Kamis, 16 Februari 2017

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI II Analgetik


LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI II
Analgetik (Paracetamol, Asam Mefenamat dan Tramadol) pada Mencit
LABORATORIUM FARMAKOLOGI
AKADEMI FARMASI SAMARINDA
2014


I.         TUJUAN PRAKTIKUM         

Mahasiswa dapat mempelajari dan mengetahui pengaruh pemberian dan efektivitas analgetika sediaan obat (paracetamol, asam mefenamat, dan tramadol) pada mencit.

II.      DASAR TEORI
Nyeri merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman dan menyiksa bagi penderitanya. Namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya kerusakan jaringan. Nyeri merupakan suatu tanda terhadap adanya berbagai gangguan tubuh, seperti infeksi kuman, peradangan dan kejang otot (Guyfon, 1996).

Rasa nyeri sendiri dapat dibedakan dalam tiga kategori :

·         Nyeri ringan    : sakit gigi, sakit kepala, nyeri otot, nyeri haid. Dapat iatasi dengan asetosal, parasetamol bahkan placebo.

·         Nyeri sedang   : sakit punggung, migrain, rheumatik. Memerlukan analgetik perifer kuat.

·         Nyeri hebat     : kolik/kejang usus, kolik batu empedu, kolik batu ginjal, kanker. Harus diatasi dengan analgetik sentral (Katzung, 1998).

Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala, yang fungsinya adalah melindungi dan memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan di dalam tubuh, seperti peradangan (rematik, encok), infeksi-infeksi kuman atau kejang-kejang otot. Penyebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan mekanis, fisik, atau kimiawi yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator-mediator nyeri yang letaknya pada ujung-ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir,atau jaringan-jaringan (organ-organ) lain. Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui saraf-saraf sensoris ke Sistem Saraf Pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak besar, dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri. Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamine, serotonin, plasmakinin-plasmakinin, dan prostaglandin-prostagladin, sertaion-ion kalium (Mutschler, 1991).

Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotriendan prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di ujung-ujung saraf  bebas di kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksi radang dan kejang-kejang. Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organtubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat banyak sinaps via sumsum- belakang, sumsum-lanjutan dan otak-tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay dan Rahardja, 2007).

Terkadang, nyeri dapat berarti perasaan emosional yang tidak nyaman dan berkaitan dengan ancaman seperti kerusakan pada jaringan karena pada dasarnya rasa nyeri merupakan suatu gejala, serta isyarat bahaya tentang adanya gangguan pada tubuh umumnya dan jaringan khususnya. Meskipun terbilang ampuh, jenis obat ini umumnya dapat menimbulkan ketergantungan pada pemakai. Untuk mengurangi atau meredakan rasa sakit atau nyeri tersebut maka banyak digunakan obat-obat analgetik (seperti parasetamol, asam mefenamat dan antalgin) yang bekerja dengan memblokir  pelepasan mediator nyeri sehingga reseptor nyeri tidak menerima rangsang nyeri (Green, 2009).

Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan sakit terdiri dari dua proses, yakni penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional dan individu terhadap perangsang ini (Anief, 2000).

Analgetika pada umumnya diartikan sebagai suatu obat yang efektif untuk menghilangkan sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi dan nyeri lain misalnya nyeri pasca bedah dan pasca bersalin, dismenore (nyeri haid) dan lain-lain sampai pada nyeri hebat yang sulit dikendalikan. Hampir semua analgetika memiliki efek antipiretik dan efek anti inflamasi (Katzung, 1998).

Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses pertama dengan mempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotik menekan reaksi-reaksi psychis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit (Anief, 2000).

Terdapat perbedaan mencolok antara analgetika dengan anastetika umum yaitu meskipun sama-sama berfungsi sebagai zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri namun, analgetika bekerja tanpa menghilangkan kesadaraan. Nyeri sendiri terjadi akibat rangsangan mekanis, kimiawi, atau fisis yang memicu pelepasan mediator nyeri. Intensitas rangsangan terendah saat seseorang merasakan nyeri dinamakan ambang nyeri (Tjay dan Rahardja, 2007).

Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping, analgetika di bedakan menjadi 2 kelompok, yaitu :

1.      Analgetika yang bersifat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgetika → kelompok opiat)

2.      Analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer dengan sifat antipiretika dan kebanyakan juga mempunyai sifat antiinflamasi dan antireumatik (Tjay dan Rahardja, 2007).



Berdasarkan atas kerja farmakologisnya, analgetika dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :

1.         Analgetik narkotik  (analgetik sentral)

Analgetika narkotika bekerja di SSP, memiliki daya penghalang nyeri yang hebat sekali. Dalam dosis besar dapat bersfat depresan umum (mengurangi kesadaran), mempunyai efek samping menimbulkan rasa nyaman(euphoria). Hampir semua perasaan tidak nyaman dapat dihilangkan oleh analgesik narkotik kecuali sensasi kulit.

Harus hati-hati menggunakan analgesik ini karena mempunyai resiko besar terhadap ketergantungan obat (adiksi) dan kecenderungan penyalahgunaan obat. Obat ini hanya dibenarkan untuk penggunaan insidentil pada nyeri hebat (trauma hebat, patah tulang, nyeri infark jantung, kolik batu empedu/batu ginjal.

Obat golongan ini hanya dibenarkan untuk penggunaan insidentil pada nyeri hebat (trauma hebat, patah tulang, nyeri infark jantung, kolik batu empedu/batu ginjal. Tanpa indikasi kuat, tidak dibenarkan penggunaanya secara kronik, disamping untuk mengatasi nyeri hebat, penggunaan narkotik diindikasikan pada kanker stadium lanjut karena dapat meringankan penderitaan. Fentanil dan alfentanil umumnya digunakan sebagai premedikasi dalam pembedahan karena dapat memperkuat anastesi umum sehingga mengurangi timbulnya kesadaran selama anastesi.

Penggolongan analgesik - narkotik sebagai berikut :

·      Alkaloid alam                   : morfin, codein

·      Derivat semi sintesis        : heroin           

·      Derivat sintetik                : metadon, fentanil

·      Antagonis morfin             : nalorfin, nalokson dan pentazocin



2.         Analgesik non opioid (non narkotik)

Disebut juga analgesik perifer karena tidak mempengaruhi susunan saraf pusat. Semua analgesik perifer memiliki khasiat sebagai anti piretik yaitu menurunkan suhu badan pada saat demam. `

Khasiatnya berdasarkan rangsangan terhadap pengatur kalor dihipotamalus, mengakibatkan vosodilatasi perifer dikulit dengan bertambahnya pengeluaran kalor disertai banyaknya keluar keringat.

Antiradang sama kuatnya dengan analgesik  digunakan sebagai anti nyeri atau rematik.

Berdasarkan rumus kimianya analgesik perifer digolongkan menjadi :

a)    Golongan salisilat

b)   Golongan para aminofenol

c)    Golongan pirazolon (dipiron)

d)   Golongan antanilat (asam mefenamat). (Katzung, 1998)

Contoh obat analgesik dan antipiretik (Junaidi, 2009):

1.        Aspirin/asam asetil salisilat

Indikasi           :Meringankan sakit kepala, pusing, sakit gigi, nyeri otot,    

                          menurunkan demam.

Dosis                :Dewasa 500-600 mg/4jam. Sehari maksimum 4 gram.  

                         Anak-anak 2-3 tahun 80-90 mg, 4-5 tahun160-240 mg,6-

                         8 tahun 240-320 mg, 9-10 tahun 320-400 mg, >11tahun

                        400-480 mg. Semua diberikan tiap 4 jam setelah makan.

Kontraindikasi :Ulkus peptikum, kelainan perdarahan, asma.

Efek samping    :Gangguan gastrointestinal, pusing, reaksi hipersensitif .

2.    Asam mefenamat

Sebagai analgetik, obat ini adalah satu-satunya yang mempunyai kerja yang baik pada pusat sakit dan saraf perifer. Asam mefenamat cepat diserapdan konsentrasi puncak dalam darah dicapai dalam 2 jam setelah pemberian, dan diekskresikan melalui urin. Indikasi: untuk mengatasi rasa sakit dan nyeri yang ditimbulkan dari rematik akutdan kronis,luka pada jaringan lunak, pegal pada otot dansendi,dismonore, sakit kepala, sakit gigi, setelah operasi dll.

Dosis                 :Sebaiknya diberikan sewaktu makan, dan pemakaian

                           tidak boleh lebih dari 7 hari.Anak-anak >6   bulan: 3-

                           6,5mg/kgBB tiap 6 jam atau 4 kali perhari. Dewasa

                           dan anak >14tahun:dosis awal 500 mg,kemudian

                           250mg setiap 6 jam.

Kontraindikasi  :Kepekaan terhadap asam mefenamat, radang atau

                           tukak padasaluran pencernaan.

Efek samping    :Dapat mengiritasi system pencernaan,dan

                           mengakibatkan konstipasiatau diare.

3.    Parasetamol

Diserap dengan cepat dan tanpa menimbulkan iritasi disaluran pencernaan, methemoglobin, atau konstipasi.

Indikasi        :Menghilangkan demam dan rasa nyeri pada otot/sendi  

                      yang menyertai influenza, vaksinasi dan akibat infelsi lain, sakit kepala, sakitgigi, dismonere, artritis, dan rematik.

Dosis            :Tablet = anak-anak :0,5-1tab 3-4kali perhari, dewasa:1-2tab 3-4kali perhari. Sirup=bayi 0,25-0,5 sdt 3-4kali perhari, anak-anak : 2-5tahun, 1sdt 3-4kali perhari. 6-12 tahun, 2sdt 3-4kali perhari.

Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik, parasetamol sebaiknya tidak digunakan terlalu lama karena dapat menimbulkan nefropati analgesik .Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolong. Dalam sediaannya sering dikombinasi dengan cofein yang berfungsi meningkatkan efektivitasnya tanpa perlu meningkatkan dosisnya (Medicastore,2006).

4.        Tramadol

Tramadol adalah analog kodein sintetik yang meruapakan agonis reseptor μ yang lemah.Sebagian dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh inhibisi ambilan norepinefrin dan serotonin.Tramadol sama efektif dengan morfin atau mepedrin untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Untuk nyeri persalinan tramadol sama efektif dengan mepedrin dan kurang menyebabkan depresi pernapasan pada neonates.

Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral 68% dan 100% bila digunakan secara IM. Afinitas terhadap reseptor μ hanya 1/6000 morfin, akan tetapi metabolit utama hasil demetilasi 2-4 kali lebih poten dari obat induk dan berperan untuk menimbulkan efek analgetiknya. Preparat tramadol merupakan campuran rasemik, yang lebih efektif dari masing-masing enansiomernya.Enansiomer (+) berikatan dengan reseptor μ dan menghambat ambilan serotonin.Enansiomer (-) menghambat ambilan norepinefrin dan merangsang reseptor α2- adrenergik. Tramadol mengalami metabolism di hati dan eksresi oleh ginjal,dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan 7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam stetelah penggunaaan secara oral, dan mencapai puncak selama 2-3 jam.Lama analgesia selama sekitar 6 jam.Dosis maksimum per hari yang dianjurkan adalah 400 mg.

Efek samping yang umum terjadi adalah mual, muntah, pusing, sedasi, mulut kering, dan sakit kepala.Depresi pernapasan nampaknya kurang dibandingkan dengan dosis ekuianalgetik morfin, dan derajat konstipasinya kurang daripada dosis ekuivalen kodein.Tramadol dapat meyebabkan konvulsi atau kambuhnya serangan konvulsi. Depresi napas akibat tramadol dapat diatasi oleh nalokson akan tetapi penggunaan nalokson meningkatkan risiko konvulsi. Analgesia yang ditimbulkan oleh tramadol tidak dipengaruhi oleh nalokson.



Penggunaan Analgetik

Obat-obat ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa memengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretis dan/atau antiradang. Oleh karena itu tidak hanya digunakan sebagai obat anti nyeri, melainkan juga pada demam (infeksi virus/kuman, selesma, pilek) dan peradangan seperti rema dan encok. Obat-obat ini banyak diberikan untuk nyeri ringan sampai sedang, yang penyebabnya beraneka ragam, misalnya nyeri kepala, gigi, otot atau sendi (rema, encok), perut, nyeri haid, nyeri akibat benturan atau kecelakaan (trauma). Untuk kedua nyeri terakhir, NSAID lebih layak.

·      Daya antipiretisnya berdasarkan rangsangan terhadap pusat pengatur kalor di hipothamlamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor yang disertai keluarnya banyak keringat.

·      Daya antirandang (antiflogistis). Kebanyakan daya analgetiknya memiliki daya anti radang, khususnya kelompok besar dari zat-zat penghambat prostaglandin (NSAIDs), termasuk asetosal, begitu pula benzidamin. Zat-zat ini banyak digunakan untuk rasa nyeri yang disertai peradangan.

·      Kombinasi dari dua atau lebih analgetika sering kali digunakan, karena terjadi efek potensiasi. Lagi pula efek sampingnya yang masing-masing terletak di bidang yang berlainan, dapat berkurang, karena dosis dari masing-masing komponennya dapat diturunkan. Kombinasi analgetika dengan kofein dan kodein sering kali digunakan, khususnya dalam sediaan dengan parasetamol dan asetosal (Tjay dan Rahardja, 2007)



Efek samping Analgetika

Yang paling umum adalah gangguan lambung-usus (b,c,e), kerusakan darah (a,b,d dan e), kerusakan hati dan ginjal (a,c) dan juga reaksi alergi kulit. Efek-efek samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau dalam dosis tinggi. Oleh karena itu penggunaan analgetika secara kontinu tidak dianjurkan (Tjay dan Rahardja, 2007).



Interaksi Analgetika

Kebanyakan analgetika memperkuat efek antikoagulansia, kecuali parasetamol dan glafenin. Kedua obat ini pada dosis biasa dapat dikombinasi dengan aman untuk waktu maksimal dua minggu (Tjay dan Rahardja, 2007)



Kehamilan dan Laktasi Analgetika

Hanya parasetamol yang dianggap aman bagi wanita hamil dan menyusui, meskipun dapat mencapai air susu. Asetosal dan salisilat, NSAIDs dan metamizol dapat mengganggu perkrmbangan janin, sehingga sebaiknya dihindari. Dari aminofenazon dan propifenazon belum terdapat cukup data (Tjay dan Rahardja, 2007).

AINS atau NSAID’S sendiri merupakan suatu kelompok obat yang heterogen. AINS sering di sebut juga sebagai obat-obat mirip aspirin (aspirin, like drug).

Menurut waktu paruhnya, AINS di bedakan menjadi :

1.    AINS dengan waktu paruhnya pendek ( 3 – 5 jam ), yaitu aspirin, asam flufenamat, asam meklofenamat, asam mefenamat, asam niflumat, asam tiaprofenamat, diklofenak, indometasin, karprofen, ibuprofen, dan ketoprofen.

2.    AINS dengan waktu paruh sedang ( 5 – 9 jam ) yaitu fenbufen dan piroprofen.

3.    AINS dengan waktu paruh tengah ( kira – kira 12 jam ) yaitu diflunisal dan naproksen.

4.    AINS dengan waktu paruh panjang ( 24 – 45 jam ), yaitu piroksikam dan tenoksikam.

5.    AINS dengan waktu paruh sangat panjang ( > 60 jam ), yaitu fenilbutason dan oksifenbutazon (Wilmana, F.P, 2007).



Ø Klasifikasi kimiawi obat AINS

a.    Nonselective Cyclooxygenase Inhibitors

·      Derivat Asam Salisilat : Aspirin, natrium salisilat, diflunisal, cholin magnesium trialisilat, olsatlazine.

·      Derivat para-aminofenol : Astaminofen

·      Asam asetat indol dan inden : Indometasin, sulindak

·      Asam heteroaryl asetat : Tolmetin, diklofenak

·      Asam anylpropionat : Ibuprofen, naproksen, ketoprofen, fenoprofen.

·      Asan antranilat ( fenomat ) : Asam mefenamat, asam meklofenamat

·      Asam enolat : Oksikam

·      Alkanon : Nabutameton (Goodman V Gilman’s, 2001).



Ø Mekanisme kerja

AINS memiliki beberapa efek yaotu analgesik, antipiretik dan anti inflamasi.

o  Efek analgesik

               Sebagai analgesik, AINS hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang, misalnya sakit kepala, mialgia, atralgia, dismenora dan juga terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamsi atau kerusakan jaringan. Untuk menimbulkan efek analgetik, AINS bekerja pada hipotalamus, menghambat pembentukan prostaglandin di tempat terjadinya radang dan mencegah sensitasi reseptor rasa sakit terhadap rangsangan mekanik atau kimia.



o  Efek antipiretik

               Sebagai antipiretik, AINS akan menurunkan suhu badan hanya dalam keadaan demam. Penurunan suhu badan berhubungan dengan peningkatan pengeluaran panas karena peleberan pembuluh darah superfisial. Demam yang menyertai infeksi di anggap timbul akibat dua mekanisme kerja, yaitu pembentukan prostaglandin di dalam susunan syaraf pusat sebagai respon terhadap bakteri pirogen dan adanya efek interleukin -1 pada hipotalamus.

o  Efek anti inflamasi

               AINS hanya mengurangi gejala nyeri dari inflamsi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan muskulos keletal.



Ø Efek samping

                 Selain menimbulkan efek terapi yang sama, AINS juga memiliki efek samping yang serupa. Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik yang kadang-kadang di sertai amnesia sekunder akibat pendarahan saluran cerna. AINS menimbulkan iritasi yang bersifat lokal yang mengakibatkan terjadinya difusi kembali asam lambung ke dalam mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan. Selain itu, AINS juga menghambat sintesa prostaglandin yang merupakan salah satu aspek pertahanan mukosa lambung di samping mukus, bikarbonat, resistensi mukosa dan aliran darah mukosa. Dengan terhambatnya pembentukan prostaglandin maka akan terjadi gangguan basier mukosa lambung, berkurangnya sekresi mukus dan bikarbonat, berkurangnya aliran darah mukosa, dan terhambatnya proses regenerasi epitel mukosa lambung sehingga tukak lambung mudah terjadi (Wilmana, F.P, 2007).



III.        METODOLOGI PERCOBAAN

A.    Bahan

Larutan Stok

1.        Larutan Tragakan 0,5 % dalam air

Tragakan 0,5% b/v dibuat menjadi 1,5 g, sehingga:

 x 3

Cara kerja :  Diukur air sebanyak 200 mL, dimasukkan dalam beaker glass. Ditimbang tragakan sebanyak 1,5 g kemudian ditaburkan diatas air dalam beaker glass. Dipanaskan diatas lampu Bunsen, hingga tragakan homogen. Kemudian ditambahkan sisa air 100 mL diaduk ad homogen.    

2.        Suspensi Asam Mefenamat dalam tragakan 0,5 % 150 mg/kg

Dosis =  (BB Mencit), maka:

 =

 x =  =  (bobot mencit 40 g diberi dosis per oral 0,5 mL) maka:  

Sediaan Asam Mefenamat 500 mg, maka:

=  =  → x  = 41,6 mL ≈ 42 mL

Cara kerja: Diambil 1 tablet Asam Mefenamat digerus ada halus, dimasukkan kedalam beaker glass. Ditambahkan larutan tragakan 0,5% sebanyak 42 mL, diaduk ad homogen.

3.        Suspensi Paracetamol dalam tragakan 0,5 % 150 mg/kg

Dosis =  (BB Mencit), maka:

 =

 x =  =  (bobot mencit 40 g diberi dosis per oral 0,5 mL) maka:  

Sediaan Paracetamol 500 mg, maka:

=  =  → x  = 41,6 mL ≈ 42 mL

Cara kerja: Diambil 1 tablet Paracetamol digerus ada halus, dimasukkan kedalam beaker glass. Ditambahkan larutan tragakan 0,5% sebanyak 42 mL, diaduk ad homogen.

4.        Suspensi Tramadol dalam tragakan 0,5 % 150 mg/kg

Dosis =  (BB Mencit), maka:

 =

 x =  =  (bobot mencit 40 g diberi dosis per oral 0,5 mL) maka:  

Sediaan Asam Mefenamat 50 mg x 4 = 200 mg, maka:

=  =  → x  = 16,6 mL ≈ 17 mL

Cara kerja: Diambil 4 tablet Tramadol digerus ada halus, dimasukkan kedalam beaker glass. Ditambahkan larutan tragakan 0,5% sebanyak 17 mL diaduk ad homogen.

5.        Larutan Steril Asam Asetat 0,5% v/v

Asam Asetat 0,5 g dilarutkan dalam aqua pro injection ad 100 mL.



B.     Alat

-          Timbangan

-          Spuit injeksi dan jarum ukuran 1 ml

-          Sonde / Kanulla

-          Sarung tangan

-          Stop watch

-          Wadah pengamatan.



C.    Hewan Uji

Mencit



D.    Cara Kerja

1.         Tiap kelas dibagi ke dalam 4 kelompok

2.         Masing-masing kelompok mendapat 4 mencit

3.         Setiap kelompok membagi mencit ke dalam 4 kelompok.

4.         Kelompok kontrol diberi larutan tragakan 0,5% melalui oral dengan volume 0,2 ml/20 gram BB.

5.         Kelompok asam mefenamat diberi suspensi asam mefenamat 150 mg/kg BB dalam tragakan 0,5% melalui oral.

6.         Kelompok parasetamol diberi suspensi parasetamol 150 mg/kg BB dalam tragakan 0,5% melalui oral.

7.         Kelompok tramadol diberi suspensi tramadol 150 mg/kg BB dalam tragakan 0,5% melalui oral.

8.         30 menit kemudian seluruh kelompok hewan yang telah mendapat perlakuan disuntik dengan larutan steril asam asetat 0,5% v/v secara intra peritoneal dengan dosis 75 mh/kg BB.

9.         Beberapa menit kemudian mencit akan menggeliat, dihitung 1 (satu) geliat apabila mencit menemprlkan perutnya ke lantai dan kaki ditarik ke belakang.  



IV.        HASIL PERCOBAAN

TABEL HASIL PENGAMATAN

Jumlah Geliat

Kelompok
Parasetamol
Asam Mefenamat
Tramadol
Kontrol
Kelompok 1
71
111
100
102
Kelompok 2
27
9
39
138
Kelompok 3
5
8
13
136
Kelompok 4
46
43
3
135
Rata-rata
37,25
42,75
38,75
127,75



Persen Daya Analgetika

Kelompok
Parasetamol
Asam Mefenamat
Tramadol
Kelompok 1
30,4 %
-9%
2%
Kelompok 2
80,4%
93,5%
71,7%
Kelompok 3
96,3%
94,1%
90,4%
Kelompok 4
65,9%
68,1%
97,8%



V.      PEMBAHASAN

Dalam praktikum ini, praktikan menguji sediaan yang berkhasiat sebagai analgetika atau antinyeri. Adapun beberapa sediaan yang diuji adalah, asam mefenamat, parasetamol dan tramadol. Tiap sediaan ini disuspensikan dengan larutan tragakan, dan kemudian akan diujikan ke mencit melalui pemberian secara peroral serta mencit yang hanya diberikan larutan tragakan sebagai kontrol untuk menjadi pembanding antara mencit lain, dalam artian untuk mengetahui perbedaan respon antara hewan uji mencit yang diberikan obat analgesik dengan yang hanya diberikan pembawanya saja. Sebelum mengujikan sediaan ini, masing-masing mencit akan diberi rangsangan nyeri, yaitu dengan diberikan larutan steril asam asetat secara intraperitoneal. Mekanisme terjadinya nyeri yaitu dimana terlebih dahulu mediator-mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin terlepas dari jaringan yang rusak kemudian merangsang reseptor nyeri yang berada di ujung saraf perifer. Dari saraf tersebut, selanjutnya rasa nyeri diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri oleh saraf sensoris melalui sumsum tulang belakang dan thalamus. Manitestasi nyeri akibat pemberian rangsangan nyeri asam asetat intraperitoneal akan menimbulkan refleks respon geliat yang berupa tarikan kaki kebelakang, penarikan kembali abdomen dan kejang tetani dengan membongkokkan kepala dan kaki kebelakang, Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu dinyatakan derajat nyeri yang dirasakannya. Dan rasa nyeri ini juga merupakan gejala yang fungsinya memberi tanda adanya gangguan-gangguan ditubuhnya.

Setelah pemberian rangsangan nyeri tersebut, mencit akan menggeliat, tiap geliatan mencit umumnya berbeda karena adanya daya analgetik dari tiap sediaan yang telah diberikan. Hasil percobaan yang telah dilakukan, diperoleh daya analgetik parasetamol 30,4%, asam mefenamat -9%, tramadol 2%.Yang seharusnya dari sediaan tersebut yang memiliki daya analgetik dari yang rendah ke yang tinggi adalah parasetamol, lalu asam mefenamat, kemudian tramadol. Mekanisme kerja dari parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Mekanisme kerja dari asam mefenamat bekerja dengan menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim siklooksigenase, sehingga mempunyai efek analgesik, anti inflamasi dan antipiretik. Sedangkan mekanisme kerja dari tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga menghentikan sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri, disamping itu tramadol menghambat pelepasan neotrotransmiter dari saraf aferen yang bersifat sensitif terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat.

Tetapi dalam hasil percobaan tadi berbeda secara teori dari daya analgetik sediaan tersebut, hal ini dikarenakan oleh banyak faktor, misalnya faktor genetik dapat mempengaruhi respon terhadap pemberian obat. Faktor ini secara genetik menentukan sistem metabolisme tubuh dan ketahanan terhadap obat (alergi). Dosis yang diberikan mungkin berbeda karena adanya kesalahan kecil dalam mengukur larutan obat pada spuit. Serta lingkungan berpengaruh terhadap daya kerja obat terutama lingkungan yang dapat merubah obat (missal cahaya), karakteristik dan lingkungan mencit. Lingkungan fisik dapat pula mempengaruhi daya kerja obat, misalnya suhu lingkungan tinggi menyebabkan pembuluh darah perifer melebar sehingga dapat meningkatkan daya kerja vasodilator. Juga adanya pengaruh stres pada mencit akibat salah penanganannya. Adapun kesalahan ini disebabkan kurang telitinya dalam melakukan hitungan jumlah geliatan dikarenakan sulitnya praktikan dalam membedakan antara geliat yang diakibatkan oleh rasa nyeri atau karena mencit merasa kesakitan akibat penyuntikkan intraperitonial pada perut mencit.



VI.        KESIMPULAN

Pada percobaan kali ini didapatkan urutan daya analgetik dari yang terendah adalah asam mefenamat, tramadol dan paracetamol. Hasil ini tidak sesuai dengan hasil teoritis yang seharusnya urutan daya analgetik yang terendah adalah paracetamol, asam mefenamat dan tramadol. Hal ini dikarenakan banyak faktor kesalahan seperti pada pemberian, penanganan pada mencit, faktor fisiologis pada mencit dan lain sebagainya.



VII.     SARAN

Praktikan dapat berhati-hati dalam setiap praktikum yang dilakukan untuk menghindari kesalahan atau bahaya yang ditimbulkan serta teliti dan cermat dalam melakukan percobaan.



DAFTAR PUSTAKA



Anief, M. 2000. Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta

Goodman and Gilman. 2007. Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, diterjemahkan

                   oleh Amalia. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Guyton dan Hall. 1996. Buku Ajar Fisiologi  Kedokteran. EGC: Jakarta.


(diakses 20 Maret 2014).

Katzung, G. B. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi keenam. EGC: Jakarta.

Medicastore. 2006. Obat Analgesik Antipiretik. http://medicastore.com/apotik_online/obat_saraf_otot/obat_nyeri.htm (diakses pada tanggal 20 Maret 2014).

Mutschler,E. 1991. Dinamika Obat, Buku Ajar Farmakologi & Toksikologi edisiV. Penerbit ITB: Bandung.

Tjay, T.H dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. PT Gramedia: Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar