Akhmad Andy Sandra
Ceacelia Leny
Riska Ayu Wulan Dira
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
Taeniasis adalah infeksi yang
disebabkan oleh cacing pita dewasa, sedangkan cysticercosis adalah infeksi yang
disebabkan oleh larva cacing pita, baik pada hewan maupun manusia. Taeniasis
dan cysticercosis merupakan penyakit penting pada manusia, dan masih banyak ditemukan
di berbagai negara, terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk
Indonesia (Rajshekhar et al., 2003). Tingkat kejadian infeksi cacing pita pada manusia
di Indonesia tergolong tinggi, tertutama di daerah miskin dengan tingkat sanitasi
lingkungan rendah, tidak tersedianya jamban keluarga, serta adanya akses ternak
babi makan tinja manusia (Assa et al., 2012; Dharmawan et al., 2012). Taeniasis
atau cysticercosis bersifat endemis di beberapa daerah di Indonesia. Di
Kabupaten Jayawijaya Papua, dilaporkan tingkat kejadian infeksi taeniasis pada manusia
mencapai 8% dan infeksi cysticercosis mencapai 32% (Subahar et al., 2001; 2005,
Cai et al., 2006). Prevalensi cysticercosis pada manusia di Papua saat ini masih
menduduki urutan tertinggi di dunia (Rajshekhar et al., 2003; Margono et al.,
2006; Suroso et al., 2006; Wandra et al., 2006). Laporan penelitian
cysticercosis working group di Papua menunjukkan bahwa prevalensi taeniasis
atau cysticercosis sejak 37 tahun yang lalu tidak terjadi penurunan. Prevalensi
tertinggi ditemukan di Jayawijaya dan Panai (Wandra et al., 2006). Assa et al.,
(2012) melaporkan bahwa rataan seroprevalensi cysticercosis di Papua 40,54% dengan
kasus terbesar ditemukan di Distrik Asolokobal 92,8% dan terendah di Distrik
Wamena Kota 5,8%. Demikian pula di daerah lainnya seperti di beberapa desa di
Bali, Sumatera Utara, dan Papua merupakan wilayah endemis taeniasis di Indonesia
(Sutisna et al., 2000; Morgono et al., 2006; Wandra et al., 2003, 2006; Subahar
et al., 2005; Suroso et al., 2006; Sudewi et al., 2008; Assa et al., 2012;
Dharmawan et al., 2012). Seroprevalensi cysticercosis pada masyarakat Bali
relatif tinggi yaitu 5,2-21,0%, sedangkan prevalensi infeksi taeniasis berkisar
antara 0,4-23,0% (Wandra et al., 2006). Di wilayah ini, cysticercosis selain
menyerang babi juga merupakan salah satu penyebab kematian pada manusia akibat
migrasi larva T.solium (C.cellulosae) ke otak yang dikenal dengan nama neurocysticercosis.
Kejadian neurocysticercosis telah banyak dilaporkan di berbagai negara (Rajshekhar
dan Chandy, 1997; Sawhneyet al., 1998; Cruz et al., 1999; Ito el al., 2003;
Singhi dan Singhi, 2004; Arimbawa et al., 2004; Towns et al., 2004; Hawk et
al., 2005).
Dalam siklus hidupnya, cacing
pita pada manusia umumnya disebabkan oleh Taenia solium, dan hewan yang
berperan sebagai inang antara adalah babi (Galan-Puchades dan Feuntes, 2000).
Larva cacing pita yang ditemukan pada babi disebut cysticercus (cacing gelembung).
Manusia dapat terinfeksi bila makan daging terinfeksi yang tidak dimasak sempurna
(Galan-Puchades dan Feuntes, 2000; Suroso et al., 2006; Sudewi et al., 2008;
Assa et al., 2012; Dharmawan et al., 2012).
Untuk mencegah penularan penyakit dari ternak ke manusia,
maka sangat diperlukan adanya metode pemeriksaan daging yang murah, sensitif,
dan spesifik. Pemeriksaan daging yang diterapkan saat ini oleh instansi terkait
adalah secara inspeksi (Direktorat Kesmavet, 2005). Metode tersebut mempunyai sensitivitas
yang sangat rendah, sehingga peluang memberikan hasil negatif palsu cukup tinggi,
terutama pada ternak dengan intensitas infeksi yang rendah. Belakangan ini
banyak dikembangkan uji serologi untuk melacak keberadaan C.cellulosae dengan
mendeteksi keberadaan antibodi terhadap cacing tersebut (Sudewi et al., 2008).
Uji tersebut kerap memberikan hasil positif palsu, karena sering terjadinya reaksi silang dengan parasit lain serta
keberadaan antibodi akan tetap terdeteksi walaupun parasitnya sudah tidak ada
pada ternak tersebut. Oleh karena itu, perlu tersedia metode diagnostik untuk
melacak keberadaan C.cellulosae dengan menerapkan prinsip imunologis untuk
melacak antigen parasit tersebut dengan menggunakan antibodi monoklonal
(Artama, 1999; Astawa, 2002; Astawa et al., 2004). Tujuan penelitian ini adalah
memproduksi antibodi monoklonal anti C.cellulosae dan mempelajari
karakteristiknya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Bioteknologi
Bioteknologi dalam artian
pemanfaatan mikroorganisme untuk mengolah makanan dan minuman, telah dikenal
sejak jaman dahulu sebelum masehi. Orang mesir kuno telah mengenal pemanfaatan
mikroorgansime untuk membuat bir, anggur, vinegar, keju, tuak, yoghurt dsb.
Bioteknologi telah mengalami perkembangan sesuai jamannya untuk memproduksi;
alkohol, penisilin, dan akhirnya antibodi monoklonal. Secara lebih sederhana
bioteknologi merupakan eksploitasi komersial organisme hidup atau komponennya
seperti; enzim. Prospek ke depan, terdapat indikasi bahwa perkembangan
penerapan bioteknologi dalam segala bidang kehidupan akan semakin meningkat
dengan didukung oleh penemuan-penemuan baru dan penerapan metode-metode baru.
Kemajuan yang sangat menggembirakan dalam bioteknologi adalah penerapan
rekayasa genetika dengan menyisipkan gen-gen tertentu yang dikehendaki kedalam
sel yang telah dikultur dengan tujuan untuk memproduksi insulin dan/atau
beberapa hormon pertumbuhan dalam skala besar. Demikian pula penggunaan
antibodi monoklonal sangat meluas baik untuk penelitian maupun uji klinis
termasuk diagnosis dan bahkan upaya mencapai target spesifik untuk pengobatan.
Ciri-ciri bioteknologi modern; steril, produksi dalam jumlah banyak (massal),
kualitas standar dan terjamin. Selain itu, bioteknologi modern tidak terlepas
dengan aplikasi metode-metode mutakhir bioteknologi (current methods of
biotecnology) seperti: kultur jaringan, teknologi DNA rekombinan (recombinant
DNA technology), hibridoma, dan kloning.
B. Antibodi
Monoklonal (MAb)
Penemuan-penemuan baru dibidang immunologi (ilmu yang
mempelajari sistem kekebalan tubuh) telah berhasil diproduksi MAb secara
massal. Penemuan MAb dengan metode hibridoma dan kloning memiliki kelebihan
antara lain: peka (sensitivitas), khas (spesifitas), dan akurat. Kontribusi
pengaplikasian MAb telah dapat dirasakan manfaatnya khususnya dalam dunia riset
(research) seperti: enzymeimmunoassay (EIA) dan immunositokimia
(immunocytochemistry). Selain itu, MAb dapat pula digunakan untuk memberikan
jasa pelayanan dalam berbagai hal seperti: diagnosis suatu penyakit dengan akurat
dan cepat. Antibodi atau antiserum atau disebut juga sebagai immunoglobulin
(Ig) merupakan molekul glikoprotein yang tersusun atas asam amino dan
karbohidrat dan banyak dijumpai dalam serum atau plasma darah. Molekul Ig dapat
digambarkan menyerupai huruf Y dengan engsel (hinge). Molekul immunoglobulin
dapat dipecah oleh enzim papain atau pepsin (protease) menjadi 2 bagian yakni
Fab (fragment antigen binding) yaitu bagian yang menentukan spesifitas antibodi
karena berfungsi untuk mengikat antigen, dan Fc (fragment crystalizable) yang
menentukan aktivitas biologisnya dan yang akan berikatan dengan komplemen.
Sifat biokimiawi molekul Antibodi adalah memiliki spesifitas yang tinggi
sehingga menjadi keunggulan yang kemudian dimanfaatkan menjadi suatu teknik untuk
mendeteksi, mengukur, dan mengkarakterisasi molekul antigen spesifiknya
(Shupnik, 1999: 4). Ada 2 macam antibodi yaitu antibodi poliklonal dan
monoclonal. Antibodi polioklonal yaitu Ab yang dihasilkan oleh berbagai sel
limfosit sehingga kurang spesifik karena memiliki immunokimia berbeda dan
bereaksi dengan berbagai jenis epitope pada berbagai antigen. Sejak lama telah
dikenal teknik pembuatan Ab poliklonal secara konvensional yaitu dengan
memasukkan antigen ke tubuh organisme, maka akan merangsang pembentukan Ab yang
sering dikenal dengan istilah vaksinasi (immunisasi). Antibodi yang dihasilkan
secara konvensional mempunyai sifat poliklonal yakni mempunyai beberapa sifat
yang disebabkan antigen yang digunakan belum dimurnikan, sehingga kurang
spesifik untuk tujuan tertentu seperti riset dan terapi. Antibodi monoklonal
yaitu Ab yang dihasilkan oleh sel limfosit (klone sel plasma) yang terpilih dan
memiliki sifat sangat spesifik. Produksi molekul Ab merupakan tanggungjawab
dari klone-klone sel limfosit B (sel plasma) yang masing-masing spesifik
terhadap antigen. Menurut teori klonal, adanya interaksi antara antigen dengan
klone limfosit B akan merangsang sel tersebut untukberdiferensiasi dan
berproliferasi sehingga diperoleh sel yang mempunyai ekspresi klonal untuk
memproduksi antibodi. Produksi antibodi monoklonal merupakan gabungan penerapan
teknik hibridoma dan kloning. Pada hakekatnya produksi antibodi monoklonal
tetap mengikuti prinsip teori seleksi klonal (Artama, 1990: 165). Antibodi
monoklonal memiliki spesifitas dan sensitivitas yang sangat tinggi. Berdasarkan
ikatan antigen-anibodi (Ag-Ab). MAb banyak digunakan untuk kepentingan penelitian misalnya dalam teknik:
radioimmunoassay (RIA), enzyme linkage immuno-sorbent assay (ELISA), dan
immunositokimia. Prospek ke depan, ada indikasi bahwa perkembangan pemanfaatan
MAb dalam penelitian akan semakin meningkat dengan didukung oleh
penemuan-penemuan reseptor hormon baru dengan teknik kloning cDNA untuk
produksi reseptor spesifik hormon yang sangat murni dalam jumlah besar dan
tetap konsisten sehingga tetap memiliki keunggulan spesifitas dan sensitivitas.
Teknik tersebut akan sangat berarti terutama jika dihadapkan pada jumlah
material yang sangat sedikit (extremly small amount) seperti: kadar hormon yang
diproduksi oleh kultur sel granulosa folikel ovarium setelah diberi kurkumin
(Heru Nurcahyo & Soejono, 2001: 9). Teknik khusus dengan memanfaatkan MAb
dalam riset seperti:enzyme immuno assay(EIA), dan Immunositokimia.
C. Taenia solium
Taenia solium merupakan infeksi yang endemik pada
Amerika Tengah dan Selatan serta beberapa negara di Asia Tenggara seperti Korea
(Lee et al., 2010), Thailand, India, Filipina, Indonesia, Afrika, Eropa
Timur, Nepal, Bhutan, dan China (Rajshekhar et al., 2003). Prevalensi
tertinggi ditemukan pada Amerika Latin dan Afrika. Bahkan, prevalensi beberapa
daerah di Mexico dapat mencapai 3,6% dari populasi umum. Bolivia merupakan
salah satu negara dengan prevalensi tertinggi selain Brazil, Ekuador, Mexico,
dan Peru di America Latin (sesuai dengan kriteria Pan American Health
Organization, negara-negara dengan tingkat lebih dari 1% dianggap memiliki
tingkat prevalensi tinggi).
1.
Biologi dan Morfologi
Taksonomi
dari Taenia solium (Keas, 1999; Ideham dan Pusarawati, 2007):
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoidea
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Taeniidae
Genus
: Taenia
Spesies : solium
Taenia
solium (cacing pita babi) merupakan infeksi cacing yang distribusinya
kosmopolit. Cacing ini menginfeksi baik manusia dan babi. Manusia biasanya
sebagai hospes definitif atau hospes perantara, sedangkan babi sebagai hospes
perantara. Habitat cacing yang telah dewasa di dalam usus halus (jejunum bagian
atas) manusia, sedangkan larvanya terdapat di dalam jaringan organ tubuh babi
(Handojo dan Margono, 2008).
Cacing
dewasa dari Taenia solium berukuran panjang antara 2-4 meter, dan dapat hidup
sampai 25 tahun lamanya. Bentuk dari cacing dewasa seperti pipa, pipih
dorsoventral, dan tubuhnya terdiri atas
skoleks (kepala), leher, dan strobila yang terdiri dari segmen proglotid
(Ideham dan Pusarawati, 2007). Setiap cacing Taenia solium mempunyai segmen
yang berjumlah kurang dari 1000 buah (Soedarto, 2008).
Skoleks
Taenia solium berbentuk bulat, dengan garis tengah 1 mm, mempunyai 4 buah batil
isap dengan rostelum yang dilengkapi dengan 2 deret kait yang melingkar dan
berdiameter 5 mm, masing-masing sebanyak 25-30 buah (Handojo dan Margono,
2008).
Leher
cacing Taenia soliumpendek, berukuran panjang antara 5-10 milimeter (Soedarto,
2008). Strobila terdiri dari proglotid yang imatur, matur, dan gravid.
Proglotid imatur ukurannya lebih lebar daripada panjangnya, sedangkan proglotid
matang berbentuk hampir persegi empat (Ideham dan Pusarawati, 2007) dan
berukuran 12 mm x 6 mm (Soedarto, 2008).
Dalam
proglotid yang matang terdapat testis berupa folikel yang tersebar di seluruh
dorsal tubuh dan jumlahnya mencapai 150-200. Proglotid matang juga mempunyai
lubang genital yang terletak di dekat pertengahan segmen. Ovarium terletak di
bagian posterior, berbentuk 2 lobus yang simetris dan uterus terletak di tengah
seperti gada (Ideham dan Pusarawati, 2007).
Pada
proglotid gravid, terdapat 5-10 cabang lateral dari uterus di tiap sisi
segmen. Segmen gravid dilepaskan dalam bentuk rantai yang terdiri atas
5-6 segmen setiap kali dilepaskan (Soedarto, 2008).
2.
Siklus
Hidup
Cacing dewasa hidup di dalam tubuh
manusia pada usus halus (Handojo dan Margono, 2008). Cacing dewasa melepaskan
segmen gravid paling ujung yang akan pecah di dalam usus sehingga telur
cacing dapat dijumpai pada feses penderita. Apabila telur cacing yang matur
mengkontaminasi tanaman rumput atau pun peternakan dan termakan oleh ternak
seperti babi, telur akan pecah di dalam usus hospes perantara dan mengakibatkan
lepasnya onkosfer. Dengan bantuan kait, onkosfer menembus dinding usus, masuk
ke dalam aliran darah, lalu menyebar ke organ-organ tubuh babi, terutama otot
lidah, leher, otot jantung, dan otot gerak. Dalam waktu 60-70 hari pasca
infeksi, onkosfer berubah menjadi larva sistiserkus yang infeksius (Wandra et
al., 2007).
Manusia terinfeksi dengan cara makan
daging babi mentah atau kurang masak, yang mengandung larva sistiserkus (Ideham
dan Pusarawati, 2007). Di dalam usus manusia, skoleks akan mengadakan
eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding usus, lalu
tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk strobila. Dalam waktu 5-12
minggu atau 3 bulan, cacing Taenia solium menjadi dewasa dan mampu
memproduksi telur. Seekor cacing Taenia solium dapat memproduksi 50.000
sampai 60.000 telur setiap hari (Garcia et al., 2003; Garcia et al.,
2002).
Proglotid yang telah lepas, telur atau
keduanya akan dilepaskan dari hospes definitif (manusia) dalam bentuk feses.
Kemudian babi akan terinfeksi jika pada makanannya telah terkontaminasi dengan
telur yang berembrio atau proglotid gravid (Wandra et al., 2007).
Manusia juga dapat menjadi hospes perantara untuk Taenia solium (sistiserkorsis).
Hal ini dapat terjadi apabila manusia termakan telur dari cacing tersebut dari
hasil ekskresi manusia. Teori lainnya adalah autoinfeksi. Namun, teori ini
belum dibuktikan. Jika terdapat cacing pita dewasa pada usus, peristaltik yang
berlawanan pada gravid proglotid akan menyebabkan proglotid bergerak
secara retrograd dari usus ke lambung (Ideham dan Pusarawati, 2007). Telur
hanya dapat menetas apabila terpapar dengan sekresi gaster diikuti dengan
sekresi usus sehingga setelah terjadi peristaltik yang bersifat retrograd,
onkosfer akan menetas dan menembus dinding usus, mengikuti aliran kelenjar
getah bening atau aliran darah (Soedarto, 2008). Larva selanjutnya akan bermigrasi
ke jaringan subkutan, otot, organ viseral, dan sistem saraf pusat dan membentuk
sistiserkus. Sistiserkosis dapat terjadi pada berbagai organ dan gejala yang
timbul tergantung dari lokasi sistiserkus. Proglotid dari Taenia solium kurang
aktif dibandingkan dengan Taenia saginata sehingga kemungkinan untuk
ditemukan pada lokasi yang tidak seharusnya lebih jarang (Garcia et al.,
2002).
3.
Gejala Klinik
Kait-kait
pada skoleks Taenia solium umunya tidak banyak menimbulkan gangguan pada
dinding usus tempatnya melekat (Handojo dan Margono, 2008).
Penderita
taeniasis umumnya asimptomatik atau mempunyai keluhan yang umumnya ringan,
berupa rasa tidak enak di perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit
kepala, anemia (Soedarto, 2008), nyeri abdomen, kehilangan berat badan,
malaise, anoreksia, peningkatan nafsu makan, rasa sakit ketika lapar (hunger
pain), indigesti kronik, dan hiperestesia (Ideham dan Pusarawati, 2007).
Sangat jarang terjadi komplikasi peritonitis akibat kait yang menembus dinding
usus. Sering dijumpai kalsifikasi pada sistiserkus namun tidak menimbulkan
gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat pseudohipertrofi otot, disertai
gejala miositis, demam tinggi, dan eosinofilia (Handojo dan Margono, 2008).
Gejala
klinik yang berhubungan dengan abdomen lebih umum terjadi pada anak-anak dan
umumnya akan berkurang dengan mengkonsumsi sedikit makanan. Pada anak-anak,
juga dapat terjadi muntah, diare, demam, kehilangan berat badan, dan mudah
marah. Gejala lainnya yang pernah dilaporkan adalah insomnia, malaise, dan
kegugupan (Soedarto, 2008).
Adapun gejala yang muncul
disebabkan oleh karena adanya iritasi pada tempat perlekatan skoleks serta sisa
metabolisme cacing yang terabsorpsi yang menyebabkan gejala sistemik dan
intoksikasi ringan sampai berat (Ideham dan Pusarawati, 2007).
4.
Diagnosa
Diagnosis
pasti Taeniasis solium ditegakkan jika ditemukan cacing dewasa (segmen
atau skoleks yang khas bentuknya) pada tinja penderita atau pada pemeriksaan
daerah perianal. Namun, telur dan proglotid tidak akan ditemukan pada feses
selama 2-3 bulan setelah cacing dewasa mencapai bagian atas jejunum.
Pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa 3 sampel yang disarankan untuk
dikumpulkan pada hari yang berbeda. Telur cacing yang ditemukan tidak dapat
dibedakan dengan Echinococcus, penentuan mungkin dapat dilakukan apabila
ditemukan proglotid yang matang atau gravid dengan menghitung
percabangan uterus (Ideham dan Pusarawati, 2007).
Cara
lain untuk mendiagnosa taeniasis adalah dengan menemukan proglotid atau telur
dalam feses. Telur juga dapat ditemukan dengan menggunakan pita adhesif yang
ditempelkan pada daerah sekitar anus (Soedarto, 2008).
Adapun
pemeriksaan coproantigen dan molekuler yang mempunyai sensitivitas yang lebih
tinggi daripada pemeriksaan feses. Namun, pemeriksaan ini belum tersedia pada
luar laboratorium penelitian. Metode serologis juga hanya tersedia pada
lingkungan penelitian. Dengan metode serologis seperti ELISA dan PCR, dapat
dibedakan spesies dari Taenia (Soendarto, 2008).
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Penyiapan
Antigen C. Cellulosae
Cysticercus cellulosae
dibersihkan dari sisa lemak dan daging babi, kemudian dicuci dengan larutan PBS
yang mengandung antibiotik (PBSAb). Larva ditimbang sebanyak 10 g, digerus sampai
halus dengan mortar, kemudian ditambahkan larutan PBS-Ab perlahan-lahan sampai
volumenya 100 mL. Suspensi C. cellulosae disentrifus dengan kecepatan rendah (1000
rpm selama lima menit), supernatannya ditampung, kemudian diukur kadar
proteinnya, selanjutnya dialiquot, disimpan dalam freezer (-20oC) sampai
digunakan untuk imunisasi mencit.
B.
Imunisasi
Mencit Balb/c
Imunisasi mencit dilakukan
seperti metode yang dilakukan Astawa (2002). Dalam hal ini, mencit diimunisasi
empat kali dengan skema berikut. Suspensi antigen C. cellulosae, 45 hari sebelum
fusi, diemulsikan dalam Freund’s complete adjuvant, kemudian disuntikkan kepada
empat ekor mencit masing-masing dengan dosis 0,2 mL secara intraperitoneal. Antigen
yang sama 30 dan 15 hari sebelum fusi diemulsikan dalam Freund’s incomplete adjuvant
kemudian disuntikan pada empat ekor mencit yang sama masing-masing dengan dosis
0,2 mL secara intraperitoneal. Seminggu setelah penyuntikan ke tiga, mencit
kembali diimunisasi dengan antigen yang sama tetapi tidak diemulsikan dalam
adjuvant pada empat ekor mencit dengan dosis 0,2 mL secara intraperitoneal. Pengambilan serum mencit
dilakukan seminggu setelah mencit diimunisasi terakhir, dan pengukuran respons
imunnya dilakukan dengan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Mencit yang
menunjukkan respons imun dengan nilai optical density (OD) tertinggi digunakan
untuk produksi antibodi monoklonal.
C.
Pembuatan
Antibodi Monoklonal (AbMo)
Mencit yang telah diimunisasi
selama 45 hari yang diambil serumnya dan menunjukkan adanya antibodi terhadap
cysticercus serta memiliki titer tertinggi, di-booster dengan suspensi antigen
cysticereus yang sama tanpa adjuvant berturut-turut pada hari kelima, keempat,
dan ketiga sel hybrid yang disebut sel hibridoma. Tujuh hari setelah fusi, sel
hibridoma dibiakan dalam media DMEM-HT sampai muncul klon hibridoma yang
menghasilkan antibodi terhadap antigen cysticercus. Skrining klon hibridoma yang menghasilkan
AbMo khas antigen C.cellulosae dilakukan dengan ELISA menggunakan antigen
cysticercus. Hibridoma yang terbukti menghasilkan AbMo terhadap cysticercus kemudian
diklon ulang dengan cara pengenceran terbatas sesuai dengan prosedur McKearn
(1980). Kloning ulang dilakukan agar diperoleh klon hibridoma yang dimulai dari
satu sel sehingga antibodi yang diproduksinya benarbenar monoklonal, yaitu
hanya mengenali satu jenis epitop. Sel hibridoma tersebut kemudian diisolasi
(AbMo stok) dan dipakai untuk menyiapkan AbMo dalam jumlah besar.
D.
Karakteristik
AbMo Anti-C.cellulosae
Penentuan Kekhasan AbMo
Anti-C. cellulosae dengan ELISA. Antigen C. cellulosae dan plasma babi normal
(kontrol negatif) diencerkan dalam coating buffer (15mM Na2CO3, 35mM NaHCO3 pH
9,6), selanjutnya sebanyak 100 μL antigen dimasukan ke dalam setiap lubang plat
mikro ELISA dan diinkubasi pada suhu 4oC semalam. Pencucian dilakukan dengan
Phosphate Buffer Saline (PBS) yang berisi 0,05% Tween 20 (PBS-T) sebanyak tiga kali,
selanjutnya ke dalam setiap lubang plat mikro ELISA ditambahkan 100 μL blocking
buffer (5% susu skim dalam PBS-T). Setelah diinkubasi pada suhu 37oC selama 30
menit, susu skim dibuang, kemudian ditambahkan 100 μL AbMo ke dalam setiap
lubang plat mikro ELISA dan diinkubasikan kembali pada suhu 37oC selama 60 menit.
Pencucian kembali dilakukan seperti di atas, dan kemudian ditambahkan 100 μL
anti-mouse IgG-horse radish peroksidase (Bio-Rad USA, pengenceran 1: 2000 dalam
PBST) ke
dalam setiap lubang plat mikro ELISA dan diinkubasikan kembali pada suhu 37oC selama
60 menit. Setelah pencucian seperti di atas, ditambahkan 100 μL substrat TMB
(Bio- Rad, USA) ke dalam setiap lubang plat mikro ELISA. Kepekatan warna
substrat kemudian dibaca dengan multi scan spectrophotometer menggunakan filter
405nm.
E.
Penentuan
Kekhasan AbMo Anti- C.cellulosae dengan Westernblotting
Protein cysticercus diencerkan dalam sample reducing
buffer (SDS 2,3%, mercapto-ethanol 5%, Tris-HCl 0,0625 M. pH. 6,0, gliserol
10%, bromophenol blue 0,001%) dan dianalisis dengan Sodium Dodecylsulphate-
Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE). Protein cysticercus yang telah
dipisahkan dalam gel kemudian ditransfer ke membran nitroselulosa. Membran
nitroselulosa dipotong kecil-kecil dan direaksikan dengan AbMo. Adanya ikatan antara
AbMo dengan protein cysticercus divisualisasikan dengan penambahan antimouse IgG
alkaline phosphatase dan substrat BCIP/NBT.
Pemurnian AbMo dengan Kolom Agarose
Protein A. Kolom agarose protein-A dipasang pada statif, kemudian dicuci dengan
wash buffer 10 mL, selanjutnya dicuci dengan binding buffer 10 mL. Antibodi
monoklonal yang dimurnikan, dicampur dengan binding buffer 1:1, kemudian
disentrifus dengan kecepatan 10.000 g selama lima menit,selanjutnya AbMo
tersebut dimasukan ke dalam kolom, ditunggu sampai habis menetes pada tanda
resin. Kolom dicuci dengan 10 mL binding buffer, kemudian kolom diisi 5 mL
Elution buffer (diencerkan 5 kali dengan PBS). Fraksi elusi (eluet) ditampung
setiap 1 mL dalam eppendorf dan segera ditambahkan 50 μL neutralisation buffer.
Eluet yang mengandung AbMo ditentukan dengan ELISA, dan hasilnya dibaca pada
spectrophotometer menggunakan filter 450 nm. Kolom dicuci dengan 10 mL elution
buffer dan diikuti dengan 5 mL akuades yang mengandung 0,02% sodium azide. Jika
sisa larutan tinggal 2 mL di atas resin, kolom ditutup dan disimpan pada suhu
4oC. Data hasil pembuatan AbMo dan karakteristiknya, dijelaskan secara
deskriptif.
F.
Respons
Imun Mencit yang Diimunisasi dengan Antigen C.cellulosae
Sampel larva cacing pita babi (C. cellulosae) diambil
dari Kabupaten Karangasem, Provinsi-Bali. Sampel larva dibuat antigen suspensi
C. cellulosae 10% dalam larutan PBS-Ab, dialiquot dalam eppendorf, kemudian
diukur kadar proteinnya dengan Quibit Fluorometer dan hasilnya didapatkan
sebesar 467 μg/mL. Program imunisasi pada mencit dilakukan empat tahap dan setelah
proses imunisasi selesai, serum mencit diambil, kemudian diukur respons imunnya
dengan ELISA.
Uji statistika menunjukkan
bahwa rataan optical dencity respons
imun mencit yang diimunisasi dengan antigen C. cellulosae (1,1001 ± 0,2478a)
lebih tinggi bila dibandingkan dengan mencit yang tidak diimunisasi (0,683 ±
0,0556b), dan secara statistika menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01). Respons imun merupakan aktivasi dari klon limfosit mencit yang
dapat mengenali antigen C. cellulosae yang telah pernah terpapar sebelumnya
karena perlakuan imunisasi secara berulang. Fase awal dari respons imun adalah mengenali
antigen dan ekspansi klon yang diperlukan, fase berikutnya adalah deferensiasi dari
sel yang memberi respons dan rekrutmen serta aktivasi sistem efektor (misalnya
produksi antibodi), aktivasi dari sel makrofag, dan pembentukan sel sitotoksik.
Imunisasi mencit dengan antigen C. cellulosae dapat menimbulkan respons imun
selular maupun humoral. Limfosit T yang bertanggung jawab untuk respons imun
selular, dirangsang untuk memproduksi sejumlah zat yang diperlukan untuk memacu
berbagai reaksi, sedangkan aktivasi sel B mengakibatkan sel tersebut berproliferasi
dan berdiferensiasi kemudian memproduksi antibodi. Respons imun sekunder pada
mencit umumnya timbul lebih cepat dan lebih kuat daripada respons imun primer.
Hal ini disebabkan adanya sel T dan sel B memori serta antibodi yang tersisa.
Masuknya antigen C. cellulosae pada imunisasi berikutnya, sudah dikenali oleh
sel B spesifik secara lebih efisien dan dapat bertindak sebagai
antigen-presenting cell (APC). Karena jumlah sel T dan sel B lebih banyak
dibandingkan sel lainnya, maka kemungkinan untuk berinteraksi dengan antigen C.
cellulosae lebih besar sehingga titer antibodi terhadap C. cellulosae juga cepat
meningkat.
G.
Hasil
Fusi Sel Limfosit yang Telah Imunisasi dengan Antigen C. Cellulosae dengan Sel
Mieloma (NS1)
Hasil fusi antara sel limfosit mencit dengan sel mieloma membentuk sel
hibridoma. Pengamatan pertumbuhan sel hibridoma baru tampak mulai hari ke-10
setelah fusi (Gambar 1). Jumlah sel hibridoma yang diproduksi sebanyak 51 klon,
dan selanjutnya diskrining dengan ELISA. Hasil skrining menunjukkan hanya 10
klon yang memberikan hasil reaktivitas kuat.
Skrining dengan
ELISA didapatkan 10 klon sel hibridoma yang menghasilkan reaktivitas kuat
terhadap C. cellulosae. Klon sel hibridoma tersebut terus ditumbuhkan dalam
media DMEM-HT, dan akhirnya hanya tiga yang secara kontinyu tetap menghasilkan
AbMo anti-C. cellulosae. Semua AbMo yang berhasil diproduksi, bereaksi hanya
dengan antigen C.cellulosae. Antibodi monoklonal tersebut perlu dikarakteristik
lebih lanjut, antara lain meliputi penentuan kekhasan AbMo anti-C. cellulosae
dengan ELISA, penentuan berat molekul protein antigen C. cellulosae yang bereaksi
dengan AbMo, dan pemurnian AbMo. Antibodi monoklonal yang dihasilkan oleh sel hibridoma,
diberinama sesuai dengan lubang tempat klon sel hibridoma tersebut ditemukan, yaitu
BE6, BE7, dan EE9.
Antibodi monoklonal terhadap C. Cellulosae dapat dibuat dengan cara
memfusikan sel mieloma (sel tumor) dengan sel limfosit mencit yang telah
dikebalkan dengan antigen C. cellulosae. Dalam hal ini mencit Balb/c dikebalkan
dengan antigen C. cellulosae asal babi. Beberapa faktor penting yang menentukan
keberhasilan produksi AbMo antara lain antigen yang dipakai untuk imunisasi
mencit, metode skrining yang dipakai untuk melacak sel hibridoma yang
menghasilkan antibodi terhadap antigen C. cellulosae, dan kualitas pertumbuhan sel
mieloma (Astawa, 2002; Tenaya, 1997).
Dalam penelitian ini antigen yang dipakai untuk imunisasi mencit adalah
protein C.cellulosae yang diekstrak dengan PBS dan digerus dengan mortar.
Dengan cara seperti ini diperoleh protein C. cellulosae yang larut dalam air,
sehingga sebagian besar protein yang diperoleh adalah protein larva. Respons
imun mencit yang muncul setelah imunisasi, sebagian besar merupakan antibodi
terhadap C. cellulosae. Antigen yang sama juga dipakai dalam ELISA untuk
melacak sel hibridoma yang menghasilkan antibodi terhadap C. cellulosae. Namun,
untuk menghindari adanya sel hibridoma yang mengahasilkan antibodi terhadap
jaringan normal inang (babi) asal larva cacing itu diperoleh, maka AbMo juga
diuji dengan cairan tubuh (plasma/ekstrak jaringan) babi. Banyak peneliti menggunakan
antigen yang tidak dimurnikan untuk mengimunisasi mencit dalam pembuatan AbMo
(Astawa et al., 2004). Namun, yang lebih penting adalah metode yang dipakai
untuk melacak sel hibridoma yang menghasilkan antibodi terhadap antigen yang diinginkan.
Banyak peneliti menggunakan uji ELISA untuk skrining AbMo karena sangat sederhana
dan dapat dipakai untuk melacak sampel dalam jumlah besar (Ohnishi et al., 2005,
Astawa et al., 2004). Setiap hasil positif dengan ELISA, harus diuji lebih
lanjut dengan uji yang lain seperti uji Western blotting agar semua antibodi
yang diperoleh benar-benar bereaksi secara khas terhadap C. cellulosae.
H.
Karakteristik
AbMo Anti-C.cellulosae
Dalam penelitian ini diperoleh tiga AbMo yang
bereaksi secara khas dengan antigen C.cellulosae. Karakteristik AbMo tersebut disajikan
berikut ini.
Penentuan Kekhasan AbMo Anti-C. cellulosae dengan ELISA.
Dari 10 klon sel hibridoma yang dikembangkan, ternyata hanya tiga yang
menghasilkan antibodi monoklonal (AbMo) khas anti-C. cellulosae (Gambar 2).
Pada Gambar 2 ditunjukkan bahwa supernatan yang menghasilkan AbMo adalah BE6
dengan titer di atas 27 , BE7 dengan titer di atas 27 dan EE9 dengan
titer 23.
Kemampuan AbMo untuk melacak antigen C. cellulosae yang diperoleh dari
daging babi terinfeksi, dilakukan dengan ELISA. Dalam hal ini AbMo diencerkan
berkelipatan dua. Dua AbMo yaitu BE6 dan BE7 memiliki reaktivitas kuat (+++)
dengan titer di atas 27 (OD 405nm) dan satu AbMo (EE9) bereaktivitas
sedang (++) dengan titer 23.
Metode skrining merupakan faktor yang penting bagi seleksi sel hibridoma
yang menghasilkan antibodi terhadap larva cacing pita T. solium. Dalam
penelitian ini antigen yang dipakai dalam ELISA untuk skrining hibridoma adalah
cairan larva cacing pita T. solium yang diperoleh dari daging babi terinfeksi.
Dengan antigen tersebut ELISA dipastikan melacak antibodi terhadap antigen larva
cacing maupun terhadap antigen daging babi yang secara normal terdapat dalam
cairan larva. Hal tersebut karena imunisasi mencit dengan antigen yang juga
berasal dari cairan larva yang sudah tentu juga mengandung antigen asal babi.
Namun, dengan ELISA menggunakan plasma babi normal, hibridoma yang menghasilkan
antibodi terhadap cairan daging babi dapat disingkirkan.
I.
Penentuan
Kekhasan AbMo Anti-C.cellulosae dengan Western blotting
Pada uji Western blotting,
tidak semua AbMo yang diproduksi bereaksi dengan antigen C. cellulosae asal
babi. Dua AbMo yaitu BE6 dan BE7 mengenali pita protein C. Cellulosae dengan
bobot molekul 78 kDa, sedangkan satu AbMo (EE9) tidak mengenali pita protein C.
cellulosae. Ketiga AbMo tidak bereaksi dengan cairan plasma dan ekstrak daging
babi normal (Gambar 2). Satu AbMo yang tidak bereaksi pada uji Western blotting
mungkin disebabkan oleh tidak dikenalinya antigen larva cacing pita yang telah
mengalami denaturasi pada penyiapan antigen untuk uji Western blotting. Dalam
penyiapan antigen untuk uji Western blotting, antigen larva cacing pita telah mengalami
denaturasi dengan SDS dan mercapto ethanol. Ini berbeda dengan ELISA yang
menggunakan antigen tidak didenaturasi dengan senyawa tersebut. Belum diketahui
spesifisitas pita protein yang dikenali oleh AbMo yaitu 78 kDa. Uji masih harus
dilakukan untuk menentukan apakah pita protein tersebut khas larva cacing pita
T. solium, atau juga ditemukan pada larva cacing pita lainnya, seperti larva
cacing pita T. hidatigena yang sering dijumpai pada babi dan larva cacing pita T.
saginata yang umum ditemukan pada sapi.
Dengan indirect ELISA, AbMo
mampu melacak antigen larva cacing pita T. Solium dengan reaktivitas kuat (BE6
dan BE7). Satu AbMo (EE9)menunjukkan reaktivitas sedang. Reaktivitas AbMo dalam
ELISA yang hasilnya beraneka ragam menunjukkan bahwa kemampuan sel hibridoma
untuk mensekresi AbMo juga berbeda-beda. Dalam beberapa penelitian juga
menunjukkan bahwa AbMo yang dihasilkan oleh klon hibridoma juga mempunyai reaktivitas,
afinitas, dan titer yang berbeda-beda.
J.
Pemurnian
AbMo dengan Kolom Agarose Protein-A
Antibodi monoklonal dimurnikan menggunakan kolom agarose protein-A dan
hasil pemurniannya (eluet) ditampung dalam eppendorf yang berisi masing-masing
1 mL. Eluet tersebut kemudian diuji ELISA untuk mengetahui eluet ke berapa AbMo
muncul dan berapa titernya?
Pemurnian AbMo dilakukan terhadap BE6 dan BE7, karena hanya kedua AbMo
tersebut yang memberikan reaksi spesifik pada uji Western blotting untuk
pengembangan uji selanjutnya. Pada uji Western blotting, kedua AbMo tersebut
bereaksi secara spesifik hanya dengan antigen C.cellulosae, dan keduanya tidak bereaksi
dengan cairan plasma maupun sel normal. Hasil ini menunjukkan bahwa AbMo anti-C.cellulosae
dapat dihasilkan melalui imunisasi pada mencit menggunakan antigen yang relatif
tidak dimurnikan. Penggunaan antigen kasar bagi keperluan imunisasi untuk memproduksi
antibodi juga telah dilaporkan oleh Pantophlet et al. (2001). Isotipe antibodi yang
terbentuk akibat imunisasi atau infeksi agen penyakit dipengaruhi oleh jenis
antigen, frekuensi imunisasi, dan jumlah pengulangan imunisasi. Secara umum
antigen berupa molekul protein lebih mampu menginduksi antibodi tipe IgG
terutama jika dilakukan imunisasi berulang (booster). Namun, pada imunisasi
primer, antigen protein dapat juga menghasilkan antibodi dengan klas IgM (Chauvin
et al., 1995). Imunisasi yang terlalu sering dan dalam waktu lama dengan
imunogen protein yang memiliki imunogenitas sedang atau rendah, umumnya
menghasilkan antibodi klas IgG1 (Zang et al., 2004). Pemurnian AbMo dilakukan
dengan teknik kromatografi afinitas menggunakan kolom yang berisi matriks protein-A
agarose. Protein-A merupakan protein permukaan bakteri yang mempunyai afinitas kuat
dengan bagian Fc molekul antibodi. Namun afinitas protein terhadap IgG berbeda
di antara subklas IgG dan di antara spesies hewan (Yamamuto et al., 1995).
Menurut Nagaoka dan Akaike, (2003), protein A umumnya memiliki afinitas tinggi
terhadap IgG2a dan IgG2b mencit dan memiliki afinitas sedang sampai rendah
terhadap IgG1 mencit. Dengan kolom tersebut AbMo (IgG) yang berikatan dengan
protein A tertahan dalam matriks, sedangkan yang bukan IgG dan tidak berikatan dengan
protein A akan lewat bersama eluet. Molekul IgG dalam matriks kemudian dielusi dengan
larutan asam. Eluet diambil lima kali setiap satu mL dan diuji dengan ELISA.
Hasil pemurnian menunjukkan bahwa kedua AbMo (BE6 dan BE7) dapat dimurnikan
dengan protein-A agarose dengan titer paling tinggi pada eluet I dan II (27),
sedangkan pada eluet III sedikit mengandung AbMo; eluet IV dan V tidak mengandung
AbMo. Antibodi monoklonal yang belum dimurnikan memiliki optical density lebih
tinggi (1,440-1,800) bila dibandingkan dengan eluet 1 dan 2 (1,255-1,651). Hal
tersebut terjadi karena AbMo masih mengandung fraksi protein lainnya yang
berasal dari fetal calf serum (FCS) pada saat ditumbuhkan dalam media DMEM-HT
yang mengandung FCS 20%.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan
bahwa telah berhasil diproduksi antibodi monoklonal anti- C.cellulosae yang diberi
nama BE6, BE7 dan EE9. Karakterisasi AbMo ini mampu melacak antigen
C.cellulosae pada cairan larva dan dapat mengenali protein antigen C.cellulosae
dengan bobot molekul 78 kDa.
DAFTAR PUSTAKA
Arimbawa M, Kari IK, Laksminingsih NS. 2004. Neurocysticercosis.
Pediatrica Indonesiana 44 (7-8): 165 - 170.
Artama, W.T.
1990. Teknik Hibridoma untuk Porduksi Antibodi Monoklonal. Makalah Kursus Immuno-bioteknologi. Yogyakarta:
PAU UGM.
Artama W.T. 1999. Antibodi Monoklonal dan Rekombinan
Antibodi serta Aplikasi-nya dalam Imunoterapi. Prosiding Seminar Bioteknologi,
Bogor. Hal. 79 - 95.
Assa I, Satrija F, Lukman DW, Dharmawan NS, Dorny
P. 2012. Faktor Risiko Babi yang Diumbar dan Pakan Mentah Memper-tinggi Prevalensi
Sistiserkosis. J Veteriner 13(4): 345-352.
Astawa NM. 2002. Antibodi monoklonal sebagai reagen
diagnostik yang spesifik untuk infeksi avian reovirus. J Veteriner 3: 133- 139.
Astawa NM, Hartaningsih N, Dharma DMN, Supartika
E, Tenaya IWM. 2004. AntibodiMonoklonal dan Diagnosis Imunopatologi Penyakit
Jembrana pada Sapi Bali. Lokakarya Upaya Pencegahan Dan Diagnosis Penyakit
Jembrana Pada Sapi Bali, 1 Des 2004. Hotel Patra Jasa, Kuta, Bali.
Cai X, Zheng Y, Lou Z, Jing Z, Hu Z, Lu C. 2006. Immunodiagnoisis
of Taeniasis in China. The Journal of Applied Research 6: 69-76.
Chouvin A, Bouvet G, Boulard C. 1995. Humoral and
Cellular Immune Response to Fasciola hepatica Experimental Primary and Secondary
Infection in Sheep. Int J Parasitol 25(10): 1227-1241.
Cruz ME, Schantz, PM, Cruz I, Preux PM,BanitezW,
Tsang VC, Fermoso DM. 1999. Epilepsi and neurocycercosis in an Andean
community. Int J Epidemiol 29: 799-803.
Dharmawan NS, Swastika K, Putra I M, Wandra T,
Sutisna P, Okamoto M, Ito A. 2012. Present situation and problem of cysticercosis
in animal in Bali and Papua. J Veteriner 13(2): 154-162.
Direktorat Kesmavet. 2005. Pedoman Teknis Pemeriksaan
Antemortem dan Postmortem di Rumah Pemotongan Hewan. Jakarta. Ditjen Bina
Produksi Peternakan, Deptan. Hal 1-16
Galan-Puchades MT, Feuntes MV. 2000. The Asian
taenia and the possibilty of cysticercosis. The Korean Journal of Parasitology
28: 1-7.
Garcia, H.H.,
Evans, C.A.W., Nash, T.E., Takayanagui, O.M., White, A.C., Botero, D., et al.,
2002. Current Consensus Guidelines for Treatment of Neurocysticercosis. American
Society for Microbiology 15 (4): 747-756.
García, H.H.,
Gonzalez, A.E., Evans, C.E.A., and Gilman R.H., 2003. Taenia solium
Cysticercosis. Lancet 362: 547-556.
Handojo, I.,
dan Margono, S.S., 2008b. Taenia solium. Dalam: Sutanto I., Ismid, I.S.,
Sjarifuddin, P.K., dan Sungkar, S., ed. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran ed
4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 82-85.
Hawk MW, Shahlaie K, Kim KD, Theis JH. 2005. Neurocysticercosis:
a review. Surg Neurol 63: 123-32.
Heru Nurcahyo
& Soejono, S.K. 2001. Pengaruh Curcumin dan Pentagamavunon-0 (PGV0) terhadap Steroidogenesis yang
Dihasilkan oleh Kultur Sel Granulosa Berbagai
Ukuran Folikel. Mediagama. Vol. III, No. 3. Hal.: 1-11.
Ideham,
B., dan Pusarawati, S., 2007. Helmintologi Kedokteran. Surabaya: Airlangga
University Press, 77-81, 89-99.
Ito A, Nakao M, Wandra T. 2003. Human taeniasis and
cysticercosis in Asia. Lancet 362: 1918-1920.
Keas,
B., 1999. Taxonomic Classification. Available from: https://www.msu.edu/course/zol/316/tsoltax.htm
Lee, M.K.,
Hong, S.J., and Kim, H.R., 2010. Seroprevalence of tissue invading parasitic
infections diagnosed by ELISA in Korea. J Korean Med Sci 25 (9):
1272-1276.
Margono SS, Wandra T, Swasono MF, Murni S, Craig,
PS, Ito A. 2006. Taeniasis/ cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia.
Parasitol Inter 55: S 143-148.
McKearn TJ. 1980. Cloning hybridomas by limiting
dilution in liquid phase. In Monoclonal antibodies : new dimension in biological
analysis. (Kennet RH, McKearn TJ, Bectol KB Eds). New York. Plennum Press. P
374.
Nagaoka M, Akaike T. 2003. Single Amino Acid Substitution
in the Mouse IgG1 Fc Region Induce Drastic Enhanment of the Affinity to Protein
A. Oxford Journal 16 (4): 243-245.
Ohnishi K, Sakaguchi M, Kaji Tohiro. 2005. Immunological
Detection of Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus by Monoclonal Antibodies.
Jpn J Infect Dis 58: 88-94.
Pantophlet R, Brade L, Brade H. 2001. Generation
and Serological Characterization of Murine Monoclonal Antobodies Against O
Antigens from Actinobacter Refference Strains. Clin Diag Lab Immunol 8:
825-827.
Rajshekhar V, Chandy MJ. 1997. Validation of diagnostic
criteria for solitary cerebral cysticercus granuloma in patients presenting
with seizures. Acta Neurol Scand 96: 76-81.
Rajshekhar V, Joshi DD, Doanh NQ, Ven De N, Xiaonong
Z. 2003. Taenia solium taeniasis/ cysticercosis in Asia: epidemiology, impact
and issues. Asia Trop 87: 53-60.
Sawhney IM, Singh G, Lekhra OP, Mathuriya SN,
Parihar PS, Prabhakar S. 1998. Uncommon presentations of neurocysticercosis. J
Neurol Sci 154: 94-100.
Shupnik, M.A. 1999. Introduction to Molecular
Biology. In: Fauser, B.C.J.M., Rutherford, A.J., Strauss, III., J.F., and Van
Steirteghem, A. (eds.) Molecular Biology in Reproductive Medicine.
The Parthenon Publishing Group.
Singhi P, Singhi S. 2004. Neurocysticercosis in children.
J Child Neurol 19: 482-492.
Soedarto, 2008.
Parasitologi Klinik. Surabaya: Airlangga University Press, 19-26. Wandra
T., Margono, S.S., Gafar, M.S., Saragih, J.M., Sutisna, P., Dharmawan, N.S., et
al., 2007. Taeniasis/Cysticercosis in Indonesia 1996-2006. Southeast Asian J
Trop Med Public Health 38 (1): 140-143.
Subahar R, Hamid A, Purba W, Wandra T, Karma C,
Sako Y, Margono SS, Craig PS, Ito A. 2001. Taenia solium infection in Irian Jaya
(West Papua), Indonesia: a pilot serological survey of human and porcine cysticercosis
in Jayawijaya District. Trans R Soc Trop Med Hyg 95: 388-390.
Subahar R, Hamid A, Purba F, Widarso, Ito A, Margono
SS. 2005. Taeniasis/sistiserkosis di antara beberapa anggota keluarga di beberapa
Desa di Kabupaten Jaya Wijaya, Papua. Jurnal Ilmiah Makara vol. 9 Online: http://www.research.ui.ac.id/DiaksesJanuari
2008.
Sudewi AAR, Wandra T, Artha A, Nkouawa A, and Ito
A. 2008. Taenia solium cysticercosis in Bali, Indonesia : Serology and mtDNA analysis.
Trans R Soc Trop Med Hyg 102: 96-98
Suroso T, Margono SS, Wandra T, Ito A. 2006. Challenges
for Control of Taeniasis/Cysticercosis in Indonesia. Parasitol Inter 55:
161-165.
Sutisna P, Kapti IN, Allan JC, Rodriguez RC. 2000.
Prevalensi taeniosis dan sistiserkosis di Banjar Pamesan, Desa Ketewel,
Gianyar, Bali. Majalah Kedokteran Udayana 31: 226-234.
Tenaya I WM. 1997. Production and Characterization
of Monoclonal Antibody Against a 72 kDa Protein of Serpulina pilosicoli Strain
1648. Thesis. Perth. Murdoch University. Pp: 90-101.
Towns JM, Hoffman CJ, Kohn MA. 2004. Neurocysticercosis
in Oregon 1995-2000. J of Emerg Infec Dis 10(3): 508-510.
Wandra T, Ito A, Yamasaki H, Suroso T, Margono SS.
2003. Taenia solium cysticercosis, Irian Jaya, Indonesia. J of Emerg Infec Dis
9(7): 884-885.
Wandra T, Depary AA, Sutisna P, Margono SS, Suroso
T, Okamoto M, Craig PS, Ito A. 2006. Taeniasis in cysticercosis in Bali and North
Sumatera, Indonesia. Parasitol Inter 55: S155-S160.
Yamamuto S, Omura M, Hirata H. 1995. Isolation of Porcine,
Canine, and Feline IgG by Affinity Chromatography Using Protein A. Vet Immunol
Immunolpathol 9(2): 195- 200.
Zang W, Moreau E, Huang W, Chauvin A. 2004. Comparison
of Humoral Response in Sheep to Fasciola hepatica and Fasciola gigantica Experimental
Infection. Parasite 11: 153-159.
1 komentar:
terima kasih banyak mas
Posting Komentar