natrium klorida pada cairan ekstrasel atau penambahan air yang berlebihan pada cairan ekstrasel akan menyebabkan penurunan konsentrasi natrium plasma. Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi pada dehidrasi hipoosmotik seperti pada keadaan berkeringat selama aktivitas berat yang berkepanjangan, berhubungan dengan penurunan volume cairan ekstrasel seperti diare, muntah-muntah, dan penggunaan diuretik secara berlebihan. Hiponatremia juga dapat disebabkan oleh beberapa penyakit ginjal yang menyebabkan gangguan fungsi glomerulus dan tubulus pada ginjal, penyakit addison, serta retensi air yang berlebihan (overhidrasi hipoosmotik) akibat hormon antidiuretik.

Peningkatan konsentrasi natrium plasma karena kehilangan air dan larutan ekstrasel (dehidrasi hiperosmotik pada diabetes insipidus) atau karena kelebihan natrium dalam cairan ekstrasel seperti pada overhidrasi osmotik atau retensi air oleh ginjal dapat menyebabkan peningkatan osmolaritas & konsentrasi natrium klorida dalam cairan ekstrasel. 19 Kepustakaan lain menyebutkan bahwa hipernatremia dapat terjadi bila ada defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi ekskresi natrium atau asupan air yang kurang. Misalnya pada pengeluaran air tanpa elektrolit melalui insensible water loss atau keringat, diare osmotik akibat pemberian laktulose atau sorbitol, diabetes insipidus sentral maupun nefrogenik, diuresis osmotik akibat glukosa atau manitol, gangguan pusat rasa haus di hipotalamus akibat tumor atau gangguan vascular (Siregar, 2007).



1.3.Tatalaksana Gangguan Keseimbangan Natrium

1.3.1. Hiponatremia dengan gejala berat

Tatalaksana yang dilakukan pada jam pertama  tanpa memandang apakah hiponatremia akut ataupun kronik  yaitu dengan merekomendasikan pemberian cepat 150 mL  infus salin hipertonik 3% atau setaranya selama 20 menit. Kemudian dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kadar natrium plasma setelah 20 menit pemberian infus salin dan mengulang pemberian 150 mL infus salin hipertonik 3% atau setaranya dalam 20 menit berikutnya. Kedua terapi diatas disarankan untuk diulang sebanyak dua kali atau sampai kadar natrium plasma 5 mmol/L tercapai (Spasovki, 2014).



1.3.2. Tatalaksana lanjutan jika gejala membaik setelah kenaikan kadar natrium plasma 5 mmol/L dalam jam pertama, tanpa memandang hiponatremia akut maupun kronik

Direkomendasikan untuk menghentikan infus salin hipertonik, dan mempertahankan jalur intravena dengan menginfuskan sejumlah terkecil cairan salin 0,9% sampai pengobatan spesifik terhadap penyakit dimulai. Kemudian dilakukan tatalaksana diagnosa spesifik jika ada, yang bertujuan untuk menstabilkan kadar natrium. Selanjutnya dibatasi kenaikan kadar natrium plasma sampai total 10 mmol/L dalam 24 jam pertama dan tambahan 8 mmol/L dalam setiap 24 jam berikutnya sampai kadar natrium plasma mencapai 130 mmol/L. disarankan untuk mememriksa kadar natrium plasma setelah 6 dan 12 jam serta selanjutnya setiap hari sampai kadar natrium plasma stabil (Spasovki, 2014).



1.3.3. Tatalaksana lanjutan jika tidak terjadi perbaikan gejala setelah peningkatan kadar natrium plasma 5 mmol/L dalam jam pertama, tanpa memandang hiponatremia akut maupun kronik

Direkomendasikan untuk melanjutkan infus salin hipertonik 3% atau setaranya dengan tujuan untuk kenaikan kadar natrium plasma 1 mmol/L/jam. Jika gejala membaik disarankan untuk menghentikan infus salin hipertonik 3% atau setaranya (peningkatan 10 mmol/L atau kadar natrium mencapai 130 mmol/L). Dilakukan juga evaluasi diagnostik tambahan untuk mencari penyebab lain dari gejala hiponatremia. Selanjutnya ddianjurkan untuk memeriksa kadar natrium plasma setiap 4 jam selama infus salin hipertonik 3% jatau setanya dilanjutkan (Spasovki, 2014).

1.3.4. Hiponatremia dengan gejala cukup berat

Dilakukan dengan cepat evaluasi diagnostik, jika memungkinkan hentikan obat-obatan dan factor lain yang berperan atau memperberat hiponatremia. Tatalaksana yang direkomendasikan spesifik berdasarkan penyebabnya, kemudian diberikan dengan cepat infus tunggal 150 mLsalin hipertonik 3% intravena atau setara dalam 20 menit. Kenaikan kadar natrium plasma yang dianjurkan yaitu 5 mmol/L/24 jam dan membatasi kenaikan kadar natrium plasma sampai 10 mmol/L dalam 24 jam pertama dan 8 mmol/L dalam 24 jam berikutnya sampai tercapai kadar natrium plasma 130 mmol/L. diperika kadar natrium plasma setelh 1, 6, dan 12 jam pemberian infus salin. Kemudian disarankan evaluasi diagnostik tambahan untuk penyebab gejala yang lain jika gejala tidak membaik dengan kenaikan kadar natrium plasma (Spasovki, 2014).



1.3.5. Hiponatremia akut tanpa gejala yang berat atau cukup berat

Pastikan bahwa kadar natrium plasma diukur dengan memakai teknik yang sama seperti yang digunakan sebelumnya dan tidak terjadi kesalahan admi­nistratif dalam penanganan sampel. Jika memungkinkan, hentikan cairan, obat-obatan dan faktor-faktor lain yang dapat berperan atau memperberat hiponatremia. Direkomendasikan untuk memulai evaluasi diagnostik cepat dan terapi spesifik sesuai penyebab. Jika penurunan akut kadar natrium plasma melebihi 10 mmol/L, kami meny­arankan pemberian infus tunggal 150 mL salin hipertonik 3% atau setaranya dalam 20 menit. Disarankan untuk memeriksa kadar natrium plasma setelah 4 jam, memakai teknik yang sama seperti yang digunakan untuk pengukuran sebe­lumnya (Spasovki, 2014).



1.3.6. Hiponatremia kronik  tanpa gejala yang berat atau cukup berat

Hentikan cairan yang tidak diperlukan, obat-obatan dan faktor lain yang dapat berperan atau memperberat hiponatremia. Direkomendasikan terapi spesifik sesuai penyebanya. Pada hiponatremia ringan, dianjurkan untuk tidak memberikan terapi yang hanya bertujuan untuk menaikkan kadar natrium plasma. Pada hiponatremia sedang atau berat, direkomendasikan untuk menghindari kenaikan kadar natrium plasma >10 mmol/L dalam 24 jam pertama dan >8 mmol/L dalam setiap 24 jam berikutnya. Pada hiponatremia sedang atau berat, disarankan untuk memeriksa kadar natrium plasma setiap enam jam sampai kadar natrium plasma stabil dalam pengobatan. Dalam kasus hiponatremia yang sulit, pertimbangkan untuk melihat kembali algoritme diagnostik dan berkonsultasi dengan ahli (Spasovki, 2014).







1.3.7. Pasien dengan kelebihan cairan ekstraselular

Tidak memberikan terapi yang hanya bertu­juan untuk menaikkan kadar natrium plasma pada hiponatremia ringan atau sedang. Disarankan untuk pembatasan cairan untuk mencegah kelebihan cairan lebih lanjut. Direkomendasikan untuk tidak memberikan antagonis reseptor vaso­presin dan  demeclocycline (Spasovki, 2014).



1.3.8. Pasien dengan sindrom sekresi hormone antiduretik taksesuai

Pada hiponatremia sedang atau berat, disarankan untuk membatasi asupan cairan sebagai tatalaksana lini pertama. Pada hiponatremia sedang atau berat, disarankan hal-hal berikut yang dapat setara dengan tatalaksana lini kedua: menaikkan asupan solut dengan 0,25 – 0,50 g/kg/hari urea atau kombinasi diuretik dosis rendah dan natrium klorida oral. Pada hiponatremia sedang atau berat, direkomendasikan untuk tidak memberikan lithium atau demeclocycline. Pada hiponatremia sedang, tidak direkomendasikan pemberian  antagonis resep­tor vasopresin. Pada hiponatremia berat, tidak direkomendasika untuk memberikan antagonis reseptor vasopressin (Spasovki, 2014).



1.3.9. Pasien dengan kekurangan cairan

Direkomendasikan untuk mengembalikan volume cairan ekstraselular dengan infus intravena salin 0,9% atau cairan kristaloid yang setara dengan kecepatan 0,5 – 1,0 mL/kg/jam. Menatalaksana pasien dengan gangguan hemodinamik di lingkungan dimana monitoring biokimia dan klinis dapat dilakukan dengan ketat. Pada kasus dengan hemodinamik terganggu, kebutuhan untuk resusitasi cairan cepat mengesampingkan risiko untuk menaikkan kadar natrium den­gan cepat (Spasovki, 2014).



2.      Kalium

2.1. Fisiologi Kalium

Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada di dalam cairan intrasel. Konsentrasi kalium intrasel sekitar 145 mEq/L dan konsentrasi kalium ekstrasel 4-5 mEq/L (sekitar 2%). Jumlah kalium ini dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Jumlah kalium pada wanita 25% lebih kecil dibanding pada laki-laki dan jumlah kalium pada orang dewasa lebih kecil 20% dibandingkan pada anak-anak (Priest, 1996).

Perbedaan kadar kalium di dalam plasma dan cairan interstisial dipengaruhi oleh keseimbangan Gibbs-Donnan, sedangkan perbedaan kalium cairan intrasel dengan cairan interstisial adalah akibat adanya transpor aktif (transpor aktif kalium ke dalam sel bertukar dengan natrium). Jumlah kalium dalam tubuh merupakan cermin keseimbangan kalium yang masuk dan keluar. Kalium difiltrasi di glomerulus, sebagian besar (70- 80%) direabsorpsi secara aktif maupun pasif di tubulus proksimal dan direabsorpsi bersama dengan natrium dan klorida di lengkung henle. Kalium dikeluarkan dari tubuh melalui traktus gastrointestinal kurang dari 5%, kulit dan urine mencapai 90% (Priest, 1996).

Nilai rujukan kalium serum pada:

- Serum bayi: 3,6-5,8 mmol/L

- Serum anak: 3,5-5,5 mmo/L

- Serum dewasa: 3,5-5,3 mmol/L

- Urine anak: 17-57 mmol/24 jam

- Urine dewasa: 40-80 mmol/24 jam

- Cairan lambung: 10 mmol/L



2.2.Gangguan Keseimbangan Kalium

Bila kadar kalium kurang dari 3,5 mEq/L disebut sebagai hipokalemia dan kadar kalium lebih dari 5,3 mEq/L disebut sebagai hiperkalemia. Kekurangan ion kalium dapat menyebabkan frekuensi denyut jantung melambat. Peningkatan kalium plasma 3-4 mEq/L dapat menyebabkan aritmia jantung, konsentrasi yang lebih tinggi lagi dapat menimbulkan henti jantung atau fibrilasi jantung (Darwis, et al., 2008).

Penyebab Hipokalemia Penyebab hipokalemia dapat dibagi sebagai berikut:

a.       Asupan Kalium Kurang

Orang tua yang hanya makan roti panggang dan teh, peminum alkohol yang berat sehingga jarang makan dan tidak makan dengan baik, atau pada pasien sakit berat yang tidak dapat makan dan minum dengan baik melalui mulut atau disertai oleh masalah lain misalnya pada pemberian diuretik atau pemberian diet rendah kalori pada program menurunkan berat badan dapat menyebabkan hipokalemia.

b.      Pengeluaran Kalium Berlebihan

Pengeluaran kalium yang berlebihan terjadi melalui saluran cerna seperti muntah-muntah, melalui ginjal seperti pemakaian diuretik, kelebihan hormon mineralokortikoid primer/hiperaldosteronisme primer (sindrom barter atau sindrom gitelman) atau melalui keringat yang berlebihan).

Diare, tumor kolon (adenoma vilosa) dan pemakaian pencahar menyebabkan kalium keluar bersama bikarbonat pada saluran cerna bagian bawah (asidosis eriodic). Licorice (semacam permen) yang mengandung senyawa yang bekerja mirip eriodicia, dapat menyebabkan eriodicia jika dimakan berlebihan.





c.       Kalium Masuk ke Dalam Sel

Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel, pemberian insulin, peningkatan aktivitas beta-adrenergik (pemakaian β2- agonis), paralisis eriodic hipokalemik, dan hipotermia.

(Yaswir dan Ferawati, 2012).



2.3.Tatalaksana

Penyebab dari hipokalemia merupakan bagian dari terapi hipokalemia. Indikasi koreksi kalium dibagi dalam :

-          Indikasi mutlak : pemberian kalium mutlak segera diberikan yaitu pada keadaan pasien sedang dalam pengobatan digitalis, pasien dengan ketosidosis diabetik, pasien dengan kelemahan otot pernafasan dan pasien dengan hipokalemia berat (<2 mEq/L)

-          Indikasi kuat : kalium harus diberikan dalam waktu tidak terlalu lama yaitu pada keadaan insufisensi coroner/ iskemia otot jantung, ensefalopati hepatik dan pasien menggunakan obat yang dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ekstra ke intrasel.

-          Indikasi sedang : pemberian kalium tidak perlu segera, seperti pada hipokalemia ringan ( K 3-3,5 mEq/L).

Kalium dapat diberikan secara oral atau intravena. Kalium intrvena diberikan pada pasien yang tidak mampu minum obat. Pemerian kalium oral :

-          Pemberian Kalium 40-60 mEq dapat meningkatkan kadar kalium 1-1,5 mEq/L dan pemberian 135-60 mEq dapat meningkakan kadar kalium 2,5-3,5 mEq/L.

Pemberian kalium intravena :

-          Kecepatan pemberian KCL melalui vena perifer 10 mEq per jam, atau melalui vena sentral 20 mEq per jam atau lebih pada keadaan tertentu.

-          Konsentrasi cairan infus KCL bila melalui vena perifer, KCL maksimal 60 mEq dilarutkan dalam NaCl isotonis 1000 ml karena bila melebihi dapat menimbulkan rasa nyeri dan menyebabkan sclerosis vena.

-          Konsentrasi cairan infus kalium bila melalui vena central, KCL maksimal 40 mEq dilarukan dalam NaCl isotonis 100 ml.

-          Pada keadaan arimia yang berbahaya atau adanya kelumpuhan otot pernafasan, KCL dapat diberikan dengan kecepatan 40-100 meq/jam. KCL sebanyak 20 meq dilarutkan dalam 100 ml NaCl isotonik.

Sediaan yang dipilih adalah kalium khlorida karena meningkatkan kalium plasma lebih cepat dibandingkan kalium kalium bikarbonat, kalium fosfat atau kalium sitrat (Nuwin, 2011).



3.      Klorida

3.1.Fisiologi Klorida

Klorida merupakan anion utama dalam cairan ekstrasel. Pemeriksaan konsentrasi klorida dalam plasma berguna sebagai diagnosis banding pada gangguan keseimbangan asam-basa, dan menghitung anion gap. Sekitar 88% klorida berada dalam cairan ekstraseluler dan 12% dalam cairan intrasel. Konsentrasi klorida pada bayi lebih tinggi dibandingkan pada anak-anak dan dewasa (Klutts and Scott, 2006).

Keseimbangan Gibbs-Donnan mengakibatkan kadar klorida dalam cairan interstisial lebih tinggi dibanding dalam plasma. Klorida dapat menembus membran sel secara pasif.  Perbedaan kadar klorida antara cairan interstisial dan cairan intrasel disebabkan oleh perbedaan potensial di permukaan luar dan dalam membran sel (Klutts and Scott, 2006).

Jumlah klorida dalam tubuh ditentukan oleh keseimbangan antara klorida yang masuk dan yang keluar. Klorida yang masuk tergantung dari jumlah dan jenis makanan. Kandungan klorida dalam makanan sama dengan natrium. Orang dewasa pada keadaan normal rerata mengkonsumsi 50-200 mEq klorida per hari, dan ekskresi klorida bersama feses sekitar 1-2 mEq perhari. Drainase lambung atau usus pada diare menyebabkan ekskresi klorida mencapai 100 mEq perhari. Kadar klorida dalam keringat bervariasi, rerata 40 mEq/L. Bila pengeluaran keringat berlebihan, kehilangan klorida dapat mencapai 200 mEq per hari. Ekskresi utama klorida adalah melalui ginjal (Klutts and Scott, 2006).



3.2.Gangguan Klorida

Penyebab Hipoklorinemia

Hipoklorinemia terjadi jika pengeluaran klorida melebihi pemasukan. Penyebab hipoklorinemia umumnya sama dengan hiponatremia, tetapi pada alkalosis metabolik dengan hipoklorinemia, defisit klorida tidak disertai defisit natrium. Hipoklorinemia juga dapat terjadi pada gangguan yang berkaitan dengan retensi bikarbonat, contohnya pada asidosis respiratorik kronik dengan kompensasi ginjal (Klutts and Scott, 2006).

Penyebab Hiperklorinemia

Hiperklorinemia terjadi jika pemasukan melebihi pengeluaran pada gangguan mekanisme homeostasis dari klorida. Umumnya penyebab hiperklorinemia sama dengan hipernatremia. Hiperklorinemia dapat dijumpai pada kasus dehidrasi, asidosis tubular ginjal, gagal ginjal akut, asidosis metabolik yang disebabkan karena diare yang lama dan kehilangan natrium bikarbonat, diabetes insipidus, hiperfungsi status adrenokortikal dan penggunaan larutan salin yang berlebihan, alkalosis respiratorik. Asidosis hiperklorinemia dapat menjadi petanda pada gangguan tubulus ginjal yang luas (Klutts and Scott, 2006).






DAFTAR PUSTAKA



Darwis, D. Moenajat, Y., Nur, B.M., Madjid, A.S., Siregar, P., Aniwidyaningsih, W., et al. 2008. Fisiologi Keseimbangan Air dan Elektrolit: dalam Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa, Fisiologi, Patofisiologi, Diagnosis dan Tatalaksana Ed. ke-2. Jakarta: FK-UI.

Fischbach F, Dunning M.B, Talaska F, Barnet M, Schweitzer T.A, Strandell C, et al. 2009. Chlorida, Potassium, Sodium In: A Manual of Laboratory and Diagnostic Test, 8th Ed. Lippincot Wiliams and Wilkins. pp. 997- 1009.

Hawfield A, DuBose T. Acid-Base Balance Disorders. eLS. 2010;.

Horne, M. M & Swearingen,P. L. (2000). Keseimbangan cairan, elektrolit, & Asam Basa. (ed. 2). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Juffrie, M. 2004. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit pada Penyakit Saluran Cerna Penyakit Saluran Cerna. Sari Pediatri. Vol. 6 (1): 52-59.

Klutts J.S. and Scott M.G. 2006. Physiology and disorders of Water, Electrolyte, and AcidBase Metabolism In: Tietz Text Book of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostics 4 th Ed. Vol. 1. Philadelphia: Elsevier Saunders Inc.

Nuwin R, Luf FC, Shirley G. 2011. Pathiphysiology and Management Hypokalemia: Clinical Perspective,7:75-84.

Priest, G., Smith, B., and Heitz. 1996. 9180 Electrolyte Analyzer Operator’s Manual 1st Ed. USA: AVL Scientific Corporation.

Scott, M.G., LeGrys, V.A., and Klutts J. 2006. Electrochemistry and Chemical Sensors and Electrolytes and Blood Gases In: Tietz Text Book of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostics, 4th Ed. Vol. 1. Philadelphia: Elsevier Saunders Inc.

Seifter JL. Integration of acid–base and electrolyte disorders. N Engl J Med. 2014;371(19):1821–1831

Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-5. Jakarta: Interna publishing.

Spasovki G., Raymond Vanholder.  2014. Panduan Praktik Klinis Diagnosis dan Tatalaksana Hipnotremia. Europe: ERBP.

Stefan Silbernagl and Florian Lang. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Yaswir, R., dan Ferawati, I. 2012. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium, Kalium dan Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas. 1(2): 80-8

1 komentar:

Blog27999 mengatakan...

If you're trying to lose pounds then you absolutely have to jump on this totally brand new custom keto meal plan.

To create this keto diet service, certified nutritionists, fitness couches, and top chefs have united to provide keto meal plans that are productive, painless, money-efficient, and delicious.

Since their grand opening in 2019, 100's of individuals have already completely transformed their body and health with the benefits a good keto meal plan can provide.

Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover 8 scientifically-proven ones provided by the keto meal plan.

Posting Komentar