Minggu, 12 Februari 2017

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI II Infundasi

LAPORAN
PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI II
METODE INFUNDASI
Oleh:
Kelompok 2

1.      Fidiah Malinda                                        723901S.12.066
2.      Fitriya Andani                                         723901S.12.067
3.      Fitriyani                                                   723901S.12.068
4.      Khadijah Riski Amalia Peratiwi           723901S.12.071
5.      Lintang Ayu                                            723901S.12.072
6.      Mantulangi Anita Herni                         723901S.12.073
7.      Maya Farah                                             723901S.12.075
8.      Mila Ulfah Farista                                   723901S.12.076
9.      M. Hasan Sadikin                                   723901S.12.077
10.  M. Kamil                                                  723901S.12.078
11.  M. Radifan Afrizal                                  723901S.12.080
12.  Rendy Aprian                                          723901S.11.071

Dosen Pembimbing :Supomo, S.Si., M.Si., Apt
AKADEMI FARMASI SAMARINDA
2014


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Indonesia sangat kaya dengan berbagai spesies flora. Dari 40 ribu jenis flora yang tumbuh di dunia, tiga puluh ribu diantaranya tumbuh di Indonesia. Sekitar 26% telah dibudidayakan dan sisanya sekitar 74% masih tumbuh liar di hutan-hutan. Tumbuhan yang telah dibudidayakan, lebih dari 940 masih digunakan sebagai obat tradisional (Depkes RI, 1986).
Pemanfaatan keanekaragaman hayati bagi masyarakat harus secara berkelanjutan. Pemanfaatan yang berkelanjutan adalah pemanfaatan yang tidak hamya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Keanekaragaman hayati merupakan lahan penelitian dan pengembangan ilmu yang sangat berguna untuk kehidupan manusia. Pada zaman yang semakin berkembang ini diperlukan kesadaran tentang penggunaan obat-obatan yang berasal dari alam, atau yang sering dikenal dengan nama obat-obatan herbal.
Salah satu tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan herbal yakni tumbuhan sirsak yang termasuk dalam famili Annonaceae. Manfaat daun sirsak sudah diketahui sejak jaman dahulu. Hal itu terbukti dengan adanya fakta bahwa sejak dahulu kala masyarakat telah menggunakan daun sirsak sebagai obat untuk berbagai penyakit. Salah satu bagian yang terkenal dalam pengobatan adalah daunnya daun sirsak banyak dimanfaatkan sebagai obat seperti untuk penyakit kulit, rematik, batuk dan flu, antikanker dan hipertensi. Khasiat lain dari daun sirsak adalah sebagai antispasmodik dan memberi efek menenangkan (Purwatresna, 2012).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai daun sirsak dengan metode ekstrasi infundasi.



B.     Tujuan
1.   Ekstraksi
Mahasiswa mampu melakukan proses ekstraksi metabolit sekunder dari tanaman dengan beberapa metode ekstraksi dan khususnya memahami prinsip ektraksi dari metode Infundasi
2.   Skrining Fitokimia
Mahasiswa mampu membuat pereaksi untuk mengidentifikasi senyawa metabolit sekunder dan mengidentifikasi senyawa golongan Alkaloid, Saponin, Flavonoid, Tannin dan Polifenol serta Terpenoid.
3.   Partisi Ekstrak (Ekstraksi Cair-Cair)
Mahasiswa mampu melakukan pemisahan (partisi) senyawa metabolitsekunder yang terkandung dalam ekstrak berdasarkan pada perbedaan kepolaran pelarut dengan metode ekstraksi cair-cair.
4.   Kromatografi Lapis Tipis
Mahasiswa mampu memahami prinsip dari Kromatografi Lapis Tipis(KLT), dapat menentukan fase gerak dan fase diam dalam KLT, mampu melakukan preparasi sampel dan lempeng KLT serta mampu menotolkan sampel ke fase diam, serta dapat mengidentifikasi senyawa metabolit sekunder dengan menggunakan pereaksi semprot.

C.    Manfaat
1.      Agar mahasiswa dapat memahami prosedur kerja ekstraksi infundasi, skrining fitokimia, ekstraksi cair-cair dan KLT
2.      Agar mahasiswa memiliki keterampilan dalam melakukan ekstraksi infundasi, skrining fitokimia, ekstraksi cair-cair dan KLT terhadap daun sirsak
3.      Diharapkan dapat memberikan wawasan tentang kandungan senyawa dan khasiat dari daun sirsak bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Tumbuhan Sirsak (Annona muricata Linn)
1.      Klasifikasi Tumbuhan
Tumbuhan sirsak (Annona muricata Linn.) termasuk tanaman tahunan dengan sistematik sebagai berikut:
Kingdom         : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (Tumbuhanberpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (Menghasilkanbiji)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhanberbunga)
Kelas               : Magnoliopsida (Berkepingdua/dikotil)
Sub Kelas        : Magnoliidae
Ordo                : Magnoliales
Famili              : Annonaceae
Genus              : Annona
Spesies            : Annonamuricata L. (Dalimarta, 2003)        

2.      Morfologi Tumbuhan
Secara morfologis, tumbuhan sirsak terdiri dari: daun berbentuk bulat panjang, daun menyirip, berwarna hijau muda sampai hijau tua, ujung daun meruncing dan permukaan daun mengkilap. Bunga tunggal, dalam satu bunga terdapat banyak putik sehingga dinamakan bunga berpistil majemuk. Bagian bunga tersusun secara hemicylis, yaitu sebagian terdapat dalam lingkaran dan yang lain spiral atau terpencar.
Mahkota bunga yang berjumlah 6 sepalum yang terdiri atas dua lingkaran, bentuknya hampir segitiga, tebal dan kaku. Berwarna kuning keputih-putihan dan setelah tua mekar dan lepas dari dasar bunganya.Putik dan benang sari lebar dengan banyak karpel (bakal buah). Bunga keluar dari ketiak daun, cabang, ranting atau pohon. Bunga umumnya sempurna (hermaphrodit). Tapi terkadang hanya bunga jantan dan bunga betina saja yang terdapat pada satu pohon. Bunga melakukan penyerbukan silang , karena umumnya tepung sari matang terlebih dahulu sebelum putiknya reseptif (Dalimarta, 2003).

3.      Kandungan Kimia
Daun sirsak (Annona muricata L.) mengandung tannin, alkaloid dan sejumlah kandungan kimia lainnya seperti acetogenins, annonacatin, annohexocin, annonacin, annomuricin, anomurine, anonol, gentisic acid caclourine, linoleic acid, gigantetronin dan muricapentocin. Kandungan senyawa kimia tersebut merupakan senyawa yang dapat memberikan manfaat untuk tubuh, baik sebagai obat ataupun meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Dalimarta, 2003).

4.      KhasiatatauKegunaan
Daun sirsak dimanfaatkan sebagai pengobatan alternatif untuk pengobatan kanker, yakni dengan mengkonsumsi air rebusan daun sirsak. Selain untuk pengobatan kanker, tanaman sirsak juga di manfaatkan untuk pengobatan demam, diare, anti kejang, anti jamur, anti parasit, anti mikroba, sakitpinggang, asamurat, antioksidan, gatal-gatal, bisul, flu dan lain-lain (Mardiana, 2011).

B.     Uraian Tentang Golongan Senyawa Kimia
1.      Alkaloid
      Alkaloid dari tanaman kebanyakan merupakan senyawa amina tersier dan yang lainnya terdiri dari nitrogen primer, sekunder, dan quartener (Poither, 2000). Semula alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan sebagian besar atom nitrogen ini merupakan cincin aromatis (Achmad, 1986). Berdasarkan asam amino penyusunnya, alkaloid asiklis yang berasal dari asam amino ornitin dan lisin. Alkaloid aromatis jenis fenilanin berasal dari fenilalanin, tirosin dan 3,4-dihidrosifenilalanin. Alkaloid indol yang berasal dari trifon.
Sebagian besar alkaloid alami yang bersifat sedikit asammemberikan endapan dengan reaksi yang terjadi dengan reagent Mayer (Larutan Kaliummercuri Iodida); reagen Wangner (larutan Iodida dalam Kalium Iodida); dengan larutan asam tanat,reagent Hager (saturasi dengan asam pikrat); atau dengan reagent Dragendroff (larutan Kalium Bismuth Iodida). Endapan ini berbentuk amorf atau terdiri dari kristal dari berbagai warna. Cream (Mayer),Kuning (Hager),coklat kemerah – merahan (Wagnerm dan Dragendroff). Caffein dan beberapa alkaloid tidak menimbulkan reaksi pengendapan. Ketelitian harus dimulai dari ekstraksi alkaloid yang diuji karena bahan akan membentuk endapan dengan protein. sebagian dari proteinakan membuat tidak larut dari bahan yang telah diekstrak oleh proses evaporasi atau mungkin disebabkan filtrat yang terbongkar. Jika ekstrak aslitelah dikonsentrasi ke konsentrasi rendah akan membentuk ekstrak alkaloid yang bebrbentuk basa dengan pertolongan suatu pelarut organik kemudian dimasukan dalam larutan asam encer (misalnya: Tartarat), larutan haus bebas dari protein dan siap untuk dilakukan uji alkaloid (Teyler.V.E,1988).
Pada pembuatan pereaksi wagner, iodium  bereaksi dengan I- dari kalium iodida menghasilkan ion I3- yang berwarna coklat pada uji wagner, ion logam K+ akan membentuk ikatan kovalaen koordinat dengan nitrogen pada alkaloid membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap (Syarifuddin, 1994).
a.       Klasifikasi alkaloid
Pada bagian yang memaparkan sejarah alkaloid, jelas kiranya bahwa alkaloid sebagai kelompok senyawa, tidak diperoleh definisi tunggal tentang alkaloid. Sistem klasifikasi yang diterima, menurut Hegnauer, alkaloid dikelompokkan sebagai:
                              i.     Alkaloid Sesungguhnya
Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas phisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa; lazim mengandung Nitrogen dalam cincin heterosiklik; diturunkan dari asam amino; biasanya terdapat “aturan” tersebut adalah kolkhisin dan asam aristolokhat yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklik dan alkaloid quartener, yang bersifat agak asam daripada bersifat basa.
                           ii.     Protoalkaloid
Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana nitrogen dan asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklik.Protoalkaloid diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa.Pengertian ”amin biologis” sering digunakan untuk kelompok ini. Contoh, adalah meskalin, ephedin dan N, N-dimetiltriptamin.
                         iii.     Pseudoalkaloid
Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa biasanya bersifat basa. Ada dua seri alkaloid yang penting dalam khas ini,yaitu alkaloid steroidal (contoh: konessin dan purin (kaffein)(Teyler.V.E,1988).

Struktur alkaloid dengan 5 atom N :







2.      Tannin
Tannin merupakan gambaran umum senyawa golongan polimer fenolik (Cown, 1999). Tannin merupakan bahan yang dapat merubah kulit mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung silangkan protein dan mengendapkan gelatin dalam larutan.
Untuk mengetahui senyawa tannin, digunakan larutan gelatin dan FeCl3. Perubahan warna yang terjadi karena penambahan FeCl3 karena terbentuknya Fe3+- tanin dan Fe3+- polifenol. Atom oksigen pada tannin dan polifenol mempunyai pasangan elektron yang mampu mendonorkan elektronnya pada tannin dan polifenol mempunyai pasangan electron yang mampu mendonorkan elektronnya pada Fe3+ yang mempunyai orbital di kosong membentuk ikatan kovalen kordinat sehingga menjadi suatu kompleks (Syarifuddin, 1994).
Adapun rumus kimia tannin adalah :
3.      Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari 2 cincin benzena yang dihubungkan menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari 3 atom karbon. Flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae. Pada tumbuhan tingkat tinggi, flavonoid terdapat baik dalam bagian vegetatif maupun bunga (Robinson, 1995). Senyawa flavonoid selalu terdapat pada tumbuhan dalam bentuk glikosida dimana satu atau lebih gugus hidroksi fenol berikatan dengan gula. Gugus hidroksil selalu terdapat pada atom C5 dan C7 pada cincin A dan juga pada atom C3', 4', dan 5' pada cincin B (Ikan, 1991).
Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Bahan aktif tersebut dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambah dengan basa atau amoniak, flavonoid mudah dideteksi pada kromatogram atau di dalam larutan (Harborne, 1996). Flavonoid merupakan senyawa golongan fenol alam bersifat antibakteri (Harborne, 1987).

4.      Acetogenin
Senyawa acetogenin yang terdapat dalam daun sirsak berperan sebagai inhibitor sumber energi untuk pertumbuhan sel kanker. Kekuatan energi menyebabkan sel tidak bisa membelah dengan baik. Acetogenin yang ikut masuk ke dalam tubuh akan menempel pada reseptor dinding sel dan berfungsi merusak ATP di dinding mitokondria. Akibatnya produksi energi didalam sel kanker terhenti dan akhirnya sel kanker akan mati.
Annonaceous acetogenins memiliki sitotoksisitas terhadap sel kanker. Artinya, senyawa acetogenins di dalam sirsak dapat membunuh sel kanker. Acetogenins adalah senyawa poliketida dengan struktur C-34 atau C-37 rantai karbon tidak bercabang yang terikat pada gugus 2-propanol pada C-2 untuk membentuk suatu lakton. Senyawa ini memiliki 350 senyawa turunan yang ditemukan pada keluarga Annonaceae. Sebanyak 82 senyawa diantaranya ada pada sirsak. Acetogenins dapat melindungi sistem kekebalan tubuh dan mencegah infeksi yang mematikan. Pengobatan menggunakan acetogenins akan membuat penderita kanker merasa lebih kuat dan lebih sehat selama proses keperawatan, serta memiliki penampilan fisik yang membaik.
Rumus struktur senyawa acetoginin.







5.      Steroid dan Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang – kurangnya empat golongan senyawa: triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung. Kedua golongan yang terakhir sebenarnya triterpena atau steroid yang terutama terdapat sebagai glikosida.
Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Dahulu sterol terutama dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormon kelamin, asam empedu, dll), tetapi pada tahun – tahun terakhir ini makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan (Harbrone.J.B,1987).

6.      Saponin
Saponin adalah glikosida dalam tanaman dan terdiri atas gugus sapogenin, heksosa, pentosa atau unsur asam uronat (Winarno, 1990). Saponin diberikan nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat menimbulkan busa jika dikocok dalam air, dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah (Robinson, 1995). Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti adanya saponin. Uji saponin yang sederhana adalah terbentuknya busa yang tahan lama pada permukaan cairan setelah dilakukan pengocokan ektrak alkohol-air dari tumbuhan. Saponin dapat juga diperiksa dalam ekstrak kasar berdasarkan kemampuannya menghemolisis sel darah (Harborne, 1987).
Dalam larutan yang sangat encer, saponin sangat beracun untuk ikan, tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa saponin juga dapat bekerja sebagai antimikroba (Robinson, 1995).

C.    Ekstraksi Menggunakan Metode Infundasi
Ekstraksi adalah penyarian zat-zat aktif dari bagian tanaman obat. Adapun tujuan dari ekstraksi untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massakomponen zat padat kedalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut.
Adapun jenis-jenis ekstraksi yaitu ekstraksi secara dingin dan ekstraksi secara panas. Ekstraksi secara dibagi menjadi tiga metode yaitu metode maserasi, metode soxhletasi dan metode perkolasi. Sedangkan esktraksi secara panas dilakukan dengan metode refluks dan destilasi uap.
      Infus atau rebusan obat adalah sediaan air yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati  dengan air suhu 90°C selama 15 menit, yang mana ekstraksinya dilakukan secara infundasi. Penyarian adalah peristiwa memindahkan zat aktif yang semula di dalam sel ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam cairan penyari. Secara umum penyarian akan bertambah baik apabila permukaan simplisia yang bersentuhan semakin luas (Ansel, 1989).
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada 90-980C selama 15 menit. Umumnya infus selalu dibuat dari simplisia yang mempunyai jaringan lunak, yang mengandung minyak atsiri, dan zat-zat yang tidak tahan pemanasan lama (Depkes RI.1979).
Keuntungan dan kekurangan Metode Infundasi :
a. Keuntungan
1.      Unit alat yang dipakai sederhana,
2.      Biaya operasionalnya relatif rendah.
b.      Kerugian
1.      Zat-zat yang tertarik kemungkinan sebagian akan mengendap kembali, apabila kelarutannya sudah mendingin (lewat jenuh),
2.      Hilangnya zat-zat atsiri,
3.      Adanya zat-zat yang tidak tahan panas lama, disamping itu simplisia yang mengandung zat-zat albumin tentunya zat ini akan menggumpal dan menyukarkan penarikan zat-zat berkhasiat tersebut.
Cara ini sangat sederhana dan sering digunakan oleh perusahaan obat tradisional. Dengan beberapa modifikasi, cara ini sering digunakan untuk membuat ekstrak.
Infus dibuat dengan cara :
1.      Membasahi bahan bakunya, biasanya dengan air 2 kali bobot bahan, untuk bunga 4 kali bobot bahan dan untuk karagen 10 kali bobot bahan.
2.      Bahan baku ditambah denga air dan dipanaskan selama 15 menit pada suhu 90-98C. Umumnya untuk 100 bagian sari diperlukan 10 bagian bahan.
Hal ini disebabkan karena :
a.       Kandungan simplisia kelarutannya terbatas, misalnya kulit kina digunakan 6 bagian.
b.      Disesuaikan dengan cara penggunaannya dalam pengobatan, misalnya daun kumis kucing, sekali minum infus 100 cc, karena itu diambil 1/2 bagian.
c.       Berlendir, misalnya karagen digunakan 1/2 bagian.
d.      Daya kerjanya keras, misalnya digitalis digunakan 1/2 bagian.
3.      Untuk memindahkan penyaringan kadang-kadang perlu ditambah bahan kimia misalnya :
a.      Asam sitrat untuk infus ikan.
b.      Kalium atau Natrium karbonat untuk infus kelembak.
4.      Penyaringan dilakukan pada saat cairan masih panas, kecuali bahan yang mengandung bahan yang mudah menguap.

D.    Skrining Fitokimia
      Skrining fitokimia merupakan suatu analisis kualitatif kandungan kimia tumbuhan atau bagian tumbuhan. Tujuan utama dari penapisan fitokimia adalah menganalisis tumbuhan untuk mengetahui kandungan bioaktif yang berguna untuk pengobatan. Fitokimia atau kimia tumbuhan merupakan disiplin ilmu yang mempelajari aneka ragam senyawa organik pada tumbuhan, yaitu mengenai struktur kimia, biosintesis, metabolisme, penyebaran secara ilmiah dan fungsi biologisnya. Pendekatan secara penapisan fitokimia meliputi analisis kualitatif kandungan dalam tumbuhan atau bagian tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, buah dan  biji) terutama kandungan metabolit sekunder yang merupakan senyawa  bioaktif seperti alkaloid, flavonoid, glikosida, terpenoid, saponin, tanin dan  polifenol.
Metode yang dilakukan untuk melakukan penapisan fitokimia harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain: sederhana, cepat, dapat dilakukan dengan peralatan minimal, selektif terhadap golongan senyawa yang dipelajari, semi kualitatif dan dapat memberikan keterangan tambahan ada atau tidaknya senyawa tertentu dari golongan senyawa yang dipelajari (Teyler, 1988). Uji fitokimia yang dapat dilakukan adalah uji kualitatif secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan secara uji kualitatif secara kimiawi.

E.     Ekstraksi Cair-cair
Ekstraksi cair-cair (liquid extraction, solvent extraction) yaitu pemisahan solute dari cairan pembawa (diluen) menggunakan solven cair. Campuran diluen dan solven tersebut bersifat heterogen (immiscible, tidak saling campur), dan jika dipisahkan terdapat 2 fase, yaitu fase diluen (rafinat) dan fase solven (ekstrak).
·         Fase rafinat = fase residu, berisi diluen dan sisa solut.
·         Fase ekstrak = fase yang berisi solut dan solven.
Pemilihan solven menjadi sangat penting. Dipilih solven yang memiliki sifat antara lain:
1.      Solut mempunyai kelarutan yang besar dalam solven, tetapi solven sedikit atau  tidak melarutkan diluen,
2.      Tidak mudah menguap pada saat ekstraksi,
3.      Mudah dipisahkan dari solut, sehingga dapat dipergunakan kembali,
4.      Tersedia dan tidak mahal (Rohman, 2009).
Pada ekstraksi cair-cair, satu komponen bahan atau lebih dari suatu campuran dipisahkan dengan bantuan pelarut. Proses ini digunakan secara teknis dalam skala besar misalnya untuk memperoleh vitamin, antibiotika, bahan-bahan penyedap, produk-produk minyak bumi dan garam-garam logam. Proses ini pun digunakan untuk membersihkan air limbah dan larutan ekstrak hasil ekstraksi padat cair (Rohman, 2009).
Ekstraksi cair-cair terutama digunakan bila pemisahan campuran dengan cara distilasi tidak mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan aseotrop atau karena kepekaannya terhadap panas) atau tidak ekonomis. Seperti ekstraksi padat-cair, ekstraksi cair-cair selalu terdiri atas sedikitnya dua tahap, yaitu pencampuran secara intensif bahan ekstraksi dengan pelarut, dan pemisahan kedua fasa cair itu sesempurna mungkin (Yazid, 2005).
Pada saat pencampuran terjadi perpindahan massa, yaitu ekstrak meninggalkan pelarut yang pertarna (media pembawa) dan masuk ke dalam pelarut kedua (media ekstraksi). Sebagai syarat ekstraksi ini, bahan ekstraksi dan pelarut tidak saling melarut (atau hanya dalam daerah yang sempit). Agar terjadi perpindahan masa yang baik yang berarti performansi ekstraksi yang besar haruslah diusahakan agar terjadi bidang kontak yang seluas mungkin di antara kedua cairan tersebut. Untuk itu salah satu cairan distribusikan menjadi tetes-tetes kecil (misalnya dengan bantuan perkakas pengaduk) (Gandjar, 2007).
Tentu saja pendistribusian ini tidak boleh terlalu jauh, karena akan menyebabkan terbentuknya emulsi yang tidak dapat lagi atau sukar sekali dipisah. Turbulensi pada saat mencampur tidak perlu terlalu besar. Yang penting perbedaan konsentrasi sebagai gaya penggerak pada bidang batas tetap ada. Hal ini berarti bahwa bahan yang telah terlarutkan sedapat mungkin segera disingkirkan dari bidang batas. Pada saat pemisahan, cairan yang telah terdistribusi menjadi tetes-tetes hanis menyatu kembali menjadi sebuah fasa homogen dan berdasarkan perbedaan kerapatan yang cukup besar dapat dipisahkan dari cairan yang lain (Gandjar, 2007).
Berbagai jenis metode pemisahan yang ada, ekstraksi pelarut atau juga disebut juga ekstraksi air merupakan metode pemisahan yang paling baik dan popular. Pemisahan ini dilakukan baik dalam tingkat makro maupun mikro. Prinsip distribusi ini didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua zat pelarut yang tidak saling bercampur. Batasannya adalah zat terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang berbeda dalam kedua fase terlarut. Teknik ini dapat digunakan untuk kegunaan preparatif, pemurnian, pemisahan serta analisis pada semua kerja (Rohman, 2009).
Berbeda dengan proses retrifikasi, pada ekstraksi tidak terjadi pemisahan segera dari bahan-bahan yang akan diperoleh (ekstrak), melainkan mula-mula hanya terjadi pengumpulan ekstrak (dalam pelarut). Suatu proses ekstraksi biasanya melibatkan tahap-tahap berikut:
1.      Mencampurkan bahan ekstrak dengan pelarut dan membiarkannya saling kontak. Dalam hal ini terjadi perpindahan massa dengan cara difusi pada bidang antar muka bahan ekstraksi dan pelarut. Dengan demikian terjadi ekstraksi yang sebenarnya, yaitu pelarut ekstrak.
2.      Memisahkan larutan ekstrak dari refinat, kebanyakan dengan cara penjernihan atau filtrasi.
3.      Mengisolasi ekstrak dari larutan ekstrak dan mendapatkan kembali pelarut. Umumnya dilakukan dengan mendapatkan kembali pelarut. Larutan ekstrak langsung dapat diolah lebih lanjut atau diolah setelah dipekatkan (Gandjar, 2007).

F.     Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran senyawa menjadi senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya. KLT merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel yang ingin dideteksi dengan memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan perbedaan kepolaran (Anonim, 2012).
1.      Semua kromatografi memilki :
b.      Fase diam (dapat  berupa padatan atau kombinasi cairan-padatan)
c.       Fase gerak (berupa cairan atau gas)
Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen dari campuran bersama-sama. Komponen yang berbeda akan bergerak pada laju yang berbed pula. KLT digunakan untuk memisahkan komponen-komponen atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam dibawah gerakan pelarut pengembang.pada dasarnya KLT sangat mirip dengan kromatografi kertas, terutama pada cara pelaksanaanya. perbedaan nyatanya terlihat pada fase diamnya atau media pemisahnya, yakni digunakan lapisan tipis adsorben sebagai pengganti kertas.
2.      Prinsip
Prinsip kerja KLT adalah memisahkan sampel berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan fase diam dari bentuk plat silika dan fase geraknya disesuaikan dengan jenis sampel yang ingin dipisahkan. Larutan atau campuran larutan yang digunakan dinamakan eluen. Semakin dekat kepolaran antar sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut.
3.      Nilai Rf
Nilai Rf adalah nilai yang digunakan sebagai nilai perbandingan relatif antar sampel. Nilai Rf juga menyatakan derajat retensi suatu komponen dalam fase diam sehungga nilai Rf sering juga disebut faktor retensi.
Rf
Semakin besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula bergeraknya senyawa tersebut pada plat kromatografi lapis tipis (KLT).
Ada beberapa keuntungan dari metode kromatografi lapis tipis yaitu:
a.       Prosedurnya lebih sederhana dengan waktu yang relatif singkat.
b.      Dapat digunakan untuk memisahkan sampel yang sangat kecil sampai nanogram.
c.       Pemisahan lebih sempurna untuk senyawa kompleks dalam larutan.
d.      Mudah dideteksi
e.       Lebih sensitif.
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar, Menurut Ibnu Gholib Gandjar dan Abdul Rohman (2007, h.353-354), beberapa keuntungan lain kromatografi planar adalah :
1.      Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis.
2.      Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluoresensi atau dengan radias menggunakan sinar ultra violet.
3.      Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending) atau dengan cara elusi dua dimensi.
4.      Ketetapan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan bercak yang tidak bergerak.
Pemisahan senyawa dengan kromatografi lapis tipis dalam medium secara prinsip sama dengan kromatografi kertas, namun pemisahan dapat dilakukan secara adsorbs, pertukaran ion, kromatografi partisi atau filtrasi gel pada medium yang digunakan. Metode ini sangat cepat dan dapat dilakukan kurang dari satu hari. Noda yang dihasilkan sangat rapat, sehingga memungkinkan untuk mendeteksi senyawa dengan konsentrasi rendah. Senyawa yang dipisahkan data dideteksi dengan semprotan korosif pada suhu tinggi, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada kromatografi kertas.
Satu kekurangan KLT yang asli ialah kerja penyaputan pelat kaca dengan penjerap. Kerja ini kemudian agak diringankan dengan adanya penyaput otomatis. Meskipun begitu, dengan menggunakan alat itu pun tetap diperlukan tindakan pencegahan tertentu. Pelat kaca harus dibersihkan hati-hati dengan aseton untuk menghilangkan lemak. Kemudian bubur silica gel (ataupun penjerap lain) dalam air harus dikocok kuat-kuat selama jangka waktu tertentu sebelum penyaputan. Tergantung pada ukutan partikel penjerap, mungkin harus ditambahkan kalsium sulfat hemihidrat (15%) untuk membantu melekatkan penjerap pada pelat kaca.
Identifikasi flavonoid dapat dilakukan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). KLT merupakan cara cepat dan mudah untuk melihat kemurnian suat sampel maupun karakterisasi sampel dengan menggunakan standar. Cara ini praktis untuk analisis skala kecil karena hanya memerlukan bahan yang sangat sedikit dan waktu yang dibutuhkan singkat. Kemurnian suatu senyawa bisa dilihat dari jumlah bercak yang terjadi pada plat KLT atau jumlah puncak pada kromatogram KLT. Uji kualitatif dengan KLT dapat dilakukan dengan membandingkan waktu retensi kromatogram sampel dengan kromatogram senyawa standar (Markham, 1988).
Densitometer (TLC Scanner) merupakan instrumen pengukur densitas bercak hasil pemisahan kromatografi lapis tipis.Instrumen dilengkapi dengan suatu perangkat optik, sumber cahaya dan detektor seperti halnya spektrofotometer (Touchstone dan Dobbins, 1983; Poole dan Khatib, 1987; Touchstone dan Sherma, 1979).
Keuntungan utama analisis secara KLT-densitometri adalah memerlukan waktu lebih singkat dan lebih murah biaya operasionalnya dibandingkan KCKT (Jork et al., 1990).






BAB III
METODOLOGI PELAKSANAAN

A.    Alat dan Bahan
a.       Alat
-          Batang Pengaduk
-          Bejana KLT
-          Botol Infus
-          Botol Timbang
-          Cawan Porselin
-          Erlenmayer
-          Gelas Kimia
-          Gelas Ukur
-          Kaca Arloji
-          Kertas Saring
-          Kompor
-          Labu Ukur
-          Lempeng KLT
-          Chamber
-          Mistar
-          Neraca Analitik
-          Penotol
-          Panci Infusa
-          Penangas Air
-          Pensil
-          Penjepit Kayu
-          Pipet Tetes
-          Pipet Volume
-          Tabung Reaksi dan Rak
-          Termometer
-          Vial

b.      Bahan
-          Amil Alkohol
-          Aquades
-          Asam Asetat Anhidrat
-          Asam Sulfat
-          Butanol
-          Etanol 95%
-          Etil Asetat
-          HCL 5%
-          HCL Pekat
-          Isopropanol P
-          Kain Flanel
-          Kloroform P
-          Larutan Aluminium (III) klorida 5%
-          Metanol
-          Natrium Sulfat Anhidrat P
-          n-Heksan
-          Pereaksi Asam klorida 2 N
-          Pereaksi Besi (III) klorida 1%
-          Pereaksi Bounchardat
-          Pereaksi Dragendrof
-          Pereaksi Liebermann-Bounchard
-          Pereaksi Mayer
-          Pereaksi Molish
-          Pereaksi Natrium hidroksida 2 N
-          Pereaksi Timbal (II) asetat
-          Simplisia Daun Sirsak



B.     Prosedur Kerja
1)   Ekstraksi Infundasi
a.    Disiapkan sampel yang akan digunakan, yaitu serbuk simplisia daun sirsak.
b.   Ditimbang sesuai yang dibutuhkan. Kemudian diisi panci infusa bagian bawah dengan air lebih kurang sepertiga bagian dan bagian panci atas diisi dengan aquadest sebanyak 200 ml.
c.    Dimasukkan sampel yang telah ditimbang ke dalm panci infusa bagian atas lalu panci ditutup dan diletakan di atas nyala api kompor.
d.   Dipantau suhu rebusan dalam panci sesekali mungkin, bila telah mencapai suhu 90 oC waktu mulai dihitung. Dimatikan kompor setelah 15 menit suhu mencapai 90 oC.
e.    Difiltrasi rebusan sampel pada panci infusa pada saat panas menggunakan kain flanel. Bila filtrate belum mencapai 500 ml, maka ditambahkan sedikit air panas melalui sisa sampel yang masih ada di kain flanel sampai 500 ml di dalam botol.

2)      Skrining Fitokimia
Pemeriksaan Alkaloida
a.    Ditimbang serbuk simplisia daun Sirsak sebanyak 0,5.
b.   Ditambahkan 1 ml Asam Klorida dan 9 mL air suling.
c.    Dipanaskan di atas tangas air selama 2 menit, kemudian didinginkan dan disaring.
d.   Filtrat:
                             i.      Diambil 3 tetes, ditambahkan 2 tetes pereaksi Meyer, menghasilkan endapan putih/kuning.
                           ii.      Diambil 3 tetes, ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat, menghasil-kan endapan coklat-hitam.
                         iii.      Diambil 3 tetes, ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendrof, menghasil-kan endapan merah bata.

Pemeriksaan Flavonoid
a.       Ditimbang serbuk simplisia daun Sirsak 10 g
b.      Ditambahkan 100 mL air panas.
c.       Dididihkan selama 5 menit dan difiltrasi dalam keadaan panas.
d.      Diambil filtrat 5 mL, lalu ditambahkan 0,1 g serbuk Mg dan 1 mL HCl pekat dan 2 mL amil alkohol.
e.       Dikocok dan dibiarkan hingga terbentuk warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol.
Pemeriksaan Tanin
a.       Disari 0,5 g serbuk simplisia daun Sirsak dengan 10 mL air suling. Disaring lalu filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna.
b.      Diambil 2 mL larutan lalu ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida, hingga terbentuk warna biru atau hijau kehitaman
Pemeriksaan Glikosida
a.       Ditimbang serbuk simplisia daun Sirsak sebanyak 3 g, kemudian disari dengan 30 mL pelarut etanol 95% dan air suling (7:3).
b.      Direfluks selama 10 menit, kemudian didinginkan dan disaring.
c.       Diambil filtrat 20 mL ditambahkan 25 timbal (II) asetat 0,4 N, diamkan selama 5 menit lalu disaring.
d.      Disari filtrat (c) sebanyak 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran kloroform P: Isopropanolol P
e.       Ditambahkan natrium sulfat anhidrat P secukupnya pada lapisan kloroform.
f.        Disaring dan diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50 oC.
g.      Dilarutkan sisa penguapan dengan 2 mL metanol, kemudian diambil 0,1 mL larutan percobaan dimasukkan kedalam tabung reaksi, diuapkan di atas penangas air.
h.      Ditambahkan 2 mL air dan 5 tetes pereaksi Molish dan ditambahkan 2 mL asam sulfat secara hati-hati, hingga Terbentuk cincin warna ungu pada batas kedua cairan.
Pemeriksaan Saponin
a.       Dimasukkan 0,5 g sampel ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 mL air suling panas.
b.      Didinginkan lalu dikocok dengan kuat selama 10 detik, hingga terbentuk buih selama tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-10 cm.
c.       Ditambahkan 1 tetes larutan HCl 2N.Jika Buih hilang, maka tidak ada saponin.
Pemeriksaan Steroida/Triterpenoid
a.       Dimaserasi 1 g serbuk simplisia daun Sirsak dengan n-heksan selama 2 jam, lalu disaring.
b.      Diuapkan filtrat dalam cawan penguap.
c.       Ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat pada sisa penguapan, hingga Timbul warna ungu atau merah menjadi hijau biru.

3)   Ekstraksi Cair-Cair
a.    Ditimbang ekstrak etanol kental sebanyak 15 gram kemudian dilarutkan atau disuspensikan dengan aquades 100ml.
b.   Dilakukan partisi bertingkat dengan menggunakan pelarut n-heksan, kloroform P dan etil asetat.
c.    Diambil 15 gram ekstrak etanol yang telah dibuat sebelumnya kemudian ditambahkan 50 ml etanol dan 150 ml air.
d.   Dipartisi dengan metode cair-cair menggunakan pelarut n-heksan (3x30ml) sehingga didapatkan ekstrak etanol-air dan ekstrak n-heksan.
e.    Dikumpulkan ektrak n-heksan lalu diuapkan sehingga di dapat ekstrak n-heksan.
f.     Dipartisi kembali ekstrak etanol-air dengan pelarut kloroform (3x30ml) sehingga didapatkan ekstrak etanol air dan ekstrak kloroform.
g.   Dikumpulkan ekstrak kloroform lalu diuapkan sehingga didapat ekstrak kental kloroform.
h.   Dipartisi kembali ekstrak etanol air dengan pelarut etil asetat (3x30ml)sehingga didapatkan ekstrak etanol air dan ekstrak etil asetat.
i.     Dikumpulkan ekstrak etil asetat lalu diuapkan sehingga didapat ekstrak kental etil asetat.
j.     Diidentifikasi senyawa metabolit sekunder ekstrak etanol, n-heksan, kloroform dan etil asetat dengan metode KLT.

4)      Kromatografi Lapis Tipis
a.    Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b.   Dipotong silica gel dengan ukuran 10 x 4 cm, kemudian lempeng diaktifkan dengan cara dipanaskan di atas hotplate selama 3 menit, kemudian diberi batas pada bagian bawah 2 cm dan bagian atas 2 cm.
c.    Dibuat eluen dalam chamber dengan campuran pelarut butanol : asam asetat : air dengan perbandingan 4:5:1 kemudian dijenuhkan.
d.   Diencerkan ekstrak dengan methanol hingga larut lalu dimasukkan ke dalam vial dan diberi label.
e.    Ditotolkan sampel di atas lempengan (plate) pada garis bagian bawah sebanyak tiga kali. Dimasukan lempengan tersebut ke dalam chamber yang telah berisi eluen.
f.     Diangkat lempengan dari chamber, kemudian dikeringkan lempengan pada suhu 100 oC selama 15 menit. Titik atau noda dapat dilihat dan ditandai melaui radiasi ultraviolet pada 254 nm.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    Hasil
1.      Ekstraksi Infundasi
Setelah dilakukan ekstraksi dengan menggunakan metode infundasi, maka diperoleh ekstrak daun sirsak dalam bentuk cair berwarna hijau pekat dengan volume 500 ml dan disimpan dalam botol infus kaca tidak berwarna.

2.      Skrining Fitokimia
Berdasarkan pemeriksaan metabolit sekunder yang dilakukan diperoleh data sebagai berikut:


Pemeriksaan
Hasil
Keterangan
A)
Alkaloid



1.      Penambahan pereaksi Meyer
Tidak terbentuk endapan
(-)

2.      Penambahan pereaksi Bouchardat
Terbentuk endapan coklat-hitam
(+)

3.      Penambahan pereaksi Dragendrof
Terbentuk endapan merah bata
(+)
B)
Flavonoid
Terbentuk warna jingga pada lapisan amil alkohol
(+)
C)
Tanin
Terbentuk warna hijau kehitaman
(+)
D)
Saponin
Terbentuk buih
(+)

1.      Penambahan HCl 2N
Buih tidak hilang
E)
Steroid
Timbul warna ungu kemudian menjadi hijau
(+)














3.      Ekstraksi Cair-cair
a.    Pelarut etanol-air dengan pelarut n-heksan
Hasil yang didapatkan terjadi pemisahan pada kedua larutan yang membentuk dua fase dimana fase atas merupakan n-heksan yang berwarna kuning pucat dan fase bawah merupakan etanol-air yang berwarna hijau tua.
b.      Pelarut etanol-air dengan pelarut kloroform
Hasil yang didapatkan terjadi pemisahan pada kedua larutan yang membentuk dua fase dimana fase atasnya adalah etanol-air yang berwarna hijau tua dan fase bawahnya adalah kloroform berwarna kuning keemasan.
c.       Pelarut etanol-air dengan Pelarut Etil Asetat
Hasil yang didapatkan terjadi pemisahan pada kedua larutan yang membentuk dua fase dimana fase atasnya adalah etanol-air yang berwarna hijau tua dan fase bawahnya adalah etil asetat berwarna kuning kehijauan.

4.      Kromatografi Lapis Tipis
Perhitungan nilai Faktor Retensi (R):

Rf =

Jarak pelarut    = 10 cm
Pelarut             = Butanol: Asam asetat : Air (4:5:1)

a.       Rf  Sampel
Rf1             =    = 0,72                                          
Rf2             =    = 0,79
Rf3             =    = 0,89

b.      Rf n-Heksan(Tidak terbentuk noda)
Rf              =    = 0

c.       Rf Kloroform
Rf              =    = 0,54

d.      Rf Etil Asetat
Rf1                =    = 0,70
Rf2                =    = 0,79
Rf3                =    = 0,89
Rf4                =    = 0,98

B.     Pembahasan
1.      Infundasi
Pada praktikum kali ini dilakukan ektraksi simplisia daun sirsak kering dengan metode infundasi.Pengertian dan prinsip ekstraksi sendiri adalah penyarian zat-zat aktif dari bagian tanaman obat, sedangkan tujuan dari ekstraksi adalah menarik senyawa kimia yang terdapat dalam simplisia. Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90 oC selama 15 menit. Sedangkan ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai kemudian semua atau hamper semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi syarat baku yang ditetapkan.
Kemudian untuk membuat infusa dilakukan proses infundasi. Pengertian infundasi sendiri adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dan bahan-bahan nabati. Namun penyarian dengan cara ini sari yang tidak stabil sehingga dapat dengan mudah tercemar oleh kuman dan kapang.
Pada pembuatan infusa daun sirsak yang pertama-tama dilakukan adalah pembuatan simplisia kering. Selanjutnya, simplisia kering diserbukkan tanpa diayak. Serbuk yang terlalu halus akan menyebabkan serbuk mudah lolos pada penyaringan saat ekstraksi. Kemudian serbuk daun sirsak dimasukkanke dalam panci B ditambahkan air sebanyak 500ml kemudian pada panci A dimasukkan air 1/3 bagian panci. Dipanaskan sampai suhu air yang ada di panci B mencapai 90 oC, suhu diukur menggunakan termometer, setelah itu dipanaskan selama 15 menit. Setelah 15 menit panci B diangkat dan disaring dalam keadaan panas menggunakan kain flannel. Infusa daun sirsak ini tidak stabil apabila disimpan terlalu lama, karena tidak ada bahan pengawet yang ditambahkan.
Untuk simplisia yang mengandung minyak atsiri diserkai setelah dingin tujuannya adalah agar kandungan minyak atsiri tidak menguap, karena sifat minyak atsiri yang mudah menguap dan untuk simplisia yang mengandung lendir tidak boleh diperas, karena lendirnya akan membuat infusa tampak keruh, sedangkan persyaratan infusa haruslah bening atau jernih tanpa partikel-partikel yang terdapat didalamnya. Jika hasil yang diperoleh belum mencukupi sesuai dengan jumlah volume yang diinginkan, maka dapat ditambahkan air panas melalui ampas yang terdapat dalam kain flannel sampai volume yang diinginkan. Infusa yang diperoleh dimasukkan ke dalam botol, lalu ditutup dan diberi label.

2.      Skrining Fitokimia
            Pada praktikum kali ini, dilakukan percobaan untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder pada daun sirsak. Golongan metabolit sekunder yang akan diperiksa adalah alkaloid, flavonoid, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid. Untuk golongan senyawa glikosida tidak dilakukan pemeriksaan.
Uji skrining fitokimia yang dilakukan merupakan uji kualitatif sehingga digunakan atau dilakukan dalam tabung reaksi. Uji fitokimia ini dilakukan dengan uji reagen sehingga menimbulkan warna tertentu. Pemeriksaan pertama adalah pemeriksaan alkaloid, serbuk simplisia daun sirsak ditimbang sebanyak 500 mg, ditambahkan 1 ml HCl dan 9 ml aquades. kemudian dipanaskan di atas air selama 2 menit lalu didinginkan dan disaring hingga didapatkan filtrat. Kemudian diambil filtrat masing-masing 3 tetes dimasukkan kedalam tabung reaksi, tabung reaksi satu ditambahkan 2 tetes pereaksi Meyer tutup dengan aluminium foil dan dikocok, setelah diamati tidak menghasilkan endapan. Tabung reaksi kedua ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat dan menghasilkan endapan coklat-hitam. Tabung reaksi tiga ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorf dan menghasilkan endapan merah bata.hasil skrining alkaloid dengan pereaksi meyer dinyatakan positif karena tidak terbentuk endapan dan hasil skrining alkaloid dengan pereaksi bouchardat dan dragendorf dinyatakan positif.
Adapun reaksi yang terjadi pada uji alkaloid dengan pereaksi dragendorf yaitu reaksi pada pembuatan dragendorf adalah bismut nitrat bereaksi dengan KI membentuk endapan bismuth (II) iodida yang melarut dalam KI berlebih membentuk kalium tetra  iodobismuth. Nitrogen pada alkaloid membentuk ikatan kovalen koordinat dengan bismuth menghasilkan endapan jingga sampai merah (Marliana, 2005).



            Untuk uji skrining fitokimia yang kedua adalah pemeriksaan flavonoid, ditimbang serbuk daun sirsak 10 g kedalam beaker glass, ditambahkan 100 ml air panas dan dididihkan selama 5 menit lalu disaring dalam keadaan panas dan didapatkan filtrat. Kemudian diambil 5 ml fitrat ditambah dengan 100 mg serbuk Magnesium, kemudian ditambahkan 1 ml HCl pekat dan 2 ml amil alkohol. Setelah semua tercampur di dalam tabung reaksi, tutup tabung reaksi dengan alumunium foil dan dikocok. Setelah dibiarkan beberapa lama akan terlihat bagian amil alkohol yang memisah dan menghasilkan warna jingga pada lapisan amil alkohol tersebut. Hasil skrining flavonoid daun sirsak dinyatakan positif.
Warna jingga yang terbentuk terjadi karena penambahan HCl pekat yang dapat menghidrolisis flavonoid menjadi aglikonnya yaitu dengan menghidrolisis O-glikosil. Glikosil akan tergantikan oleh H+ dari asam. Reduksi dengan serbuk Mg dan HCl pekat menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna merah atau jingga atau kuning pada flavonoid (Robinson, 1985).
Adapun reaksi yang terjadi pada uji flavonoid dapat disajikan dalam gambar berikut :






           
Uji yang kedua yaitu uji golongan tannin. ditimbang 500 mg serbuk daun sirsak dan disari dengan 10 ml aquades. diaduk hingga homogen di dalam beaker glass lalu di saring. Filtrat diencerkan dengan aquadest sampai tidak berwarna, kemudian diambil 2 ml filtrat yang sudah diencerkan dan ditambahkan pereaksi FeCl3 1-2 tetes ke dalam tabung reaksi dan ditutup dengan aluminium foil. Setelah diamati didapatkan warna hijau kehitaman dan skrining senyawa tannin dinyatkan positif.
Reaksi warna ini merupakan reaksi khusus untuk golongan fenol. Tanin termasuk golongan fenol sehingga dapat diuji dengan cara ini. Terikatnya Fe pada tanin menghasilkan warna yang spesifik karena gugus hidroksil berkonjugasi dengan ikatan rangkap (Robinson, 1985).
Adapun reaksi antara senyawa tanin dan FeCl3 adalah :







            Kemudian uji skrining fitokimia yang ketiga adalah pemeriksaan senyawa saponin. Uji saponin dilakukan dengan menimbang serbuk daun sirsak sebanyak 500 mg dan ditambahkan 10 ml aquades panas ke dalam tabung reaksi. Dinginkan dan dikocok dengan kuat selama 10 detik. Setelah dikocok dengan kuat terbentuk buih selama kurang dari 10 menit setinggi ± 5-7 cm. Setelah ditambahkan HCl 2N 1 tetes buih yang terbentuk sebelumnya tidak hilang. dan menunjukan adanya senyawa saponin dan hasil skrining dinyatakan positif. Timbulnya busa pada uji tannin menunjukan bahwa terdapat senyawa glikosida yang mampu membentuk buih (busa) di dalam air.Senyawa glikosida terhidrolisis menjadi glukosa dan aglikon.



Untuk uji skrining fitokimia yang terakhir adalah pemeriksaan steroid/triterpenoid. Pemeriksaan senyawa steroid ini dimulai dengan menimbang 1 g serbuk daun sirsak dan dimaserasi dengan n-heksan selama 2 jam lalu disaring. Filtrat yang didapatkan dimasukkan kedalam cawan porselen dan diuapkan di atas api langsung hingga kering. Pada sisa filtrat yang telah kering, ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat dan didapatkan reaksi warna ungu kemudian menjadi hijau. Dari reaksi warna yang terjadi hasil skrining steroid/triterpenoid dinyatakan positif.
Menurut Robinson (1985), senyawa triterpenoid/steroid akan mengalami dehidrasi dengan penambahan asam kuat dan membentuk garam yang memberikan sejumlah reaksi warna. Triterpenoid memberikan reaksi warna ungu-merah sedangkan steroid memberi warna hijau-biru.
           
3.      Ekstraksi Cair-cair
Pada percobaan ini dilakukan proses ekstraksi cair-cair dengan sampel. Ekstraksi cair-cair adalah proses pemisahan zat terlarut di dalam 2 macam zat pelarut yang tidak salng bercampur atau dengan kata lain perbandingan konsentrasi za terlarut dalam pelarut organik dan air. Hal tersebut memungkinkan karena adanya sifat senyawa yang dapat terlarut dalam air dan adapula senyawa yang dapat larut dalam pelarut organik.
Sampel yang digunakan adalah sampel ekstrak kental daun sirsak pada ekstraksi dengan menggunakan corong pisah. Percobaan pertama dilakukan pencampuran antara ekstrak air daun sirsak sebanyak 30 ml dan n-heksan sebanyak 30 ml menggunakan corong pisah. Kemudian di kocok beberapa menit, fungsi pengocokan ini adalah untuk membantu proses pemisahan.
Terlebih dahulu ekstrak kental yang didapat dilarutkan dengan etanol-air dengan perbandingan 1:3. Selanjutnya ekstrak etanol-air daun sirsak yang diperoleh dimasukkan ke dalam corong pemisah dan menambahkan dengan pelarut n-heksan. N-heksan bersifat semi polar sedangkan etanol-air bersifat polar sehingga terjadi pemisahan yang jelas dari dua campuran yang berbeda polaritasnya. Dan akan didapatkan ekstrak n-heksan dan etanol air. Untuk pemisahan dengan menggunakan pelarut n-heksan lapisan atas berwarna warna kuning pucat dan lapisan bawah berupa filtrat dengan warna hijau tua.
Selanjutnya ekstrak etanol air ditambahkan dengan pelarut kloroform (CHCl3) kemudian mengocok selama beberapa menit, fungsi pengocokan disini ialah membantu proses pemisahan. Kloroform merupakan pelarut nonpolar yang sering digunakan dalam proses ekstraksi. Tujuan penambahan kloroform (CHCl3) digunakan sebagai pelarutnya adalah karena kloroform bersifat nonpolar, sedangkan ekstrak etanol air bersifat polar, sehingga keduanya tidak saling melarutkan. Hal ini terlihat ketika kloroform ditambahkan ke dalam corong pisah membentuk dua fase (tidak bercampur), dimana fase yang dibawah adalah kloroform yang ditandai dengan warna kuning keemasan sedangkan fase yang diatasnya adalah fase polar yaitu etanol air yang berwarna pekat hijau tua. Mendiamkan selama beberapa menit dan mengeluarkan lapisan organik dan menuangkan lapisan ekstraknya. Hasil yang diperoleh untuk pemisahan kedua ialah terjadi dua lapisan yaitu lapisan atas yang berwarna hijau tua dan lapisan bawahnya berwarna kuning keemasan. Hal ini disebabkan karena bobot jenis kloroform memiliki bobot jenis yang lebih kecil dibanding dengan bobot jenis ekstrak etanol air menyebabkan ekstrak etanol air ada diatas, hal ini dilakukan dengan tiga kali pengulangan untuk mengoptimalkan partisi pada tiap pelarut yang tidak saling bercampur.
Pada percobaan ini selanjutnya dilakukan pencampuran kembali antara etanol air dengan penambahan 30 ml etil asetat, fungsi penambahan etil asetat adalah sebagai pelarut polar dan merupakan larutan yang mudah menguap sehingga sampel ekstrak tersebut saling melarutkan karena sifat keduanya yang sama-sama polar. Kemudian di kocok beberapa menit, fungsi pengocokan ini agar larutan etil asetat tersebut dapat bercampur dengan ekstrak etanol-air, sehingga terbentuk 2 fase dari cairan tersebut. Diamkan beberapa menit agar terjadi  dua pemisahan yaitu lapisan organik dan lapisan ekstrak. Lapisan organiknya di buang sedangkan lapisan ekstraknya dituangkan ke dalam gelas kimia lalu ditambahkan dengan pelarut organik sampai terbentuk pigmen warna dari sampel yang digunakan. Kemudian dilakukan dengan perlakuan yang samasebanyak 3 kali. Dari hasil percobaan tersebut di dapatkan ekstrak kental dengan dua fase yaitu pada penambahan fase etil asetat berwarna kuning kehijauan dan fase etanol air berwarna hijau tua. Dimana fase etil asetat memiliki bobot jenis yang lebih besar dibandingkan etanol air sehingga lapisan atasnya adalah fase etil asetat dan lapisan bawahnya adalah fase etanol air.

4.      Kromatografi Lapis Tipis
Pada praktikum kali ini, dilakukan praktikum lanjutan untuk mengetahui dan mengidentifikasi senyawa metabolit sekunder dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis atau KLT.Dimana sebelumnya telah dilakukan runtutan praktikum seperti ekstraksi infundasi, skrining fitokimia, ekstraksi cair-cair dan selanjutnya adalah pengidentifikasian senyawa menggunakan KLT. Dalam hal ini kita hanya ingin melihat pemisahan kompenen kimia yang terdapat dalam daun sirsak dengan berbagai pelarut yang digunakan. Sedangkan untuk pengidentifikasian senyawa yang ada dalam tanaman tersebut telah dilakukan sebelumnya pada pengujian skrining fitokimia yang tenyata tanaman daun sirsak mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan steroid.
Pada pelaksanaannya meliputi tahap awal, terlebih dahulu dilakukan penguapan hasil ekstraksi cair-cair di atas api langsung didalam cawan porselen.meliputi hasil ekstrak kental dari ekstrak n-heksan, ekstrak kloroform, ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol-air. Setelah dilakukan penguapan dan telah didapat ekstrak keringkemudian ditambahkan pelarut metanol di pingir cawan.
Dalam hal ini digunakan beberapa pelarut untuk melakukan proses pemisahan senyawa yang selanjutnya akan dipartisi. Eluen yang digunakan adalah butanol, asam asetat dan air dengan perbandingan 4:5:1.
Plat KLT yang digunakan adalah plat silica gel. Plat ini berbentuk lembaran tipis dengan salah satu sisinya mengkilat dan sisi lainnya tidak mengkilat. Pada saat memegang plat, tidak diperbolehkan untuk memegang pada bagian sisi yang tidak mengkilap karena pada bagian itu sangat rentan robek dan bisa merusak silica gel di dalamnya.Jadi untuk mengukur, menggaris dan memotong plat sesuai ukuran, dilakukan pada sisi yang mengkilap. Ukuran yang digunakan adalah 10 x 4 cm. jarak penotolan satu titik ke titik lain adalah 2 cm. Plat KLT harus sepenuhnya bebas dari kandungan air, karena air akan menyerap masuk ke dalam pori-pori silica sehingga komponen yang akan diidentifikasi tidak dapat lagi diserap oleh plat. Untuk menghilangkan kandungan air ini, biasanya plat dipanaskan terlebih dahulu dalam oven pada suhu 110ºC selama 30 menit dan setelah itu disimpan di desikator sebelum digunakan. Akan tetapi dalam pelaksanaanya hanya dilakukan pemanasan pada hot plate.
Setelah sampel dan plat KLT telah disiapkan, maka dilakukan pembuatan eluen sehingga dapat dilakukan penjenuhan chamber sebelum penotolan dan pengembangan totolan. Eluen biasanya terdiri dari dua macam pelarut dan maksimal tiga macam pelarut. Penentuan eluen yang akan digunakan merupakan hal yang paling penting dalam pemisahan dengan KLT. Maka biasanya, untuk mendapatkan pelarut atau campuran pelarut yang tepat, terlebih dahulu dilakukan percobaan dengan menggunakan berbagai jenis pelarut untuk melihat nilai Rf yang paling baik. Dalam pelaksanaannya hanya digunakan 1 macam campuran pelarut yaitu butanol : asam asetat : air dengan perbandingan 4 : 5 : 1 dengan dibuat sebanyak 10 ml.
Setelah diambil dan diukur, masing-masing campuran dimasukkan ke dalam chamber. Chamber harus dijenuhkan seluruhnya dengan uap dari eluen. Karena tidak mungkin untuk melihat uap eluen secara kasat mata, maka digunakan kertas saring sebagai alat bantu. Kertas saring dengan lebar ± 1 cm dipotong memanjang. Panjang kertas saring disesuaikan dengan tinggi chamber dan dilebihkan sehingga kertas saring sedikit menjuntai keluar dari chamber. Untuk menjamin kerapatan di dalam chamber, chamber ditutup dengan kaca. Chamber dinyatakan jenuh bila bagian kertas saring yang menjuntai telah terbasahi oleh uap eluen. Chamber yang tidak jenuh akan mempengaruhi nilai Rf.
Larutan sampel ditotolkan satu persatu pada plat. Penotolan dilakukan setetes demi setetes, sebanyak lebih kurang 2-3 tetes. Antara penetesan pertama dengan penetesan selanjutnya sebaiknya dilakukan jeda untuk menunggu tetesan pertama benar-benar diserap dengan baik oleh plat. Penotolan dilakukan secara tegak lurus dan diusahakan tepat berada di tengah titik yang telah dibuat sebelumnya dengan pensil. Setelah penotolan selesai, kemudian langsung dimasukkan plat ke dalam chamber. Chamber jangan dibuka terlalu lama saat memasukkan plat. Untuk memudahkan memasukkan dan mengeluarkan plat dari dalam chamber, maka diikatkan tali pada ujung atas plat. Tinggi pelarut dalam chamber tidak boleh melewati batas garis bawah yang telah dibuat. Penempatan plat dalam chamber juga harus rata, agar eluen membasahi plat secara merata dan bersamaan sehingga komponen yang ada pada penotolan pun akan memisah secara bersamaan. Bila tidak, nilai Rf tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Plat segera diangkat dari eluen bila eluen telah diserap oleh plat sampai tanda batas atas. Bila eluen tidak mencapai tanda batas atas atau melebihi batas atas,maka akan sulit ditentukan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik awal sehingga tidak akan bisa dihitung nilai Rf komponen yang diidentifikasi.
Plat yang telah kering kemudian dilihat penampakan nodanya di bawah lampu UV 245 nm atau 366 nm. Pertama-tama digunakan lampu UV 245 nm namun bila noda tidak juga nampak maka digunakan lampu UV 366 nm. Setelah noda terlihat, tandai noda dengan menggunakan pensil sehingga noda tetap dapat diamati meskipun tidak lagi berada di bawah lampu UV. Hal ini diperlukan untuk menentukan harga Rf.
Pada plat dari chamber noda yang dihasilkan posisinya sejajar dan hampir sama, sehingga nilai Rf yang dihasilkan juga tidak jauh berbeda. Nilai Rf untuk sampel Rf1= 0,72,Rf2= 0,79 dan Rf3= 0,89. Rf untuk n-heksan= 0 atau tidak terbentuk noda. Untuk Rf kloroform adalah 0,54. dan untuk Rf Etil Asetat Rf1= 0,70, Rf2= 0,79, Rf3= 0,89 dan Rf4= 0,98.



BAB V
PENUTUP

B.     Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan, bahwa:
1.      Metode ektraksi infundasi adalah salah satu proses ektraksi dengan caramenyari simplisia nabati dengan air pada 90-98oC selama 15 menit dalam panci infusa.
2.      Hasil skrining fitokimia simplisia daun sirsak positif memiliki senyawa alkaloid, flavonoid, tannin, saponin dan steroid.
3.      Ekstraksi cair-cair menggunakan pelarut n-heksan (semi polar), kloroform (nonpolar) dan etil asetat (polar).
4.      Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan pelarut butanol:asam asetat:air dengan perbandingan 4:5:1. Dan didapatkan nilai Rf sampel Rf1= 0,72,  Rf2= 0,79 dan Rf3= 0,89. Rf untuk n-heksan = 0 atau tidak terbentuk noda. Untuk Rf kloroform adalah 0,54. dan untuk Rf Etil Asetat Rf1= 0,70, Rf2= 0,79, Rf3= 0,89 dan Rf4= 0,98.

C.    Saran
Sebaiknya praktikan lebih memahami tentang prosedur maupun prinsip kerja praktikum agar terhindar dari terjadinya kesalahan kerja. Selain itu pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan identifikasi golongan senyawa metabolit sekunder yang lebih spesifik dengan menggunakan analisis instrument dan dapat menentukan jenis senyawa yang terdapat di dalam senyawa metabolit sekunder.


DAFTAR PUSTAKA
Dalimartha, S., 2003, Atlas TumbuhanObat Indonesia.Jilid 1. Cetakan II, Trubus Ariwidiya, Jakarta.
Gandjar.,I,.G,. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Harborne.J.B. 1987.Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. ITB Press. Bandung
Ibnu Gholib Gandjar dan Abdul Rohman. Kimia Farmasi Analisis (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007) h. 353
Ikan R. 1991. Natural Products: A laboratory guide.California : Academic Press.
Jork, H., Funk, W., Fischer, W. and Wimmer, H. 1990. Thin-Layer Chromatography, Reagents and Detection Methods. Weinheim : VCH Verlagsgesellschaft mb H, 3-7.
Kantasubrata J. 1991. Warta Kimia Analitik. Puslitbang Kimia Terapan LIPI, 9:4-7
Mardiana.2011.Potensi Nanopartikel Magnetik Ekstrak Daun Sirsak Sebagai Obat Antikanker. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Markham, K. R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Buku asli terbit tahun 1982
Mekar Nyi. 2008. Bahan kuliah Fitokimia. Universitas Al-Ghifari. Bandung
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung : Penerbit ITB.
Rohman,. A,.2009. Kromatografi untuk Analisis Obat. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Syarifuddin, N., (1994), Ikatan Kimia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Teyler.V.E et.al.1988.Pharmacognosy Edition 9th.Lea & Febiger.Phiadelphia.
Touchstone, J.C. and Dobbins, J.C. 1983.Practice of Thin Layer Chromatography 2nd edition. New York : John Wiley & Sons, Inc., 315.
Yazid,. E,.2005. Kimia Fisika untuk Paramedis.Andi.Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar